"Kamu masih muda dan Malik butuh sosok ayah dalam hidupnya. Iya, Bunda tahu ada ayah kandungnya, tapi tidak bersamanya bukan? Malah seperti dihalang-halangi oleh istrinya untuk dekat dengan anak sendiri. Gara-gara cemburu sama kamu kan, lucu juga istrinya Surya. Siapa namanya, Na? Hm, Bunda lupa-lupa ingat.""Aurel, Bun." Aku membantu mengingatkan dengan menyebut nama wanita tersebut. "Iya, Aurel. Nama yang cantik tapi sayang tak secantik hatinya." Aku diam. keningku berkerut. Tumben Bunda membahas wanita tersebut. Biasanya paling anti membicarakan orang lain apalagi keburukannya. "Astaghfirullah, jadi ngomongin orang kan."Aku mengulum bibir hendak tertawa. Ternyata Bunda bisa khilaf juga ngomongin orang dan dia nggak sadar. "Skip yang itu, maaf Bunda jadi nyerempet ke dia. Bunda kesal aja. Kok ada wanita terhormat malah rebut laki orang. Hedeuh! Ngeselin."Nah, mulai lagi. Apa Bunda lagi kesambet ya? "Astaghfirullah. Sudah lupakan. Kita kembali ke persoalan tadi coba kalau kena
Dua orang pramusaji datang mengantarkan makanan ke meja kami. Menyajikan pesanan makanan yang telah dipesan ke atas meja dibantu Pak Satria yang memberitahukan siapa pemilik makanan tersebut. Aku menatap lama makanan di depan Malik. "Malik mau Ibu suapin?" tanyaku pada Malik yang sudah siap dengan sendok dan garpu di tangannya. Ia menggeleng. "Makan sendiri," jawabnya sembari tersenyum menatap Starla yang ada di depannya. Tumben, tidak biasanya dan tidak pernah. Ini pertama kalinya ia ingin makan sendiri. "Iya, makan sendiri saja. Kan Adek sudah besar. Kakak juga makan sendiri kok," timpal Starla menanggapi jawaban Malik. Oh, pasti karena Starla. "Itu berbahan kentang dicampur daging dan dibumbui, makanan kesukaan Starla dan kurasa Malik pun pasti suka." Sorot mata Pak Satria ke arah makanan yang tersaji di piring Malik. Ia menjelaskan apa isi makanan tersebut kepadaku. Oh, itu. Bentuknya sekilas mirip perkedel kentang tapi ditata cantik dan dilumuri saus diatasnya. Beda namanya
Pov Satria"Tunggu, kamu salah paham. Bukan seperti itu maksudnya." Aku mencoba menjelaskan pada wanita yang sepertinya salah paham dengan pembicaraan kami sekarang ini. "Salah paham, Pak? Dari tadi Saya coba memahami setiap kata atau kalimat yang keluar dari mulut Bapak. Dari sana juga Saya bisa menyimpulkan kalau Bapak menawarkan pernikahan ke Saya hanya untuk kenyamanan Bapak seorang. Bapak tidak ingin ribet. Bapak malas dipaksa terus oleh ibunya Bapak buat menikah dan ini solusinya, bukan? Apalagi Ibu Bapak sangat menyukai Saya. Seperti itu kan?" tuturnya menjelaskan dengan nada penuh emosi tapi masih bisa terkontrol. Sebenarnya tidak salah. Tepat sekali tebakannya. Aku memang malas dipaksa terus oleh Ibu dan ketika wanita di depanku ini memenuhi kriteria ibuku itu, kenapa tidak memintanya saja untuk menjadi istriku, toh kami sama-sama single, sendiri dan butuh pendamping hidup. Namun bukan maksud juga ingin memanfaatkannya. Kurasa kami sama-sama saling menguntungkan. Apa sala
Malam ini aku pulang ke rumah dengan langkah lesu. Makan malam bersama Pak Satria dan Starla berjalan lancar tapi pembicaraan kami mengenai jawaban lamarannya itu gagal total. Aku tidak menerima ataupun menolaknya. Semua rencanaku kacau setelah mendengar jawaban laki-laki kulkas dua pintu tersebut. Dari beberapa hari yang lalu sebelum pertemuan ini dilakukan, aku sudah punya jawaban atas lamarannya. Aku sudah yakin akan menerima lamaran tersebut, tapi semua kupertimbangkan lagi bahkan ingin menolaknya saja setelah beberapa jawabannya tidak sesuai dengan hatiku. Dia selalu saja mengaitkan semua hal ke ibunya. Aku takut kisah lamaku terulang kembali. Menikah dengan anaknya tapi yang menentukan bagaimana jalan dan nasib rumah tangga nanti, malah ibunya. Bukanlah yang akan menikah itu aku dan dia, bukan aku dengan ibunya. Bayangan berumah tangga bersama Mas Surya dulu sekelebat muncul di benakku. "Ciee … yang kemarin makan malam bersama, gimana? Sepertinya janur kuning sebentar la
Pertemuan itu akhirnya terjadi. Bunda bertemu dengan Bu Resa, ibunya Pak Satria. Ternyata tidak hanya Bu Resa yang datang. Pak Satria juga ikut bergabung dalam pertemuan tersebut karena permintaan ibunya. Bunda Aya tidak keberatan, dia setuju. Ini untuk pertama kalinya Bunda ketemu keduanya. Tidak, ada satu lagi yaitu Starla, gadis cantik nan menggemaskan. Pertemuan terjadi di rumahku. Aku terpaksa meliburkan para pekerja untuk hari tersebut karena tidak ingin jadi pusat perhatian mereka. Apalagi dua orang pekerja merupakan tetangga dekat rumah. Belum pasti bagaimana hasil pertemuan ini malah sudah muncul gosipnya duluan. "Kenalkan Bu, ini Bunda Aya, ibu panti yang sudah Saya anggap seperti ibu kandung sendiri."Aku mengenalkan Bu Resa kepada Bunda, begitupun sebaliknya. "Senang akhirnya bisa bertemu dengan Ibu Soraya. Medina sering sekali menyebut nama Ibu.""Oh ya. Wah, ngomongin apa ya?" Bunda melirik sebentar ke arahku. Senyumnya tak pudar sejak kedatangan Bu Resa dan keluarg
Semua menatap ke arah Pak Satria, termasuk aku. Mungkin akulah yang sering mencuri pandang padanya. Bukan karena ingin memperhatikan ketampanannya, tapi lebih ingin melihat seperti apa reaksi yang ditunjukkannya setiap mendengar apapun yang sedang dibicarakan oleh kedua orang tua di sebelah kami masing-masing. Kadang kulihat ia mengerutkan kening. Kadang juga ikut tersenyum ataupun menganggukkan kepala seolah setuju dengan apa yang dibicarakan di hadapannya saat ini. "Satria, ayo Nak katakan apa tujuan kita datang ke sini selain memenuhi undangan dari Bu Aya." Ibu Resa meminta Pak Satria bicara. "Ekhem." Laki-laki di depanku ini berdeham sekali dan sedikit menegakkan badannya dalam posisi duduk yang benar. "Terima kasih atas kesempatan yang diberikan ini. Senang bisa bertemu dengan Bu … A–aya." Sedikit ragu Pak Satria menyebut nama Bunda. Apa dia gugup? Baru tahu seorang laki-laki dingin sepertinya bisa juga merasakan gugup. "Panggil Bunda saja biar lebih akrab." Bunda malah me
"Na, kenapa malah mengajukan surat perjanjian segala?" Akhirnya Bunda mengungkapkan juga bentuk protesnya tersebut setelah acara pertemuan dengan keluarga Pak Satria berakhir. Mereka sudah pulang dari rumah ini tinggal menyisakan aku, Malik, Tika dan Bunda. Malam ini Bunda dan Tika menginap. "Biar lebih aman Bun. Biar nanti kalau kenapa-napa, salah satu dari kami bisa membaca kembali surat perjanjian tersebut," ujarku menjelaskan tanpa berani menatapnya. Dari nada suaranya, aku tahu Bunda tidak suka. Dari ekor mataku, tampak Bunda menggeleng. "Kamu seperti menantang Tuhan, Nak. Kamu seakan tahu seperti apa masa depan pernikahanmu kelak atau kamu seperti tidak yakin dengan pasanganmu sendiri." Bunda masih mencercaku dengan pemahamannya sendiri. Padahal maksud dari surat perjanjian tersebut tidak seperti itu. Aku bukan menantang Tuhan. Aku juga bukan cenayang yang tahu akhir pernikahanku seperti apa. Bukan juga tidak mempercayai pasangan sendiri. Aku hanya mengantisipasi apapun yang
Pov SatriaWanita di depanku ini menoleh bingung. Sudah tentu heran melihatku tiba-tiba datang dan membantunya bisa masuk ke dalam butik. "Oh, ini sama Bapak ya? Maaf, Pak, kami tidak tahu. Silakan Pak Satria, silakan masuk." "Silakan Mbak." Dengan cepat salah satu karyawan yang mengenalku baik, mempersilakan masuk. Begitu juga ke Medina. Sikap ramahnya pada Medina naik dua kali lipat setelah kuakui wanita itu datang bersamaku. Tanpa kata aku masuk dan menggandeng tangan Medina. Wanita tersebut terkejut dan hendak mengurai genggamanku tapi tak kuizinkan. Tangan ini makin erat memegangnya. Paling tidak sampai kami berhasil naik ke lantai atas dimana Ibu sudah menantikan kedatangan kami. "Biarkan seperti ini. Kamu mau mereka curiga kalau aku telah berbohong pada mereka." Netra Medina membola. Lalu tersenyum palsu pada karyawan yang masih memperhatikan kami. Ia tak jadi melepaskannya. Tangan kami tetap bergandengan layaknya sepasang kekasih. "Nah, itu dia pengantinnya, akhirn
Akhirnya aku turuti apa sarannya Mas Satria. Aku mengenakan pakaian tipis itu tapi dilapisi dengan kimono luar berbahan satin. Masih tampak seksi dengan belahan dada yang rendah ditambah panjang bajunya hanya diatas lutut. Sumpah, itu bukan saran yang bagus tapi lebih baik daripada hanya mengenakan pakaian tipis tersebut. Saat aku keluar kamar mandi, Mas Satria menatapku sebentar. Namun kuabaikan. Aku tidak tahu seperti apa raut wajahnya lagi karena aku enggan untuk membalas tatapannya. Rasa gugup sudah mendominasi. Segera aku berjalan menuju kasur dimana ada Mas Satria juga yang lebih dulu berbaring di sana dengan bersandarkan kepala di bahu ranjang ukuran king tersebut. Hening. Bahkan ketikan keyboard ponsel layar sentuh Mas Satria terdengar olehku saking sunyinya suasana di dalam kamar ini. Entah apa yang diketiknya dan siapa yang dikirimi pesan tersebut, aku tak peduli. Yang sedang kuperhatikan adalah denyut jantungku yang semakin cepat berdetak. Debaran di dada membuatku be
"Harus ya Bun, kami langsung tinggal di rumahnya Mas Satria?" tanyaku pada Bunda saat pesta resepsi telah berakhir. Bunda menghampiri. Para tamu sudah banyak yang pulang. Jam juga sudah menunjukkan pukul 11 malam dan memang aku meminta kalau bisa hanya sampai di jam itu saja batas akhir waktu acara pesta ini berlangsung. Aku tidak mau kemalaman apalagi ada Malik. Kasihan dia. Anakku itu sudah terbiasa tidur cepat, takutnya dia rewel dan merusak acara pesta karena pasti akan bermanja denganku. "Ya harus. Masa tinggal di rumahmu? Rumah bekas kamu berumah tangga dengan Surya. Mana mau dia, Na. Bunda tahu sifat lelaki. Gengsinya gede. Lagipula nggak enak juga kalau dia harus tinggal di sana. Kamu sudah jadi istrinya ya harus ikut suami, bukannya suami yang ikut istri," balas Bunda menasihati. "Tapi malam ini kamu nginap di sini dulu, Bunda juga. Sudah dipesankan. Nggak enak kalau menolak. Harusnya sih kalian saja, kami tidak perlu ikut, tapi karena ini keinginan Bu Resa, nggak enak kala
Pov AurelDengan kekesalan yang masih memuncak, aku berhasil pulang juga ke rumah. Aku terpaksa memanggil taksi karena Surya telah mengusirku dari mobilnya. Di pinggir jalan. Sendirian. Itu adalah pengalaman buruk bagiku. Dasar keterlaluan! Tega sekali laki-laki itu menurunkanku di pinggir jalan hanya karena marah. Setelah kurenungkan selama di perjalanan, Surya marah pasti lantaran aku menyebutnya laki-laki payah, suami tak guna. Harusnya saat di rumah baru lampiaskan kemarahannya itu, bukan dengan cara menurunkanku di jalan. Tak punya hati, pantas Medina meminta talak darinya. Memang kenyataan dia suami payah, wajar kalau aku meluapkannya secara blak-blakan. Maksudku agar dia bisa intropeksi diri dan menjadi suami yang lebih baik lagi. Ternyata Surya tidak paham dan menganggap kritikan itu sebagai hinaan. Mana mobilnya? Dia belum datang? Bukankah sudah lebih dulu pulang? Kalau tidak pulang, lalu pergi kemana? Dengan bergumam sendiri, aku masuk ke dalam rumah yang sepi dan gela
Pov Surya"Keluar!" teriakku pada wanita yang sedari tadi tak berhenti bicara. Dia bahkan dengan entengnya menghinaku terus-menerus. Aku manusia, kesabaranku ada batasnya. "Hah?! A–apa? Kamu ngusir aku Ya?" tanyanya polos tak merasa bersalah. Aku mengangguk cepat tanpa ragu. Emosiku lagi naik. Hinaannya barusan melukai perasaanku sebagai seorang laki-laki apalagi suami. Dia tidak menghormatiku sama sekali dan ini sudah ke sekian kalinya. Kubukakan pintu mobil mempermudahnya untuk keluar dan sebagai tanda kalau ucapanku bukan gertakan semata. Aku bahkan mendorongnya hingga akhirnya Aurel terpaksa keluar dari mobil. Setelah memastikan wanita yang masih sah menjadi istriku itu keluar, maka mobil kujalankan kembali meninggalkannya di pinggir jalan. Aku tak peduli bagaimana caranya pulang karena yakin dia mampu pulang sendiri. Aku tidak setega itu meninggalkannya tanpa berpikir lebih dahulu. Waktu belum menunjukkan tinggi malam, masih ada taksi atau kendaraan lainnya yang bisa dipa
Wanita paruh baya yang berada di depanku ini terdiam dengan mengamati lekat kartu undangan pernikahan yang baru saja kuberikan. Kuletakkan kartu tersebut di atas meja di hadapannya. Ia menatapku bergantian dengan kartu undangan tersebut, dan tampak ragu saat mengambilnya. Sebelum membaca isinya, ia menatapku lagi sebentar. Lalu akhirnya terpaku pada kartu undangan itu untuk beberapa saat. Tampak ekspresi wajahnya berubah-ubah saat membacanya. Di awali terkejut, sempat terlihat mengernyitkan keningnya dan lalu berwajah muram. Sepertinya dia tak suka dengan isi bacaan yang ada di dalamnya dan aku sudah yakin akan hal itu. "Apa ini, Medina? Apa maksudnya namamu ada di sana?" Dilempar kasar kartu undangan tersebut di depan meja di hadapanku. Tampak kemarahan di wajahnya. "Maaf, Ma. Medina yakin Mama paham dengan hal tersebut. Medina akan … menikah. Kalau Mama ada waktu, Mama bisa–""Kamu mengejekku?" selanya memotong ucapanku. "Iya, begitu? Tega kamu Na!" Lalu melengos dengan wajah k
Pov Aurel"Sudah cantik, kok. Ayo pergi!" ajak Surya melihatku lama mematut diri di depan cermin. Aku belum beranjak dari sana. "Iya, sebentar lagi. Tunggu di depan, habis nih, aku ke depan kok," jawabku tanpa menoleh, masih memperhatikan penampilan diri sendiri apa sudah cantik atau belum. Aku tidak mau kalah apalagi kebanting penampilanku sama Medina, mantannya Surya. Bagaimanapun juga aku ingin membuktikan kalau aku jauh lebih cantik dari wanita itu terutama di hadapan Surya, apalagi teman-temannya. Aku ingin dia bangga beristrikan aku. Tampak Surya menggelengkan kepala seolah merutuki sikapku. Masa bodoh, aku tak peduli. "Aku tunggu di depan, jangan lama nanti kutinggal!" Mendengar ancamannya, aku hanya mencebik. Selalu saja begitu. Suka sekali mengancam. Akan ini, akan itu, menyebalkan. Syukur belum pernah dia mengancam akan menceraikanku, huh! Mana berani. Dia terlalu bucin. Bakalan patah hati terdalam kalau sampai aku meninggalkannya. Dirasa cukup, aku bergegas menghampi
"Der!" Aku memanggil Deri yang tampaknya juga baru datang. Segera aku beranjak menjauh dari Irwan. Aku malas sampai disinggungnya lagi masalah Medina. Malas menjawabnya juga. Pasti pembicaraannya tidak jauh membahas dari mantanku itu. Entah ada apa dengannya. Selalu saja mengungkit soal mantanku itu seolah sedang menyindirku yang salah telah melepasnya. "Hey, baru datang atau sudah lama?" tanyanya sembari menepuk bahuku. "Baru saja datang.""Sama Aurel?" Deri celingukan tampak mencari sosok itu. Aku mengangguk. "Sama siapa lagi." Dengan tersenyum kecut aku menjawabnya. Tatapan mataku ke arah belakang di mana Aurel berada. "Sabar, ini ujian." Aku hanya terkekeh diejeknya seperti itu. Tidak tersinggung karena memang faktanya begitu. Ini ujian untukku. Semoga kedepannya aku bisa lebih bijak dalam mengambil keputusan biar tidak salah langkah lagi.Selain itu dia teman terdekat yang paling kupercaya. "Katanya mempelai lagi bersiap-siap jadi belum muncul."Deri membuka obrolan. Ne
"Der!" Aku memanggil Deri yang tampaknya juga baru datang. Segera aku beranjak menjauh dari Irwan. Aku malas sampai disinggungnya lagi masalah Medina. Malas menjawabnya juga. Pasti pembicaraannya tidak jauh membahas dari mantanku itu. Entah ada apa dengannya. Selalu saja mengungkit soal mantanku itu seolah sedang menyindirku yang salah telah melepasnya. "Hey, baru datang atau sudah lama?" tanyanya sembari menepuk bahuku. "Baru saja datang.""Sama Aurel?" Deri celingukan tampak mencari sosok itu. Aku mengangguk. "Sama siapa lagi." Dengan tersenyum kecut aku menjawabnya. Tatapan mataku ke arah belakang di mana Aurel berada. "Sabar, ini ujian." Aku hanya terkekeh diejeknya seperti itu. Tidak tersinggung karena memang faktanya begitu. Ini ujian untukku. Semoga kedepannya aku bisa lebih bijak dalam mengambil keputusan biar tidak salah langkah lagi.Selain itu dia teman terdekat yang paling kupercaya. "Katanya mempelai lagi bersiap-siap jadi belum muncul."Deri membuka obrolan. Ne
Pov Surya Hari yang tidak kuinginkan akhirnya datang juga. Aku menyesal, aku merutuki kebodohanku saat ini. Kenapa baru sadar setelah kehilangannya? "Yang, kamu sedih ya tahu mantanmu itu nikah lagi?" Aku hanya mampu menarik napas berat saat pertanyaan itu ditanyakan Aurel lagi. Sepertinya dia tidak percaya kalau aku bisa menerima kenyataan tersebut. "Kenapa diulang terus, Rel. Aku capek jawabnya. Jawabannya masih sama jadi kumohon hentikan mengulang pertanyaan ini," jawabku dengan kesal. Aurel mencebik. "Bagaimana aku tidak nanya lagi, Ya. Nih, coba lihat wajahmu saat ini, nih lihatlah!" Badanku didorong Aurel hingga berdiri di depan cermin. "Lihat wajah ini, apa ini wajah orang bahagia atau sedih?" tudingnya penuh kekesalan. Aku yang sedang mengancing baju hanya menatap sekilas ke cermin lalu menjauh dengan wajah datar. Sekarang sebisa mungkin mengendalikan diri dan mengubah raut wajahku agar tak dicurigai Aurel atau siapapun yang melihatnya. Biar apa yang mereka pikirkan t