Udara pagi terasa lebih hangat dibandingkan kemarin, namun semilir angin tetap membawa kesejukan yang menenangkan. Setelah sesi latihan yang intens di ruang tertutup, Lucas memutuskan bahwa sudah waktunya bagi Emma untuk menghadapi tantangan baru.“Kita tidak akan berlatih di ruangan hari ini,” ucap Lucas singkat saat Emma baru saja tiba di ruang latihan.Emma mengernyit, menyeka sisa keringat di pelipisnya. “Ke mana?” tanyanya dengan nada penuh rasa ingin tahu.Lucas hanya melirik sekilas, kemudian berbalik tanpa menjawab. “Ikuti saja.”Rasa penasaran membuat Emma cepat-cepat mengatur langkahnya agar seirama dengan Lucas. Mereka keluar dari koridor batu, melewati taman belakang yang biasa mereka lewati saat berjalan santai, lalu terus menuju sebuah area luas yang belum pernah Emma lihat sebelumnya.Di sana, terbentang lapangan besar dengan berbagai fasilitas: area tembak dengan beberapa sasaran berdiri, arena terbuka untuk latihan bela diri, dan beberapa anak buah Lucas yang tengah b
Matahari mulai merangkak lebih tinggi di langit, cahayanya memantulkan kilauan samar di atas lapangan latihan yang masih dipenuhi suara hentakan kaki, napas berat, dan tawa yang pecah sesekali. Setelah berhasil menjatuhkan Ian, Emma merasa semangatnya semakin membara. Keringat membasahi pelipisnya, namun tatapannya tetap fokus saat Lucas menunjuk salah satu anak buah lainnya untuk menjadi lawan berikutnya.“Giliranmu, Caleb,” ucap Lucas datar, menyilangkan tangan di dada sambil berdiri di sisi lapangan.Seorang pria bertubuh kekar dengan rambut hitam sedikit acak melangkah maju, senyum lebar terukir di wajahnya. “Jangan khawatir, Nona Emma,” katanya sambil meregangkan otot-otot lengannya. “Aku akan bersikap manis.”Emma mengangkat alis, menahan tawa. “Kau bilang begitu karena takut kalah, ya?” balasnya cepat, membuat beberapa orang di sekitar mereka tertawa.Pertandingan dimulai. Caleb bergerak cepat, namun Emma sudah belajar dari pertarungan sebelumnya. Ia menghindar dengan cekatan,
Senja mulai merayap di balik jendela kamar Emma, mewarnai langit dengan semburat oranye keemasan yang perlahan memudar. Udara di dalam ruangan terasa tenang, kontras dengan rasa pegal yang merayap di setiap otot tubuh Emma. Ia duduk di tepi ranjang, menarik napas panjang sambil meregangkan lengannya yang terasa remuk setelah latihan seharian.Setiap gerakan kecil membuatnya meringis. Bahu, lengan, bahkan sisi perutnya terasa nyeri. Ia mengangkat lengan bajunya sedikit, mendapati memar kebiruan yang mulai muncul di bawah kulit.Pintu kamar diketuk pelan sebelum terbuka. Lucas masuk tanpa menunggu jawaban, tangan kirinya memegang sebuah salep kecil. Wajahnya seperti biasa—tenang dan dingin—namun sorot matanya singgah sebentar ke arah Emma, seolah menilai kondisi gadis itu dalam sekejap."Aku tahu kau tidak akan bilang apa-apa soal ini," katanya datar, mengangkat salep di tangannya. "Tapi aku tahu tubuhmu penuh memar."Emma mengerutkan kening. “Aku baik-baik saja,” jawabnya cepat, meski
Lucas melangkah keluar dari kamar Emma, pintu tertutup pelan di belakangnya. Ia berdiri sejenak di koridor, ponsel masih bergetar ringan di tangannya. Nama Josephine tertera jelas di layar, membuat sudut bibirnya terangkat samar sebelum akhirnya ia menerima panggilan itu."Lucas!" Suara ceria gadis di seberang sana langsung memenuhi telinganya, nada manja yang sudah sangat familiar baginya.Lucas bersandar di dinding, menyandarkan satu kaki ke tembok dengan santai. "Josephine," sapanya datar, meski ada senyum kecil yang tak bisa ia sembunyikan. "Ada apa, menelepon malam-malam begini?""Kenapa? Aku tidak boleh meneleponmu, ya?" sahut Josephine dengan nada menggoda, membuat Lucas menggeleng pelan meski tahu gadis itu tak bisa melihatnya. "Kau benar-benar sibuk akhir-akhir ini. Tidak pernah datang ke rumah, bahkan tidak ada kabar. Apa kau sudah melupakanku?"Lucas mendengus pelan, senyum tipis tetap menghiasi wajahnya. "Aku sibuk. Urusan bisnis, kau tahu sendiri."Josephine mendesah dram
Matahari mulai tenggelam di balik jendela besar kamar Emma, menyisakan cahaya jingga yang samar menembus tirai tipis. Gadis itu duduk di tepi tempat tidurnya, memandang kosong ke arah jendela. Pikiran Emma melayang ke kejadian sore tadi—Lucas menerima telepon dari seseorang bernama Josephine. Senyum kecil yang tertinggal di wajah pria itu setelah panggilan berakhir terus terbayang di benaknya, membuat hatinya terasa aneh.Siapa Josephine sebenarnya?Emma berusaha mengabaikan perasaan itu. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu bukan urusannya, tetapi rasa penasaran seperti benang kusut yang semakin rumit setiap kali ia mencoba menariknya. Ia memutuskan untuk mencari tahu, bukan dengan bertanya langsung pada Lucas, melainkan melalui cara yang lebih… halus.Setelah memastikan Lucas tidak ada di sekitar, Emma meninggalkan kamarnya dan menuju dapur di mana Marta biasanya sibuk menyiapkan teh atau camilan untuk para penghuni rumah. Benar saja, wanita paruh baya itu tengah merapikan cangki
Hujan gerimis mulai turun, membasahi pekarangan luas di sekitar kediaman Lucas. Langit kelabu menggantung rendah, menciptakan suasana sendu yang anehnya sejalan dengan perasaan Emma. Setelah latihan pagi yang cukup melelahkan, ia memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar area, mencoba mengalihkan pikirannya dari satu hal yang terus mengganggunya: Josephine.Nama itu bergema di kepalanya lebih sering daripada yang ingin ia akui. Lucas dengan sengaja tidak memberi jawaban jelas, membuat Emma semakin penasaran. Ada perasaan aneh yang sulit dijelaskan, campuran antara rasa ingin tahu, jengkel, dan sesuatu yang samar—mungkin cemburu.Langkah kakinya membawanya ke taman kecil di sisi belakang rumah. Tempat itu sepi, hanya ada beberapa bangku batu yang basah terkena gerimis. Udara dingin menyentuh kulitnya, namun Emma duduk di salah satu bangku, membiarkan titik-titik hujan jatuh di atas bahunya. Ia memeluk lututnya, menunduk, mencoba memahami pikirannya sendiri.Tak lama kemudian, langkah
Matahari baru saja merangkak turun di balik cakrawala ketika Emma duduk di ruang tamu kastil Lucas, menyesap teh hangat sambil menikmati ketenangan setelah hari yang panjang. Ia hampir tenggelam dalam pikirannya ketika suara langkah kaki berat bergema mendekat ke arahnya, membuatnya menoleh. Lucas muncul dari balik pintu, mengenakan kemeja hitam sederhana dengan lengan yang digulung santai hingga siku. Sorot matanya tajam namun teduh, seperti biasa.Tanpa basa-basi, pria itu melangkah mendekat dan duduk di kursi di seberangnya. “Akhir pekan ini, ikut aku.”Emma mengerutkan kening, meletakkan cangkir tehnya. Dia tidak salah dengar, bukan? Pria ini akan mengajaknya ke luar dari kastil ini? “ke mana?”Lucas menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap Emma tanpa ekspresi khusus, tapi ada kilatan berbeda di matanya. “Ke rumah keluargaku. Aku ingin memperkenalkanmu pada mereka.”Sejenak, ruangan terasa sunyi. Emma hampir mengira ia salah dengar. “Memperkenalkan… aku?”Lucas mengangguk pelan. “
Suasana makan malam masih berlangsung hangat, meski bagi Emma, kehangatan itu terasa seperti bara api yang perlahan membakar saraf-sarafnya. Tawa ringan sesekali terdengar dari Charles dan Mary, diselingi komentar santai dari Kakek Harry. Namun, di balik semua itu, ada tatapan lain yang tak lepas dari dirinya—tatapan Josephine yang dingin meski terselubung senyum sopan.Emma berusaha mengabaikannya, menahan diri untuk tetap fokus pada percakapan ringan yang mengalir. Sesekali ia melirik Lucas, mencari ketenangan dari sorot mata pria itu. Dan setiap kali tatapan mereka bertemu, Emma merasa sedikit lebih kuat. Tapi ada sesuatu yang membuatnya tidak bisa sepenuhnya nyaman. Aura Josephine terlalu jelas untuk diabaikan.Setelah makan malam selesai, mereka semua pindah ke ruang keluarga yang luas. Dinding-dinding batu yang kokoh dihiasi lukisan klasik, lampu gantung kristal menggantung anggun di langit-langit, memantulkan cahaya lembut yang menambah suasana hangat. Lucas
Emma menatap langit malam yang terbentang luas di atasnya. Kilauan bintang-bintang tampak berkelip di antara gelapnya malam, menciptakan pemandangan yang menenangkan. Angin berembus lembut, membelai kulitnya dengan kesejukan yang menenangkan. Ia berdiri di samping Lucas, di sebuah bukit kecil yang menawarkan pemandangan kota dari kejauhan. Tempat ini begitu sunyi, seolah terpisah dari dunia yang penuh hiruk-pikuk di bawah sana. Emma mengerti bahwa Lucas tidak membawa dirinya ke sini tanpa alasan. "Tempat ini..." Emma membuka suara, memecah keheningan di antara mereka. "Kenapa kau membawaku ke sini?" Lucas mengalihkan pandangannya dari hamparan kota dan menatap Emma. "Ini tempat yang sering kudatangi saat aku butuh berpikir," jawabnya pelan. "Di sini, aku bisa merasa bebas. Tidak ada gangguan, tidak ada tekanan, hanya aku dan pikiranku sendiri." Emma mengangguk mengerti. Ia bisa merasakan ketenangan yang sama. Dalam sebulan terakhir, hidup mereka penuh dengan kekacauan. Konflik
Matahari baru saja terbit di ufuk timur, menyapu kediaman Lucas dengan cahaya keemasan yang lembut. Setelah malam yang panjang dan penuh ketegangan, pagi ini terasa lebih tenang. Tidak ada lagi ancaman yang membayangi, tidak ada lagi pertarungan yang harus dihadapi. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Lucas bisa menarik napas lega.Ia berdiri di balkon kamarnya, menatap hamparan taman di bawah sana. Udara pagi yang sejuk menyentuh wajahnya, membawa aroma embun yang menyegarkan. Namun, pikirannya masih terpusat pada satu hal—Emma.Wanita itu telah melalui begitu banyak hal. Ia terluka karena menjadi bagian dari dunianya, dunia yang penuh dengan bahaya dan intrik. Tetapi, meskipun demikian, Emma tidak pernah menunjukkan penyesalan. Ia tetap berada di sisinya, menghadapi semuanya dengan keteguhan hati yang luar biasa.Lucas tahu, ada satu hal yang harus ia lakukan sekarang.Tanpa ragu, ia melangkah keluar dari kamarnya dan menuju ke kamar te
Malam di kediaman Lucas begitu sunyi. Udara dingin menyusup melalui jendela besar di ruang kerjanya, tetapi pria itu tetap duduk tegak di balik meja kayu besar, menatap laporan-laporan yang tersusun rapi di hadapannya. Setelah semua konflik yang ia hadapi, organisasi mulai kembali stabil. Ia telah menyingkirkan Morelli dan Vasquez, membuktikan bahwa ia bukan pemimpin yang bisa diremehkan. Namun, Lucas tahu bahwa masih ada satu orang lagi yang harus ia hadapi—ayahnya.Seakan menjawab pikirannya, ketukan keras terdengar di pintu ruang kerjanya. Lucas tidak terkejut. Ia sudah menduga bahwa cepat atau lambat pria itu akan datang menemuinya."Masuk," katanya, suaranya tetap dingin dan terkendali.Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan sosok Antonio Aldrin. Meski usianya sudah semakin tua, auranya masih menekan, menandakan bahwa ia adalah seseorang yang telah lama terbiasa dengan kekuasaan. Namun, malam ini, ada sesuatu yang berbeda pada dirinya. Sorot matanya t
Malam sudah larut, tetapi Lucas masih duduk di ruang kerjanya, menatap peta besar yang terhampar di mejanya. Titik-titik merah menandai lokasi para sisa anak buah Morelli dan Vasquez yang masih berkeliaran. Beberapa di antara mereka sudah melarikan diri ke luar negeri, tetapi sebagian kecil masih bertahan, berusaha mencari perlindungan.Lucas menghela napas panjang. Satu langkah lagi, dan ini semua akan selesai.Pintu ruang kerja terbuka tanpa ketukan. Stefan masuk dengan ekspresi tegas. "Semuanya sudah siap. Anak buah kita sudah berada di posisi masing-masing."Lucas mengangguk, lalu berdiri. "Bagus. Pastikan tidak ada celah bagi mereka untuk melarikan diri.""Kita juga sudah mengamankan jalur komunikasi mereka. Jika mereka mencoba meminta bantuan, pesan itu tidak akan pernah sampai," tambah Stefan.Lucas menyeringai kecil. "Kali ini, aku ingin memastikan mereka tidak punya tempat untuk kembali."Stefan menatapnya sejenak sebelu
Pagi menjelang dengan tenang di kediaman Lucas. Sinar matahari keemasan menyelinap melalui celah-celah jendela besar, menerangi ruangan dengan kehangatan yang lembut. Suara burung di kejauhan terdengar samar, berpadu dengan desiran angin yang berembus perlahan.Emma membuka matanya perlahan. Rasanya tubuhnya lebih ringan, meski masih ada sedikit nyeri di lengannya yang belum sepenuhnya pulih. Saat ia menggerakkan kepalanya, matanya langsung menemukan sosok Lucas yang masih duduk di sampingnya, menatapnya dengan ekspresi lembut."Kau tidak tidur?" suara Emma serak karena baru bangun.Lucas menggeleng pelan. "Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja."Emma tersenyum kecil. Ia tahu Lucas masih merasa cemas, tetapi ia juga tahu pria itu tidak akan mengatakannya secara langsung. Jadi, ia hanya meraih tangan Lucas dan menggenggamnya erat. "Aku sudah lebih baik. Kau tidak perlu terus mengkhawatirkanku."Lucas menghela napas, lalu akhirnya i
Malam telah larut ketika Lucas duduk di ruang kerjanya, menatap peta besar yang terbentang di atas meja. Wilayah kekuasaan yang sebelumnya dikuasai Morelli dan Vasquez kini sepenuhnya berada di bawah kendalinya. Namun, meskipun kedua orang itu telah ditangkap dan dihabisi, Lucas tahu bahwa masalah tidak berhenti di situ. Stefan berdiri di sampingnya, melaporkan perkembangan terbaru. "Beberapa anggota bawahan Morelli dan Vasquez masih bertahan. Mereka kehilangan pemimpin, tetapi tidak kehilangan ambisi." Lucas menghela napas. "Aku sudah menduga ini. Mereka tidak akan menyerah begitu saja." "Tepat," Stefan mengangguk. "Ada laporan bahwa sebagian dari mereka mencoba membentuk kelompok baru. Mereka masih belum cukup kuat untuk menantang kita secara langsung, tetapi jika dibiarkan, mereka bisa menjadi ancaman dalam beberapa bulan ke depan." Lucas menatap peta di hadapannya. "Siapa pemimpin mereka sekarang?" Stefan
Ruangan itu gelap dan dingin, hanya diterangi oleh satu lampu gantung yang menggantung rendah di langit-langit, memberikan cahaya redup yang membuat bayangan panjang di dinding. Bau debu bercampur darah masih terasa di udara, dan suara napas berat memenuhi keheningan.Di tengah ruangan, dua pria yang terikat pada kursi dengan tangan ke belakang tampak gemetar. Morelli dan Vasquez, dua pemimpin organisasi yang berani mengkhianati Lucas, kini tidak lebih dari bayangan diri mereka yang dulu.Lucas berdiri di depan mereka, mengenakan kemeja hitam dengan lengan yang digulung hingga siku. Matanya dingin, penuh ketegasan. Ia tidak langsung berbicara, membiarkan ketegangan menggantung di udara, membiarkan ketakutan menyusup ke dalam tulang kedua pria itu.Stefan berdiri di sudut ruangan, mengamati dengan ekspresi santai, tetapi matanya penuh kewaspadaan. Beberapa anak buah Lucas berjaga di sekitar, memastikan tidak ada celah bagi Morelli dan Vasquez untuk melarikan diri.Akhirnya, Lucas menar
Suasana di dalam kastil terasa tegang. Para penjaga masih berjaga di berbagai sudut, memastikan tidak ada lagi penyusup yang berkeliaran. Stefan telah memerintahkan pembersihan menyeluruh, tetapi atmosfer tetap dipenuhi ketegangan.Di dalam salah satu kamar di sayap barat, Emma terbaring di tempat tidur dengan perban yang melingkari bahunya. Dokter pribadi keluarga Aldrin baru saja selesai membersihkan dan menutup lukanya.Meskipun bukan luka yang fatal, rasa nyeri masih terasa setiap kali Emma bergerak. Namun, yang lebih mengganggunya bukanlah rasa sakit itu sendiri—melainkan ekspresi Lucas.Ia berdiri di sudut ruangan, diam, dengan ekspresi yang gelap dan penuh kemarahan yang tertahan.“Lucas…” Emma memanggil pelan.Lucas tidak segera menjawab. Ia hanya menatapnya dalam-dalam, seolah mencoba memastikan bahwa Emma benar-benar masih di sana, masih bernapas, masih hidup.Butuh beberapa saat sebelum ia akhirnya mendekat. Ia duduk d
Dunia seakan melambat saat suara tembakan bergema di luar kastil. Emma menatap keluar jendela dengan mata membelalak, napasnya tertahan melihat beberapa pria bersenjata yang mulai menyerbu area luar.Pelayan yang tadi bersamanya langsung menarik tangannya. “Nona, kita harus pergi! Ini berbahaya!”Emma tersentak dari keterkejutannya dan mengangguk cepat. Mereka berdua bergegas melewati koridor kastil yang panjang, tetapi baru beberapa langkah, suara ledakan kecil terdengar dari luar, mengguncang dinding-dinding kastil.Panik mulai menjalari tubuh Emma. “Lucas! Aku harus menemui Lucas!”“Tuan Lucas pasti sudah bergerak!” Pelayan itu mencoba menenangkannya, tetapi suara alarm yang mulai meraung di seluruh kastil membuat situasi semakin mencekam.Para penjaga segera bergerak, mengambil posisi untuk mempertahankan kastil dari serangan mendadak ini. Emma bisa melihat beberapa orang berlari menuju titik pertahanan, dan di tengah kekacauan itu, ia merasakan ketakutan yang luar biasa.Namun, s