Begitu tiba di penginapan, Sylvester langsung disambut dengan pemandangan yang tidak ia harapkan. Berdiri di depan pintu, dengan senyum santainya, Ben menatap ke arahnya."Mau apa kau ke sini?" ucap Sylvester dengan nada dingin dan tidak bersahabat.Ben tersenyum tipis, seolah tidak terganggu dengan sikap Sylvester. "Aku ingin menemui Emily," jawabnya santai.Saat itu juga, Emily baru saja turun dari mobil, dan Ben langsung menyapanya dengan nada menggoda. "Hai, cantik."Emily terkejut melihat kehadiran Ben di sini, sementara Sylvester semakin tidak sabar. "Untuk apa kau ke sini?" tanyanya sekali lagi, kali ini dengan nada yang lebih tajam.Ben mengangkat bahu tanpa rasa bersalah. "Apa kota ini milikmu? Siapa pun bisa datang ke sini," balasnya ringan.Sylvester menghela napas dengan kasar. "Kau pulanglah. Aku tidak ingin melihatmu di sini."Ben tertawa kecil. "Tenang saja, aku tidak tertarik bertemu denganmu. Aku hanya ingin menemui dia," ucapnya, menunjuk ke arah Emily.Sylvester sem
Tak lama setelah mereka tiba di rumah sakit, beberapa suster yang berjaga segera menghampiri dan membantu membawa Emily ke dalam. Dokter dengan sigap mengambil tindakan, lalu memindahkannya ke ruang inap untuk observasi lebih lanjut.Sylvester berdiri di depan ruangan, menatap Emily yang terbaring lemah di balik kaca. Napasnya berat, pikirannya berkecamuk. Ia berbalik menatap Ben yang masih berdiri di dekatnya."Aku tak percaya padamu, tapi boleh aku minta tolong?" ucap Sylvester akhirnya.Ben menatapnya datar. "Apa?" tanyanya."Bisa tolong jaga Emily sebentar? Ada hal yang perlu aku urus."Ben menyandarkan tubuhnya ke kursi tunggu, membuka ponselnya dengan santai. "Baiklah," jawabnya singkat. "Aku akan berjaga dari luar."Sylvester mengangguk. "Sesekali masuklah untuk mengeceknya."Ben hanya melirik sekilas. "Pergilah."Tanpa berbicara lebih banyak, Sylvester berbalik pergi. Ben tetap di kursinya, sesekali melirik ke arah pintu kamar Emily, tetapi matanya semakin berat. Ia tak sadar
Wajah Sylvester tetap serius saat ia berkata, "Jangan dekat-dekat dengan Ben."Emily menghela napas. "Aku memang tak ingin dekat-dekat dengannya. Aku hanya ingin berterima kasih saja.""Tidak perlu. Dia akan besar kepala dan terus mengganggumu."Emily tersenyum tipis, malas berdebat. "Baiklah."Sylvester menoleh sebentar dan menyentuh pipi Emily dengan punggung tangannya. "Apa kau sudah benar-benar sembuh?"Emily tersenyum dan mengangguk. "Ya, aku sudah sembuh."Sylvester menghela napas panjang. "Cepat sekali kau pulihnya."Emily memutar bola matanya. "Lain kali, jangan membawaku ke tempat-tempat aneh."Sylvester terkekeh. "Aku tak pernah membawamu ke tempat aneh."Emily langsung menatapnya dengan tatapan tak percaya. "Kemarin, kau membawaku ke laut saat cuaca dingin!"Sylvester tertawa. "Laut bukan tempat yang aneh, Emily."Emily mendesah. "Ya, tapi saat musim dingin? Itu hanya orang gila yang melakukannya!"Sylvester menaikkan sebelah alis. "Berarti kau juga gila, Emily. Kau jelas-j
Emily melangkah ke pantry dengan botol minum di tangan, tapi langkahnya melambat saat ia mendengar suara-suara dari dalam. Beberapa rekannya sedang bercakap-cakap, dan meskipun mereka berbicara pelan, Emily bisa menangkap potongan kalimat mereka.“Serius deh, aku nggak kuat lagi kalau duduk di dekat dia,” suara itu terdengar dari Dina, salah satu rekannya.“Memangnya dia nggak sadar, ya? Masa tiap hari kayak gitu terus?” balas leni, setengah berbisik.“Kayaknya sih enggak sadar. Mungkin dia nggak tahu, atau... ya, gimana ya bilangnya ke dia?” tambah jesselyn, sambil menghela napas.Dina terkekeh kecil. “Bilang? Kamu bercanda? Bisa jadi dia malah tersinggung, terus drama. Mending nggak usah deh.”“Tapi kita yang jadi korban, kan?” jesselyn menimpali. “Aku sampai bawa parfum ekstra, tahu. Kalau dia lewat, langsung aku semprot meja aku.”Dina tertawa kecil, tapi suaranya terdengar setengah bersalah. “Iya sih, aku juga pernah pura-pura keluar meeting cuma buat nyari udara segar. Jujur aja
Saat Emily duduk di meja kerjanya, mencoba mengatur napas agar bisa melanjutkan hari dengan tenang, suara familiar memanggilnya dari belakang."Hei, Emi, kamu yang mengerjakan design proyek klien dari perusahaan Amerika, kan?" Tanya Leni, rekan satu tim yang seringkali tampak tenang dan percaya diri, sambil mendekat dengan langkah cepat."Iya, betul, Kak. Ada apa ya?" jawab Emily, sedikit bingung, berusaha menjaga nada suaranya tetap normal meskipun hatinya mulai terasa cemas."Siang ini perwakilan dari Whiteller Corp akan datang untuk rapat. Kita diminta untuk mempresentasikan gambaran proyek itu," jawab Leni, tanpa basa-basi, seperti memberikan instruksi rutin yang tidak membutuhkan penjelasan lebih lanjut.Emily terkejut."Kenapa aku tidak tahu kalau mereka akan datang? Aku belum siap sepenuhnya," jawabnya dengan nada cemas, otaknya mulai berpacu untuk mencari-cari ide tentang bagaimana ia bisa menyiapkan materi dalam waktu yang sangat terbatas."Informasinya sudah dikasih di grup,"
Emily, yang sejak tadi berusaha fokus pada pekerjaannya, akhirnya bisa memperhatikan Mr. Whiteller dengan lebih jelas. Selama rapat tadi, pria itu hampir tidak berbicara. Ia hanya duduk diam, mengamati dengan cermat, dan sesekali berbisik pada Beni. Namun, sekarang, saat ia berjalan menjauh, Emily merasa ada sesuatu yang memancarkan wibawa dari dirinya—sesuatu yang membuat pria itu sulit untuk diabaikan.Dia tampak begitu tenang, begitu percaya diri, seolah-olah tidak ada yang bisa mengguncang dirinya. Mata hijau itu... Emily tidak bisa melupakan tatapan tajamnya yang sempat bertemu dengan matanya beberapa kali.Namun lamunan itu tidak berlangsung lama. Leni, yang tampaknya masih senang memanfaatkan momen untuk memberikan komentar, membungkuk sedikit ke arah Emily dan berbisik dengan nada sarkastik."Jangan berkhayal, Emi. Melirikmu saja mungkin dia tidak tertarik."Komentar itu terasa seperti paku yang menusuk gelembung lamunan Emily. Ia menoleh pelan ke arah Leni, menahan emosi yang
"Untuk apa main-main ke luar? Lebih baik temani Ibu di rumah. Kalau Ibu ada apa-apa, siapa yang tahu?" ucap Emily, nadanya terdengar lebih serius sekarang. Kekhawatirannya akan kondisi ibunya di rumah memang sering menghantui pikirannya."Sudah-sudah. Muka kamu jadi jelek lagi tuh kalau terus marah-marah. Ingat waktu, jangan sampai kamu terlambat," ucap ibunya sambil tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana.Emily cemberut, tapi tidak bisa menahan senyumnya. "Iya, Bu. Kalau Ibu yang bilang, aku nggak bisa protes.""Sudah, siap-siaplah. Jangan terlambat, Kak," ujar ibunya lagi, nada penuh perhatian itu membuat hati Emily terasa lebih ringan."Iya, Bu. Jangan lupa makan, ya. Aku tutup dulu, ya, Bu," pamit Emily, melambaikan tangan ke layar."Iya, Kakak. Jaga dirimu, ya," balas ibunya, senyum hangatnya masih terpancar hingga panggilan berakhir.Emily menutup panggilan dan menghela napas panjang. Ia meletakkan ponselnya di meja dan memandangi wajahnya di cermin. Rasanya sedikit lebih ten
"Menarik," ujar Beni akhirnya. "Namun, saya ingin tahu, apakah insiden tadi benar-benar mencerminkan dirinya, atau justru cerminan dinamika tim Anda sendiri?"Leni terlihat sedikit kaget, tapi dengan cepat menyembunyikan reaksi itu di balik senyum diplomatisnya. "Oh, tentu saja tim kami sangat solid, Pak. Insiden tadi hanyalah sebuah ketidaksengajaan. Saya hanya ingin memastikan Anda dan Mr. Whiteller tidak salah paham terhadap kualitas kerja kami secara keseluruhan."Pak Boy, yang sejak tadi mendengarkan percakapan itu, akhirnya angkat bicara. Ia menyadari bahwa Leni mencoba menyudutkan Emily dengan cara halus di hadapan Mr. Whiteller dan Beni."Maaf, boleh saya menambahkan sesuatu?" ucap Pak Boy dengan nada yang tenang namun tegas. Ia menatap langsung ke arah Mr. Whiteller dan Beni, berusaha memastikan kata-katanya didengar dengan jelas."Tentu, silakan," jawab Mr. Whiteller sambil melipat tangannya di atas meja.Pak Boy melanjutkan, "Saya memahami kekhawatiran yang Leni sampaikan,
Wajah Sylvester tetap serius saat ia berkata, "Jangan dekat-dekat dengan Ben."Emily menghela napas. "Aku memang tak ingin dekat-dekat dengannya. Aku hanya ingin berterima kasih saja.""Tidak perlu. Dia akan besar kepala dan terus mengganggumu."Emily tersenyum tipis, malas berdebat. "Baiklah."Sylvester menoleh sebentar dan menyentuh pipi Emily dengan punggung tangannya. "Apa kau sudah benar-benar sembuh?"Emily tersenyum dan mengangguk. "Ya, aku sudah sembuh."Sylvester menghela napas panjang. "Cepat sekali kau pulihnya."Emily memutar bola matanya. "Lain kali, jangan membawaku ke tempat-tempat aneh."Sylvester terkekeh. "Aku tak pernah membawamu ke tempat aneh."Emily langsung menatapnya dengan tatapan tak percaya. "Kemarin, kau membawaku ke laut saat cuaca dingin!"Sylvester tertawa. "Laut bukan tempat yang aneh, Emily."Emily mendesah. "Ya, tapi saat musim dingin? Itu hanya orang gila yang melakukannya!"Sylvester menaikkan sebelah alis. "Berarti kau juga gila, Emily. Kau jelas-j
Tak lama setelah mereka tiba di rumah sakit, beberapa suster yang berjaga segera menghampiri dan membantu membawa Emily ke dalam. Dokter dengan sigap mengambil tindakan, lalu memindahkannya ke ruang inap untuk observasi lebih lanjut.Sylvester berdiri di depan ruangan, menatap Emily yang terbaring lemah di balik kaca. Napasnya berat, pikirannya berkecamuk. Ia berbalik menatap Ben yang masih berdiri di dekatnya."Aku tak percaya padamu, tapi boleh aku minta tolong?" ucap Sylvester akhirnya.Ben menatapnya datar. "Apa?" tanyanya."Bisa tolong jaga Emily sebentar? Ada hal yang perlu aku urus."Ben menyandarkan tubuhnya ke kursi tunggu, membuka ponselnya dengan santai. "Baiklah," jawabnya singkat. "Aku akan berjaga dari luar."Sylvester mengangguk. "Sesekali masuklah untuk mengeceknya."Ben hanya melirik sekilas. "Pergilah."Tanpa berbicara lebih banyak, Sylvester berbalik pergi. Ben tetap di kursinya, sesekali melirik ke arah pintu kamar Emily, tetapi matanya semakin berat. Ia tak sadar
Begitu tiba di penginapan, Sylvester langsung disambut dengan pemandangan yang tidak ia harapkan. Berdiri di depan pintu, dengan senyum santainya, Ben menatap ke arahnya."Mau apa kau ke sini?" ucap Sylvester dengan nada dingin dan tidak bersahabat.Ben tersenyum tipis, seolah tidak terganggu dengan sikap Sylvester. "Aku ingin menemui Emily," jawabnya santai.Saat itu juga, Emily baru saja turun dari mobil, dan Ben langsung menyapanya dengan nada menggoda. "Hai, cantik."Emily terkejut melihat kehadiran Ben di sini, sementara Sylvester semakin tidak sabar. "Untuk apa kau ke sini?" tanyanya sekali lagi, kali ini dengan nada yang lebih tajam.Ben mengangkat bahu tanpa rasa bersalah. "Apa kota ini milikmu? Siapa pun bisa datang ke sini," balasnya ringan.Sylvester menghela napas dengan kasar. "Kau pulanglah. Aku tidak ingin melihatmu di sini."Ben tertawa kecil. "Tenang saja, aku tidak tertarik bertemu denganmu. Aku hanya ingin menemui dia," ucapnya, menunjuk ke arah Emily.Sylvester sem
Begitu mereka tiba di spot snorkeling, Sylvester langsung bersiap memasangkan peralatan untuk Emily. "Biar aku pasangkan," ucapnya sambil membantu memasangkan snorkel dan pelampung di tubuh Emily. Sementara itu, ia sendiri hanya mengenakan snorkel tanpa pelampung."Kau siap?" tanyanya, menatap Emily yang masih menyesuaikan diri dengan perlengkapannya.Emily mengangguk. "Ya, siap."Tanpa ragu, Sylvester menggenggam tangan Emily. "Oke, kita lompat bersama. Satu... dua... tiga!"Byuuur!Begitu tubuh mereka menyentuh permukaan air, suara teriakan Emily langsung pecah. "Aaaaaaa! Dingin! Kau gila, Sylvester! Aku bisa mati kedinginan!"Tawa Sylvester meledak begitu melihat ekspresi panik Emily. "Bukankah aku sudah bertanya ingin ke mana, tapi kau bilang akan mengikutiku ke mana saja? Aku suka saat dingin seperti ini."Emily mendelik padanya. "Ini sedang musim dingin! Kenapa kau mengajakku ke laut?""Jika kau tahu, mengapa kau tidak protes sejak tadi?" balas Sylvester santai.Emily mengerang
Emily memutar tubuhnya sedikit, menatap Sylvester dengan alis terangkat. "Bantuan apa yang mau kau berikan, Tuan Whiteller yang terhormat?" tanyanya, suaranya sedikit menyindir.Sylvester tersenyum tipis, tapi ada keseriusan di matanya. "Kau bisa menganggapku sebagai kekasihmu."Emily terdiam beberapa detik, mencerna ucapannya. Lalu, ia tertawa kecil, meski tawanya terdengar setengah tak percaya. "Bantuan yang bagus, tapi terima kasih. Aku tidak akan mengambil bantuan itu."Sylvester tersenyum kecil, tampak tidak tersinggung. "Baiklah, itu terserahmu."Emily mengeringkan tangannya dengan handuk, lalu menatap Sylvester sebentar. "Aku sudah selesai mencuci, dan sekarang aku harus mandi. Sampai jumpa besok pagi."Tanpa menunggu jawaban, Emily berjalan menuju kamarnya, meninggalkan Sylvester sendirian di ruang makan. Sylvester menatap punggungnya hingga hilang di balik pintu, lalu menghela napas pelan sambil memutar gelas di tangannya. "Kau terlalu keras pada dirimu sendiri, Emily," gumam
…Setelah beberapa saat, Sylvester memecah keheningan. "Menurutmu, kenapa angsa selalu diidentikkan dengan cinta?" tanyanya sambil menunjuk beberapa angsa yang berenang di kejauhan.Emily mengangkat bahu ringan. "Mungkin karena saat mereka menyatukan kepala, leher mereka membentuk simbol cinta," balasnya.Sylvester mengangguk kecil. "Ya, tapi ada alasan lain. Angsa dikenal karena kesetiaan mereka. Mereka hanya kawin sekali seumur hidup dan memiliki ikatan emosional yang sangat kuat dengan pasangannya."Emily menoleh padanya, menyipitkan mata. "Lucu sekali, padahal buaya juga dikenal setia pada pasangannya. Tapi kenapa mereka malah jadi julukan untuk laki-laki brengsek?"Sylvester mengerutkan kening. "Aku tidak tahu itu."Emily tersenyum kecil. "Di negaraku, laki-laki yang suka bergonta-ganti pasangan disebut buaya. Buaya darat."Sylvester tertawa ringan. "Kenapa harus buaya? Itu tidak masuk akal.""Aku pun tidak mengerti," jawab Emily sambil memandangi sungai.Sylvester menatapnya sej
"Ke mana kita akan pergi?" tanya Emily lagi, nada frustrasi dalam suaranya saat mobil mulai melaju keluar dari gerbang rumah Amore."Kau akan tahu nanti," balas Mr. Whiteller singkat tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan.Emily mendesah, mencoba menenangkan dirinya. "Apa saja isi koper yang Amore siapkan untukku?" tanyanya, berusaha mencari tahu lebih banyak."Hanya beberapa pakaian ganti," jawab Mr. Whiteller dengan nada tenang."Beberapa? Memangnya kita akan berapa lama?" tanya Emily, alisnya mengerut, merasa tidak nyaman dengan ketidakjelasan ini."Tidak tahu," jawab Mr. Whiteller datar, seolah tidak terlalu peduli.Emily menghela napas panjang, lalu menatapnya dengan tajam. "Kenapa aku?""Huh?" Mr. Whiteller akhirnya melirik Emily sebentar, tidak benar-benar mengerti arah pertanyaannya."Kenapa kau selalu berlaku seenaknya kepadaku? Kenapa aku yang kau pilih untuk... untuk semua ini?" ucap Emily, nadanya semakin emosional.Mr. Whiteller hanya diam sejenak sebelum berkata denga
…"Em, kau bisa kembali ke ruangan dan buat persiapan untuk evaluasi besok, ada Jesselyn di sana," ucap Leni."Baiklah, aku tinggal dulu," balas Emily sambil berjalan menuju lift untuk kembali ke lantai tempat ruangannya berada.Setibanya di lantai tujuan, Emily memutuskan untuk pergi ke toilet terlebih dahulu sebelum kembali ke ruangannya. Saat melewati pintu tangga darurat, ia sempat mendengar suara seseorang di balik pintu tersebut. Suara itu terdengar samar, namun ia merasa sangat mengenali salah satu di antaranya. Meski begitu, Emily memilih mengabaikannya untuk sementara karena sudah tak tahan ingin buang air kecil.Setelah selesai di toilet, rasa penasaran Emily muncul kembali. Ia kembali ke pintu tangga darurat, membukanya perlahan, dan melangkah masuk."…Sekarang aku tak bisa.""Sampai kapan begini terus?""Tolong mengertilah. I really love you.""I really, really love you."Emily terdiam, mendengar suara yang semakin jelas. Kemudian terdengar bunyi decapan bibir. Rasa penasa
"hemm... boleh saya bergabung?" suara Mr. Whiteller terdengar, membuat Dimas dan Emily menoleh hampir bersamaan."Oh, silakan, Tuan," ucap Dimas dengan ramah sambil memberi isyarat pada kursi kosong di sebelahnya.Mr. Whiteller menarik kursi dengan anggun dan duduk. Matanya sempat melirik ke arah Emily, yang tampak sedikit canggung. "Kalian hanya berdua?" tanyanya, suaranya tenang tetapi penuh arti."Ya, kami hanya berdua, Tuan," jawab Dimas tanpa ragu.Mr. Whiteller mengangguk pelan, seolah merenungkan sesuatu. "Kalian berdua terlihat cukup akrab," ucapnya sambil tetap menatap Emily, yang kini terlihat sedikit gugup."Iya, Tuan. Kami berteman cukup akrab," jawab Dimas dengan nada santai, mencoba menjaga suasana tetap nyaman.Mr. Whiteller tidak segera menjawab. Dia hanya menganggukkan kepala, lalu melirik meja yang penuh dengan makanan."Apakah Anda mau saya pesankan sesuatu?" tawar Dimas dengan sopan." tidak perlu," balas Mr. Whiteller dengan singkat.Emily dan Dimas saling bertuka