“Aku nggak akan melepaskanmu begitu aja setelah kamu menyakiti hatiku,” ucap Aldin dalam hatinya sambil melirik sang istri dengan sinis.
“Bara! Gara! Ayo kita masuk, Sayang!” ajak Sisil pada keponakannya.
“Iya, Tante,” jawab Bara dan Gara serempak. Lalu mereka pun turun dari saung gajebo itu.
“Om, ayo kita masuk!” ajak Gara pada Aldin yang melihat om kesayangannya masih duduk di saung gajebo dengan kaki yang menjuntai ke bawah.
Aldin pun tersenyum sambil menganggukkan kepala menanggapi ajakan keponakannya. Ia terpaksa mengikuti kemauan sang keponakan, walaupun hatinya akan terasa perih lagi jika melihat wajah istrinya.
“Bara, kamu pegang tangan Om ya!” Aldin melepas genggaman tangan keponakannya itu. Kemudian digantikan dengan tangannya. Ia menggandeng tangan Sisil sambil meremasnya dengan kuat.
Sisil meringis kesakitan saat tangannya diremas oleh sang suami yang sudah dibutakan kekecewaan. Saat harga diri seorang laik-laki merasa diinjak-injak oleh seorang wanita terlebih lagi wanita itu adalah istrinya sendiri, orang yang ia cintai, seorang laki-laki akan sangat marah bahkan mereka akan membalas menyakitinya.
Sisil menahan rasa sakitnya agar keponakannya tidak mengetahui kelakuan omnya. Setelah mereka masuk ke dalam rumah ternyata Mommy Gara dan Bara yang tak lain adalah sahabatnya sendiri sudah ada di dalam.
“Hai, Kakak ipar,” sapa Andin pada sahabatnya. “Makasih ya udah jagain anak gue,” ucapnya sambil tersenyum.
Sisil hanya tersenyum menanggapi ucapan sahabatnya. “Bara, Gara, Tante masuk dulu ya.” Sisil pun berjalan cepat menuju kamarnya.
“Sisil kenapa?” Andin terus menatap sahabatnya yang berjalan begitu cepat menuju kamarnya. “Sayang, kalian main sama Om dulu ya, Mommy ada urusan sebentar sama Tante.”
Setelah menitipkan si kembar pada abangnya, Andin pun segera manyusul Sisil ke kamar. Pintu kamar tidak terkunci sehingga Andin bisa masuk ke dalam kamar abangnya. Andin berjalan dengan sangat hati-hati.
“Sisil mana?” Andin celingukkan mencari sahabatnya. “Mungkin di sana, tapi kenapa pintunya nggak di tutup,” gumam Andin saat melihat pintu kamar mandi terbuka lebar.
Andin berjalan pelan menuju kamar mandi. Ia segera mendekatinya saat melihat Sisil sedang merendam tangan kirinya di dalam ember kecil.
“Sil, tangan lo kenapa?” Andin ikut berjongkok di depan Sisil. Ia bertanya-tanya dalam hati, apa yang terjadi dengan sahabatnya.
“Nggak apa-apa, cuma pegel aja,” ucap Sisil pelan. Ia berusaha menyembunyikan masalahnya pada sang sahabat, tapi tidak terasa air matanya luluh begitu saja.
“Sil, sebenarnya lo kenapa? Cerita sama gue!” Andin menarik tangan Sisil yang direndam air hangat. “Siapa yang nyakitin lo? Abang gue?” tanya Andin yang juga ikut menangis. Sambil mengacungkan tangan sahabatnya.
Sisil tidak menjawab sepatah kata pun pertanyaan sahabatnya. Ia hanya bisa menangis menghadapi setiap perlakuan kasar sang suami. Kemudian Sisil bagun dan berdiri, lalu keluar dari kamar mandi.
Andin menikuti Sisil yang duduk di tepi tempat tidur. Sisil mengelap air matanya dengan tisu. “Gue nggak apa-apa,” jawab Sisil sambil terisak.
“Sil, gue bukan adik ipar lo, gue ini sahabat lo. Kenapa sekarang lo nggak anggap gue sahabat lo lagi.” Andin duduk di samping sahabatnya. Lalu memegang kedua bahu sahabatnya dan memutarnya agar menghadapnya. “Apa pun yang terjadi antara lo dan abang gue, lo tetep sahabat gue, Sil,” kata Andin sambil menangis.
Sisil pun memeluk sahabatnya sambil menangis, meluapkan semua kesedihannya. “Al, tahu kalau aku taruhan untuk meluluhkan hatinya. Ia pikir aku menikahinya cuma karena taruhan itu,” ucap Sisil sambil terisak dalam pelukan sahabatnya.
Andin melepas pelukan sahabatnya. “Lo nggak bilang kalau lo mencintainya sebelum taruhan itu?” tanya Andin pada Sisil.
“Udah, tapi dia nggak percaya sama gue. Semua yang gue ucapkan dianggap dusta,” jawab Sisil.
“Terus lo diem aja disakiti Abang gue kayak gini.” Andin mengangkat tangan Sisil yang masih terlihat memerah. “Lo jangan lemah, Sil! Ini bukan Sisil yang gue kenal.”
“Tadi ‘kan ada Bara sama Gara, masa iya gue bar-bar di depan anak lo, ntar dia manggil gue Tante bar-bar, bukan Tante cantik lagi,” sahut Sisil sambil memonyongkan bibirnya.
“Terus rencana lo apa? Gue selalu dukung lo.” Andin mengusap-usap lengan sahabatnya.
“Gue nau pisah-”
“Kalau ini gue nggak setuju.” Andin memotong ucapan Sisil sebelum sahabatnya itu menyelesaikan ucapannya. “Gue nggak mau kalian pisah. Kalian saling mencintai, kenapa harus pisah? Apa lo udah nggak cinta lagi sama Abang gue?”
“Untuk apa bersama kalau hanya saling menyakiti,” jawab Sisil sambil tersenym tipis. “Lebih baik kita berpisah, mungkin aku dan Aldin bisa berteman baik, walau kita sudah bercerai.”
“Gue bakal bilang sama Bunda,” kata Andin. Ia tidak mau kalau sampai Abang dan sahabatnya berpisah karena Andin tahu persis perjuangan sahabatnya itu untuk mendapatkan hati orang yang dicintainya.
“Jangan, Din, lo jangan bilang siapa-siapa! Ibu lagi kurang sehat, jangan sampai dia mendengar masalah gue dan Aldin. Gue takut Ibu jadai kepikiran terus sama gue.
”Lo udah berjuang sampai saat ini, masa lo harus melepaskan begitu aja cinta yang udah lo dapetin,” sahut Andin. Ia tidak habis pikir, kenapa masalahnya bisa serumit ini.
“Gue udah capek, Din. Gue nggak mau cinta ini membunuh gue secara perlahan.” Sisil bangun dari duduknya, lalu pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka. Setelah itu ia memakai tetes mata agar matanya tidak terlihat merah lagi karena habis menangis.
“Terserah lo dah! Apa pun keputusan lo, gue pasti dukung, tapi gue tetap berharap kalau kalian bisa bersama lagi.” Andin juga masuk ke kamar mandi untuk mencuci mukanya.
“Kita keluar yuk!” ajak Andin pada sahabatnya setelah selesai mencuci muka.
Sisil pun menganggukkan kepalanya pelan sambil tersenyum. “Gue akan bertahan sampai Ibu benar-benar sehat.”
Andin berjalan di samping Sisil sambil merangkul bahu sahabatnya itu. “Gue akan selalu dukung lo. Apa pun keputusan lo nanti. Gue berharap itu yang terbaik buat kalian,” ujar Andin sambil mengusap-usap lengan anaknya.
“Mommy sama Tante abis ngapain sih lama banget!” protes Bara pada Mommy dan tantenya ketika mereka berpapasan di tangga. Kedua anak kembar itu ingin menyusul sang mommy ke kamar tantenya.
“Iya, aku dari tadi nungguin Mommy sama Tante cantik,” timpal Gara.
“Kalian abis ngapain sih di dalam? Aku capek dari tadi ngeladenin ocehan nih anak dua,” kata Aldin sambil menunjuk kedua keponakan kembarnya.
“Bara, Gara, ayo kita makan!” Andin berjalan sambil menggandeng tangan kedua anaknya, meninggalkan Sisil dan Aldin.
Aldin meraih tangan Sisil, tapi diempaskannya dengan kasar tangan suaminya itu. “Lo mau nyakitin tangan gue lagi?” tanya Sisil pelan sambil menunjukkan tangannya yang masih memerah. “Tangan ini yang lo sakiti, tapi sakitnya tuh di sini, sakit banget,” ucap Sisil sambil menunjuk dadanya dengan jari telunjuk.
Aldin dan Sisil tidak menyadari kalau dari tadi ada yang menguping pembicaraannya. Dia adalah Bunda Anin, ibu dari Aldin. “Aldin Putra Pradipta, yang terhormat. Dengarkan aku! Kamu akan menyesal karena udah menyakiti hati istrimu ini,” kata Sisil dengan tegas sambil menunjuk dirinya sendiri. “Kamu akan menyesalinya seperti aku yang sangat menyesal karena terlalu mencintaimu.” Setelah mengucapkan semua itu, Sisil pergi meninggalkan suaminya yang diam mematung setelah mendengar ungkapannya. Aldin pergi ke kamar diikuti oleh bundanya. Bunda Anin ikut masuk ke kamar anaknya, ia sangat kecewa dengan kelakuan sang putra. “Al … Bunda kecewa sama kamu,” ucap Bunda Anin tanpa basa-basi. Alis Aldin betaut, ia bingung dengan ucapan bundanya. “Emangnya Abang ngelakuin apa sama Bunda?” tanya Aldin penuh dengan keheranan. “Bunda tahu apa yang kamu lakukan sama
Aldin pergi meninggalkan meja makan dengan penuh amarah. Ia tidak habis pikir, bundanya sendiri mengizinkan orang lain untuk mengambil istrinya. Ia masuk ke dalam kamar dan menutup pintu dengan keras.“Aku mencintainya sangat mencintainya. Tapi, aku juga membencinya karena dia telah membohongiku!” teriak Aldin. “Aku nggak mau orang lain mengambil apa yang sudah menjadi milikku.” Aldin melempar semua barang yang ada di sekitarnya. Ia sudah seperti orang gila yang kerasukan setan.Aldin tidak suka kalau istrinya dekat dengan laki-laki lain, tapi ia juga tidak bisa bersikap manis pada istrinya. Bayangan wajah sang istri ketika tertawa bahagia saat memenangkan dirinya selalu terbayang dalam ingatan yang membuat ia semakin merasa terhina. Orang yang ia cintai telah mengecewakannya.“Kenapa aku seperti ini!” teriak Aldin sambil mengacak-acak rambutnya. Ia marah pada diri sendiri karena tidak
“Tante cantik … Tante cantik!” kita main yuk!” Bara dan Gara mengetuk kamar Aldin dan Sisil sambil memanggil tantenya.“Tante cantik! Buka dong pintunya!” Bara berteriak sambil mengetuk pintu kamar tanpa henti.Sebelum Sisil menjadi istri Aldin. Mereka memang sudah sangat dekat dengan Sisil karena sang mommy bersahabat dengan tantenya.“Mungkin Tante lagi tidur, ayo kita main sama mommy aja!” ajak Gara pada adiknya. Gara memnag sedikit lebih kalem dari Bara. Ia anak yang penurut dibandingkan dengan Bara, adik kandungnya.“Tapi, aku mau main sama Tante cantik.” Bara tidak mau pergi walaupun Gara memaksanya untuk tidak mengganggu sang tante.Berkali-kali Bara mengetuk pintu sambil berteriak memanggil Sisil, tapi tidak ada sahutan dari dalam, sehingga Bara masuk ke kamar tantenya tanpa izin.
Sisil menghampiri anak kembar dari sahabatnya yang sekarang resmi menjadi adik iparnya. “Sayang, katanya mau main sama Tante, tapi kenapa kalian pergi?”“Tadi kata Om Al, mainnya ntar sore aja,” sahut Gara yang sedang belajar menulis sementara Bara sedang bermain robot-robotan.“Oh begitu ya.” Sisil duduk di antara mereka, memerhatikan kedua anak kembar dari sahabatnya itu.“Iya, Tante, makanya kami pergi dari kamar Tante.” Kini Bara yang menimpali.Sisil mengganggukkan kepalanya, lalu mendekati Gara. “Tulisanmu bagus, Sayang,” puji Sisil sambil membelai rambut Gara. “Bara kenapa nggak belajar juga kayak abang?” Sisil menoleh pada Bara yang sedang asyik dengan mainannya.“Belajar tuh ngebosenin, Tante,” jawab Bara dengan santainya. “Aku nggak suka belajar,” imbuhnya.
Sisil masuk ke dalam kamar sambil bersenandung. Tidak peduli lagi dengan masalahnya. Ia akan berusaha melupakan semuanya. Melupakan pernikahan, dan bahkan suaminya.Hatinya terlalu sakit saat orang yang paling ia cintai tidak memercayainya bahkan begitu tega menyakiti raga dan batinnya.“Sisil!” panggil Aldin pada gadis mungil yang melenggang dengan santai di hadapannya menuju kamar mandi.Sisil menoleh pada suaminya tanpa mengatakan apa pun. Ia hanya menatap Aldin, menunggunya untuk mengatakan sesuatu. Tapi, Aldin tidak kunjung bersuara juga.Melihat Aldin hanya bengong saja tanpa berbicara sepatah kata pun, Sisil kembali melanjutkan langkahnya.“Seeorang istri nggak boleh pergi dengan laki-laki lain tanpa izin suaminya.”Ucapan Aldin menghentikan langkah kaki Sisil. Kemudian ia membalikkan badannya menghadap Aldin.
Ketika pintu kamar mandi dibuka, kedua jagoan sahabatnya sudah berdiri didepan pintu. “Kalian ngapain?” tanya Sisil sambil mengucek rambutnya yang masih basah dengan handuk kecil.“Kalian mau pulang?” tanya Sisil pada Bara dan Gara.Kedua anak itu saling pandang dan menggelengkan kepalanya. “Nggak kok, kami mau nginep,” jawab Gara dengan segera.“Nanti Tante cantik tidur di kamar kita ya.” Kini Bara yang bersuara.“Tante aku mau lihat foto tadi dong.” Gara menarik-narik baju tantenya. Gara sengaja mengalihkan pembicaraan supaya sang tante tidak banyak bertanya lagi.“Sebentar!” Sisil berjalan menuju nakas, lalu mengambil ponselnya dan memberikannya pada Gara.“Bang, aku mau lihat juga dong!” Bara merebut paksa ponsel tantenya yang dipegang Gara.
Bunda Anin membuka pintu kamar Andin tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu membuat Andin dan Sisil terkejut. “Andin, Sisil, ayo kita makan malam!”“Bunda, kenapa nggak ketuk pintu dulu? Ngagetin kita aja,” ucap Andin sambil mengelus dada.“Emangnya kalian lagi ngomongin apaan?” tanya Bunda Anin yang masih berdiri di ambang pintu.“Kepo!” jawab Andin sambil bangun dari duduknya, kemudian menghampiri sang bunda.“Sil, kamu panggil suamimu dulu ya!” titah Bunda Anin pada menantunya. Bukannya ia lupa dengan permasalahan anak dan menantunya, tapi Bunda Anin tidak mau Aldin dan Sisil semakin menjauh.“Iya, Bun,” jawab Sisil sambil tersenyum pada mertuanya. Ia akan bersikap seolah-olah sudah baikan dengan sang suami supaya sang mertua tidak kepikiran terus tentang masalahnya.“Bukannya Aban
Sisil segera mengemas pakaiannya setelah menandatangani surat kesepakatan. Ia memasukan semua pakaiannya ke dalam koper.“Jangan bawa terlalu banyak! Nanti kalau kamu main ke sini nggak perlu bawa baju ganti,” titah Aldin yang juga sedang mengemas pakaiannya.Sisil kembali menaruh sebagian pakaiannya ke lemari tanpa menyahuti ucapan suaminya. Setelah selesai berkemas Sisil keluar dari kamar tanpa bicara sepatah kata pun pada Aldin.Aldin membaringkan tubuhnya di tempat tidur sambil memegang ponsel baru yang ia beli untuk istrinya. “Apa aku buang aja. Dia juga udah nggak mau menyimpan kenangan aku dan dia. Aku juga nggak mau menyimpannya, cuma menambah luka di hati aja.”Ketika ia hendak mengeluarkan kartu memori dari dalam ponsel tersebut, ia ingat tentang ayah Sisil yang sudah meninggal. “Jangan-jangan di sini banyak foto ayahnya.”Aldin memer
Kemudian membenamkan wajahnya di antara kedua pada sang istri. Lalu pria itu mengeluarkan jurus lidah membelah semak-semak."Mas ...." Amy menggelinjang sambil mencengkram rambut sang suami. "Ampun, Mas!"Walaupun sang istri meminta ampun, ia tidak mendengarkan ucapan istrinya. Rudi terus melanjutkan aksinya.Sentuhan lidah dan tangannya berhasil membuat Amy menjerit merasakan kenikmatan yang bergejolak di dalam tubuhnya. Kenikmatan yang baru pertama kali ia rasakan.Ia meninggalkan jejak-jejak cinta di tubuh sang istri. Amy menjerit saat Rudi menyesapi pusat intinya dengan rakus."Mas ... awas, aku pengin pipis."Amy mendorong wajah suaminya, berusaha menyingkirkan kepala sang suami dari daerah keramatnya."Namun, Rudi tidak mau menuruti keinginan sang istri, ia malah melakukan aksinya lebih dan lebih lagi."Mas ... aahhh...!"Napas wanita itu sudah tersengal-sengal. Ia menjerit merasakan kenikmatan yang lua
"Mas, aku tidur duluan ya." Setelah mandi dan berpakaian Amy naik ke tempat tidur.Wanita itu menyingkirkan kelopak mawar merah yang sudah kembali ditata berbentuk hati. Ia malah membersihkannya tanpa sisa. Kelopak bunga itu berserakan di lantai.Rudi hanya melongo melihat itu semua. 'Kenapa? Apa dia marah atau efek kelelahan?'"Sayang, kok bunganya dibuang?" tanya Rudi setelah naik ke tempat tidur."Memangnya kenapa? Nggak boleh ya? Emangnya itu buat apaan?"Amy malah balik bertanya kepada suaminya."Boleh," jawab Rudi cepat. "Sekarang kamu istirahat ya." Rudi mencium kening istrinya dengan mesra. Ia tidak mau membahas hal sepele yang akan memancing keributan.Amy meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku, lalu membalikkan badannya membelakangi sang suami.Terdengar bunyi ketika Amy meregangkan otot-ototnya.'Kelihatannya dia sangat lelah.' Rudi memijat bahu sang istri dengan lembut. "Kamu capek ya?"
Pasangan pengantin baru itu menunggu di depan ruang bersalin."Dari dulu sampai sekarang lo selalu merepotkan gue, Sil," gumam Rudi sambil menatap pintu ruang bersalin."Mas, nggak boleh ngomong kayak gitu! Kalau nolong tuh harus ikhlas.""Kamu tahu?" Rudi memegang bahu Amy sembari menatap wajah sang istri.Amy menggeleng pelan. "Nggak!""Oh iya, aku belum ngomong," kata Rudi sembari menyeringai. "Sejak dia nikah, yang ngurusin Sisil kalau lagi berantem sama Aldin itu aku, dari dulu sampai sekarang tuh anak dua merepotkan banget.""Kalau nggak ikhlas nolongnya nanti kamu nggak bakal dapat pahala loh, Mas. Lagian Tuan Aldin dan Mbak Sisil udah baik banget sama aku.""Iya, Sayang, maafkan aku." Rudi memeluk mesra wanita yang dinikahinya beberapa jam lalu. "Aku hanya heran aja, kenapa Aldin tidak pernah ada di saat Sisil butuh."Amy melepas pelukannya karena ia merasa malu berpelukan di tempat umum."Tadi 'kan Tuan Al
Andin mengetuk-ngetuk pintu dengan keras sembari berteriak memanggil nama sahabatnya.Beberapa detik kemudian pintu kamar mandi terbuka. "Lo kebelet juga?" tanya Sisil sembari meringis."Gue khawatir sama lo," sahut Andin. "Sil, lo baik-baik aja 'kan?"Ibu dua anak itu merasa khawatir dengan kakak iparnya yang terlihat sangat pucat."Gue mules, Din," jawab Sisil. "Tapi, dari tadi nggak keluar-keluar.""Jangan-jangan kamu mau ngelahirin." Andin segera memapah Sisil menuju ranjang pengantin."Tiduran dulu, Mbak. Aku panggil Tuan Aldin dulu." Setelah membantu Sisil berbaring di tempat tidur pengantin. Ia berlari keluar memanggil suami Sisil.Tempat tidur yang sudah dirancang untuk pengantin baru, dengan taburan kelopak bunga mawar merah yang membentuk hati, kini berantakan oleh Sisil yang sedang merasakan kontraksi."Perut lo sering kontraksi nggak?" tanya Andin pada Sisil setelah memberikan air minum kepada sahabatnya itu.
Di kediaman Amy sedang disibukkan dengan persiapan acara akad nikah yang akan dilaksanakan siang hari dan langsung dilanjut dengan resepsi.Hari ini adalah hari kebahagiaan Amy dan Rudi setelah beberapa bulan lalu Rudi melakukan lamaran dadakan.Amy menginginkan pesta yang sederhana. Mereka hanya mengundang keluarga, kerabat dekat, dan beberapa rekan kerja Rudi."Amy, kamu cantik sekali," puji Sisil saat gadis manis itu selesai dirias.Amy mengenakan kebaya pengantin berwarna putih dengan bordiran bunga dan aksen-aksen mutiara melengkapi penampilannya sebagai pengantin sunda.Siger berwarna silver bertengker indah di kepalanya. Dan beberapa hiasan lainnya, seperti untaian melati yang semerbak.Hiasan daun sirih berbentuk wajik di tengah keningnya semakin mempercantik riasan wanita itu.Akad nikah berlangsung di lantai bawah, di mana resepsinya dilakukan. Sedangkan Amy berada di dalam kamar pengantin ditemani oleh Sisil.'
Hai semuanya, terima kasih terima kasih terima kasih untuk kalian yang sudah mengikuti cerita recehku. Maaf, atas semua hal yang mengecewakan kalian, entah dari alur, typo atau kesalahan penulisan nama tokoh. Aku sungguh-sungguh minta maaf. Untuk kedepaannya aku akan belajar menulis dengan baik lagi. Maaf, kalau selama ini slow update karena kemarin aku lagi kurang sehat, tapi alhamdulilah sekarang udah sembuh dan bisa menamatkan cerita ini. Jika ada keluhan, silakan komen di bawah ini. Aku menerima kritik dan saran dari kalian semua untuk membangun aku menjadi lebih baik lagi. Love sekebon untuk kalian yang sudah mendukung aku dan cerita-cerita recehku. Sampai jumpa di cerita yang baru. Eh, Pengantin Tuan Haidar masih lanjut. Insyaallah aku akan rajin update lagi. I LOVE YOU ALL MY READERS.
Setelah beberapa hari pulang dari rumah sakit. Kondisi kesehatan Amy semakin membaik.Berada di tengah-tengah orang yang menyayanginya membuat Amy bersemangat untuk segera sembuh."Amy, kamu mau ke mana?" tanya Sisil ketika Amy bangun dari duduknya.Wanita hamil itu sedang berada di rumah Amy. Ia jarang sekali berada di rumahnya. Sisil selalu berkunjung ke rumah sahabat, mertua, dan juga teman barunya.Sisil pergi tidak sendiri, ia pasti ditemani Andin atau Bunda Anin. Kedua wanita itu tidak mengizinkan Sisil untuk bepergian sendiri karena kehamilannya yang semakin membesar."Saya mau ambilkan camilan untuk Mbak Sisil dan Mbak Andin," jawab Amy. "Ibu hamil pasti sering laper.""Duduk!" perintah Sisil kepada wanita yang telah menyelamatkan hidupnya. "Kamu jangan banyak gerak. Istirahat aja dulu! Lagi sakit juga nggak bisa diem.""Iya, Mbak." Amy pun kembali duduk di hadapan Sisil dan Andin."Sama kayak lo, lagi hamil
Bu Mila langsung terdiam mendengar ucapan Amy. Ia menunggu gadis itu melanjutkan ucapannya."Maksud kamu apa?" Sisil meraih tangan Amy. Ia menatap bola mata gadis itu, terlihat kesedihan di dalamnya. "Terus siapa yang dicintai Rudi?""Saya nggak tahu, Nyonya karena saya nggak kenal, tapi kayaknya saya pernah melihat wajahnya. Dia cantik, sangat cantik.""Aduh Amy, jangan panggil aku Nyonya, dan jangan berbicara formal kayak gitu, aku nggak suka.""Iya, Mbak, maaf. A-aku masih belum terbiasa," ucap Amy pelan."Baiklah aku maafkan," balas Sisil dengan serius."Tapi, Nak. Rudi bilang sama Ibu kalau dia mencintaimu."Bu Mila menjadi sedih mendengar ucapan gadis yang ia harapkan menjadi menantunya itu.Amy meraih tangan Bu Mila, menatap wajah wanita tua itu yang terlihat sedih padahal awalnya terlihat sangat bahagia."Bu, terima kasih udah ngurusin saya sampai detik ini, walau saya bukan siapa-siapa, tapi Ibu begi
"Apa wanita ini kekasihnya Mas Rudi?" Amy memerhatikan wanita yang berfoto dengan sang asisten CEO itu. "Jadi, selama ini dia nggak mencintaiku? Kenapa dia sejahat itu sama aku."Amy menaruh ponselnya di atas nakas, lalu membaringkan tubuhnya, kemudian menutupi tubuh hingga wajahnya dengan selimut.Gadis itu menangis dalam diam. Hatinya terasa sakit melihat Rudi berfoto mesra dengan wanita seksi.Hampir satu jam ia menangis sampai akhirnya tertidur karena kelelahan.Pagi-pagi sekali ia sudah membuka mata. Kepalanya terasa pusing karena terlalu lama tertidur. Matanya terasa sulit untuk dibuka lebar, wajahnya masih terlihat sembab akibat menangisi Rudi."Kenapa aku nangis ngeliat dia sama wanita lain? Dia kan bukan siapa-siapa aku, toh aku juga sudah menolak cintanya." Amy menyingkirkan selimut yang menutupi tubuhnya, lalu bangun dengan sangat hati-hati.Ia pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka. Amy melihat wajahnya yang te