hai semuanya, apa kabar? gimana bab kali ini? semoga menghibur ya!! || Perhatian!!!, novel ini hanya karangan dan imajinasi author. jadi jangan menganggap serius dan melakukan hal hal yang ada di dalam cerita ini secara sadar, karena itu akan membahayakan kamu dan orang di sekitarmu || terima kasih semuanya atas perhatiannya 😘😘😘.
Di bukit besi, kota dataran tinggi. Dua orang tampak menghentikan pertarungannya hanya untuk melihat ke satu arah. mereka cukup penasaran tentang suara dan cahaya yang baru saja mengacaukan fokus mereka. Sementara tempat dimana kedua orang itu menatap, ada sosok harimau gendut yang tampak bodoh dan polos sedang berjongkok. “Sial, apa yang aku harus lakukan?” Surya panik karena ketahuan mengintip. Kedua orang itu tampak kuat, bagaimana bisa Surya tidak panik Ketika orang yang sedang bertarung memiliki level yang sama dengan dirinya. Ini sama saja seperti melawan dua kali dirinya! Memutar otak untuk mengalihkan kedua orang asing ini Surya pun mulai berakting. “Meow!” Kedua orang itu melihat harimau besar gendut yang sedang mengeong. “Oh ternyata itu hanya kucing.” Kedua orang itu mengangguk paham dengan menutup mata. Semntara itu Surya yang seudah terlihat jelas oleh orang orang itu hanya bisa mengutuk dalam diam. “Sial mengapa aku mengeong arghhh.” Kedua orang itu tiba-tib
Di tempat yang dihiasi dengan bebatuan. Tampak sosok harimau sedang mencabik-cabik tubuh seseorang dengan marah. Sosok harimau itu adalah Surya yang sedang hilang akal melampiaskan kekesalan kepada mayat di hadapannya hanya karena melihat bekas melepuh yang tampak acak. Setelah dia cukup puas mencabik-cabik sosok itu, Surya mulai melangkah ke arah mayat tanpa kepala di seberangnya. Tatapan Surya menjadi bijaksana setelah mencari beberapa saat. Tanda yang sama juga ada di sosok itu! Hal ini membuat pertanyaan besar di dalam kepala harimau gendut itu. bagaimana bisa secara kebetulan dua orang yang ditemuinya memiliki tanda yang sama. Surya melihat tanda itu dengan seksama. Di tubuh orang yang terbaring, terdapat luka melepuh di kulitnya. Itu tampak tidak jelas pada awalnya. Namun, jika kita memperhatikannya secara seksama dan teliti, dapat disimpulkan itu adalah sebuah tanda. Tanda melepuh itu berbentuk setengah lingkaran dengan urat-urat melepuh bekas api di pinggirnya yang menyi
Malam hari di depan sebuah gua. Sosok anak remaja sedang membaca buku diterangi dengan cahaya lilin. Dia duduk menatap beberapa buku dengan nafas teratur menunjukan konsentrasi. “Huuuu, kedua buku ini terlihat mirip dan aku bisa memahami beberapa isi di dalamnya, sementara buku yang satunya lagi begitu aneh.” Surya membolak balikan setiap lembar kertas di hadapannya. Karena bingun dengan buku yang satu lagi, Surya hanya bisa menyimpannya, kemudian membaca buku yang lain. Dia berharap agar buku aneh itu bisa dia mengerti di waktu selanjutnya. Mulai fokus Kembali terhadap kedua buku di hadapannya, Surya mulai bergeming. “Judul kitab ini tidak sesuai dengan orang orang bejat itu.” melihat ke arah sampul kitab. Bagaimana Surya tidak heran, kelompok orang yang memiliki kitab ini sebagai pedoman beladiri mereka adalah sosok iblis yang bisa membantai banyak orang tanpa tau tujuannya. Namun, buku yang ada di hadapan Surya malah menunjukan sesuatu yang kontras. Buku buku itu malah berju
Malam hari, di bengkel pandai besi yang tampak tua. Seorang kakek sedang meraba beberapa plat besi dengan seksama. Lempengan lempengan besi yang ada di hadapannya memiliki 3 kelompok warna berbeda. Yang pertama memiliki warna hitam ke abu-abuan, itu adalah besi normal yang tidak spesial namun mudah untuk di tempa. Yang kedua adalah besi dengan warna hitam dengan sedikit warna biru samar di dalamnya, itu adalah biji besi air yang lebih lentur namun tidak terlalu kuat. yang terakhir adalah lempengan besi dengan sedikit warna merah yang sulit dilihat dengan mata telanjang, itu adalah lempeng besi lilin yang panas jika dialiri energi dari benih. Pada awalnya datuk merah hanya bisa menganggap Surya seorang yang tidak berbakat menempa karena dia terlalu lama dalam menempa bijih. Namun kini dia sadar bahwa dirinya salah. Bukan saja tidak berbakat, namun anak ini sangat berbakat! Bagaimana bisa dia mengelompokan material yang sama di satu plat. Ini adalah keajaiban pemula. Dengan se
Di depan gerbang perguruan belati bengkok. “Hiyaaaaa!” teriakan semangat mulai terdengar. Sementara itu sosok anak berusia 18 tahun sedang berdiri termenung Ketika suara itu di pancarakan. Meskipun dia tau bahwa pukulan itu mengarah ke arahnya, dia hanya terkejut dan tidak berniat untuk menghindar sama sekali. Orang-orang di sekeliling tampak bersemangat, mereka jelas mengharapkan sebuah pertunjukan yang bagus. Bagaimanapun mereka adalah seorang pesilat yang haus akan rasa hormat dan nama besar. Mereka sudah lama ingin bertarung dengan siapapun, namun aturan perguruan sangat ketat untuk setiap murid yang ceroboh. Ini semua tidak bisa disalahkan kepada perguruan sendiri, sebenarnya bertarung tanpa ada aturan dan tujuan yang jelas dapat membuat kestabilan dari perguruan tersebut terancam. Ingat sekali lagi yang dipentingkan oleh perguruan agar bisa bertahan adalah nama baik di masyarakat. Kepalan tinju semakin dekat ke arah Surya. orang di sekitar sudah tersenyum puas berpikir bahwa
Di rumah gadang salah satu keluarga di kota dataran tinggi. Sosok lelaki paruh baya sedang duduk tenang sembari membaca beberapa kertas. Fokus menatap ke arah kertas kertas di hadapannya, sosok itu melai menyesap kopi dengan tarikan yang panjang. “Ahhhh.” Suara kenikmatan pun terdengar sesaat setelah sosok itu menyeruput kopinya. Meletakkan Kembali cangkir yang ada di tangannya ke meja, sosok itu melanjutkan membaca. Beberapa saat yang tenang berlalu, area itu sepi pada awalnya. Namun tiba-tiba ada suara Langkah kaki yang terdengar ricuh berlari ke arahnya. “Sumando, sumando!” teriakan memenuhi ruangan Ketika Langkah kaki semakin mendekat. Sosok yang berusia 25 tahun masuk dan menghampiri paruh baya yang sedang duduk. “Ada apa kamu ni, kenapa lari lari di rumah.” Kata paruh baya itu dengan logat minang yang khas. “I-ini, sumando si Awan lado terluka sumando ...” sosok itu berkata dengan sedikit takut. “Awan lado terluka? Yang benar saja kamu ni. Bagaimana pula bisa di terlu
Di sebuah bengkel pandai besi yang ada di kota dataran tinggi. “Tuk tuk, ini Surya bawakan lontong,” Katanya riang. “Baiklah, letakan di meja.” Kakek itu sedang sibuk menajamkan sebuah senjata di hadapannya. Itu adalah bilah pedang yang cukup panjang. Dengan maju mundur sosok datuk merah itu mengasah bilah pedang sembari sesekali membasahi pedang itu dengan sedikit air. Surya melihat sosok datuk itu dengan perlahan. Dia cukup serius ketika memperhatikan setiap Gerakan dari kakek tua itu. Setelah beberapa saat, suara gesekan pun akhirnya berhenti. Datuk merah mulai bangkit dan berkata. “Surya, mulai lah menempa sebuah pisau,” Katanya berjalan ke arah meja. “Baik tuk.” Kata Suraya dengan nurut. Datuk merah yang sudah ada di kursinya mulai tersenyum Ketika melihat sebungkus lontong dan beberapa makanan lainya di meja. Sementar itu, surya mulai menyiapkan segala hal yang dibutuhkan untuk menempa. Sudah beberapa hari Surya mengamati datuk merah melakukan pekerjaannya dalam menempa
Di sebuah kedai beras, kota dataran tinggi. Tampak tiga sosok melihat satu sama lain dengan tidak percaya. Surya sedang menggenggam tangan tuan muda kedua keluarga bareh yang memiliki kelembutan yang mengerikan, sementara itu Sinta sedang melihat ke arah mereka dengan terkejut. Reflek Surya langsung menarik tangannya dari sosok lelaki cantik itu. “E—eh Sinta, sejak kapan ada di sini?” bertanya dengan patah-patah. “Baru juga sampai,” katanya memperbaiki ekspresi. Setelah jawaban itu. suasana kedai itu menjadi sunyi dengan canggung. Merasakan ketidaknyamanan yang teramat tinggi, Surya memutuskan untuk mengangkat beras yang ada di hadapannya sebelum pamit ke arah Sinta. “Oh, yaudah Sinta, aku duluan ya. Datuk merah pasti udah nunggu.” Dengan tatapan bingung, Sinta pun menjawab. “Eh iya hati-hati ya.” Dengan itu Surya bergegas menarik gerobaknya sebelum jejaknya benar-benar hilang di kejauhan. Dengan itu, sosok Sinta di tinggalkan dengan Gading dalam posisi yang canggung Ketika