Keesokan harinya ....Erni sesegera mungkin mencari beberapa orang pekerja baru untuk ditempatkan di butik-butik yang ia kelola.Setelah itu, Erni pun akan segera mengangkat Elis sebagai pengganti Almarhumah Zahra menempati posisi sebagai leader untuk beberapa butik yang tersebar di seluruh kota Bandung dan ada sebagian yang berada di daerah kabupaten Purwakarta dan Karawang.Erni sangat bekerja keras untuk melatih dan mengarahkan Elis agar cepat paham dengan pekerjaan yang akan ia emban. Karena mulai bulan depan Erni sudah tidak lagi mengurusi butik-butik milik Inayah, Erni diminta oleh Inayah lebih fokus ke perusahaan lain milik Inayah."Aku harap, besok kamu sudah mendapatkan orang lagi untuk bekerja di sini!" kata Erni mengarah kepada Elis yang hari itu sudah resmi ia angkat sebagai staf khusus atau leader di semua butik milik Inayah, dan tugas Elis adalah mengontrol dan mengatasi permasalahan di setiap butik milik Inayah."Iya, Teh. insya Allah ada beberapa temanku yang kemarin me
Erni mengingat kembali masa lalu tentang seorang pria yang ia cintai. Tentang hal-hal yang belum mereka sepakati sebagai cinta. Erni pernah jatuh hati kepada seorang pria dengan perasaan yang sangat mendalam, hingga pria itu membiarkan Erni tenggelam dan larut dalam sebuah kubangan perasaan yang sulit ia hindari yang secara perlahan dapat membunuh perasaannya. Semenjak itulah, perasaan Erni terkunci oleh pria tersebut. Namun pria yang ia cintai itu menusuk perlahan, dia berkhianat di antara sejuta cinta yang Erni persembahkan kepadanya. Pria itu tidak menghargai perjuangan Erni selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun dalam menggenggam erat rasa setianya itu. Dia mencampakkan Erni dan lebih memilih wanita lain, hingga Erni pun terluka. Oleh sebab itu, Erni selalu berhati-hati setiap kali mengenal seseorang. Terutama pada kaum Adam, dan Erni selalu banyak pertimbangan jika memiliki perasaan suka terhadap seorang pria—siapa pun mereka. Sikap kehati-hatian Erni itu, semua dikarena
Minggu pagi, Fatimah dan Pak Andri sudah berangkat ke pasar. Karena Erni meminta mereka belanja kebutuhan dapur untuk jamuan Airin dan Kholifah Lie Chun Hyang, yang akan datang berkunjung esok hari ke kediaman tersebut. Seperti yang telah direncanakan jauh-jauh hari oleh Airin selaku klien dari tamu tersebut. Bahwa rekan bisnisnya itu akan mengadakan pertemuan langsung dengan Inayah. "Teh!" panggil Inayah dari lantai dua rumah tersebut. Saat itu, Inayah sedang membuat formulir kerjasama yang akan ia berikan kepada Airin yang akan berkunjung langsung ke kediamannya. "Iya," jawab Erni mengangkat wajah sembari berjalan menaiki tangga menuju ke tempat Inayah berada. Setibanya di lantai atas, Erni langsung masuk ke salah satu ruangan yang merupakan ruang kerja Inayah yang ia jadikan sebagai ruang kantor selama bekerja di rumah. "Duduk dulu, Teh!" ucap Inayah lirih. Erni langsung duduk di sebuah sopa yang ada di ruangan tersebut. "Ada apa, Nay?" tanya Erni menatap wajah Inayah. "Tid
Erni tidak mengetahui kalau Tommy semasa hidupnya pernah melakukan kesalahan kepada rekan bisnisnya, ia pernah menolak keras ajakan kerjasama dari Burhan—seorang pengusaha yang dulu berhubungan baik dengan almarhum kedua orang tua Inayah. Penolakan kerjasama tersebut, menjadikan Burhan merasa dendam terhadap Almarhum Tommy, dan ia berjanji akan menghancurkan perusahaan-perusahaan milik Almarhum Tommy termasuk mengusik ketenangan hidup Inayah yang merupakan ahli waris tunggal dari Almarhum Tommy. "Kalian memang tidak dapat diandalkan," bentak Burhan kepada anak buahnya. "Maafkan kami, Bos," ucap salah seorang pria bertubuh kekar. Dia adalah anak buah Burhan yang sudah gagal dalam menjalankan tugas. Malam itu, Burhan benar-benar geram dengan hasil yang didapat oleh anak buahnya, mereka kalah telak dan gagal memenangkan tender proyek pembangunan kantor pusat pemerintahan di salah satu kota yang ada di wilayah provinsi Jawa barat. Hal itu memicu kemarahan dan emosi dari Burhan, para s
Fahmi tersenyum lebar, lalu berkata lirih di hadapan sahabatnya itu, "Kamu Salat istikharah, mohon petunjuk kepada Allah!" Kata-kata yang keluar dari mulut Fahmi mengandung kalimat nasihat yang berguna bagi Andra. Mendengar saran dari Fahmi, Andra tampak gemetaran. Niat jahatnya terhadap Fahmi seketika luntur, dan hatinya pun mulai luluh dengan sikap Fahmi yang tampak ramah dan baik terhadapnya. Andra sudah tidak kuasa lagi menatap wajah Fahmi, ia hanya diam tertunduk di hadapan Fahmi. 'Ya, Allah! Jika aku lanjutkan niat busukku ini. Aku sudah melakukan kesalahan terbesar dalam hidupku,' kata Andra dalam hati. "Ya, sudah! Kamu pikirkan saja dulu! Nanti kalau sudah menemukan jalan yang terbaik kamu langsung hubungi aku!" kata Fahmi. "Iya, Mi. Aku pasti menghubungi kamu jika sudah ada keputusan," jawab Andra lirih. Suara Andra terdengar berat, seakan-akan ada hal yang mengganjal dalam jiwanya sehingga untuk berbicara saja bibirnya tampak kelu. "Kamu kenapa, Dra?" tanya Fahmi. "Apa
Setelah itu, Inayah langsung masuk ke dalam kamar untuk segera beristirahat. Sementara Erni saat itu hanya duduk santai di ruang tengah sembari menikmati teh hangat dan beberapa potong kue yang disajikan oleh Fatimah. Malam itu, Erni sangat bersyukur. Karena dirinya sudah mampu memberikan yang terbaik buat Inayah, karena nasihat yang selama ini ia berikan untuk adik angkatnya itu, diterima dan dijalankan dengan baik oleh Inayah. "Alhamdulillah, akhirnya Inayah bisa meraih apa yang selama ini diharapkan oleh almarhum kedua orang tuanya," desis Erni lirih. "Semoga saja, Inayah istiqomah," sambungnya. Keesokan harinya .... Tepatnya di kediaman Andra, usai menjalankan Salat Duha, Andra langsung menghampiri ibunya yang saat itu sedang mengerjakan aktivitas rutin di ruang dapur. "Bu!" kata Andra lirih. "Iya, Nak. Ada apa?" Bu Ira bangkit dan balas bertanya dengan memandang wajah Andra. "Aku mau menemui Fahmi di kantornya, Bu," jawab Andra lirih. "Loh, memangnya kamu hari ini tidak ma
Sore harinya, Fahmi langsung menghubungi Erni. Fahmi membicarakan tentang kesiapan Andra untuk segera bergabung di perusahaan yang dipercayakan oleh Inayah kepadanya. "Harusnya kamu itu langsung datang ke sini. Jangan bicara melalui telepon!" kata Erni di sela perbincangannya dengan Fahmi. "Kamu kangen sama aku, yah?" gurau Fahmi menanggapi perkataan Erni. "Iya," jawab Erni reflek. "Tuh, 'kan. Sudah aku duga," tuduh Fahmi tertawa kecil. Erni pun langsung diam, ketika mendengar Fahmi berbicara demikian. Seolah-olah, Erni menjadi malu sendiri. Fahmi dan Erni saat itu, secara diam-diam ternyata sudah menjalani hubungan spesial tanpa diketahui oleh Inayah ataupun yang lainnya. Mereka sengaja menutupi hubungan tersebut, karena Erni menganggap belum waktunya orang lain tahu dan cukup merekalah berdua yang mengetahui hal itu. Dua Minggu kemudian, sepulang dari kantor Fahmi duduk santai di ruang tengah. Kedua orang tuanya saat itu sedang tidak ada di rumah, mereka sedang pulang kampung
Satu jam kemudian, Fahmi sudah mulai sadar. Tampak perban putih sudah melekat di kening dan bahu serta pergelangan tangannya, wajah Fahmi pun tampak memar dan bengkak."Terima kasih, Dok," ucap Riko mengarah kepada dokter yang baru saja merawat dan membersihkan luka Fahmi."Iya, Pak. Sama-sama, ini obatnya. Nanti tolong diberikan langsung sesuai dosis!" kata dokter tersebut dengan sikap ramahnya.Riko balas tersenyum dan langsung menerima beberapa jenis obat yang diberikan oleh dokter itu. Selanjutnya dokter tersebut langsung pamit dan berlalu dari kediaman Fahmi. Begitupun dengan para warga satu persatu mereka pamit dan berlalu dari rumah itu.Andra tampak menyesal dan ia merasa terpukul dengan kejadian yang baru saja menimpa sahabatnya itu."Maafkan aku ya, Mi. Aku janji akan membalas semua perbuatan mereka!" ungkap Andra tertunduk di hadapan Fahmi yang saat itu sudah bisa duduk."Ini musibah, Dra. Tidak ada sangkut pautnya dengan kamu," ujar Fahmi tersenyum memandang wajah Andra yan
Usai memberitahukan Rafie, Fahmi dan kedua rekannya segera bersiap untuk mendatangi rumah yang dicurigai menjadi tempat disekapnya Lina. Mereka sangat yakin kalau Lina ada di rumah itu, sesuai dengan apa yang dilihat oleh Fahmi. "Aku sangat berharap tidak terjadi apa-apa dengan Lina," kata Fahmi lirih sembari mengemudikan mobilnya menuju ke sebuah komplek yang tidak jauh dari tempat mereka berkumpul tadi. "Aku yakin, pelakunya adalah Alex." Andra mulai menaruh kecurigaan terhadap Alex yang merupakan orang dekat Lina. Karena akhir-akhir ini, Alex sedang bermasalah dengan Lina, semua dipicu oleh sikap Lina yang sudah menolak pinangan Alex. "Jangan su'udzon dulu. Kita buktikan saja nanti!" sahut Riko. Andra menoleh ke arah Riko, kemudian berkata lagi, "Aku berkata seperti ini, karena aku mendengar sendiri bahwa Alex mengancam Lina," tandas Fahmi. Setibanya di persimpangan jalan yang dekat jembatan yang tembus ke pintu gerbang komplek yang dituju, Fahmi menghentikan laju mobilnya sej
Secara tidak langsung Inayah mempunyai tugas dan kepercayaan dari almarhum kedua orang tuanya untuk mengelola beberapa perusahaan peninggalan mereka. Mulai dari pengelolaan keuangan dan pemanfaatannya, Inayah yang harus mengurusnya. Karena Inayah merupakan putri semata wayang dari Almarhum Tommy dan Celly. Akan tetapi, setelah Erni paham dan mengerti dengan tatanan bisnis yang dikelola Inayah. Inayah pun langsung mempercayai Erni sepenuhnya dalam mengelola perusahaan peninggalan dari kedua orang tuanya itu. Saat itu, yang mengurus semuanya adalah Erni dengan dibantu beberapa staf kepercayaannya dan Inayah sudah jarang ikut campur, dan ia sangat percaya dengan kinerja Erni, karena selama ini Erni sudah dinilai baik dalam menjalankan tugas jujur dan amanah. Pukul setengah lima sore, Inayah hanya duduk santai bersama Fatimah dan Jubaedah di ruang tengah kediamannya itu. Rafie sore itu masih belum pulang, karena masih berada di lokasi pondok pesantren yang saat itu masih dalam tahap pe
Sebulan setelah itu, Rafie dan keluarga Tiara sudah menentukan hari pernikahannya dengan Tiara. Hal tersebut sudah sepenuhnya disetujui oleh Inayah yang merupakan istri pertama Rafie. Pukul setengah enam sore, Rafie sudah berada di kediamannya. Ia tampak murung dan merasa kurang bahagia sore itu. Entah apa yang membalut jiwa dan pikirannya saat itu? "Aa kenapa? Mau nikah kok malah murung seperti ini sih?" tanya Inayah duduk di sebelah suaminya. Rafie menoleh ke arah Inayah, kemudian memandang wajah istrinya. "Aa tidak dosa, 'kan kalau menikah lagi?" Rafie menjawab dengan sebuah pertanyaan. Inayah tersenyum sambil memandang wajah suaminya. "Tidak ada yang bisa dikatakan dosa. Ini semua sudah menjadi keputusan aku, dan jika Aa benar-benar mencintaiku. Maka penuhi permintaan ini!" kata Inayah tersenyum. Ucapan Inayah sungguh sulit dimengerti, hal itu membuat Rafie jatuh ke kubangan dilema besar. Entah apa lagi yang hendak ia perbuat saat itu, tidak ada niat untuk menolak. Bukan berar
Beberapa hari kemudian, Inayah mengajak Rafie untuk berkunjung ke rumah Tiara. Dalam rangka menengok Tiara yang saat itu baru saja pulang dari rumah sakit, setelah hampir satu Minggu ia dirawat. Tiara masih dalam proses pemulihan setelan dilakukan perawatan di rumah sakit, ia mengalami gangguan lambung akibat keseringan telat makan dan juga mengalami depresi yang sangat hebat. "A, nanti sore kita ke rumah Tiara yuk!" ajak Inayah lirih. Rafie hanya tersenyum, kemudian menganggukkan kepala sebagai tanda menyetujui ajakan dari istrinya. Lalu Inayah bangkit dan segera bersiap untuk melaksanakan makan siang bersama dengan suaminya. "Ayo, A. Kita makan dulu!" kata Inayah lembut. "Iya, Neng." Rafie segera bangkit dan langsung berjalan mengikuti langkah sang istri menuju ruang makan. "Bedah ... Teh Fatimah!" panggil Inayah. "Iya, Neng. Ada apa?" tanya Fatimah bersikap ramah di hadapan majikannya itu. Inayah tersenyum, lalu menjawab, "Kita makan bareng di sini. Sekalian ajak bedah!" "N
Pagi hari sekitar pukul 03:30, Inayah sudah terbangun dari tidurnya. "Masya Allah!" Inayah tampak kaget setelah sadar kalau suaminya sudah tidak ada di kamar, ia bangkit dan bergegas keluar. Inayah tampak khawatir, mengingat Rafie sedang dalam kondisi tidak sehat, Inayah mencari ke ruang tengah Rafie tidak ada di ruangan tersebut. Kemudian Inayah melangkah ke arah ruang Musala, tersenyumlah ia, ketika mendapati suaminya sedang berdzikir khusyu. "Alhamdulillah ...! Ya Allah, suami hamba sudah sembuh," ucap Inayah penuh rasa syukur. Bukan hanya Inayah dan Rafie saja yang sudah bangun, Fatimah dan Jubaedah pun saat itu sudah terbangun dari tidur mereka. "Neng, mau Teteh buatkan teh manis?" tanya Fatimah mengarah kepada Inayah. "Tidak usah, Teh. Aku mau mandi dulu, tanggung sebentar lagi subuh!" tolak Inayah halus. "Oh ... iya, Neng," kata Fatimah langsung menuju ruang dapur. Inayah pun langsung melangkah menuju kamar mandi dan segera membersihkan diri, bersiap untuk melaksanakan S
Kemudian, Icha langsung merapikan hijab. Ia bangkit dan langsung pamit kepada Inayah. Setelah mengucapkan salam, Icha langsung berlalu dari hadapan Inayah. Inayah hanya berdiri menatap mobil putih yang Icha kemudikan, melaju keluar dari halaman rumahnya. Setelah itu, Inayah bergegas masuk ke dalam untuk kembali melanjutkan pekerjaannya. Membuat desain dan merapikan data-data yang sudah dilaporkan oleh Erni. *** Malam harinya selesai Salat Magrib, Inayah dan suaminya langsung makan malam bersama. “Teh Erni pulangnya kapan, Neng?” tanya Rafie menatap wajah Inayah. “Kalau sedang makan tidak boleh berbicara!” ucap Inayah sedikit bergurau. "Oh, iya. Lupa ... maaf Bu Ustadzah," jawab Rafie tersenyum-senyum. Inayah hanya menganggukan kepala kemudian melanjutkan makannya. Selesai makan Inayah mendampingi suaminya yang sedang mengerjakan tugas kantor membantu dirinya. "Neng, bisa buatkan Aa kopi!" bisik Rafie menoleh ke arah Inayah yang duduk di sebelahnya. "Iya, A." Inayah bangkit da
Inayah tersenyum dan menganggukkan kepalanya perlahan ia pun berkata dengan nada rendah. "Aku percaya A. Namun, jika ada rasa cinta dalam diri Aa terhadap Tiara sebaiknya Aa katakan saja! Percayalah ... jika niat Aa baik untuk menikahi Tiara, Inayah ikhlas kok, A!" ujar Inayah mengejutkan. Sejatinya, Inayah tidak merasa benci terhadap Tiara. Dia hanya khawatir Tiara akan berbuat nekat jika tidak berhasil bersanding dengan suaminya. Inayah sudah paham dengan sifat Tiara, ia tidak mau hijrahnya Tiara harus luntur karena merasa sakit hati tidak berhasil menikah dengan Rafie. Rafie tampak kaget dengan kalimat yang diucapkan oleh istrinya itu. Dengan segenap rasa penasaran, Rafie kemudian bertanya, "Maksud kamu apa, Neng?" Inayah hanya diam saja ketika mendengar pertanyaan suaminya. "Tidak sepantasnya kamu bicara seperti itu!" imbuh Rafie masih tetap lembut bertutur kata. Inayah tersenyum dan kembali berkata penuh dengan kebijaksanaan, "Aa tak seharusnya menjawab pertanyaanku sekaran
Pukul setengah sembilan, Rafie dan Inayah sudah berangkat ke tempat proyek pembangunan pondok pesantren. Sementara Erni, pagi itu sudah berada di kantor baru yang tidak jauh dari kediaman Inayah hanya berjarak beberapa meter saja, karena kantor tersebut berada tepat di depan halaman rumah. Dua puluh menit kemudian ... Inayah dan Rafie sudah berada di lokasi proyek. Tiara pun sudah tiba di lokasi proyek itu bersama Icha dan para donatur lainnya. Salah seorang arsitek didatangkan oleh Tiara untuk merancang bangunan pesantren tersebut, memang terkesan baik dan sangat dermawan sikap Tiara saat itu. Ia mendukung sepenuhnya proses pembangunan pondok pesantren tersebut. Meskipun, pada dasarnya ada kemauan yang tersimpan dalam pikiran Tiara dan niat kuat pula dalam benaknya. "Assalamualaikum, selamat pagi, Pak Ustadz," ucap pria paruh baya dengan mengenakan helm putih dan berkacamata hitam, menyapa lirih Rafie yang saat itu sedang duduk bersama istrinya. Rafie dan Inayah menjawab ucapan
Entah kenapa Icha menjadi benci seketika terhadap prilaku Tiara, yang berusaha memanfaatkan kedekatannya dengan Rafie dengan maksud dan tujuan untuk meraih simpati dari Rafie. Sepulang menemani Tiara dan Rafie, Icha langsung memberitahu Inayah tentang kedekatan Tiara yang menurut Icha ada sesuatunya, dan Icha sangat yakin kalau Tiara itu punya perasaan lebih terhadap Rafie bukan hanya dari sekadar persahabatan saja. "Kamu yakin, Cha?" tanya Inayah setelah mendengar laporan dari Icha. Dua bola matanya menatap tajam wajah Icha. Icha merupakan sahabat dekat Inayah sewaktu masih duduk di bangku SMA sama seperti Tiara dan juga Almarhum Rangga, dulu mereka sama-sama satu angkatan. "Masya Allah, Nay! Aku tidak mungkin bohong, aku bicarakan ini semua kepada kamu, karena aku tidak mau melihat kamu terluka," jawab Icha meyakinkan sahabatnya itu. "Terus, A Rafie sekarang ke mana?" tanya Inayah lagi. "Rafie pergi ke kantor cabang, katanya mau menemui Reno." Icha menjawab lirih pertanyaan Ina