Aldin dan Sisil melepas ciumannya ketika mendengar desahan Rudi yang sedang tertidur.
"Astaga, mimpi apa dia?" Sisil terkekeh geli melihat ekspresi wajah asisten suaminya.
"Woy ... Bangun!"
Aldin mengguyurkan sisa minuman di botol air mineral ke wajah sang asisten supaya terbangun dari mimpinya.
Rudi terkejut. Ia membuka mata, lalu bangun dan terduduk.
"Lo kenapa nyiram muka gue? Lo kira gue pohon jengkol!" protes Rudi sambil mengelap wajahnya dengan jas yang dikenakannya.
"Lo mimpi apa sampai mendesah begitu? Pasti lo mimpi jorok ya!" tuduh Aldin sambil mengacungkan jari telunjuknya di hadapan wajah sang asisten.
"Jorok apaan? Ini tuh nikmat dalam mimpi aja nikmat banget, apalagi kenyataan."
Aldin memukul bahu Rudi dengan keras. "Dosa lo!"
"Cuma mimpi aja, masa dosa. Mending gue ngelakuin sekalian biar dosa, tapi nikmatnya nyata," kata Rudi sambil mengucek matanya.
Lagi-lagi Aldin memukul sahabat sekaligus
"Sayang, aku pulang aja ya," ucap Aldin setelah keluar dari toilet.Badannya terasa lemas setiap habis muntah. Bahkan untuk berdiri saja, ia harus mengeluarkan seluruh tenaganya supaya tidak terjatuh."Ya udah, ayo kita pamit dulu sama Nabil!" Sisil menarik tangan Aldin yang terlihat sangat sangat lesu setelah mengeluarkan isi perutnya."Aku aja yang pulang, kamu di sini! Acaranya belum selesai, nggak enak hati sama Nabil, kalau kita pulang semua.""Aku mau pulang aja sama kamu," balas Sisil."Sayang, dia sahabatmu. Pasti dia ingin teman paling dekatnya ada di hari kebahagiaannya."Seorang CEO muda itu kini tidak lagi cemburu atau berburuk sangka pada Nabil. Ia sadar kalau dirinya selama ini cemburu berlebihan.Cintanya yang egois hampir menghancurkan rumah tangganya. Bahkan hampir merenggut nyawanya.Kini Aldin sadar, mencintai seseorang bukan berarti mengikat orang itu untuk tidak berhubungan baik dengan orang lain karena cem
Riuh tepuk tangan para tamu undangan bukan untuk kedua mempelai. Melainkan untuk Aldin dan Sisil.Kedua pasangan itu benar-benar mencuri perhatian di acara pernikahan Nabil dan Mutia.Sisil melepas pelukannya, lalu menoleh pada para tamu undangan yang sudah mengelilingi mereka."Ya ampun, Al. Kita jadi tontonan," kata Sisil sembari terkekeh.Bukannya turun dari panggung pelaminan, tapi Aldin malah berlutut si hadapan istrinya.Digenggamnya tangan sang istri. CEO dingin itu menatap wajah cantik sang istri yang sedang mengandung anaknya dengan penuh cinta."Sayang, maafkan aku yang telah menyakiti hatimu. Aku sangat mencintaimu. Maukah kamu memulai hidup baru dengan awal yang baru di pernikahan kita?"Sisil mengangguk sambil menitikkan air mata. "Bahagiaku bersamamu, Suamiku."Aldin kembali berdiri, lalu memeluk erat istrinya. Ia mendaratkan bibirnya berkali-kali di puncak kepala istrinya."Aku akan membahagiakanmu,"
"Kita sudah sampai, Tuan," jawab Pak supir dengan sopan.Aldin dan Sisil mengedarkan pandangannya. Mereka tertawa bersama.Mereka berpikir kalau sesuatu terjadi dengan mobilnya yang tiba-tiba berhenti."Aku kira ada si Komo lewat," kata Sisil sambil menggelengkan kepalanya. "Terima kasih ya, Pak," ucapnya kepada supir keluarga Haidar sebelum keluar dari mobil."Sama-sama, Nyonya," jawab Pak supir dengan sopan.Saat mereka keluar dan melangkah masuk ke dalam rumah sang bunda. Ternyata Bunda Anin dan Kedua keponakannya sudah ada di dalam rumah.Sisil dan Aldin menghampiri keponakannya. "Kalian ikut juga?" Sisil berjongkok di depan Bara dan Gara."Aku kangen sama Om ganteng, Tante," jawab Gara."Iya, Tante cantik. Om ganteng kelamaan pergi ke luar negerinya," timpal Bara.Andin memang tidak memberitahukan kepada anak-anaknya kalau om tercintanya berada si rumah sakit. Ia khawatir kedua anaknya akan bersedih jika
Aldin menemukan berkas dalam amplop coklat yang jatuh berserakan di lantai ketika ia membuka lemari sang istri untuk mengambil pakaian.Lembaran demi lembaran kertas itu ia kumpulkan kembali. "Ini berkas perceraian," gumamnya, "Kenapa masih disimpan?"Aldin membacanya satu persatu, ia meremas kertas itu dan membuangnya ke tempat sampah.Ada satu lembar kertas yang membuat ia syok dan terduduk di lantai. Tangannya bergetar saat ia membaca tulisan dari kertas itu.Ternyata kertas itu adalah surat keterangan kematian Ibu Lastri. Ia menyandarkan tubuhnya pada lemari bercat putih. Tak terasa air matanya menetes tanpa bisa dibendung lagi."Bu, maafkan aku!" Aldin mendekap kertas itu sambil menangis. "Aku belum bisa membahagiakan anakmu. Hanya kesedihan yang selama ini dia rasakan setelah menikah denganku."Di saat-saat terakhirnya, ia tidak bisa mendampingi sang mertua yang selalu mendukungnya.Dibacanya kembali surat itu untuk melihat kapa
“Mau tanya apa?” Bunda Anin menoleh kepada anaknya.“Tentang Bu Lastri,” jawab Aldin sembari menatap wajah istrinya yang sedang tertidur pulas.“Kita bicara di luar saja!” Bunda Anin bangun dan berdiri, lalu melangkahkan kaki keluar dari kamar anaknya.“Sayang, aku keluar sebentar ya.” Aldin mencium bibir istrinya dengan sangat lama, tapi wanita hamil itu tidak terusik sedikit pun. “Dia tidur apa pingsan? Diapain aja nggak bangun-bangun,” ucapnya sembari terkekeh. “Kamu pasti capek ya.” Aldin membelai lembut pipi istrinya sebelum keluar dari kamar.Laki-laki yang baru sembuh dari sakitnya itu menghampiri sang bunda yang berada di halaman belakang. Ia duduk di kursi panjang yang terbuat dari besi sambil melihat tanaman bunga kesukaannya.Laki-laki tampan itu duduk di samping bundanya. “Bun, Bu Lastri meninggal karena apa? Apa karena aku?”“Salah satunya
"Apaan sih, Al? Kamu ngagetin aku aja." Sisil mengelap es dawet yang berceceran di meja yang tumpah saat hendak masuk ke dalam mulutnya karena terkejut dengan seruan suaminya."Kenapa kamu makan itu? Itu seperti cacing." Aldin menunjuk es dawet ireng yang dinikmati Sisil.Kemudian ia menutup mulut karena merasa mual. Perutnya terasa diaduk-aduk seperti ingin segera mengeluarkan semua isinya."Uweek ...!" Aldin segera berlari ke kamar mandi dekat dapur.Ia begitu mual saat membayangkan Sisil makan es dawet ireng yang terlihat seperti cacing.Bukannya prihatin, tapi Bunda Anin tertawa terbahak-bahak melihat anaknya."Bunda senang bukan kamu yang ngidam," ucapnya masih terkekeh. "Kamu makan aja yang banyak. Biar bunda yang lihat Al,"ucap sang bunda ketika Sisil bangun dari duduknya."Iya, Bun," jawab Sisil.Wanita hamil itu melanjutkan makannya. Sudah tersedia beberapa makanan ringan di depannya.Setelah kondisi Aldin
"Uweek ...."Aldin keluar lagi dari dalam mobil, ia berlari masuk ke dalam rumah."Yah ... gagal maning." Sisil menggelengkan kepala, lalu keluar dari mobil, menyusul suaminya."Katanya mau pergi? Kenapa balik lagi?" tanya Bunda Anin kepada menantunya."Nggak jadi, Bun." Sisil mendudukkan tubuhnya di sofa santai yang ada di ruang tamu."Kenapa?" Sang bunda duduk di samping menantunya."Aldin mual lagi," jawabnya, "Kasihan dia tersiksa kayak gitu.""Nggak apa-apa, Sayang. Dulu juga Ayah Rey yang ngidam." Sang bunda terkekeh jika teringat kenangannya sewaktu ia hamil.Sisil menoleh pada wanita yang usianya hampir setengah abad itu. "Dulu Ayah ngidam sampai kapan?" "Di trimester pertama aja," jawab sang bunda."Kandunganku udah masuk trimester kedua, tapi Aldin masih mual kayak gitu.""Biarin aja, itu hukuman untuk Aldin yang selalu nyakitin kamu, curigaan terus sama istrinya sendiri, persis seper
Dokter keluarga Pradipta datang untuk memeriksa kondisi Aldin. Tidak ada yang serius, sang dokter pun hanya memberikan vitamin dan obat anti mual untuk Aldin.Setelah sang dokter pergi Aldin meminum obatnya. Ia berharap semua akan cepat berakhir."Al, kamu istirahat aja!" titah sang bunda.Aldin menganggukkan kepala, lalu sang bunda membantunya untuk membenarkan posisi tidurnya.Ia tidur sambil melingkarkan tangannya di paha Sisil yang sedang duduk selonjoran sambil bersandar pada sandaran tempat tidur."Sayang, kamu jangan pergi!" Aldin semakin mempererat pelukannya di paha sang istri."Aku nggak akan pergi," jawab Sisil sembari mengusap-usap kepala suaminya."Tante cantik, Om ganteng lagi sakit ya?" Gara menempelkan telapak tangannya di dahi Aldin.Anak kecil itu melakukan apa yang dilakukan sang mommy kepadanya."Om ganteng nggak sakit," ucap Gara setelah memeriksa suhu tubuh Aldin."Apa Om ganteng
Kemudian membenamkan wajahnya di antara kedua pada sang istri. Lalu pria itu mengeluarkan jurus lidah membelah semak-semak."Mas ...." Amy menggelinjang sambil mencengkram rambut sang suami. "Ampun, Mas!"Walaupun sang istri meminta ampun, ia tidak mendengarkan ucapan istrinya. Rudi terus melanjutkan aksinya.Sentuhan lidah dan tangannya berhasil membuat Amy menjerit merasakan kenikmatan yang bergejolak di dalam tubuhnya. Kenikmatan yang baru pertama kali ia rasakan.Ia meninggalkan jejak-jejak cinta di tubuh sang istri. Amy menjerit saat Rudi menyesapi pusat intinya dengan rakus."Mas ... awas, aku pengin pipis."Amy mendorong wajah suaminya, berusaha menyingkirkan kepala sang suami dari daerah keramatnya."Namun, Rudi tidak mau menuruti keinginan sang istri, ia malah melakukan aksinya lebih dan lebih lagi."Mas ... aahhh...!"Napas wanita itu sudah tersengal-sengal. Ia menjerit merasakan kenikmatan yang lua
"Mas, aku tidur duluan ya." Setelah mandi dan berpakaian Amy naik ke tempat tidur.Wanita itu menyingkirkan kelopak mawar merah yang sudah kembali ditata berbentuk hati. Ia malah membersihkannya tanpa sisa. Kelopak bunga itu berserakan di lantai.Rudi hanya melongo melihat itu semua. 'Kenapa? Apa dia marah atau efek kelelahan?'"Sayang, kok bunganya dibuang?" tanya Rudi setelah naik ke tempat tidur."Memangnya kenapa? Nggak boleh ya? Emangnya itu buat apaan?"Amy malah balik bertanya kepada suaminya."Boleh," jawab Rudi cepat. "Sekarang kamu istirahat ya." Rudi mencium kening istrinya dengan mesra. Ia tidak mau membahas hal sepele yang akan memancing keributan.Amy meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku, lalu membalikkan badannya membelakangi sang suami.Terdengar bunyi ketika Amy meregangkan otot-ototnya.'Kelihatannya dia sangat lelah.' Rudi memijat bahu sang istri dengan lembut. "Kamu capek ya?"
Pasangan pengantin baru itu menunggu di depan ruang bersalin."Dari dulu sampai sekarang lo selalu merepotkan gue, Sil," gumam Rudi sambil menatap pintu ruang bersalin."Mas, nggak boleh ngomong kayak gitu! Kalau nolong tuh harus ikhlas.""Kamu tahu?" Rudi memegang bahu Amy sembari menatap wajah sang istri.Amy menggeleng pelan. "Nggak!""Oh iya, aku belum ngomong," kata Rudi sembari menyeringai. "Sejak dia nikah, yang ngurusin Sisil kalau lagi berantem sama Aldin itu aku, dari dulu sampai sekarang tuh anak dua merepotkan banget.""Kalau nggak ikhlas nolongnya nanti kamu nggak bakal dapat pahala loh, Mas. Lagian Tuan Aldin dan Mbak Sisil udah baik banget sama aku.""Iya, Sayang, maafkan aku." Rudi memeluk mesra wanita yang dinikahinya beberapa jam lalu. "Aku hanya heran aja, kenapa Aldin tidak pernah ada di saat Sisil butuh."Amy melepas pelukannya karena ia merasa malu berpelukan di tempat umum."Tadi 'kan Tuan Al
Andin mengetuk-ngetuk pintu dengan keras sembari berteriak memanggil nama sahabatnya.Beberapa detik kemudian pintu kamar mandi terbuka. "Lo kebelet juga?" tanya Sisil sembari meringis."Gue khawatir sama lo," sahut Andin. "Sil, lo baik-baik aja 'kan?"Ibu dua anak itu merasa khawatir dengan kakak iparnya yang terlihat sangat pucat."Gue mules, Din," jawab Sisil. "Tapi, dari tadi nggak keluar-keluar.""Jangan-jangan kamu mau ngelahirin." Andin segera memapah Sisil menuju ranjang pengantin."Tiduran dulu, Mbak. Aku panggil Tuan Aldin dulu." Setelah membantu Sisil berbaring di tempat tidur pengantin. Ia berlari keluar memanggil suami Sisil.Tempat tidur yang sudah dirancang untuk pengantin baru, dengan taburan kelopak bunga mawar merah yang membentuk hati, kini berantakan oleh Sisil yang sedang merasakan kontraksi."Perut lo sering kontraksi nggak?" tanya Andin pada Sisil setelah memberikan air minum kepada sahabatnya itu.
Di kediaman Amy sedang disibukkan dengan persiapan acara akad nikah yang akan dilaksanakan siang hari dan langsung dilanjut dengan resepsi.Hari ini adalah hari kebahagiaan Amy dan Rudi setelah beberapa bulan lalu Rudi melakukan lamaran dadakan.Amy menginginkan pesta yang sederhana. Mereka hanya mengundang keluarga, kerabat dekat, dan beberapa rekan kerja Rudi."Amy, kamu cantik sekali," puji Sisil saat gadis manis itu selesai dirias.Amy mengenakan kebaya pengantin berwarna putih dengan bordiran bunga dan aksen-aksen mutiara melengkapi penampilannya sebagai pengantin sunda.Siger berwarna silver bertengker indah di kepalanya. Dan beberapa hiasan lainnya, seperti untaian melati yang semerbak.Hiasan daun sirih berbentuk wajik di tengah keningnya semakin mempercantik riasan wanita itu.Akad nikah berlangsung di lantai bawah, di mana resepsinya dilakukan. Sedangkan Amy berada di dalam kamar pengantin ditemani oleh Sisil.'
Hai semuanya, terima kasih terima kasih terima kasih untuk kalian yang sudah mengikuti cerita recehku. Maaf, atas semua hal yang mengecewakan kalian, entah dari alur, typo atau kesalahan penulisan nama tokoh. Aku sungguh-sungguh minta maaf. Untuk kedepaannya aku akan belajar menulis dengan baik lagi. Maaf, kalau selama ini slow update karena kemarin aku lagi kurang sehat, tapi alhamdulilah sekarang udah sembuh dan bisa menamatkan cerita ini. Jika ada keluhan, silakan komen di bawah ini. Aku menerima kritik dan saran dari kalian semua untuk membangun aku menjadi lebih baik lagi. Love sekebon untuk kalian yang sudah mendukung aku dan cerita-cerita recehku. Sampai jumpa di cerita yang baru. Eh, Pengantin Tuan Haidar masih lanjut. Insyaallah aku akan rajin update lagi. I LOVE YOU ALL MY READERS.
Setelah beberapa hari pulang dari rumah sakit. Kondisi kesehatan Amy semakin membaik.Berada di tengah-tengah orang yang menyayanginya membuat Amy bersemangat untuk segera sembuh."Amy, kamu mau ke mana?" tanya Sisil ketika Amy bangun dari duduknya.Wanita hamil itu sedang berada di rumah Amy. Ia jarang sekali berada di rumahnya. Sisil selalu berkunjung ke rumah sahabat, mertua, dan juga teman barunya.Sisil pergi tidak sendiri, ia pasti ditemani Andin atau Bunda Anin. Kedua wanita itu tidak mengizinkan Sisil untuk bepergian sendiri karena kehamilannya yang semakin membesar."Saya mau ambilkan camilan untuk Mbak Sisil dan Mbak Andin," jawab Amy. "Ibu hamil pasti sering laper.""Duduk!" perintah Sisil kepada wanita yang telah menyelamatkan hidupnya. "Kamu jangan banyak gerak. Istirahat aja dulu! Lagi sakit juga nggak bisa diem.""Iya, Mbak." Amy pun kembali duduk di hadapan Sisil dan Andin."Sama kayak lo, lagi hamil
Bu Mila langsung terdiam mendengar ucapan Amy. Ia menunggu gadis itu melanjutkan ucapannya."Maksud kamu apa?" Sisil meraih tangan Amy. Ia menatap bola mata gadis itu, terlihat kesedihan di dalamnya. "Terus siapa yang dicintai Rudi?""Saya nggak tahu, Nyonya karena saya nggak kenal, tapi kayaknya saya pernah melihat wajahnya. Dia cantik, sangat cantik.""Aduh Amy, jangan panggil aku Nyonya, dan jangan berbicara formal kayak gitu, aku nggak suka.""Iya, Mbak, maaf. A-aku masih belum terbiasa," ucap Amy pelan."Baiklah aku maafkan," balas Sisil dengan serius."Tapi, Nak. Rudi bilang sama Ibu kalau dia mencintaimu."Bu Mila menjadi sedih mendengar ucapan gadis yang ia harapkan menjadi menantunya itu.Amy meraih tangan Bu Mila, menatap wajah wanita tua itu yang terlihat sedih padahal awalnya terlihat sangat bahagia."Bu, terima kasih udah ngurusin saya sampai detik ini, walau saya bukan siapa-siapa, tapi Ibu begi
"Apa wanita ini kekasihnya Mas Rudi?" Amy memerhatikan wanita yang berfoto dengan sang asisten CEO itu. "Jadi, selama ini dia nggak mencintaiku? Kenapa dia sejahat itu sama aku."Amy menaruh ponselnya di atas nakas, lalu membaringkan tubuhnya, kemudian menutupi tubuh hingga wajahnya dengan selimut.Gadis itu menangis dalam diam. Hatinya terasa sakit melihat Rudi berfoto mesra dengan wanita seksi.Hampir satu jam ia menangis sampai akhirnya tertidur karena kelelahan.Pagi-pagi sekali ia sudah membuka mata. Kepalanya terasa pusing karena terlalu lama tertidur. Matanya terasa sulit untuk dibuka lebar, wajahnya masih terlihat sembab akibat menangisi Rudi."Kenapa aku nangis ngeliat dia sama wanita lain? Dia kan bukan siapa-siapa aku, toh aku juga sudah menolak cintanya." Amy menyingkirkan selimut yang menutupi tubuhnya, lalu bangun dengan sangat hati-hati.Ia pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka. Amy melihat wajahnya yang te