Mata Antonio tiba-tiba melebar. Terbersit kemungkinan gila yang hampir mustahil. ‘Jangan-jangan … Tuan Robin merindukan Nyonya Poppy?’ BRAK! Suara keras pada pintu yang membentur meja dekat pintu kamar menepis prasangka Antonio. Robin membuka pintu kamar Poppy, tetapi istrinya tidak ada di kamar. Hanya ada Donna yang sedang membersihkan perabot. Setelah Robin menemukan obat pencegah kehamilan miliknya, Poppy membiarkan Donna melakukan pekerjaan yang semestinya. Poppy tak lagi meresahkan seseorang akan mengobrak-abrik kamarnya. “Tuan Robin, apakah Anda mencari nyonya?” tanya Donna, terkejut dan langsung merapikan pakaian ketika menyadari kehadiran Robin. “Apa aku terlihat sedang mencarimu?” balas Robin ketus. “Tidak, Tuan …” Donna menatap lantai, tak berani memandangi Robin. “Nyonya sedang di taman belakang dengan–” Tak menunggu ucapan Donna selesai, Robin segera melangkah menuju tempat istrinya berada. Dia perlu menegaskan sekali lagi pada Poppy jika dia tidak pernah tertar
Bukan hanya Poppy, Antonio pun semakin resah selagi melihat jam tangan. Dia merasa sangat ingin menyeret Robin yang tak melakukan atau mengatakan apa pun, berdiri seperti patung kokoh yang tak dapat diruntuhkan. “Kau tidak mau duduk dulu dan makan siang bersama kami?” Akhirnya, Alice memecah suasana canggung. Robin segera duduk bersila di karpet, membuat Antonio ternganga, sedangkan Poppy langsung bergeser agar tak terlalu dekat dengannya. Melihat dari betapa cepat Robin menanggapi ajakan Alice, dia seperti sudah menantikannya sejak tadi. “Aku sudah berjanji pada orang tuamu untuk menjagamu. Bukan berarti aku senang duduk di tempat kotor ini.” Robin berniat menyindir Poppy, menunjukkan bahwa dirinya hanya ingin menyenangkan putri kenalannya. Secara tak langsung mengatakan jika dia tak sudi duduk di samping Poppy. Akan tetapi, Poppy malah mengambil saputangan. Kemudian mengulurkan saputangan itu kepada Robin. “Gunakan ini untuk melapisi tempat dudukmu supaya celanamu tidak kotor …
Omong kosong apa yang baru saja Alice ucapkan?! Robin merasa salah karena meninggikan suara, tetapi tak merasa ucapannya salah.Dia memang ingin agar Alice bisa segera hidup mandiri. Bukan karena dia membenci Alice, tetapi hanya mendidik Alice supaya tidak bergantung kepada orang lain.Biar bagaimanapun, Robin bukan orang tua Alice. Dia juga memiliki bisnis berbahaya yang kemungkinan besar bisa melibatkan orang-orang di sekitarnya. Alice akan lebih aman jika setelah lulus sekolah berpura-pura tak mengenal dirinya, kecuali jika Robin telah mendapatkan semua aset kakeknya.“Kau ingin kabur dari rumah dengan mengajak istriku?” Robin ikut berdiri, tak suka mendongak ke arah dua wanita itu.Ucapan Alice tentang Poppy bukan kesalahan bagi Robin. Namun, walaupun dia tak puas atau tak suka pada Poppy, bukan berarti mereka bisa kabur sesuka hati.Poppy belum melahirkan keturunannya!“Apa kau yakin istriku mau pergi denganmu?” tantang Robin.Tentu saja Poppy tak akan berani melangkahkan kaki me
“Jangan mendekat!” teriak seorang wanita di gang dekat bangunan tinggi pada tengah malam.Rose–nama panggilan wanita itu–terpojok di gang buntu. Hanya langkah kaki Rose yang terdengar, menggema di antara dinding beton yang tinggi dan rapat.Kakinya lelah setelah berlari tiada henti. Melarikan diri dari tangan kanan bos besar yang memergoki dirinya akan membebaskan seorang tawanan, Flint.Usaha Rose pun hampir berhasil, dengan ikut di sebuah kapal angkutan barang. Namun, ternyata tidak semudah itu untuk lolos dari pulau yang bernama Solterra ini. Terlalu banyak anak buah bos besarnya, termasuk Flint yang melihat Rose naik ke kapal. Flint lantas menyuruh rekan-rekannya yang lain untuk mengejar Rose dan mengadukannya kepada bos besar. Dan di sinilah dirinya sekarang. Seperti tikus terpojok yang siap dimangsa. Flint lantas mengancam akan mengadukan Rose pada bos besar atas perbuatannya. Selama empat tahun berada di pulau Solterra yang dihuni oleh para mafia ini, bahkan perdagangan manus
“Kau hanya perlu melakukan apa yang aku perintahkan.” Pria itu mengamati wajah kuyu milik Rose. “Jadilah istriku dan lahirkan keturunan untukku.”Mulut Rose terbuka lebar. Masih tak percaya dengan ucapan pria itu. Dilihat dari mana pun, Rose dan Robin seperti kerak bumi dan langit tertinggi.“Apa Anda sedang bergurau?” Rose tak menganggap dirinya buruk rupa. Hanya saja, penampilannya selalu terlihat lusuh dan kumal selama dikurung di gedung milik bos besar, yang digunakan sebagai tempat transaksi perdagangan manusia.“Apa aku terlihat sedang bercanda?”Rose sontak menggeleng. Meski tampan, ekspresi dingin Robin tak mencerminkan pria yang suka bergurau.“Tuan Robin Luciano!” seruan Saul dari jauh sedikit mengikis ketegangan yang Rose rasakan.Pria berbadan besar dan terlihat berisi itu menunduk hormat secara singkat kepada Robin. Rose langsung takjub dibuatnya.Bos besar yang tak pernah menekuk wajah di hadapan orang lain, dan saat ini … tampak seperti pelayan di depan Robin. Namun, ha
Sambil menggertakkan gigi, Saul mengibaskan tangan pada para anak buahnya untuk mundur. “Kita akan bertransaksi di dalam.”Robin memerintahkan anak buahnya untuk membawa masuk Rose ke helikopter. Para wanita yang sudah dipesan Robin juga dibawa masuk memenuhi helikopter lainnya. Tak berselang lama, Robin keluar dari gedung bersama dengan Saul yang telah menemukan keceriaan kembali. Orang mana yang tak bahagia mendapatkan uang sebanyak itu?“Kau bisa membaca, bukan?” tanya Robin begitu memasuki helikopter yang sama dengan Rose.Rose diculik saat usianya delapan belas tahun. Tepatnya, selepas dirinya merayakan kelulusan SMA. Tentu saja dirinya bisa membaca dan menulis.Namun, karena masih bingung dan takut dengan situasi yang baru saja terjadi, Rose bahkan tak merasa marah dianggap seperti orang tak berpendidikan.“Bisa,” balas Rose singkat.“Baca ini.” Robin mengulurkan map kuning padanya. Tanpa berkata-kata, Rose langsung menuruti perintahnya.Map tersebut berisi dokumen-dokumen iden
Pria di depannya yang kini sah menjadi suaminya duduk dengan tenang, seperti tidak terganggu sama sekali oleh situasi ini.Robin menyandarkan punggungnya pada sofa, lengan kanannya diletakkan di sandaran, menatap Poppy dengan ekspresi tenang tapi penuh pengamatan. “Kakekku, Dante Luciano, mengharuskan kita tinggal di rumahnya selama satu minggu ke depan,” ujarnya, memecah keheningan.Poppy mengangkat wajahnya, menatap Robin dengan sedikit bingung. “Di rumahnya?” tanyanya pelan.Robin mengangguk. “Dia ingin memastikan pernikahan ini berjalan sesuai harapannya. Dante adalah pria yang selalu mencari kepastian, dan aku yakin dia akan mengamatimu mulai sekarang.”Poppy menunduk, jemarinya saling meremas. “Aku mengerti.”Robin mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, menatap Poppy lebih lekat. “Kau tidak perlu khawatir. Tugasmu hanya bermain sesuai peran kita. Bersikaplah seperti yang sudah kita sepakati. Jika kau bisa melakukannya dengan baik, tidak ada yang perlu kau takutkan.”Poppy menga
Masih dengan pemikirannya sendiri, Poppy benar-benar semakin merasa khawatir dan takut dengan Dante, karena Robin sendiri yang memperingatkan.Dan saat ini, mereka sudah berada di dalam kamar yang sudah disediakan oleh Dante. Jantung Poppy seakan hampir meledak ketika dia dan pria yang kini sudah menjadi suaminya berada di dalam kamar yang sama untuk pertama kalinya. Selama satu minggu ke depan, Dante Luciano mengharuskan pengantin baru itu tinggal di sana. Walaupun bersikap baik kepada Poppy, Dante belum sepenuhnya percaya kepada cucunya sendiri. Robin tak pernah mengenalkan seorang wanita kepada kakeknya, dan bahkan tak pernah berhubungan dekat dengan wanita mana pun. Namun, Robin tiba-tiba pulang dengan membawa wanita untuk dinikahi. Hal itu tentu menimbulkan banyak pertanyaan, walau Dante sendiri sudah mengetahui kabar pernikahan cucunya itu. Dante tak akan tinggal diam dan akan menelisik tentang wanita yang sudah menjadi cucu menantunya. “Kau rupanya punya bakat menjadi patung
Omong kosong apa yang baru saja Alice ucapkan?! Robin merasa salah karena meninggikan suara, tetapi tak merasa ucapannya salah.Dia memang ingin agar Alice bisa segera hidup mandiri. Bukan karena dia membenci Alice, tetapi hanya mendidik Alice supaya tidak bergantung kepada orang lain.Biar bagaimanapun, Robin bukan orang tua Alice. Dia juga memiliki bisnis berbahaya yang kemungkinan besar bisa melibatkan orang-orang di sekitarnya. Alice akan lebih aman jika setelah lulus sekolah berpura-pura tak mengenal dirinya, kecuali jika Robin telah mendapatkan semua aset kakeknya.“Kau ingin kabur dari rumah dengan mengajak istriku?” Robin ikut berdiri, tak suka mendongak ke arah dua wanita itu.Ucapan Alice tentang Poppy bukan kesalahan bagi Robin. Namun, walaupun dia tak puas atau tak suka pada Poppy, bukan berarti mereka bisa kabur sesuka hati.Poppy belum melahirkan keturunannya!“Apa kau yakin istriku mau pergi denganmu?” tantang Robin.Tentu saja Poppy tak akan berani melangkahkan kaki me
Bukan hanya Poppy, Antonio pun semakin resah selagi melihat jam tangan. Dia merasa sangat ingin menyeret Robin yang tak melakukan atau mengatakan apa pun, berdiri seperti patung kokoh yang tak dapat diruntuhkan. “Kau tidak mau duduk dulu dan makan siang bersama kami?” Akhirnya, Alice memecah suasana canggung. Robin segera duduk bersila di karpet, membuat Antonio ternganga, sedangkan Poppy langsung bergeser agar tak terlalu dekat dengannya. Melihat dari betapa cepat Robin menanggapi ajakan Alice, dia seperti sudah menantikannya sejak tadi. “Aku sudah berjanji pada orang tuamu untuk menjagamu. Bukan berarti aku senang duduk di tempat kotor ini.” Robin berniat menyindir Poppy, menunjukkan bahwa dirinya hanya ingin menyenangkan putri kenalannya. Secara tak langsung mengatakan jika dia tak sudi duduk di samping Poppy. Akan tetapi, Poppy malah mengambil saputangan. Kemudian mengulurkan saputangan itu kepada Robin. “Gunakan ini untuk melapisi tempat dudukmu supaya celanamu tidak kotor …
Mata Antonio tiba-tiba melebar. Terbersit kemungkinan gila yang hampir mustahil. ‘Jangan-jangan … Tuan Robin merindukan Nyonya Poppy?’ BRAK! Suara keras pada pintu yang membentur meja dekat pintu kamar menepis prasangka Antonio. Robin membuka pintu kamar Poppy, tetapi istrinya tidak ada di kamar. Hanya ada Donna yang sedang membersihkan perabot. Setelah Robin menemukan obat pencegah kehamilan miliknya, Poppy membiarkan Donna melakukan pekerjaan yang semestinya. Poppy tak lagi meresahkan seseorang akan mengobrak-abrik kamarnya. “Tuan Robin, apakah Anda mencari nyonya?” tanya Donna, terkejut dan langsung merapikan pakaian ketika menyadari kehadiran Robin. “Apa aku terlihat sedang mencarimu?” balas Robin ketus. “Tidak, Tuan …” Donna menatap lantai, tak berani memandangi Robin. “Nyonya sedang di taman belakang dengan–” Tak menunggu ucapan Donna selesai, Robin segera melangkah menuju tempat istrinya berada. Dia perlu menegaskan sekali lagi pada Poppy jika dia tidak pernah tertar
Suara desisan tertahan mulai terdengar di mulut Poppy ketika dia menggerakkan badan. Poppy mencoba dengan keras untuk mengesankan Robin agar bisa mendengar lagi suara yang menggetarkan hatinya. Namun, Robin masih belum bereaksi.Deritan pada ranjang terdengar semakin cepat. Poppy terlena oleh perbuatannya sendiri, hingga merasakan tubuhnya berguncang dan melemas, hampir jatuh di dada Robin. “Tuan Robin ….”“Lanjutkan,” titah Robin selagi membantu Poppy bergerak.Kedua tangan Poppy mencengkeram seprai untuk menopang badan. Gerakan yang cukup lihai tanpa sadar membuat penutup matanya melorot hingga menunjukkan satu matanya.Poppy akhirnya melihat ekspresi Robin yang membuat tubuhnya semakin berguncang.Robin menutup mata, mulutnya sedikit terbuka. Dia tampak menikmati perbuatan Poppy meski semua ucapannya dipenuhi penyangkalan.“Kau tidak pernah bisa melakukan apa pun dengan benar,” geram Robin, masih belum sadar jika Poppy sedang menatap dirinya.Poppy berhenti bergerak, mencoba memah
Poppy memimpikan hadiah-hadiah yang diberikan Rafael. Meskipun Robin memberinya fasilitas mewah, namun hadiah Rafael sedikit berbeda karena diberikan secara langsung.Dia merasakan kasih sayang Rafael sebagai keluarga dalam mimpinya. Satu hal yang menjadi angan-angan Poppy selama empat tahun.Akan tetapi, mimpi itu sirna ketika Poppy merasakan gigitan di bahunya terasa cukup menyakitkan. Ketika membuka sedikit mata, dia segera melupakan mimpinya.Robin menggertakkan gigi setelah meninggalkan bekas gigitan di bahu Poppy, meski tak sampai terluka atau berdarah. “Beraninya kau melanggar aturanku dalam mimpimu dan menyebut nama pria lain,” geramnya.Sayangnya, Poppy masih setengah tidur. Tak begitu sadar jika Robin ada di balik punggungnya.Robin kemudian kembali mendekap Poppy, menyesap jengkal kulitnya sampai Poppy benar-benar terbangun.Poppy akhirnya tahu jika orang yang berada di belakang punggungnya adalah pria yang sejak tadi mengusik pikirannya. Robin menuntun tangannya ke belakan
“Nyonya Poppy, kenapa lama sekali membuka pintu?” Mata Poppy melebar, terkejut sesaat ketika melihat Alice menutup seluruh tubuhnya dengan selimut berwarna gelap dan hanya menyisakan bagian wajahnya. Gadis itu tampak ketakutan saat menoleh ke kanan kiri, seperti mewaspadai seseorang yang sedang mengintai mereka. “Kau tidak menjawabku tadi. Ada apa, Alice?” Poppy merangkul Alice selagi menuntun masuk ke dalam kamar. “Bolehkah aku tidur bersamamu?” pinta Alice. Poppy berpikir sejenak. Robin belum memberi tahu jika dia tidak akan datang ke kamarnya. Diam-diam Poppy sedikit menantikan kedatangan Robin. Dia penasaran dan ingin melihat lagi dengan jelas raut wajah Robin ketika sedang bercinta dengannya. Mendadak, tubuh Poppy meremang dan terasa panas. Dekapan Robin seperti menyelimuti dirinya. Dia tak seharusnya merasakan kenyamanan dari orang berbahaya yang mungkin akan mengancam hidupnya. Namun, rasa itu tak dapat terelakkan dan terus mengusik dirinya. “Aku takut tidur sendirian
Poppy biasanya selalu berpikir negatif setiap kali ada orang yang bicara buruk padanya. Dulu dia tak seperti itu, sebelum mengalami hal buruk di Pulau Solterra. Masa-masa saat dirinya selalu dipenuhi kebahagiaan dan kehangatan keluarga yang sempat terlupakan, kini dia mengingatnya lagi. Meski Robin menyangkal apa yang dirasakannya, namun Poppy dapat melihat kebohongan pria itu. ‘Tuan Robin, aku sudah melihat wajahmu saat kau menyentuhku. Mengapa kau selalu berkata buruk padaku dan menyangkalnya? Raut wajahmu mengatakan semua, di saat kau pikir aku memejamkan mata.’ Robin seperti mendiang nenek Poppy yang selalu menegur atas masalah-masalah sepele, namun sesungguhnya sangat menyayanginya. Walaupun tak tahu apakah Robin memiliki perasaan padanya atau tidak, Poppy yakin satu hal, Robin Luciano memang menikmati saat bercinta dengannya. “Ah … kalau dipikir-pikir, kau sudah melakukan kesalahan dua kali dan aku hanya memberimu hukuman satu kali.” Ucapan Robin tersebut membuat Poppy semak
Embusan napas panas Robin menggelitik indra perasa Poppy. Dia mengerang pelan sambil membuka sedikit matanya.Ketika akan merenggangkan badan, Poppy terkejut sampai tersadar sepenuhnya. Robin telah mengungkung dirinya di atas kursi, memijat lembut titik sensitifnya begitu tahu Poppy telah bangun.Kaki Robin yang ada di antara tubuhnya, membuat Poppy kesulitan bergerak. Poppy mendorong pelan dada Robin, namun tubuh suaminya bergeming.“Robin ….” Kali ini, Poppy tak lupa memanggil Robin dengan benar.Robin yang mendengar suara serak Poppy menyebut namanya, spontan menghentikan gerakan. “Ulangi lagi,” perintahnya dengan suara berat, tak menyembunyikan hasratnya yang tiba-tiba memuncak karena suara Poppy.“A-apa maksud Anda?”“Panggil namaku,” bisik Robin di dekat telinga Poppy.“R-Robin ….”Mendadak, Robin menggigit kecil ceruk leher Poppy. Lenguhan singkat lolos dari mulut Poppy, membuat Robin mengisap lehernya semakin kuat, seakan-akan sedang berusaha menguras habis darahnya.“Tuan Rob
Poppy menghela napas berat. Sejak tadi dia diam dan hanya menjawab Verdi ketika bertanya namanya. Mereka bahkan tidak sempat bercakap-cakap karena Robin segera mengusir Verdi. Dia tersenyum pada Verdi pun hanya untuk menunjukkan keramahan. ‘Tersenyum genit? Kapan aku melakukan itu?’ batin Poppy, heran dengan tuduhan Robin yang tak pernah dia lakukan. “Maaf.” Poppy tetap menunjukkan penyesalan untuk menyudahi pembicaraan itu. Robin justru terlihat tak senang. Permintaan maaf Poppy seperti menyatakan bahwa wanita itu menyesal telah tersenyum genit pada pria lain. Namun, Robin menahan kemarahannya agar tak membuat Poppy semakin takut padanya. “Jangan ulangi lagi. Aku tidak ingin mendengar ada orang yang mengatakan jika istriku adalah seorang wanita perayu.” “Baik, Tuan.” Jika hanya berdua saja, Poppy tak merasa harus memanggil nama Robin dan membuatnya canggung. “Robin.” Robin mengoreksi panggilan Poppy. “Baik.” “Ulangi ucapanmu yang benar!” “Baik … Robin,” ujar Poppy dengan sua