Sebenarnya, kakiku ini nggak papahtahu. Cuma kram biasa dan hanya butuh dilempengin bentar.
Yah, pakai koyo ajalah, kalaau masih nyut-nyutan dan greges dikit.
Akan tetapi, entah karena merasa bersalah atau karena apa. Si Bella lebay banget jadi nggak mau jauh dari aku, bahkan nggak mau pulang sejak pulang dari Mall tadi itu.
Nggak papah sebenarnya, sih. Aku santai aja selama dia nggak ngerusuhin kamarku.
Namun, bukan Bella ‘kan namanya, kalau bisa anteng dan nggak banyak tingkah.
Karena alih-alih mengungkapkan rasa bersalahnya dengan tindakan mulia, misalnya pijitin aku atau apa gitu. Si Bella malah mengacau tidurku dengan bacain semua buku yang ada di meja belajarku.
Asli,
Pak Dika :Tan, saya ada kerjaan di luar kota tiga hari. Titip Bella ya? Aku langsung mendesah berat dan memijat kepalaku yang mendadak pening, saat melihat notif chat dari Pak Dika siang itu. Ya, gimana nggak mendadak pening coba? Kalau aku harus mengurusi Bella selama kepergian Pak Dika. Kalian tahu sendiri ‘kan bagaimana polah bocah kutil itu? Mana aku lagi UAS lagi. Ya ... pastinya bakal semakin puyeng kalau harus nyambi ngurusin si Bella. Me :Emang, orang tuanya Mas ke mana? Aku pun membalas chat itu, sambil berjalan mengekori duo Nur yang masih heboh membahas soal UAS. Biasalah, apa yang dihafalin, nggak ada yang nongol satu pun. Giliran yang nggak dihafalin nongol semua. Jadinya ya ... mereka pada kesel sendiri. Pak Dika :Ada. Lah kalau ada, kenapa harus aku, sih, yang dititipin? Kayak nggak tahu aja gimana hubungan aku sama Bella selama ini? Pak Dika sengaja mau bikin aku nggak konsen belajar? Me :
“Tan, lo yakin mau ngelakuin ini?” bisik Nurhayati di telinggaku, saat aku akhirnya menyetujui usul Guntur. “Iya, Tan. Nggak sebaiknya aja lo telepon Pak Dika atau tanya langsung dia aja. Lo tahu ‘kan, gimana Guntur?” Nurbaeti pun ikut berbisik. Aku memutar mata jengah, sebelum mengedikkan bahu agar kedua tangan mereka jatuh dari bahuku. Berat sekali! “Dan kalian tahu ‘kan, gimana misteriusnya Pak Dika selama ini? Dia nggak pernah mau cerita sama gue soal masa lalunya. Nah, mumpung sekarang lagi ada yang mau nunjukin semuanya dengan senang hati, kenapa enggak ya ‘kan?” tukasku yakin. Nggak terlalu yakin sebenarnya. Cuma ya ... mau bagaimana lagi? Tunggu Pak Dika ngomong sendiri, kayaknya butuh waktu ratusan tahun dan aku
Sepanjang perjalanan, aku nggak berani bersuara sama sekali. Aku memilih menutup mulut, sambil berdoa dalam hati agar tak sampai mati muda hari ini juga. Bagaimana nggak berdoa, jika Pak Dika menjalankan mobilnya seperti kesetanan. Aku auto dzikiran dalam hati agar bisa pulang dengan selamat, kepelukan Mama tercintaku. Mau protes juga nggak bisa lagi, soalnya belum protes aja, aku langsung menelan saliva kelat saat melihat rahang keras dan cengkraman kuat Pak Dika di kemudi setir. Ya, Allah. Umur Intan belum genap 22 tahun loh. Masih kuliah dan belum kawin juga. Jadi, jangan panggil Intan dulu ya, Allah? Intan masih mau lulus kuliah dan ngejar karier dulu. Biar bisa bikin Mama bangga di depan orang sekomplek.
“Mama!” Anjrit! Kaget gue, Bangke! Aku pun langsung mendelik garang pada Bella yang lagi-lagi mengagetkan aku malam itu. Benar-benar ya nih bocah, demen banget teriak kayak di hutan! “Apa, sih, Bell? Kamu nggak bisa ya, manggilnya kayak orang. Nggak usah teriak. Tante belum budek!” omelku kesal sambil mencubit pipi gembil Bella. Kalau diperhatikan, Bella sekarang lebih berisi lho, daripada pertama kali kenal. Entah karena dia sekarang doyan makan sejak aku masakin? Atau karena emang dia udah mau gede? Yang jelas, dia emang lebih montok sekarang.
“Mama, nyebelin!” kesal Bella, saat akhirnya aku membongkar kamarnya, dan menyingkirkan semua bacaan yang memang belum seharusnya dia baca. Ya, gimana nggak aku singkirkan ya? Kalau bacaan si Bella semakin meresahkan saja tiap harinya. Baca buku parenting sama Hallo Dokter masih bisa aku maklumin. Siapa tahu, nanti kalau udah gede, dia bisa jadi dokter gitu? Sebagai emak sambungnya, terang aku bakal bangga dong. Ya ‘kan? Nah, ini. Segala novel psikopat dia baca plus dikumpulin lagi cara-cara sadisnya. Gimana aku nggak senewen, coba? Kalau dia beneran praktek gimana, Sarmijan!
“Tan?” Aku langsung berdecak kesal saat baru saja keluar kelas, sudah melihat penampakan Guntur di depan pintu. Ck, mau apa lagi, sih, nih laki berbiji? “Minggir!” Aku pun coba mengabaikan dan menghardiknya keras, saat dia malah menghalangi jalanku. Dikata badannya ramping, apa? Orang segede babon gitu kok. Seenaknya saja berdiri di tengah jalan. Ngalangin tahu nggak? “Tan, aku mau ngomong,” ucapnya lagi. Masih ngeyel menghalangiku. “Nggak ada yang perlu diomongin lagi. Udah nggak ada urusan gue sama lo!” Aku mencoba tetap mengabaikannya dan malah melengos dengan cepat dari sana. Namun, seakan tak mau menyerah, Guntur pun malah
“Kenapa kamu nggak pernah bilang kalau pria itu masih suka gangguin kamu?” Aku pun langsung mendesah lelah, saat akhirnya Pak Dika mengajukan pertanyaan itu padaku. Aku tahu, seharian ini dia sudah menahan diri untuk nggak bertanya di depan putrinya yang sedang bahagia karena akhirnya bisa jalan-jalan bersama kami. Ya! Hari ini Pak Dika memang sengaja menjemputku di kampus, demi untuk bisa jalan bertiga. Dia bilang ,sih, sebagai ucapan selamat padaku, yang sudah menyelesaikan UTS. Juga hari terakhir kami bisa bebas bertemu muka seperti ini. Biasa, sebentar lagi ‘kan kami mau nikah, jadi kalau kata orang dulu mah wajib dipingit. Mengerti, ‘kan? Apa harus aku jelasin juga?
Akhirnya, hari besar itu pun tiba setelah satu minggu ini aku menjalani pingitan dan segala macam adat yang harus aku laksanakan. Kini, di sinilah aku sekarang. Duduk gelisah di pinggiran tempat tidur, menunggu dengan harap-harap cemas kabar dari ruang tamu rumahku.Kabar apa?Ya, apalagi? Tentu saja aku menunggu kabar selanjutnya dari prosesi ijab qabul yang sedang Pak Dika lakukan.Duh ... kira-kira lancar nggak, ya?“Nggak usah grogi gitu ngapa, Cuy. Gue yakin Pak Dika pasti lancar kok, ngucapin ijab qabulnya. Secara, dia ‘kan udah pernah melakukannya. Jadi ... pasti udah bukan hal berat lagi buat dia mengulanginya.”Entah aku harus bahagia atahu menangis mendengar celetukan Nurbaeti tadi. Soalnya, dia tu
Mahardika POV“Mas, sarapannya udah siap!”“Iya, sebentar.”Sekali lagi, aku pun merapikan tampilanku dan memastikan kalau semuanya sudah terpasang sempurna. Setelah itu, aku langsung bergegas turun memenuhi panggilan istriku tadi.Istriku? Ya! Barusan yang tadi memanggilku memang adalah istriku. Namanya Intan Mulia Mardani. Mahasiswi cantik yang dulu tinggal di samping rumahku.“Bella nggak mau Mama!”“Nggak pakai ya, Bell! Pokoknya kamu harus belajar!”“Tapi Bella nggak suka.”“Ya, belajar sukalah!&rdquo
Bella POV“Bell, dimakan dong, Sayang. Jangan cuma diacak-acak terus. Nanti nasinya nangis loh.”Bodo amat! Nangis juga bukan urusan Bella. Bagus malah. Biar Bella ada temannya.“Bella, Sayang. Kamu kenapa, sih? Masih marah karena kita pindah ke sini atau ada yang menggangu kamu di sekolah barumu?”Semuanya benar! Bella memang masih kesal, karena tiba-tiba harus pindah ke sini, ke lingkungan yang banyak orangnya. Juga, harus sekolah di sekolah baru, yang nggak keren sama sekali.Hanya saja lebih dari itu, Bella kesal karena Papa selalu saja sibuk, bahkan di weekend seperti ini pun
Aku membuka mataku dengan tidak ikhlas pagi ini. Seluruh tubuhku rasanya ngilu dan sakit saat digerakkan. Rasanya, aku seperti baru saja menjadi korban tawuran antar kampung. Benar-benar remuk redam.Namun, yang paling terasa ngilu di antara semuanya adalah area pangkal paha. Rasanya seperti ada setrum setiap kali aku bergerak.Ah, tempat itu. Aku ingat. Semalam dia juga sempat mengeluarkan darah, saat Pak Dika pertama kali menerobosnya.Ya! Akhirnya, setelah sekian purnama dan ribuan halangan yang membentang, Pak Dika pun akhirnya berhasil buka puasa semalam, bahkan sampai nambah berkali-kali.Lebay ya aku? Emang! Hanya saja aku serius ini. Memang setelah menikah, kami tak bisa langsung menikmati malam pertama.Ada aja halan
Sebenarnya, mataku masih sangat perih untuk dibuka. Namun, kecupan bertubi di pipi dan leherku sangat mengganggu sekali. Membuatku mau tak mau terbangun, dan mulai mengerjapkan mata demi mengumpulkan kesadaranku.Ck, sialan! Siapa, sih, yang gangguin aku tidur? Nggak tahu apa, kalau badan aku capek banget, abis jadi ratu seharian tadi.Aku butuh tidur!CupCupCupCiuman itu semakin membuatku merinding, karena kini sudah sampai pada belahan dadaku.Nggak hanya itu saja, aku bahkan merasakan sebuah rasa dingin mulai merayap naik dari bawah kaos tidurku. Terus naik, naik dan naik hingga ....
Bella nih emang rese banget, sumpah!Padahal dia sendiri yang minta adik cepat, tapi dia juga yang berkali-kali menggagalkan proses pembuatannya.Menyebalkan banget ya ‘kan?Lebih dari itu, aku kasihan sama Pak Dika juga. Soalnya, dua kali lho pria itu harus berhenti saat nanggung. Nggak bisa aku bayangkan gimana sakitnya tuh, hihihi .…Rasanya, pasti seperti siap-siap mau bersin. Eh, malah digagalin teman. Jengkelnya sampai ke ubun-ubun.Akan tetapi mau gimana lagi? Kami nggak bisa mengabaikan Bella dan malah asyik sendiri dengan urusan kami ‘kan?Sekarang ini dia anak kami dan tentu nggak boleh mengabaikannya. Untung, Pak Dika lumayan paham akan hal itu dan si
“Njir! Akhirnya bisa rebahan juga!” seruku girang. Sambil melemparkan diri ke atas tempat tidur sembarangan.“Tan? Language, please!” tegur Pak Dika, yang baru saja menutup pintu di kamar kami.Ah, iya. Aku lupa kalau sekarang lagi sama dia. Akhirnya aku pun melirik ke arahnya, dan langsung nyengir konyol sambil bangkit untuk duduk kembali.“Maaf, Mas. Refleks,” cicitku kemudian.Kukira, dia awalnya akan mengomel dan menceramahiku seperti biasanya. Namun, yang terjadi dia hanya m
Acara pun beralih pada resepsi, di kebun belakang. Seperti yang aku bilang. Enaknya nikah sama tetangga itu tuh kaya gini. Kita nggak harus sewa gedung mahal-mahal.Soalnya, dua rumah jadi satu aja. Udah lebih dari cukup untuk menampung banyaknya para tamu yang hadir.Sebenarnya, acara resepsi ini konsepnya sederhana dan santai, mengikuti kemauanku yang ingin pesta ala remaja modern dan nggak mau ribet. Makanya, tema kali ini kami pakai garden party yang santai banget.Aku aja cuma pakai gaun pengantin simple selutut, dengan akses yang nggak terlalu glamor, tapi tetap chick
“Njir, laki lo cakep banget, Cuy. Jadi pengen jadi pelakor.”Aku sontak meremas kuat lengan Nurbaeti, sampai dia meringis tertahan. Saat seenaknya dia ngomong seperti tadi. Enak aja! Baru sah, masa udah ngadepin setan rumah tangga alias valakor!Mana valakornya teman sendiri lagi. Oh, tidak! Aku nggak mau hidupku sampai kayak di sinetron ikan terbang ya?“Nyet, dengar kenapa. Nunduk mulu. Nyari apaan, sih, lu? Duit koinan ya?”Ini lagi satu si Nurhayati. Nggak ngerti banget apa yang aku rasain. Ya kali aku harus bikin pengumuman, kalau aku lagi grogi parah. Makanya aku nggak berani lihat ke depan.Iya benar. Aku memang grogi parah saat ini. Itulah kenapa dari mulai keluar kamar sampai menunju mimbar te
Akhirnya, hari besar itu pun tiba setelah satu minggu ini aku menjalani pingitan dan segala macam adat yang harus aku laksanakan. Kini, di sinilah aku sekarang. Duduk gelisah di pinggiran tempat tidur, menunggu dengan harap-harap cemas kabar dari ruang tamu rumahku.Kabar apa?Ya, apalagi? Tentu saja aku menunggu kabar selanjutnya dari prosesi ijab qabul yang sedang Pak Dika lakukan.Duh ... kira-kira lancar nggak, ya?“Nggak usah grogi gitu ngapa, Cuy. Gue yakin Pak Dika pasti lancar kok, ngucapin ijab qabulnya. Secara, dia ‘kan udah pernah melakukannya. Jadi ... pasti udah bukan hal berat lagi buat dia mengulanginya.”Entah aku harus bahagia atahu menangis mendengar celetukan Nurbaeti tadi. Soalnya, dia tu