Pov Aurel"Mantanmu itu mau menikah," ujarku memberitahukan hal yang pasti mengejutkan suamiku ini. Tampak Surya seperti terkejut tapi hanya sebentar. Lalu kemudian dia tampak biasa saja. Aku suka melihatnya. Artinya Surya memang sudah tak ada rasa lagi pada mantannya itu. Buktinya dia biasa saja saat ku beritahukan hal tersebut. "Oh, itu. Syukurlah." Hanya seperti itu jawabannya. Singkat. "Kok kamu biasa saja dengar mantan mau menikah lagi?" Aku mencoba memancing kembali. Ingin tahu seperti apa reaksinya. Surya mengernyitkan kening. "Terus maumu aku harus bersikap seperti apa? Sedih?" Surya terkekeh sembari menyesap minumannya. "Aneh. Kalau begitu aku belum move on. Kamu mau aku seperti itu?" ucapnya menantang setelah meletakkan kembali gelas minumannya ke atas meja. "Ya nggak gitu. Cuma heran saja. Kukira kamu nggak suka istrimu, eh mantanmu itu menikah lagi. Syukurlah kalau biasa saja. Aku senang dengarnya. Betewe tahu nggak siapa calonnya?" Surya yang fokus makan mendonga
Pov Surya Aku kembali ke kantor dengan muka tebal. Kusebut seperti itu karena yakin teman-teman di sana telah membicarakan apa yang barusan dilihat mereka tentang hubunganku dengan Aurel. Kuharap tidak dilebih-lebihkan apalagi membuat gosip baru tentangku. "Ya, gimana?" Deri bertanya saat aku mendekati meja kubikel-ku. Meja kerja kami bersebelahan. "Tentang apa?" tanyaku memastikan. Aku tidak ingin salah tanggap dengan pertanyaannya barusan. Bisa jadi yang ditanyakan tidak seperti yang kuperkirakan. "Kamu dan Aurel. Maaf jika pertanyaanku terlalu pribadi. Lupakan saja." Seraya menepuk pundakku dengan senyum tipisnya ia kembali menarik kursinya menjauhiku. Heh! Aku menghela napas berat. Ternyata tebakanku tak salah. Kuedarkan pandangan dulu ke sekitar dan memang beberapa netra menatapku berbeda. Seperti sedang membicarakanku. Pasti karena melihatku dan Aurel hampir bertengkar di depan mereka. Entahlah, bisa jadi karena perasaanku saja yang jadi lebih sensitif saat melihat tatap
Pov Satria Aku masih masuk kerja di hari menjelang pernikahanku yang tinggal seminggu. Bukan karena keinginanku, tapi kewajiban kerja yang memaksaku untuk tetap pergi ke kantor. Ada beberapa kerjaan yang harus diselesaikan dulu sebelum hari pernikahan tiba. Apalagi nanti bakal ada cuti libur yang akan kuambil. Tidak ingin menumpuk kerjaan dan tidak ingin juga cutiku ini menyusahkan teman kerja dan para karyawan. Baru memasuki ruangan bagian divisi tempatku bekerja, semua mata menatapku aneh. Para karyawan yang berada di bawah kepemimpinanku saat ini, menatap dengan tatapan yang tidak kumengerti. Aneh, seperti …. "Pak, kami dapat undangan pernikahan Bapak. Hm … Terima kasih banyak Pak, atas undangannya. Selamat juga atas pernikahannya." Irwan menyapaku dengan menunjukkan undangan pernikahan yang memang kuberikan pada Septi agar membagikannya ke semua karyawan yang ada di sini. Terutama bagian divisi-ku. Aku mengangguk dan hanya membalasnya dengan kata "Ya." "Iya, Pak, terima kasi
"Ya ampun, cantik Kak. Bagus banget kainnya. Pas banget pilihan Kakak," puji Becka saat kutunjukkan beberapa lembar kain ke arahnya. Becak tampak antusias meraba dan mengusap lembut serat kain yang kubawa dari butik. "Iya, cantik banget. Coba dapat satu buat ke kondangan Kakak nanti, pasti senang banget." Tika ikut menimpali seraya tangannya ikut mengelus bahan kain yang dipegang Becka. "Huusssttt! Nggak boleh ngomong gitu. Kalau mau, ya beli, masa ke kondangan Kak Medina nggak modal sih," tegur Becka yang sempat menyenggol badan Tika yang duduk di sampingnya. Aku tersenyum melihat tingkah keduanya. Mereka sebenarnya belum tahu saja kalau bahan yang kubawa itu memang untuk mereka ke acara nikahanku nanti. "Tika mau?" tawarku sembari mengeluarkan kain yang senada dengan yang dipegang Becka ke arahnya. "Yang benar, Kak? Ini serius?" Binar matanya menunjukkan rasa tak percaya saat kain bahan pakaian itu terulur ke arahnya. Aku mengangguk mengiakan. "Alhamdulillah, Terima kasih Ka
Pov Aurel Aneh. Sikap suamiku tambah aneh. Dia sangat cuek dan sok tidak peduli terhadapku. Tak pernah marah-marah lagi tiap pagi kalau aku telat bangun pagi. Tidak pernah mempermasalahkan aku akan memasak atau tidak. Rumah rapi atau berantakan, dia sepertinya sudah tak peduli. Hubungan kami semakin lama kok terasa semakin hambar akhir-akhir ini. "Inih, itu pun kalau kamu mau datang." Tiba-tiba saja Surya yang baru pulang ngantor memberikanku sebuah kartu undangan. Dilihat dari tampilannya ini adalah kartu undangan pernikahan. Aku yang bingung disodorkan undangan begitu saja jadi mengerutkan kening sembari menatap benda persegi empat itu dengan seksama. Terpaksa membaca isinya untuk tahu siapa yang punya hajat pernikahan. Hormat kami yang berbahagia, Satria dan Medina? Mataku membulat sempurna saat membaca tulisan nama mempelai wanita. Medina. Apa yang dimaksud ini adalah Medina mantannya suamiku? "Yang, ini apa maksudnya?" Aku beranjak dari dudukku dengan cepat mendatangi Sur
"Bibi masak apa hari ini?" tanyaku setelah melipir sedikit menjauh dan akhir memilih duduk di kursi yang mengelilingi meja makan. Kulihat Bibi sedang berdiri di depan meja kompor dan sedang mengerjakan sesuatu di sana. "Oh, masakan hari ini simpel saja, Bu. Pak Surya minta Saya bikinkan terong balado, ikan bakar sama sambal terasi."Simpel? Bagiku itu masakan yang ribet. Goreng terong, bikin sambel dan bakar ikan. Merepotkan! Tapi terserah bibilah nyebutnya apa. Kan dia juga yang mengerjakannya."Oh, sudah?""Sudah, kan sudah sore Bu. Bentar lagi Saya mau pulang. Ini baru juga selesai masaknya. Ibu saja yang tumben jam segini sudah di rumah terus kepo nanyain Saya masak apa?"Nah kan jawabannya nyebelin, plus cerewet! "Itu urusan Saya! Semua kerjaan sudah selesai? Saya nggak mau Bibi pergi tapi ada yang belum selesai. Cepat selesaikan dan baru bisa pulang.""Sudah, Bu. Semua sudah beres tinggal nyuci piring habis masak barusan," jawabnya santai. Tak kugubris lagi, aku berpura asyi
Pov Surya Hari yang tidak kuinginkan akhirnya datang juga. Aku menyesal, aku merutuki kebodohanku saat ini. Kenapa baru sadar setelah kehilangannya? "Yang, kamu sedih ya tahu mantanmu itu nikah lagi?" Aku hanya mampu menarik napas berat saat pertanyaan itu ditanyakan Aurel lagi. Sepertinya dia tidak percaya kalau aku bisa menerima kenyataan tersebut. "Kenapa diulang terus, Rel. Aku capek jawabnya. Jawabannya masih sama jadi kumohon hentikan mengulang pertanyaan ini," jawabku dengan kesal. Aurel mencebik. "Bagaimana aku tidak nanya lagi, Ya. Nih, coba lihat wajahmu saat ini, nih lihatlah!" Badanku didorong Aurel hingga berdiri di depan cermin. "Lihat wajah ini, apa ini wajah orang bahagia atau sedih?" tudingnya penuh kekesalan. Aku yang sedang mengancing baju hanya menatap sekilas ke cermin lalu menjauh dengan wajah datar. Sekarang sebisa mungkin mengendalikan diri dan mengubah raut wajahku agar tak dicurigai Aurel atau siapapun yang melihatnya. Biar apa yang mereka pikirkan t
"Der!" Aku memanggil Deri yang tampaknya juga baru datang. Segera aku beranjak menjauh dari Irwan. Aku malas sampai disinggungnya lagi masalah Medina. Malas menjawabnya juga. Pasti pembicaraannya tidak jauh membahas dari mantanku itu. Entah ada apa dengannya. Selalu saja mengungkit soal mantanku itu seolah sedang menyindirku yang salah telah melepasnya. "Hey, baru datang atau sudah lama?" tanyanya sembari menepuk bahuku. "Baru saja datang.""Sama Aurel?" Deri celingukan tampak mencari sosok itu. Aku mengangguk. "Sama siapa lagi." Dengan tersenyum kecut aku menjawabnya. Tatapan mataku ke arah belakang di mana Aurel berada. "Sabar, ini ujian." Aku hanya terkekeh diejeknya seperti itu. Tidak tersinggung karena memang faktanya begitu. Ini ujian untukku. Semoga kedepannya aku bisa lebih bijak dalam mengambil keputusan biar tidak salah langkah lagi.Selain itu dia teman terdekat yang paling kupercaya. "Katanya mempelai lagi bersiap-siap jadi belum muncul."Deri membuka obrolan. Ne
Akhirnya aku turuti apa sarannya Mas Satria. Aku mengenakan pakaian tipis itu tapi dilapisi dengan kimono luar berbahan satin. Masih tampak seksi dengan belahan dada yang rendah ditambah panjang bajunya hanya diatas lutut. Sumpah, itu bukan saran yang bagus tapi lebih baik daripada hanya mengenakan pakaian tipis tersebut. Saat aku keluar kamar mandi, Mas Satria menatapku sebentar. Namun kuabaikan. Aku tidak tahu seperti apa raut wajahnya lagi karena aku enggan untuk membalas tatapannya. Rasa gugup sudah mendominasi. Segera aku berjalan menuju kasur dimana ada Mas Satria juga yang lebih dulu berbaring di sana dengan bersandarkan kepala di bahu ranjang ukuran king tersebut. Hening. Bahkan ketikan keyboard ponsel layar sentuh Mas Satria terdengar olehku saking sunyinya suasana di dalam kamar ini. Entah apa yang diketiknya dan siapa yang dikirimi pesan tersebut, aku tak peduli. Yang sedang kuperhatikan adalah denyut jantungku yang semakin cepat berdetak. Debaran di dada membuatku be
"Harus ya Bun, kami langsung tinggal di rumahnya Mas Satria?" tanyaku pada Bunda saat pesta resepsi telah berakhir. Bunda menghampiri. Para tamu sudah banyak yang pulang. Jam juga sudah menunjukkan pukul 11 malam dan memang aku meminta kalau bisa hanya sampai di jam itu saja batas akhir waktu acara pesta ini berlangsung. Aku tidak mau kemalaman apalagi ada Malik. Kasihan dia. Anakku itu sudah terbiasa tidur cepat, takutnya dia rewel dan merusak acara pesta karena pasti akan bermanja denganku. "Ya harus. Masa tinggal di rumahmu? Rumah bekas kamu berumah tangga dengan Surya. Mana mau dia, Na. Bunda tahu sifat lelaki. Gengsinya gede. Lagipula nggak enak juga kalau dia harus tinggal di sana. Kamu sudah jadi istrinya ya harus ikut suami, bukannya suami yang ikut istri," balas Bunda menasihati. "Tapi malam ini kamu nginap di sini dulu, Bunda juga. Sudah dipesankan. Nggak enak kalau menolak. Harusnya sih kalian saja, kami tidak perlu ikut, tapi karena ini keinginan Bu Resa, nggak enak kala
Pov AurelDengan kekesalan yang masih memuncak, aku berhasil pulang juga ke rumah. Aku terpaksa memanggil taksi karena Surya telah mengusirku dari mobilnya. Di pinggir jalan. Sendirian. Itu adalah pengalaman buruk bagiku. Dasar keterlaluan! Tega sekali laki-laki itu menurunkanku di pinggir jalan hanya karena marah. Setelah kurenungkan selama di perjalanan, Surya marah pasti lantaran aku menyebutnya laki-laki payah, suami tak guna. Harusnya saat di rumah baru lampiaskan kemarahannya itu, bukan dengan cara menurunkanku di jalan. Tak punya hati, pantas Medina meminta talak darinya. Memang kenyataan dia suami payah, wajar kalau aku meluapkannya secara blak-blakan. Maksudku agar dia bisa intropeksi diri dan menjadi suami yang lebih baik lagi. Ternyata Surya tidak paham dan menganggap kritikan itu sebagai hinaan. Mana mobilnya? Dia belum datang? Bukankah sudah lebih dulu pulang? Kalau tidak pulang, lalu pergi kemana? Dengan bergumam sendiri, aku masuk ke dalam rumah yang sepi dan gela
Pov Surya"Keluar!" teriakku pada wanita yang sedari tadi tak berhenti bicara. Dia bahkan dengan entengnya menghinaku terus-menerus. Aku manusia, kesabaranku ada batasnya. "Hah?! A–apa? Kamu ngusir aku Ya?" tanyanya polos tak merasa bersalah. Aku mengangguk cepat tanpa ragu. Emosiku lagi naik. Hinaannya barusan melukai perasaanku sebagai seorang laki-laki apalagi suami. Dia tidak menghormatiku sama sekali dan ini sudah ke sekian kalinya. Kubukakan pintu mobil mempermudahnya untuk keluar dan sebagai tanda kalau ucapanku bukan gertakan semata. Aku bahkan mendorongnya hingga akhirnya Aurel terpaksa keluar dari mobil. Setelah memastikan wanita yang masih sah menjadi istriku itu keluar, maka mobil kujalankan kembali meninggalkannya di pinggir jalan. Aku tak peduli bagaimana caranya pulang karena yakin dia mampu pulang sendiri. Aku tidak setega itu meninggalkannya tanpa berpikir lebih dahulu. Waktu belum menunjukkan tinggi malam, masih ada taksi atau kendaraan lainnya yang bisa dipa
Wanita paruh baya yang berada di depanku ini terdiam dengan mengamati lekat kartu undangan pernikahan yang baru saja kuberikan. Kuletakkan kartu tersebut di atas meja di hadapannya. Ia menatapku bergantian dengan kartu undangan tersebut, dan tampak ragu saat mengambilnya. Sebelum membaca isinya, ia menatapku lagi sebentar. Lalu akhirnya terpaku pada kartu undangan itu untuk beberapa saat. Tampak ekspresi wajahnya berubah-ubah saat membacanya. Di awali terkejut, sempat terlihat mengernyitkan keningnya dan lalu berwajah muram. Sepertinya dia tak suka dengan isi bacaan yang ada di dalamnya dan aku sudah yakin akan hal itu. "Apa ini, Medina? Apa maksudnya namamu ada di sana?" Dilempar kasar kartu undangan tersebut di depan meja di hadapanku. Tampak kemarahan di wajahnya. "Maaf, Ma. Medina yakin Mama paham dengan hal tersebut. Medina akan … menikah. Kalau Mama ada waktu, Mama bisa–""Kamu mengejekku?" selanya memotong ucapanku. "Iya, begitu? Tega kamu Na!" Lalu melengos dengan wajah k
Pov Aurel"Sudah cantik, kok. Ayo pergi!" ajak Surya melihatku lama mematut diri di depan cermin. Aku belum beranjak dari sana. "Iya, sebentar lagi. Tunggu di depan, habis nih, aku ke depan kok," jawabku tanpa menoleh, masih memperhatikan penampilan diri sendiri apa sudah cantik atau belum. Aku tidak mau kalah apalagi kebanting penampilanku sama Medina, mantannya Surya. Bagaimanapun juga aku ingin membuktikan kalau aku jauh lebih cantik dari wanita itu terutama di hadapan Surya, apalagi teman-temannya. Aku ingin dia bangga beristrikan aku. Tampak Surya menggelengkan kepala seolah merutuki sikapku. Masa bodoh, aku tak peduli. "Aku tunggu di depan, jangan lama nanti kutinggal!" Mendengar ancamannya, aku hanya mencebik. Selalu saja begitu. Suka sekali mengancam. Akan ini, akan itu, menyebalkan. Syukur belum pernah dia mengancam akan menceraikanku, huh! Mana berani. Dia terlalu bucin. Bakalan patah hati terdalam kalau sampai aku meninggalkannya. Dirasa cukup, aku bergegas menghampi
"Der!" Aku memanggil Deri yang tampaknya juga baru datang. Segera aku beranjak menjauh dari Irwan. Aku malas sampai disinggungnya lagi masalah Medina. Malas menjawabnya juga. Pasti pembicaraannya tidak jauh membahas dari mantanku itu. Entah ada apa dengannya. Selalu saja mengungkit soal mantanku itu seolah sedang menyindirku yang salah telah melepasnya. "Hey, baru datang atau sudah lama?" tanyanya sembari menepuk bahuku. "Baru saja datang.""Sama Aurel?" Deri celingukan tampak mencari sosok itu. Aku mengangguk. "Sama siapa lagi." Dengan tersenyum kecut aku menjawabnya. Tatapan mataku ke arah belakang di mana Aurel berada. "Sabar, ini ujian." Aku hanya terkekeh diejeknya seperti itu. Tidak tersinggung karena memang faktanya begitu. Ini ujian untukku. Semoga kedepannya aku bisa lebih bijak dalam mengambil keputusan biar tidak salah langkah lagi.Selain itu dia teman terdekat yang paling kupercaya. "Katanya mempelai lagi bersiap-siap jadi belum muncul."Deri membuka obrolan. Ne
"Der!" Aku memanggil Deri yang tampaknya juga baru datang. Segera aku beranjak menjauh dari Irwan. Aku malas sampai disinggungnya lagi masalah Medina. Malas menjawabnya juga. Pasti pembicaraannya tidak jauh membahas dari mantanku itu. Entah ada apa dengannya. Selalu saja mengungkit soal mantanku itu seolah sedang menyindirku yang salah telah melepasnya. "Hey, baru datang atau sudah lama?" tanyanya sembari menepuk bahuku. "Baru saja datang.""Sama Aurel?" Deri celingukan tampak mencari sosok itu. Aku mengangguk. "Sama siapa lagi." Dengan tersenyum kecut aku menjawabnya. Tatapan mataku ke arah belakang di mana Aurel berada. "Sabar, ini ujian." Aku hanya terkekeh diejeknya seperti itu. Tidak tersinggung karena memang faktanya begitu. Ini ujian untukku. Semoga kedepannya aku bisa lebih bijak dalam mengambil keputusan biar tidak salah langkah lagi.Selain itu dia teman terdekat yang paling kupercaya. "Katanya mempelai lagi bersiap-siap jadi belum muncul."Deri membuka obrolan. Ne
Pov Surya Hari yang tidak kuinginkan akhirnya datang juga. Aku menyesal, aku merutuki kebodohanku saat ini. Kenapa baru sadar setelah kehilangannya? "Yang, kamu sedih ya tahu mantanmu itu nikah lagi?" Aku hanya mampu menarik napas berat saat pertanyaan itu ditanyakan Aurel lagi. Sepertinya dia tidak percaya kalau aku bisa menerima kenyataan tersebut. "Kenapa diulang terus, Rel. Aku capek jawabnya. Jawabannya masih sama jadi kumohon hentikan mengulang pertanyaan ini," jawabku dengan kesal. Aurel mencebik. "Bagaimana aku tidak nanya lagi, Ya. Nih, coba lihat wajahmu saat ini, nih lihatlah!" Badanku didorong Aurel hingga berdiri di depan cermin. "Lihat wajah ini, apa ini wajah orang bahagia atau sedih?" tudingnya penuh kekesalan. Aku yang sedang mengancing baju hanya menatap sekilas ke cermin lalu menjauh dengan wajah datar. Sekarang sebisa mungkin mengendalikan diri dan mengubah raut wajahku agar tak dicurigai Aurel atau siapapun yang melihatnya. Biar apa yang mereka pikirkan t