George menggeram dengan kedua tangan yang sudah mengepal tatkala barang bukti yang sudah susah payah dia kumpulkan kini raib tak tersisa. Dia termangu di ruang kerjanya, mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan dengan dada yang mulai naik turun akibat emosi yang kian meluap. George benar-benar Tak habis pikir jika Angella alias Gabby telah merencanakan semuanya hanya untuk mencuri seluruh barang bukti yang ada di rumahnya. 'Kenapa aku begitu bodoh dan terlalu percaya kepada gadis itu? Harusnya dari awal aku sudah curiga kenapa ada gadis yang tiba-tiba muncul di sekitarku dan mengaku tinggal di apartemen dekat kantorku? Bahkan sebelumnya aku tak pernah melihat ada gadis seperti dirinya berkeliaran di sekitar sana.'Lagi-lagi George menghela napas gusar. Dia harus menerima sebuah kenyataan pahit yang telah mengoyak hati dan jiwanya. Dia mulai sadar jika Raizel bukan lawan sembarangan. Sekali George menyerang, dia pasti akan membalas berkali-kali lipat. Namun, bukan berarti George taku
Setelah reservasi dua hari sebelumnya, Eleven berhasil memesan Heaven Room beserta dengan Sarah, seperti biasa. Namun, ada yang berbeda kali ini. Tatapan hangat Sarah yang selalu terlihat berbinar saat bertemu Eleven kini sirna. Berganti dengan tatapan nanar yang menunjukkan rasa jijik dan kecewa. Sebenarnya melayani pria hidung belang hingga bersetubuh bukanlah hal yang asing bagi Sarah dan Fallen Angel lainnya. Hanya saja, saat itu Sarah menaruh hati dan berharap lebih kepada Eleven. Dia pikir Eleven tak akan segan menyentuh tubuhnya apalagi sampai menggagahinya. Rupanya sama saja. Sarah jadi malas-malasan melayani Eleven setelah keduanya memasuki Heaven Room. Dia sudah tak se-welcome dulu. Tak ada lagi inisiatif untuk memijit atau menyajikan teh hangat. Sarah memilih diam sebelum ditegur terlebih dulu. Hal itu cukup menimbulkan tanda tanya dalam benak Eleven. "Kamu kenapa dari tadi diem aja?" Sarah hanya menggeleng, tak mengeluarkan sepatah kata pun untuk menjawab. "Jika kamu t
"Bagaimana, Gabby? Apa kau menemukan banyak bukti yang tersembunyi di rumah George?"Richardo bertanya setelah mengepulkan asap cerutunya di udara. Saat ini mereka tengah mengadakan rapat penting di ruang kerja Raizel. Tentu saja karena Gabby baru saja kembali dan Richardo ingin mengetahui hasil dari misinya selama ini. Sesuai kesepakatan, Gabby pun menyerahkan file rekaman yang ada pada dashcam mobil Raizel. "Maafkan aku, Paman. Aku hanya menemukan ini."Richardo berdecak gusar. Dia pernah mendengar jika mobil yang dipakai Raizel saat dicegat George bukanlah mobil utama yang sering dia pakai saat bertemu Richardo. Jadi, file rekaman yang disimpan oleh George tak berarti apa-apa baginya. Melihat reaksi pamannya yang kurang mengenakkan, Raizel berusaha menengahi. “Gabby terlanjur ketangkap basah saat geledah ruangannya.” Richardo menatap Gabby dengan mata terpicing. “Kok. Bisa?” Gadis itu hanya menggeleng. “Entahlah. Tiba-tiba dia terbangun begitu saja lalu muncul mengejutkanku.”
“Argh!” Raizel mengunci pintu lalu mengamuk dalam kamarnya. Dia benar-benar merasa dikhianati. Sudah berulang kali Raizel mengingatkan Gabby untuk jangan melewati batas, tapi kenapa tetap melanggar? ‘Apa istimewanya George sampai Gabby bersedia melakukan itu?’ Berbagai pertanyaan terus berkelindan dalam benaknya. Dia bahkan sudah merasa memberikan yang terbaik kepada Gabby. Tak ada lagi intimidasi seperti dulu yang membuat gadis itu merasa tak nyaman. Raizel menghela napas gusar. Akhirnya dia merasa lelah. Kemudian Raizel memilih untuk terduduk di tepi kasur sambil membenamkan wajahnya di kedua tangan. Sementara itu di ruang kerja Raizel, Richardo memilih untuk pamit karena situasinya tak memungkinkan untuk melanjutkan meeting. “Sepertinya Raizel tak ingin diganggu. Lebih baik aku pulang dulu.” “Baik, Paman!” balas Lascrea lalu mendelik ke arah Gabby yang sedang menunduk seraya terisak. Lascrea memilih untuk meninggalkan gadis itu dan pergi ke luar, mengantarkan Richardo sampai
Sejak kejadian meeting tempo lalu, hubungan Raizel dan Gabby menjadi renggang, bahkan memburuk. Pria itu jadi sering uring-uringan dan menghabiskan banyak waktu di El Camorra dari pada di rumahnya sendiri. Bukan tanpa alasan dia bertindak demikan. Raizel hanya tak ingin bertatap muka dengan Gabby sejak melihat video itu. Sudah berulang kali Lascrea memberi saran kepada Raizel untuk melepaskan Gabby. Namun, entah kenapa Raizel tak menanggapi. Dia lebih memilih diam dan membiarkan Gabby tetap tinggal di rumahnya. Walau bagaimana pun, dia tak tega menelantarkan Gabby yang sudah tak memiliki tempat tinggal dan keluarga. “Rai! Aku mau jelasin semuanya. Tolong dengerin aku!” Gabby menyeimbangi jalan Raizel saat pria itu tergesa-gesa hendak menemui klien. Gadis itu tak kenal lelah untuk terus memohon, meskipun sudah berulang kali diabaikan. Sementara Lascrea yang berjalan di samping Raizel hanya bisa mendengus kasar lalu tersenyum licik. Akhirnya keinginan dia untuk melihat Raizel dan Gabb
Sudah satu minggu Raizel bersikap acuh tak acuh hingga Gabby merasa bosan dan berpikir untuk pergi. Terlebih lagi, ponsel yang biasa dia gunakan telah rusak akibat dibanting oleh Raizel. Pria itu sengaja tak memperbaikinya karena ingin menunjukkan sikap ketidakperduliannya terhadap Gabby. Begitulah Raizel kalau sudah marah. Meskipun diam tapi tetap menyeramkan. “Untuk apa aku berada di sini kalau kehadiranku tak dianggap?” Gabby menggerutu sendiri di dalam kamar. Dia memasukkan seluruh pakaianna ke koper, berniat untuk kabur. Sejujurnya, berat untuk melepas segala kenangan indah yang telah dia rangkai bersama Raizel. Rasanya baru kemarin mereka saling menyayangi dan bermadu kasih di tempat ini. Namun, mengapa kini semuanya berubah? Andai Raizel tak memerintahkan Gabby untuk menjebak George, mungkin Gabby tak akan terbuai dengan permainannya sendiri. Tidak! ‘Andai sejak awal aku tak berinisiatif dan menawarkan diri untuk membantunya dalam menangani kasus George, mungkin semuanya tak
“Halo, Nona Gabriella!” sapa Eleven dengan suara berat, efek dari topeng pengubah suaranya. Gabby menggeleng seraya berjalan mundur. Dia sama sekali tak mengenal sosok pria bertopeng itu. “Siapa dia, Rea?” tanya Gabby dengan raut panik. Suaranya mulai bergetar karena ketakutan. Lascrea menyeringai sambil melipat kedua tangan di depan dada. “Kau tak perlu banyak tanya, Gabby. Tugasmu hanya perlu melayaninya,” jelas Lascrea sambil melangkah, mendekati Eleven. "Kalau begitu, aku serahkan semuanya kepadamu!"Lascrea menepuk pundak Eleven, sedangkan sebelah tangannya menadah untuk meminta bayaran. "Jangan khawatir! Aku tidak akan membunuhnya," balas Eleven sambil mengeluarkan amplop cokelat berisi uang. Terlihat sangat tebal. "Lascrea! Apa maksudnya semua ini? Apa Raizel benar-benar menyuruhku untuk bekerja di sini?"Lascrea mendengus kasar, lalu menjawab, "Kalau bukan dia, siapa lagi?"Gabby menelan saliva yang terasa getir. Kenapa Raizel begitu tega menjual dirinya kembali? Bukankah
Lascrea yang tak ikut menaiki speedboat lebih memilih untuk menunggu di sebuah restaurant dekat sungai. Dia terpaksa berbohong kepada Gabby dengan menjual nama Raizel yang sama sekali tak mengetahui tentang ini. Jika tidak berkata demikian, mungkin Gabby enggan mengikutinya sampai sini. ‘Maafin aku, Rai. Kalau sejak awal kamu pilih aku, mungkin aku nggak akan sejahat ini.’ Lascrea mengeluarkan sebatang rokok dan menyesapnya seraya memandangi speedboat yang melaju di permukaan air. Namun di tengah lamunan itu, tiba-tiba ponsel Lascrea berbunyi. Wanita itu segera mengeluarkan benda pipih dari tasnya dan melihat nama yang tertera di layar. “Raizel?” Sontak dia mematikan rokoknya dengan sedikit panik. Kemudian berdeham sebelum mengangkat panggilan itu. “Halo?” sapa Lascrea. “Kamu di mana? Aku cariin dari tadi malah ngilang!” seru Raizel dari balik telepon. “Emm, maaf, Rai. Tadi ada klien yang ngajak ketemu. Paling aku bisa ke sana sejam lagi.” Terdengar helaan napas panjang yang m
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Saat Gabby dan George mencari cara untuk mengawasi gerak-gerik Raizel secara intens, tiba-tiba saja Gabby mendapatkan tawaran sebagai asisten pribadinya dengan menggantikan sosok Lascrea. Bagaimana mungkin Gabby menolak jika hal tersebut dapat menguntungkannya? Dia akan jadi lebih mudah mengumpulkan bukti tentang bisnis kotor Raizel secara spesifik. Dengan menjadi asisten pribadinya, Gabby dapat mengikuti Raizel dengan mudah, kapan pun dan di mana pun. Di tengah lamunan yang diiringi perasaan antusias, tiba-tiba Gabby dikejutkan oleh pertanyaan Raizel yang tengah menanti jawabannya. "Jadi gmana, Gabby? Apa kamu mau jadi asisten pribadiku?"Sontak Gabby terperangah dan mengenyahkan lamunannya. Dia pun mengerjapkan mata seraya bertanya dengan raut kikuk. "Eh? Emang Lascrea ke mana?"Raizel menghela napas gusar. Sejujurnya dia enggan membahas wanita itu serta masalah yang tengah mereka alami. "Emm, Paniang ceritanya. Intinya Lascrea udah nggak tinggal di
Sepulangnya dari taman, Raizel menemukan sepucuk surat yang tergeletak di atas kasur. Dia menautkan kedua alisnya saat meraih selembar kertas itu, lalu terduduk di tepi kasur untuk membacanya dengan hikmat. Dear, Raizel Eleizer. Terima kasih sudah memberikan pelajaran hidup yang sangat berharga selama sepuluh tahun ini. Aku sangat bahagia pernah menemanimu walau hanya sebatas asisten. Tapi sekarang aku mau minta maaf kalau aku nggak bisa lanjut kerja dan tinggal sama kamu lagi. Jaga diri baik-baik, Rai. Aku akan berusaha buang perasaan terlarang ini buat kamu. Semoga kita bisa dipertemukan kembali sebagai partner yang lebih baik. Thanks, Lascrea Raizel meremas surat itu usai membacanya, lalu melempar kertas yang sudah berubah menjadi gumpalan ke sembarang arah. "Argh!" Pemuda itu mengerang dalam kamarnya seraya mengacak rambut sendiri. Dia tak pernah berekspektasi bahwa keadaannya akan brakhir seperti ini. "Kalau udah kayak gini, siapa yang akan hanndle pekerjaanku ke depann
Raizel termenung di sebuah taman sambil membenamkan wajah di kedua telapak tangan. Kali ini ada yang berbeda darinya. Pria itu benar-benar sendiri tanpa ditemani ajudan maupun Lascrea. Dia cukup syok setelah mendengar kenyataan bahwa asisten sekaligus orang terdekatnya, ternyata memendam rasa. Terlebih lagi, pagi itu mereka terbangun tanpa busana setelah Raizel mabuk parah sebelumnya. "Aish! Apa yang udah gue lakuin malam itu? Kenapa gue nggak inget sedikit pun?" Raizel tampak frustrasi hingga mengacak-ngacak rambutnya sendiri. "Gue nggak mungkin segampang itu tidur sama dia kalau nggak ada sesuatu yang aneh." Raizel terus bermonolog hingga akhirnya raut yang tampak gusar itu seketika berubah setelah melihat kehadiran seseorang yang membuatnya terperangah. "Ga-Gaby?" Raizel tak berkedip sedetik pun. Bahkan kedua matanya terbelalak, disertai mulut yang terbuka lebar. "Ka-kamu Gabby, 'kan?" Raizel berdiri lalu mengucek matanya, seolah-olah tak percaya dengan apa yang dia lihat. Se
Setelah memarkirkan mobilnya di halaman depan, George turun dengan menenteng beberapa kantung belanjaan dan memasuki villa yang kini ditempati oleh Gabby. Sorot matanya tampak berbinar disertai senyum merekah yang menghias wajah tampannya. Pria itu berlari kecil, memasuki villa sambil berseru, "Gabby ...!" Sementara sosok yang dipanggil tengah bersantai di depan televisi seraya memakan sepotong kue. Wanita itu menoleh ke arah seruan yang terdengar dari arah belakangnya. Sampai akhirnya dia melihat sosok George yang menenteng beberapa kantung belanjaan. "George?" lirih Gabby, tak kalah semringah. "Lihat, aku bawa apa!" George menaik-turunkan kedua alisnya sambil menunjukkan apa yang ada di tangannya. Sementara Gabby terlihat bingung hingga kedua alisnya bertaut. "Apa?" tanya Gabby. George pun terkekeh lalu melangkah, mendekati Gabby. "Aku beliin beberapa baju buat kamu. Nggak mungkin kan, kamu tiap hari pake baju papaku," jawab George seraya meletakkan kantung belanjaannya
Raizel terbangun di kasurnya dengan tubuh polos yang sudah terbalut oleh selimut. Awalnya dia belum tersadar dan hanya bisa menguap seraya meregangkan otot-ototnya yang terasa sedikit pegal. Sampai akhirnya dia menoleh ke arah samping dengan mata terpicing. Samar-samar, terlihat sosok wanita yang tengah terlelap di sebelahnya. Raizel pun terpaku selama beberapa detik hingga akhirnya terperangah dengan apa yang dia lihat. "Lascrea?" pekik Raizel seraya terbelalak. Kenyataan yang begitu menghantam benaknya adalah saat menyadari bahwa Lascrea dan dirinya sama-sama tak berpakaian dan hanya dibalut oleh selimut. "Apa yang terjadi?" Berbagai macam pertanyaan terus bergelayut dalam benak. Raizel benar-benar tak ingat dengan apa yang sudah terjadi tadi malam. Pengaruh alkohol yang kuat telah membuatnya lupa diri bahkan menguasai alam bawah sadarnya. Raizel pun mendengus kasar seraya menjambak rambutnya sendiri. Pria itu khawatir jika dia benar-benar melalukan hal yang sama sekali tak d
Lascrea berhasil melumat bibir Raizel hingga pria itu mengerutkan keningnya di tengah rasa pengar. Aroma alkohol yang menguar dari mulutnya tak menghentikan Lascrea untuk terus menjelajahi mulut pria itu, bahkan kini tangannya mulai beraksi untuk menanggalkan kemeja Raizel. Raizel yang mengira bahwa gadis di pangkuannya adalah Gabby pun hanya bisa pasrah dan membalas lumatan pada bibirnya. Kedua tangannya melingkar di pinggang Lascrea, sesekali mengelus punggung wanita itu yang masih dibalut oleh blazer hitam andalannya. Sementara Lascrea semakin gencar dengan aksinya. Ciuman yang semula intens di sekitar bibir, kini pindah ke leher jenjang Raizel. Sontak pria itu mulai melenguh indah, merasakan sensasi yang luar biasa di tengah rasa pengar. Jemari indah Lascrea kini melepas ikat pinggang Raizel dan berusaha untuk menanggalkan celananya. Dia tak ingin melewatkan kesempatan indah yang mungkin tak akan datang dua kali dalam hidupnya. Entah apa jadinya jika Raizel tahu bahwa wanita y
Raizel hampir putus asa karena Gabby tak kunjung ditemukan. kehampaan bergelung dengan perasaan gundah karena tak ada lagi senyuman manis yang selalu menyejukkan hati. Hari-harinya menjadi berantakan karena fokusnya menjadi terpecah-belah. 'Sebenarnya pergi ke mana dia?'Raizel meneguk sebotol wine sambil terduduk di bangku kerjanya. Tersirat sebuah sesal karena sempat mengizinkan Gabby turut serta dalam menjalankan misi.'Andai dia nggak baper sama George, mungkin semuanya nggak akan kayak gini.' Tiba-tiba Raizel menggeleng kuat, menepis lamunannya. 'Nggak! Andai sejak awal aku nggak izinin dia buat jadi umpan, mungkin mereka nggak akan berhubungan sejauh itu." Raizel menggeram sambil meletakkan gelas wine dengan kasar hingga dia tak sadar akan kehadiran Lascrea yang tiba-tiba masuk ke ruangannya. "Boss?"tanya Lascrea pelan. Raut wajahnya terlihat meringis saat memperhatikan kondisi bosnya saat ini. Sementara Raizel melirik ke arah Lascrea dengan mata terpicing. Mungkin pengaruh
Gabby menceritakan kronologis saat mengenal Raizel tanpa ada yang terlewat sedikit pun. Dia bahkan bercerita tentang pertemuannya dengan Elven hingga menemukan villa ini untuk bersembunyi. George menyimak seraya terduduk di sebelah Gabby. Dia mulai memahami situasi yang dialami oleh gadis itu. "Kalau begitu, kau bisa bersembunyi di sini untuk sementara waktu, Angella!" Ucapan George membuat kedua alis Gabby terangkat. Pria itu lupa kalau nama Gabby bukanlah Angella. Atau mungkin jauh di dalam lubuk hati George, dia masih menganggap sosok Gabby adalah Angella yang pernah dia cintai. Melihat raut wajah Gabby, seketika George tersadar bahwa dia salah ucap. "Ah, maaf! Maksudku.... " Perkataan George terhenti karena dia lupa siapa nama asli Angella."Gabby! Panggil saja aku Gabby!" Untung saja Gabby langsung memotong ucapan George dan memperkenalkan diri sehingga kecanggungan yang tercipta segera terempas. "Maaf, aku belum terbiasa memanggilmu dengan nama lain," ucap George seraya
George memasuki pekarangan villa dengan mengendarai mobil SUV hitam miliknya. Setelah turun dari mobil, George melangkah menuju pot tempat dia biasa menyembunyikan kunci. Namun, baru saja pria itu menghentikan langkah, alangkah terkejutnya dia saat mendapati potnya jatuh dan terpecah belah. George bahkan tak dapat menemukan kunci villanya di sana. "Sial! Siapa yang udah ke sini?" George segera menghambur ke dalam untuk memastikan bahwa ada seseorang yang telah menerobos masuk ke villanya. Pemuda itu mengedarkan pandang ke seluruh ruangan hingga terdistraksi oleh suara televisi di ruang tengah. Dia bahkan melihat pantulan cahaya yang terpancar dari televisi. George melangkah secara perlahan untuk mendekati sumber suara. Setelah dia menghentikan langkah, kedua matanya membulat secara otomatis. Ternyata benar dugaannya. Ada seseorang yang menyelinap masuk ke dalam villa. Seorang wanita yang tengah bersantai di depan televisi dengan secangkir teh hangat dan memakai handuk kimono milik