Antonio yang beli, tapi pakai uang Robin.. yaa nggak sepenuhnya salah sih 🌝
BUK! Robin spontan memukul sandaran sofa. Sudah berapa kali bibir manis istrinya menyebut nama Antonio seharian ini? “Apa kau sebodoh ini? Antonio hanya melakukan apa pun yang aku perintahkan! Semua yang kau gunakan dan miliki itu berasal dariku!” Robin menarik ujung gaun Poppy, menyentak dengan jengkel. Tarikannya yang terakhir cukup kencang hingga membuat Poppy tesentak maju. Sayangnya, harapan Robin melepaskan gaun yang seolah-olah tak sengaja itu tidak berhasil. “Maaf …,” tutur Poppy pelan. “Aku memberimu ponsel bukan untuk berselingkuh!” Semua tuduhan Robin selalu sama. Semua berujung tentang perselingkuhan. Poppy tak tahu masalah besar apa yang pernah mengguncang kehidupan Robin sehingga terus-menerus mengkhawatirkan perselingkuhan. Namun, lama-kelamaan Poppy kesal karena dituduh secara tidak adil. Dia hanya ingin memberikan makanan untuk Antonio! “Saya tidak berselingkuh, Tuan! Kenapa Anda selalu cemburu begini?!” “Apa? Aku cemburu?” Robin menunjuk diri sendiri sambil
Poppy mengerang lirih sambil berusaha membebaskan diri. Matanya masih terpejam, sementara dia tak bisa bergerak karena tubuh besar yang melingkar di badannya. “Ugh … lepas …,” rintih Poppy sambil mendorong sesuatu dari perutnya. Kelopak matanya langsung terbuka ketika menyadari bahwa tubuhnya terkunci oleh dekapan seseorang. Dia seharusnya sendirian di apartemen barunya. Lalu siapa yang tidur memeluk dirinya dari belakang? Poppy panik ingin langsung melompat dari ranjang. Namun, orang itu semakin erat memeluknya, mengusap-usap wajahnya di punggung Poppy yang hanya memakai gaun tidur tipis. ‘Sejak kapan aku ganti gaun tidur?!’ jerit Poppy dalam hati, takut penyusup di kamarnya bangun dan melukainya. Meski masih setengah tidur, Poppy yakin jika semalam dia langsung tidur setelah menyiapkan makan malam untuk Robin. Dia belum berganti pakaian dan jelas-jelas mengunci pintu kamarnya. Poppy perlahan mengeluarkan tangan kanannya dari jeratan lengan kekar orang itu, lalu mengambil ponsel
Kebahagiaan yang memenuhi hati Poppy berangsur menghilang. Pikirannya mulai sibuk memahami ucapan Robin yang penuh kontradiksi. ‘Cemburu, tetapi tidak mempunyai perasaan padaku? Bukankah itu aneh?’ “Jangan banyak berpikir! Kau hanya boleh memikirkanku seorang,” ujar Robin dengan suara berat dan dalam. Robin menarik celana Poppy sambil merangkak turun. Dia mengangkat kedua kaki Poppy hingga menekuk di antara kepalanya, lalu membenamkan kepala di tengahnya. “Tuan … jangan … itu … itu … kotor ….” Kendati demikian, Poppy tetap menerima semua yang Robin lakukan padanya. Poppy hanya bisa pasrah menghadapi kebuasan Robin di atas ranjang setelah lama merindukannya … tanpa perasaan? Di puncak kepuasan yang didapatkannya, Robin berbisik lirik, “Oh, aku sangat merindukan ini ….” Kemudian menambahkan setelah tanpa sadar mengungkap isi hatinya, “Aku hanya merindukan tubuhmu, tidak denganmu.” Meskipun menyakitkan, Poppy sepertinya mulai terbiasa dengan ungkapan perasaan Robin yang membingungk
Akhirnya, Robin dan Poppy sampai di kediaman Dante ketika langit hampir sepenuhnya gelap. Robin membuktikan ucapannya dengan mengurung Poppy ke dalam pelukan gairahnya selama berjam-jam, sengaja agar Antonio menunggu lama. Saat keluar dari mobil, Poppy hampir terjatuh, dan sontak memegang lengan Robin. Kakinya sangat lemas karena ulah suaminya. “Maaf.” Poppy segera melepas tangannya ketika berhasil menjaga keseimbangannya. Namun, Robin malah menariknya semakin mendekat. Robin berjalan sambil merangkul Poppy saat menuju ke kamar Dante, sesekali menyeringai selagi melirik pria di belakangnya. Antonio mengikuti langkah mereka dengan mempertahankan jarak agar tak terlalu dekat. “Poppy!” seru suara pria yang terdengar riang. Poppy sontak berhenti melangkah, menoleh ke arah datangnya suara. Wajahnya berseri-seri melihat Rafael yang berjalan cepat ke arahnya. “Lanjut jalan!” titah Robin sambil menyeret rangkulan di pundak Poppy, tak membiarkan Poppy balas menyapa adik iparnya. “
“Kau … sudah di sini …, Robin,” ujar Dante, mengangguk kepada Luca, memberi isyarat untuk mendekat. Orang kepercayaan Dante itu langsung membantunya duduk bersandar, meletakkan tangan kiri Dante yang tampak kaku ke atas pangkuan. Dante adalah pengguna tangan kiri, kidal, yang membuat Poppy berpikir bahwa itulah hukuman dari langit karena Dante selalu memakai tangan itu untuk menyakiti orang. Melihat kondisi Dante cukup membingungkan Poppy. Di lain sisi, dia juga merasa kasihan padanya. “Aku baru pulang kemarin dan baru bisa mengunjungimu sekarang,” balas Robin. Tatapan kejam Dante yang sesaat dilihat Poppy berubah hangat ketika menatap cucu tertuanya. Tampaknya, Dante benar-benar menyayangi cucunya meskipun tak pernah peduli pada cucu-cucu orang lain yang dihabisi olehnya. “Aku senang kau masih akur dengan istrimu. Kupikir, kau hanya pura-pura menikah karena desakanku.” Cara bicara Dante begitu pelan dan sedikit tak jelas, namun masih bisa dipahami. “Kami benar-benar menikah.” P
Rahang Dante mengeras. Dia paling tak suka jika Robin mulai bersikap tak sopan. Cucu menantu dan ibunya sedang terharu, tetapi Robin malah mentertawakan mereka. “Jaga sikapmu, Robin,” tegur Dante. Mulut Robin masih membentuk senyuman biarpun sudah berhenti tertawa. Hal tersebut membuat Carita ikut kesal. Carita sudah melakukan banyak persiapan untuk hari ini. Namun, sandiwara sempurnanya hanya ditertawakan oleh Robin Luciano. ‘Benar kata orang, Robin adalah pria yang mengerikan. Dia tidak menunjukkan simpati sedikitpun pada istri palsunya.’ Semua prasangka Poppy dan ucapan Flint benar. Carita memang bekerja sama dengan Saul Martinez untuk mengurung Poppy di Pulau Solterra. Dia bahkan mengeluarkan banyak dana untuk mempertahankan Poppy di sana. ‘Jika bukan karena Robin Luciano, Stella tidak akan pernah bisa keluar dari pulau itu. Sekarang aku harus berlutut begini supaya gadis bodoh ini tidak berulah,’ geram Carita dalam hati. Semua kemewahan yang dinikmati Carita saat ini adala
Wajah Poppy mengernyit sekilas tatkala melihat seorang wanita berdiri di dekat Antonio. Wanita itu menutup mulutnya dengan gerakan dramatis seakan tak memercayai indra penglihatannya ketika melihat Poppy. Dia kemudian menangis dengan tatapan bahagia dan terharu. “Ibu sangat merindukanmu, Rose ….” Wanita yang mengaku ibu Poppy itu berjalan dengan gerakan lambat, seakan ragu mendekat. Poppy berdiri, masih menunjukkan keterkejutan. Air matanya tiba-tiba mengalir ketika wanita itu memeluknya. “Ibu?” “Benar, ini ibu ….” Wanita itu memeluk Poppy sambil memejamkan mata untuk menahan tangisannya. Poppy sebenarnya tak paham apa yang sedang terjadi. Dia pun tak mengenal wanita itu. Namun, dia yakin jika Robin yang menyuruh Antonio untuk memanggil wanita itu demi membantunya. “Kau datang di saat yang tepat, Ibu Mertua.” Robin mengangguk-angguk pelan dengan mata yang mengedip lambat, menghayati perannya. Dia menepuk punggung Poppy dan ibu palsunya yang masih melepas rindu dalam pelukan. Wa
“J-jangan dekat-dekat.” Poppy mendorong Robin. Perhatiannya lebih tertuju pada wajah Robin yang seperti akan bersandar di bahunya dibanding kejutan yang akan Robin berikan. “Apa kau memintaku bicara dengan suara keras agar semua orang mendengar?” Bahu dan kepala kiri Poppy bergetar ketika merasakan embusan napas Robin menerpa ceruk lehernya. Dia sedikit bergeser ke kanan, namun Robin malah menariknya lagi. “Apa lagi yang ingin Anda sampaikan?” “Tsk!” Robin berdecak sambil mencubit gemas bibir istrinya. “Jaga cara bicaramu di depan keluargaku.” Tatapannya terpusat pada bibir Poppy hingga wajahnya pelan-pelan mendekat. Poppy yang melihat bibir Robin sedikit terbuka seperti akan menciumnya segera berpaling ke arah lain. “Aku sedang bicara denganmu. Tsk!” “Dari tadi kau bilang akan bicara, tapi tidak mengatakan apa-apa dengan jelas.” Poppy hanya melirik suaminya. Robin pun tak tahu apa yang ingin dikatakan lagi. Dia merasa sudah memberi tahu semua kepada Poppy. Namun, wajahnya teru
“Kita tidak perlu mengkhawatirkan keluarga mafia lain yang saat ini saling bertikai.”Usaha Robin sedikit demi sedikit telah berhasil. Ada beberapa kepala mafia dikabarkan menghilang setelah dia menjadi penguasa keluarga mafia Luciano. Namun, nama Robin tak pernah terseret dalam perselisihan mereka.Robin yang telah mendapatkan akses penuh pada klien-kliennya dengan mudah mengadu domba para keluarga mafia itu. Memang cara itu terkesan pengecut, tetapi Robin berusaha sebisa mungkin melindungi orang-orangnya dari kematian akibat pertarungan dengan orang-orang kejam itu.Sementara itu, dia akan fokus menghancurkan yang terdekat lebih dulu, yaitu Pulau Solterra, sebelum mencari target lain yang termudah dan sedang dalam masa keterpurukan akibat perkelahian dengan kelompok lain.“Buat orang-orang di markas Luciano mabuk saat Saul menyerang. Biarkan mereka kalah telak sehingga kita punya alasan untuk membalas. Setidaknya kita harus menunjukkan pada pemimpin lain kalau kita tidak menyerang l
[Keluarlah dari rumah kakakku tiga hari lagi. Pengawal Robin selalu berjaga di area batas rumah, tapi ada satu tempat yang tidak boleh dimasuki siapa pun. Pergilah ke tempat itu dan aku akan menjemputmu. Percayalah padaku kali ini saja, Poppy. Aku berjanji akan melindungimu. Satu hal lagi, jangan percaya siapa pun di rumah kakakku, termasuk gadis yang mengaku sebagai teman Robin.]Ada sebuah peta kediaman Robin yang digambar kasar di bawah tulisan tangan Rafael. Serta, titik yang ditandai dengan tinta merah yang dimaksud Rafael untuk melarikan diri.“Untuk apa aku keluar diri dari sini?”Robin sebelumnya menegaskan jika Poppy tak perlu mengkhawatirkan apa pun selama tidak keluar dari kediaman. Sementara adik Robin justru mengatakan hal yang sebaliknya.“Sebenarnya, apa yang sedang terjadi? Apa Robin dan Rafael sedang bertengkar hebat?”Rasa penasaran Poppy pada Alice belum terjawabkan. Kini, Rafael menambah beban pikirannya semakin banyak.[Bakar surat ini setelah kau membaca dan mel
Poppy kembali melanjutkan langkah. “Tidak mungkin. Robin malah menyuruhku untuk menjaga Alice.” Dia kemudian terdiam dengan berbagai pikiran setelah mengatakannya. Ucapan Marcello ada benarnya. Namun, Poppy tetap yakin jika Robin tak mungkin mau membantu Alice, apalagi sampai menyuruhnya tinggal di kediaman jika memang ada kecurigaan seperti dugaan Marcello. “Kalau dia bisa menembak sebaik itu, bukankah mustahil anak buah Saul bisa menculiknya?” gumam Poppy. Marcello tak mendengarkan Poppy selagi berpikir keras, kemudian dia berkata, “Nyonya, demi keamanan, saya harap Anda menjaga jarak dengan Nona Alice untuk sementara waktu. Saya akan bertanya dulu kepada Tuan Robin, siapa sebenarnya gadis itu.” “Tidak usah! Aku saja yang bertanya pada Robin.” Poppy sudah cukup mahir menyembunyikan kekhawatirannya. Fakta bahwa Alice bisa menembak seperti profesional memang cukup meresahkan. Ucapan Marcello pun sebenarnya juga sempat terpikir dalam benaknya. Terlebih lagi, Poppy tadi melihat ke
“Saya akan menemani Anda menemui Tuan Rafael, Nyonya.” Marcello menawarkan diri. Poppy meletakkan senjata selagi mengangguk. Dia terburu-buru mengikuti Donna yang berjalan cepat meski sepertinya melupakan sesuatu. Saat melewati bangunan utama, Poppy tiba-tiba ingat sesuatu yang dilupakannya itu. “Tunggu! Ponselku ketinggalan.” Siapa tahu Robin akan menghubunginya. Akhir-akhir ini Poppy sering memakai ponsel, menanti kabar Robin. “Biar saya ambilkan, Nyonya,” ucap Marcello. “Tidak perlu.” Poppy berbalik sambil berlari kecil. Namun, Marcello tetap mengikuti. Ketika Marcello sedikit membuka tempat latihan menembak, dia langsung menatap Poppy dengan dahi berkerut, begitu pula dengan Poppy. Terdengar suara tembakan dari dalam ketika biasanya tak ada yang berani masuk ruangan itu saat jam latihan Poppy. Poppy mendadak khawatir ketika ingat Alice masih ada di dalam. “Alice masih di sana, bukan? Bagaimana kalau ada penyusup yang melukainya?” “Mari ikuti saya, Nyonya. Jangan
“Jadi, kau selama empat hari sibuk sampai tidak pulang karena masalah ini? Aku lebih berharap kau ada di sisiku ….”Keinginan Poppy sedikit berubah. Dia lebih menginginkan kehadiran Robin dibanding mengurus masa lalu yang tak dapat diulangi lagi, meski dia masih tak menyangkal kebahagiaan ketika Robin membantunya mengambil hak-haknya yang telah dirampas Carita.Di markas lain Luciano, tempat berkumpul para pengikut setia Robin, suami Poppy itu sedang mengetik sesuatu di ponsel. Banyak hal yang ingin dia katakan kepada Poppy, termasuk mengancamnya agar tidak tersenyum di hadapan pria lain.Namun, dia malah menghapus semua pesan yang sudah diketik itu. Akhirnya, Robin hanya mengetik kalimat seperlunya saja.[Semua bukti bahwa Carita terlibat dengan organisasi perdagangan manusia sudah terkumpul. Tapi, ibu tirimu menghilang saat anak buahku mendatanginya untuk melayangkan tuntutan secara hukum. Kau tidak perlu khawatir atau takut selama kau tidak meninggalkan kediaman.]
Firasat Poppy benar. Dia begitu sakit hati saat Robin berniat mengembalikan identitas aslinya. ‘Aku seharusnya senang. Tanpa usaha apa pun, aku bisa kembali ke kehidupanku semula. Tapi, rasanya sakit sekali saat tahu kau mungkin akan melepasku,’ batin Poppy, diam ketika Robin melepas tangannya dan melangkah masuk ruang kerjanya, seakan-akan saat ini adalah masa-masa terakhirnya bisa memegang tangan pria itu. “Mari masuk, Nyonya.” Poppy melangkah dengan berat. Namun, ketika masuk ke ruangan kerja suaminya, pikirannya segera teralihkan oleh pemandangan di hadapannya. Ruang kerja yang luas itu tampak menciut dengan banyak pria besar memenuhi ruangan. Poppy tak bisa menahan kekagetan ketika melihat sosok yang tak terduga di antara mereka, orang yang pernah memohon bantuannya agar mau memintakan izin kepada Robin karena mengaku takut padanya. Namun, orang itu sekarang justru duduk di tengah-tengah pria berbadan besar seperti seorang bos tanpa jas snellinya. “Bagaimana kabar Anda, Ny
‘Kenapa dia memanggilku dengan nama itu?’ batin Poppy gelisah. Entah mengapa dia justru tak senang ketika Robin memanggilnya dengan nama asli. Sudah lama dia berharap Robin memanggil nama Poppy, namun Robin justru seperti ingin menunjukkan jarak, seakan ingin mengembalikan Poppy ke tempat asalnya dengan identitas Stella Valentine.“Apa … maksudmu?”Ucapan Robin yang menyuruhnya untuk bisa melindungi diri sendiri bisa memiliki banyak makna. Akan tetapi, hanya ada satu hal yang muncul di benak Poppy. Robin mungkin akan meninggalkan dirinya sehingga tak akan bisa melindunginya lagi.“Kembali pada posisi menembak,” titah Robin, enggan membicarakan masalah itu.Poppy akhirnya kembali melanjutkan latihan. Mereka hanya membicarakan tentang teknik menembak yang benar, tanpa membahas perkataan Robin sebelumnya.Meski Poppy terlihat sudah melupakan ucapan Robin, namun dalam kepalanya masih dipenuhi tanda tanya. Dia tak berani bertanya ataupun menyela Robin yang bersungguh-sungguh mengajarinya.
DEG!Robin berhenti berjalan selagi meremas dadanya. Entah mengapa dia tiba-tiba merasakan seseorang memanggilnya. Kemudian, kedua alisnya terangkat ketika terbersit firasat buruk.“Apa yang terjadi dengan perempuan itu?” gumamnya.Dia segera mengayunkan kaki dengan cepat. Hingga akhirnya, dia sampai di lapangan latihan tembak tak sampai lima menit.“Apa yang kau lakukan, Jose?!” bentak Robin ketika dia melihat istrinya sedang mengarahkan senjata pada salah satu tawanan mereka.Suara keras Robin biasanya membuat dada Poppy bergetar takut. Namun, sekarang dia sangat lega mendengar suara itu, hingga ingin melempar senjata dan berlari memeluk suaminya.“Apa maksud Anda, Bos?” Jose tak memahami kemarahan Robin.“Aku menyuruhmu mengajarinya menembak, bukan membunuh orang!”Robin mengumpat dalam hati. Dia seharusnya tak teralihkan pada masalah kecil seperti cincin pernikahan. Karena kelalaiannya, Poppy mungkin akan mengingat traumanya.“Oh, kupikir akan lebih baik jika Nyonya Poppy belajar
Sementara itu, Robin tak tahu kesulitan apa yang sedang dihadapi istrinya. Dia justru sibuk memilih-milih cincin pernikahan yang tampak elegan, namun dapat terlihat semua orang dengan jelas.“Yang ini sepertinya akan cocok di jari manisnya.” Robin tersenyum puas sambil melipat tangan di depan dada dan menyandarkan punggung di kursinya. Dia membayangkan Poppy akan tersenyum lebar sambil memamerkan cincin itu kepada semua orang, lalu mengatakan bahwa dia adalah milik Robin Luciano.“Tuan, saya sudah datang.” Antonio membuka pintu ruangan itu, lalu menghampiri Robin, berdiri di dekat kursinya. “Anda akan membeli cincin itu?” tanyanya kemudian.Robin memicingkan mata, mengamati gerak-gerik mencurigakan tangan kanannya itu. Antonio sedikit memiringkan kepala ketika melihat cincin dengan berlian tanpa warna. Dia terlihat tak menyukai ide Robin membeli cincin itu.“Cincin itu tidak cocok untuk Anda, Tuan.”“Apa kau pikir aku yang akan memakainya?”“Oh, Anda ingin membelikan cincin itu untuk