Pagi hari di kediaman keluarga Charles dibungkus dalam keheningan yang tenang, hanya terdengar suara burung-burung kecil di kejauhan. Aroma kopi segar menyebar lembut di udara, menyelinap ke sudut-sudut rumah yang megah namun penuh aura kewaspadaan. Penjaga berseragam hitam masih setia berjaga di setiap sudut, menciptakan suasana yang tak pernah benar-benar santai.
Lucas melangkah pelan menuju ruang kerja kakeknya, Harry, yang terletak di ujung lorong panjang. Ruangan itu adalah tempat di mana banyak keputusan penting dibuat, tempat yang penuh dengan sejarah kelam dan kisah-kisah tentang kejayaan, kekuasaan, serta pengkhianatan. Lucas tahu, kakeknya memanggilnya untuk alasan yang lebih dari sekadar obrolan santai.Tanpa mengetuk, Lucas membuka pintu dan melangkah masuk. Harry duduk di balik meja kayu mahoni besar, dikelilingi rak-rak penuh buku tua dan beberapa peta tua yang tergantung di dinding. Pria tua itu menatap cucunya dengan sorot mata tajam yang penuh wibaLangit sore mulai berubah jingga ketika Lucas membawa Emma ke dalam mobilnya. Rencana awal mereka adalah kembali ke kediaman Lucas setelah bertemu Kakek Harry, tetapi pria itu tiba-tiba memutuskan untuk mampir ke suatu tempat terlebih dahulu.“Ke mana kita?” tanya Emma, menoleh ke arah Lucas yang fokus menyetir.Lucas tidak langsung menjawab. Ia tetap tenang dengan tatapan lurus ke jalanan. “Aku ingin mengunjungi makam ibuku.”Emma terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk kecil. "Baiklah," jawabnya pelan.Mereka tidak langsung menuju ke pemakaman. Lucas lebih dulu menghentikan mobil di depan sebuah toko bunga kecil yang terletak di sudut kota. Penampilannya sederhana, dengan pot-pot bunga berjejer di depan pintu masuk, memberikan kesan hangat di tengah hiruk-pikuk kota.Saat mereka masuk, seorang wanita paruh baya yang mengenakan celemek menyambut mereka dengan senyum ramah. "Lucas, kau datang lagi," sapanya dengan nada akrab.
Di sebuah rumah mewah di pusat kota, seorang pria menjatuhkan tas kulitnya dengan kesal ke atas meja. James Anderson baru saja kembali dari perjalanan panjang yang melelahkan. Perjalanan pulang dari desa terpencil tempat ibunya tinggal bukanlah hal yang mudah. Butuh satu hari penuh, melewati jalanan berbatu dan kendaraan umum yang tidak nyaman, hanya untuk kembali ke tempat tinggalnya ini.Marissa, istrinya, yang sedang duduk di sofa sambil membaca majalah, menoleh ketika mendengar suara keras dari tas yang dijatuhkan James. Ia mengangkat alis, menyadari ekspresi suaminya yang tidak biasa."Kau kenapa?" tanyanya, menutup majalahnya dan menatap James dengan penuh perhatian.James tidak langsung menjawab. Ia berjalan ke dapur, menuangkan segelas air, lalu meminumnya dalam sekali teguk sebelum menghembuskan napas panjang. "Aku terlambat," gumamnya dengan nada frustrasi.Marissa mengernyit. "Terlambat untuk apa?"James melemparkan tubuhnya ke
James Anderson duduk di kursi kayu tua di sebuah kedai teh kecil yang tersembunyi di sudut pasar bawah tanah. Tangannya yang kasar perlahan membolak-balik halaman sebuah buku katalog tua, matanya terpaku pada gambar kalung yang terlihat sangat familiar baginya.Kalung itu—dengan liontin berbentuk bulan sabit berukir rumit dan batu kecil berwarna kebiruan di tengahnya—bukan hanya sekadar perhiasan biasa. Itu adalah milik ibunya, sesuatu yang diwariskan secara turun-temurun di keluarga mereka. Mungkin, satu-satunya barang berharga yang pernah mereka punya. Namun, yang membuatnya terkejut adalah fakta bahwa kalung tersebut juga muncul dalam katalog ini, tercantum sebagai bagian dari satu set perhiasan kuno yang berasal dari peradaban yang telah lama punah."Bagaimana bisa...?" gumamnya, ujung jarinya menyentuh gambar itu seolah mencoba mencari jawaban. Kalung yang tampak sederhana, ternyata memiliki nilai yang tiada tara. Jika saja ia mengetahuinya
Suasana di ruang kerja Lucas terasa lebih dingin dari biasanya. Langit senja memancarkan warna jingga samar yang masuk melalui jendela besar di belakangnya, tapi Lucas sendiri tampak tidak menikmati pemandangan itu.Ia duduk di kursinya, jemarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja kayu dengan ritme pelan. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Sejak beberapa jam lalu, anak buahnya memberi laporan bahwa seseorang sedang mencari Emma. Lucas langsung menginstruksikan penyelidikan lebih lanjut, dan kini ia menunggu hasilnya.Pintu diketuk.“Masuk,” ujar Lucas tanpa mengalihkan pandangannya dari meja.Stefan, salah satu orang kepercayaannya, masuk dengan langkah tegas, membawa laporan yang Lucas tunggu. Pria itu berdiri tegak di hadapan Lucas.“Kami sudah mendapatkan informasi lengkapnya, Boss,” kata Stefan.Lucas mengangkat kepalanya, menatapnya tajam. “Siapa orang itu?”“Namanya James Anderson. Seorang kolektor barang antik,”
Bar yang dipenuhi asap rokok dan suara dentingan gelas itu sudah menjadi tempat favorit James Anderson sejak lama. Ia sering menghabiskan malam di sini, melepas lelah dengan segelas bourbon mahal dan percakapan tanpa makna dengan orang-orang yang sama-sama mencari hiburan sementara.Namun, malam ini berbeda.James tidak datang untuk bersenang-senang. Setelah berhari-hari bertanya ke sana kemari tentang keberadaan Emma, ia mulai merasa frustasi. Semua jalur yang ia coba selalu menemui jalan buntu. Tidak ada yang tahu di mana gadis itu sekarang.Dengan perasaan lelah, ia duduk di kursi bar, menyesap minumannya perlahan. Suasana di sekelilingnya riuh, tetapi pikirannya sibuk dengan satu hal—Emma dan kalungnya.Lalu, seseorang duduk di sampingnya."James Anderson," suara berat seorang pria menarik perhatiannya.James menoleh dan mendapati seorang pria dengan jas hitam mahal duduk di sebelahnya. Wajah pria itu dikenalinya—Robert Langs
Keesokan malamnya, James kembali memasuki bar yang sama, tempat ia mendapatkan informasi yang mengacaukan pikirannya semalam. Namun, kali ini, ia datang bukan untuk minum atau bersantai, melainkan untuk mendapatkan jawaban yang lebih jelas.Ia segera menemukan Robert Langston di sudut ruangan, duduk santai dengan segelas whiskey di tangannya. Pria itu tersenyum tipis saat melihat James mendekat."James," sapa Robert sambil mengangkat gelasnya. "Jarang sekali aku melihatmu dua malam berturut-turut di sini. Apa kau mulai menyukai suasana bar ini?"James duduk di kursi di seberang Robert tanpa basa-basi. "Aku ingin bertanya sesuatu," katanya langsung ke inti pembicaraan.Robert mengangkat alis. "Oh? Tentang apa?"James menghela napas pelan, berusaha menyusun kata-kata dengan hati-hati. Ia tidak bisa gegabah. "Tentang pelelangan yang kau sebutkan kemarin. Aku ingin tahu... siapa yang membelinya?"Senyum di wajah Robert sedikit memuda
Di dalam kastil, di salah satu ruangan yang terasa lebih hangat dibanding suasana di luar, Emma duduk di sofa dengan secangkir teh di tangannya. Ia tengah menikmati keheningan sebelum suara langkah kaki mendekat, diikuti dengan suara ketukan ringan di pintu.Emma menoleh, tepat saat Lucas masuk tanpa menunggu jawaban. Pria itu tampak santai, mengenakan kemeja hitam dengan lengan tergulung hingga siku. Namun, meskipun ekspresinya terlihat tenang, ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat Emma tahu bahwa ini bukan kunjungan biasa.Lucas menutup pintu di belakangnya, lalu berjalan mendekat sebelum akhirnya duduk di kursi berhadapan dengannya.“Ada sesuatu yang perlu kuberitahukan padamu,” ucapnya langsung, membuat Emma menegakkan punggungnya sedikit.Tatapan pria itu begitu tajam, membuatnya merasa perlu untuk mendengar dengan saksama.“James Anderson telah mengetahui keberadaanmu di sini.”Emma mengerjap. Dadanya terasa sedikit
James Anderson berdiri di depan gerbang utama, matanya meneliti sekeliling dengan penuh perhitungan. Ia telah memperkirakan kesulitan besar untuk bisa masuk ke tempat ini, tetapi yang terjadi justru sebaliknya.Penjaga yang seharusnya menghalangi langkahnya hanya menatap sekilas sebelum mengizinkannya masuk, seolah kedatangannya sudah diprediksi jauh sebelumnya.James sempat ragu. Tidak ada pemeriksaan ketat, tidak ada pertanyaan mendetail, bahkan tidak ada ancaman tersirat.Semuanya terasa terlalu mudah.Namun, ia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Dengan napas yang teratur, ia melangkah masuk, melewati lorong panjang dengan pilar-pilar tinggi di kedua sisinya. Suasana di dalam kastil terasa hening, hanya terdengar suara langkah sepatunya yang bergema di lantai marmer.Seorang pelayan membawanya menuju sebuah ruangan luas dengan pencahayaan temaram. Di tengah ruangan itu, di depan perapian yang menyala lembut, duduk seorang gadis dengan punggung tegak dan ekspresi wajah yang
Emma menatap langit malam yang terbentang luas di atasnya. Kilauan bintang-bintang tampak berkelip di antara gelapnya malam, menciptakan pemandangan yang menenangkan. Angin berembus lembut, membelai kulitnya dengan kesejukan yang menenangkan. Ia berdiri di samping Lucas, di sebuah bukit kecil yang menawarkan pemandangan kota dari kejauhan. Tempat ini begitu sunyi, seolah terpisah dari dunia yang penuh hiruk-pikuk di bawah sana. Emma mengerti bahwa Lucas tidak membawa dirinya ke sini tanpa alasan. "Tempat ini..." Emma membuka suara, memecah keheningan di antara mereka. "Kenapa kau membawaku ke sini?" Lucas mengalihkan pandangannya dari hamparan kota dan menatap Emma. "Ini tempat yang sering kudatangi saat aku butuh berpikir," jawabnya pelan. "Di sini, aku bisa merasa bebas. Tidak ada gangguan, tidak ada tekanan, hanya aku dan pikiranku sendiri." Emma mengangguk mengerti. Ia bisa merasakan ketenangan yang sama. Dalam sebulan terakhir, hidup mereka penuh dengan kekacauan. Konflik
Matahari baru saja terbit di ufuk timur, menyapu kediaman Lucas dengan cahaya keemasan yang lembut. Setelah malam yang panjang dan penuh ketegangan, pagi ini terasa lebih tenang. Tidak ada lagi ancaman yang membayangi, tidak ada lagi pertarungan yang harus dihadapi. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Lucas bisa menarik napas lega.Ia berdiri di balkon kamarnya, menatap hamparan taman di bawah sana. Udara pagi yang sejuk menyentuh wajahnya, membawa aroma embun yang menyegarkan. Namun, pikirannya masih terpusat pada satu hal—Emma.Wanita itu telah melalui begitu banyak hal. Ia terluka karena menjadi bagian dari dunianya, dunia yang penuh dengan bahaya dan intrik. Tetapi, meskipun demikian, Emma tidak pernah menunjukkan penyesalan. Ia tetap berada di sisinya, menghadapi semuanya dengan keteguhan hati yang luar biasa.Lucas tahu, ada satu hal yang harus ia lakukan sekarang.Tanpa ragu, ia melangkah keluar dari kamarnya dan menuju ke kamar te
Malam di kediaman Lucas begitu sunyi. Udara dingin menyusup melalui jendela besar di ruang kerjanya, tetapi pria itu tetap duduk tegak di balik meja kayu besar, menatap laporan-laporan yang tersusun rapi di hadapannya. Setelah semua konflik yang ia hadapi, organisasi mulai kembali stabil. Ia telah menyingkirkan Morelli dan Vasquez, membuktikan bahwa ia bukan pemimpin yang bisa diremehkan. Namun, Lucas tahu bahwa masih ada satu orang lagi yang harus ia hadapi—ayahnya.Seakan menjawab pikirannya, ketukan keras terdengar di pintu ruang kerjanya. Lucas tidak terkejut. Ia sudah menduga bahwa cepat atau lambat pria itu akan datang menemuinya."Masuk," katanya, suaranya tetap dingin dan terkendali.Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan sosok Antonio Aldrin. Meski usianya sudah semakin tua, auranya masih menekan, menandakan bahwa ia adalah seseorang yang telah lama terbiasa dengan kekuasaan. Namun, malam ini, ada sesuatu yang berbeda pada dirinya. Sorot matanya t
Malam sudah larut, tetapi Lucas masih duduk di ruang kerjanya, menatap peta besar yang terhampar di mejanya. Titik-titik merah menandai lokasi para sisa anak buah Morelli dan Vasquez yang masih berkeliaran. Beberapa di antara mereka sudah melarikan diri ke luar negeri, tetapi sebagian kecil masih bertahan, berusaha mencari perlindungan.Lucas menghela napas panjang. Satu langkah lagi, dan ini semua akan selesai.Pintu ruang kerja terbuka tanpa ketukan. Stefan masuk dengan ekspresi tegas. "Semuanya sudah siap. Anak buah kita sudah berada di posisi masing-masing."Lucas mengangguk, lalu berdiri. "Bagus. Pastikan tidak ada celah bagi mereka untuk melarikan diri.""Kita juga sudah mengamankan jalur komunikasi mereka. Jika mereka mencoba meminta bantuan, pesan itu tidak akan pernah sampai," tambah Stefan.Lucas menyeringai kecil. "Kali ini, aku ingin memastikan mereka tidak punya tempat untuk kembali."Stefan menatapnya sejenak sebelu
Pagi menjelang dengan tenang di kediaman Lucas. Sinar matahari keemasan menyelinap melalui celah-celah jendela besar, menerangi ruangan dengan kehangatan yang lembut. Suara burung di kejauhan terdengar samar, berpadu dengan desiran angin yang berembus perlahan.Emma membuka matanya perlahan. Rasanya tubuhnya lebih ringan, meski masih ada sedikit nyeri di lengannya yang belum sepenuhnya pulih. Saat ia menggerakkan kepalanya, matanya langsung menemukan sosok Lucas yang masih duduk di sampingnya, menatapnya dengan ekspresi lembut."Kau tidak tidur?" suara Emma serak karena baru bangun.Lucas menggeleng pelan. "Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja."Emma tersenyum kecil. Ia tahu Lucas masih merasa cemas, tetapi ia juga tahu pria itu tidak akan mengatakannya secara langsung. Jadi, ia hanya meraih tangan Lucas dan menggenggamnya erat. "Aku sudah lebih baik. Kau tidak perlu terus mengkhawatirkanku."Lucas menghela napas, lalu akhirnya i
Malam telah larut ketika Lucas duduk di ruang kerjanya, menatap peta besar yang terbentang di atas meja. Wilayah kekuasaan yang sebelumnya dikuasai Morelli dan Vasquez kini sepenuhnya berada di bawah kendalinya. Namun, meskipun kedua orang itu telah ditangkap dan dihabisi, Lucas tahu bahwa masalah tidak berhenti di situ. Stefan berdiri di sampingnya, melaporkan perkembangan terbaru. "Beberapa anggota bawahan Morelli dan Vasquez masih bertahan. Mereka kehilangan pemimpin, tetapi tidak kehilangan ambisi." Lucas menghela napas. "Aku sudah menduga ini. Mereka tidak akan menyerah begitu saja." "Tepat," Stefan mengangguk. "Ada laporan bahwa sebagian dari mereka mencoba membentuk kelompok baru. Mereka masih belum cukup kuat untuk menantang kita secara langsung, tetapi jika dibiarkan, mereka bisa menjadi ancaman dalam beberapa bulan ke depan." Lucas menatap peta di hadapannya. "Siapa pemimpin mereka sekarang?" Stefan
Ruangan itu gelap dan dingin, hanya diterangi oleh satu lampu gantung yang menggantung rendah di langit-langit, memberikan cahaya redup yang membuat bayangan panjang di dinding. Bau debu bercampur darah masih terasa di udara, dan suara napas berat memenuhi keheningan.Di tengah ruangan, dua pria yang terikat pada kursi dengan tangan ke belakang tampak gemetar. Morelli dan Vasquez, dua pemimpin organisasi yang berani mengkhianati Lucas, kini tidak lebih dari bayangan diri mereka yang dulu.Lucas berdiri di depan mereka, mengenakan kemeja hitam dengan lengan yang digulung hingga siku. Matanya dingin, penuh ketegasan. Ia tidak langsung berbicara, membiarkan ketegangan menggantung di udara, membiarkan ketakutan menyusup ke dalam tulang kedua pria itu.Stefan berdiri di sudut ruangan, mengamati dengan ekspresi santai, tetapi matanya penuh kewaspadaan. Beberapa anak buah Lucas berjaga di sekitar, memastikan tidak ada celah bagi Morelli dan Vasquez untuk melarikan diri.Akhirnya, Lucas menar
Suasana di dalam kastil terasa tegang. Para penjaga masih berjaga di berbagai sudut, memastikan tidak ada lagi penyusup yang berkeliaran. Stefan telah memerintahkan pembersihan menyeluruh, tetapi atmosfer tetap dipenuhi ketegangan.Di dalam salah satu kamar di sayap barat, Emma terbaring di tempat tidur dengan perban yang melingkari bahunya. Dokter pribadi keluarga Aldrin baru saja selesai membersihkan dan menutup lukanya.Meskipun bukan luka yang fatal, rasa nyeri masih terasa setiap kali Emma bergerak. Namun, yang lebih mengganggunya bukanlah rasa sakit itu sendiri—melainkan ekspresi Lucas.Ia berdiri di sudut ruangan, diam, dengan ekspresi yang gelap dan penuh kemarahan yang tertahan.“Lucas…” Emma memanggil pelan.Lucas tidak segera menjawab. Ia hanya menatapnya dalam-dalam, seolah mencoba memastikan bahwa Emma benar-benar masih di sana, masih bernapas, masih hidup.Butuh beberapa saat sebelum ia akhirnya mendekat. Ia duduk d
Dunia seakan melambat saat suara tembakan bergema di luar kastil. Emma menatap keluar jendela dengan mata membelalak, napasnya tertahan melihat beberapa pria bersenjata yang mulai menyerbu area luar.Pelayan yang tadi bersamanya langsung menarik tangannya. “Nona, kita harus pergi! Ini berbahaya!”Emma tersentak dari keterkejutannya dan mengangguk cepat. Mereka berdua bergegas melewati koridor kastil yang panjang, tetapi baru beberapa langkah, suara ledakan kecil terdengar dari luar, mengguncang dinding-dinding kastil.Panik mulai menjalari tubuh Emma. “Lucas! Aku harus menemui Lucas!”“Tuan Lucas pasti sudah bergerak!” Pelayan itu mencoba menenangkannya, tetapi suara alarm yang mulai meraung di seluruh kastil membuat situasi semakin mencekam.Para penjaga segera bergerak, mengambil posisi untuk mempertahankan kastil dari serangan mendadak ini. Emma bisa melihat beberapa orang berlari menuju titik pertahanan, dan di tengah kekacauan itu, ia merasakan ketakutan yang luar biasa.Namun, s