Pov Satria Wanita itu, kenapa selalu dipertemukan? Apa ini yang namanya jodoh? Namaku Satria Wiguna, lelaki berumur 35 tahun. Mempunyai anak semata wayang bernama Starla. Aku hanya tinggal bertiga dengan ibuku. Ibunya Starla sudah lama meninggal tiga tahun yang lalu dan sampai sekarang aku belum berniat untuk menikah kembali. Aku lebih fokus membesarkan Starla dan menyibukkan diri dengan bekerja. *** "Ayolah Sat, menikahlah. Ibu akan tenang kalau kamu sudah memiliki pasangan." Lagi, Ibu selalu membujukku untuk menikah kembali. Banyak wanita ditawarkannya padaku dan yang terakhir bernama Medina–wanita–yang baru menjanda dan merupakan langganannya beli kue. "Ibu baru juga kenal sudah main jodohkan ke dia. Jangan gegabah, nanti salah pilih. Ibu mau dapat menantu yang seperti di cerita novel itu. Menantu yang kurang ajar dan sebagainya," kilahku memberi nasihat sekaligus mengelak. "Mau Starla dapat ibu sambung yang jahat?" imbuhku lagi menakut-nakuti agar misinya untuk menjodohk
Pov Satria"Aku tidak punya perasaan apapun denganmu, jadi jauhi ibuku." Dengan kasar kukatakan hal tersebut pada wanita yang berdiri di depanku saat ini. Kami berdua berada di dalam rumah, tepatnya di ruang tamu, sengaja mengajaknya ke sana untuk menghindari perhatian orang lain dengan alasan ingin memesan kue darinya untuk acara kantor. Mungkin perkataanku barusan terdengar menyakitkan, tapi itu lebih baik daripada mendiamkannya dan membuat wanita itu semakin mempunyai harapan besar atas hubungan yang tak pernah terbentuk. Semua hanya berdasarkan keinginan ibuku yang ngotot mendekatkan kami karena dia menyukai wanita tersebut. "Maaf, Saya cuma pedagang kue yang disukai ibu Bapak. Tidak ada juga perasaan lebih apalagi menyukai Bapak. Kita tidak saling mengenal. Hanya tidak sengaja bertemu dan Saya memang sangat berutang budi sama Bapak. Hanya sebatas itu jadi jika dikira Saya sengaja minta didekatkan dengan Bapak lewat Bu Resa, sepertinya Bapak salah paham," jawab wanita yang ber
"Kuenya antar kemana?" Aku terpaksa menghubungi Pak Satria karena pesanan kuenya jadi dipesan dan minta diantarkan. Setelah hari itu, di hari ultahnya Starla. Bu Resa tidak pernah datang lagi ke rumahku. Aku merasa bersalah takut perkataanku waktu itu menyakiti hatinya. ***"Kak Medina tidak salah. Kan Pak Satria sendiri yang minta Kakak buat ngasih tahu ibunya, jadi yang salah di sini ya Pak Satria." Becka memberi pendapatnya setelah aku bercerita padanya dan Tika tentang kentang waktu itu di ultahnya Starla. "Iya, Kak. Jangan dipikirkan. Biarkan Pak Satria yang mikir sendiri. Dia yang bikin ulah, biar dia yang bereskan. Kakak nggak perlu merasa bersalah. Nggak enak juga walaupun ibunya suka kalau anaknya tidak mau masa' dipaksa." Tika ikut bersuara. "Eh, garis bawahi Tik, bukan Kak Medina yang naksir duluan, si laki-laki es saja yang kesenangan sok paling ganteng merasa disukai Kak Medina. Padahal itu keinginan ibunya." Becka meluruskan perkataan Tika. "Iya, maksudnya itu Kak
Dengan berat hati akhirnya aku terpaksa pergi ke Kantor Pak Satria atau kantor dimana mantan suamiku bekerja. "Pagi Bu, ada yang bisa dibantu?" Seorang resepsionis di lobi kantor menyambutku dengan ramah. Mungkin karena melihatku celingak-celinguk, mengamati seisi lobi mencari sosok Tika. "Ruangan Pak Satria dimana ya?" Aku refleks bertanya karena tiba-tiba saja blank lupa kalau sebenarnya sudah mempunyai catatan dimana ruangan Pak Satria. Apalagi ditambah rasa gugup karena ini untuk pertama kalinya mendatangi kantor mantan suami. Berharap tidak akan bertemu dengan lelaki tersebut. "Pak Satria siapa ya, Bu? Kebetulan di kantor ini ada tiga orang bernama yang sama. Mungkin bisa disebutkan nama lengkapnya atau pekerjaannya di bidang apa?"Aduh, kenapa jadi seribet ini? Mana aku tahu dia kerja apa? "Tunggu sebentar," ujarku bergegas mengambil ponsel dari dalam tas ingin menghubungi Tika. "Kak!" Suara panggilan itu memaksaku menoleh ke asal suara. Akhirnya ketemu juga. Tika m
"Tunggu, ini apa-apaan sih, Pak?""Tika, apa jangan-jangan kamu kerja sama dengannya buat ngajak aku ke sini? Makanya setelah berhasil, kamu dikasih uang? Iya, gitu?" Sorot mataku tajam menatap ke Tika yang masih memegang amplop berisi uang tersebut. Tika dengan cepat menggeleng. "Tidak Kak, Tika tidak tahu apa-apa. Pak, ini ambil saja. Daripada hubungan Tika sama Kak Medina rusak, Tika tidak mau ambil uang Bapak." Disodorkan kembali amplop uang tersebut ke Pak Satria dengan meletakkannya di atas meja kerja. Pak Satria malah tersenyum. "Kalau tidak mau ya tidak apa. Saya masukkan lagi kalau begitu uangnya." Dengan santainya Pak Satria memasukkan kembali amplop yang katanya berisi uang itu ke dalam saku di balik kemejanya. "Pak, ini kuenya, ambillah. Tak perlu juga bayar dan maaf, mungkin ini untuk yang pertama dan terakhir Bapak memesan kue dari kami karena setelahnya kami tidak akan melayani pesanan Bapak lagi. Lebih baik kehilangan satu pelanggan daripada membuat kami kesusah
"Pak," sapa Mas Surya ke arah Pak Satria. Laki-laki dingin nomor satu dalam benakku itu cuma menganggukkan kepala merespon sapaan mantanku tersebut. Nah, kan akhirnya memang ketemu sungguhan? Seharusnya aku tidak memikirkan nama tersebut agar tidak dijadikan kenyataan oleh Tuhan. "Kalian saling kenal?" Pak Satria bertanya dengan menautkan kedua alisnya. Menatapku bergantian dengan Mas Surya. "Tidak kenal Pak, cuma tetangga nggak jelas. Ayo Kak!" Kaget. Tika yang menjawab dan dia menarikku berjalan meninggalkan kedua laki-laki tersebut. "Tik," ujarku berseru tapi dicegatnya dengan memberi kode diam. Isyarat telunjuk di depan bibir ditambahkannya. Aku bahkan tidak diizinkannya menoleh ke belakang untuk melihat apa yang terjadi pada dua laki-laki tersebut. Dia terus menuntunku berjalan ditengah tatapan heran beberapa karyawan yang berada di kantor ini. "Biarkan saja, jangan diladeni mantan Kakak tersebut. Ingat Kak, slogan buanglah mantan pada tempatnya. Lempar ke dasar pa
Pov Surya"Rel, kok bajunya masih kucel? Ini kemeja kerja yang mau aku pake hari ini. Nggak kamu setrika?" Pagi-pagi aku sudah ngedumel pada Aurel karena baju kerjaku belum rapi disetrikanya. Padahal kemarin sudah diingatkan untuk menyetrika dan sudah kupisahkan letaknya dari baju yang lainnya. "Lupa, Yang. Suruh Bibi saja yang kerjain. Aku sibuk." Aurel tampak sibuk mengeringkan rambutnya di depan cermin. "Heh!" Aku mendesah. Lagi-lagi seperti itu jawabannya. Sudah beberapa kali permintaanku selalu diabaikannya. Bahkan hal yang sangat gampang saja masih dilupakannya. Aku sampai meragu apa benar dia lupa atau sengaja melupakannya? Kenapa setelah menikah aku baru tahu watak Aurel sebenarnya? Kemeja itu tak jadi kukenakan. Aku beralih mengambil kemeja yang lain, tapi ternyata penampakannya tak jauh beda dengan yang ingin kukenakan. Kucel juga. Melihat ke arloji di pergelangan tangan sepertinya tidak sempat kalau minta disetrika kan sama Bibi. Kalau seperti ini aku jadi teringat
Pov Surya Netraku tak berhenti memandang arah ke ruangan Pak Satria. Dari mejaku, masih bisa terlihat jelas siapapun yang berjalan ke arah sana maupun sebaliknya. Aku menunggu Medina, aku ingin bertemu dengannya dan menanyakan apa tujuannya datang ke kantor dan menemui Pak Satria. Seharusnya dia menghampiriku barang sebentar agar aku merasa dihargai sebagai mantan. "Sudah, jangan diliatin terus. Nanti juga kelihatan kok mantanmu itu dari sini." Deri yang berada di sebelahku mencoba menenangkan. Aku menghela napas. Lalu menyandarkan punggung ke kursi kerja. "Aku takut dia keburu pergi. Aku tidak mau kecolongan," ujarku lirih masih dengan sesekali pandangan mata ini ke sana. Kucoba menghubungi Medina tapi tidak bisa. Panggilanku selalu ditolaknya. Hal ini malah semakin membuatku tidak tenang. Aku semakin penasaran apa yang sedang dilakukannya di ruangan Pak Satria. Apa dia melamar kerja? Tidak! Dia hanya lulusan SMA. Mana mungkin melamar kerja di sini. Paling banter hanya jadi pega
Akhirnya aku turuti apa sarannya Mas Satria. Aku mengenakan pakaian tipis itu tapi dilapisi dengan kimono luar berbahan satin. Masih tampak seksi dengan belahan dada yang rendah ditambah panjang bajunya hanya diatas lutut. Sumpah, itu bukan saran yang bagus tapi lebih baik daripada hanya mengenakan pakaian tipis tersebut. Saat aku keluar kamar mandi, Mas Satria menatapku sebentar. Namun kuabaikan. Aku tidak tahu seperti apa raut wajahnya lagi karena aku enggan untuk membalas tatapannya. Rasa gugup sudah mendominasi. Segera aku berjalan menuju kasur dimana ada Mas Satria juga yang lebih dulu berbaring di sana dengan bersandarkan kepala di bahu ranjang ukuran king tersebut. Hening. Bahkan ketikan keyboard ponsel layar sentuh Mas Satria terdengar olehku saking sunyinya suasana di dalam kamar ini. Entah apa yang diketiknya dan siapa yang dikirimi pesan tersebut, aku tak peduli. Yang sedang kuperhatikan adalah denyut jantungku yang semakin cepat berdetak. Debaran di dada membuatku be
"Harus ya Bun, kami langsung tinggal di rumahnya Mas Satria?" tanyaku pada Bunda saat pesta resepsi telah berakhir. Bunda menghampiri. Para tamu sudah banyak yang pulang. Jam juga sudah menunjukkan pukul 11 malam dan memang aku meminta kalau bisa hanya sampai di jam itu saja batas akhir waktu acara pesta ini berlangsung. Aku tidak mau kemalaman apalagi ada Malik. Kasihan dia. Anakku itu sudah terbiasa tidur cepat, takutnya dia rewel dan merusak acara pesta karena pasti akan bermanja denganku. "Ya harus. Masa tinggal di rumahmu? Rumah bekas kamu berumah tangga dengan Surya. Mana mau dia, Na. Bunda tahu sifat lelaki. Gengsinya gede. Lagipula nggak enak juga kalau dia harus tinggal di sana. Kamu sudah jadi istrinya ya harus ikut suami, bukannya suami yang ikut istri," balas Bunda menasihati. "Tapi malam ini kamu nginap di sini dulu, Bunda juga. Sudah dipesankan. Nggak enak kalau menolak. Harusnya sih kalian saja, kami tidak perlu ikut, tapi karena ini keinginan Bu Resa, nggak enak kala
Pov AurelDengan kekesalan yang masih memuncak, aku berhasil pulang juga ke rumah. Aku terpaksa memanggil taksi karena Surya telah mengusirku dari mobilnya. Di pinggir jalan. Sendirian. Itu adalah pengalaman buruk bagiku. Dasar keterlaluan! Tega sekali laki-laki itu menurunkanku di pinggir jalan hanya karena marah. Setelah kurenungkan selama di perjalanan, Surya marah pasti lantaran aku menyebutnya laki-laki payah, suami tak guna. Harusnya saat di rumah baru lampiaskan kemarahannya itu, bukan dengan cara menurunkanku di jalan. Tak punya hati, pantas Medina meminta talak darinya. Memang kenyataan dia suami payah, wajar kalau aku meluapkannya secara blak-blakan. Maksudku agar dia bisa intropeksi diri dan menjadi suami yang lebih baik lagi. Ternyata Surya tidak paham dan menganggap kritikan itu sebagai hinaan. Mana mobilnya? Dia belum datang? Bukankah sudah lebih dulu pulang? Kalau tidak pulang, lalu pergi kemana? Dengan bergumam sendiri, aku masuk ke dalam rumah yang sepi dan gela
Pov Surya"Keluar!" teriakku pada wanita yang sedari tadi tak berhenti bicara. Dia bahkan dengan entengnya menghinaku terus-menerus. Aku manusia, kesabaranku ada batasnya. "Hah?! A–apa? Kamu ngusir aku Ya?" tanyanya polos tak merasa bersalah. Aku mengangguk cepat tanpa ragu. Emosiku lagi naik. Hinaannya barusan melukai perasaanku sebagai seorang laki-laki apalagi suami. Dia tidak menghormatiku sama sekali dan ini sudah ke sekian kalinya. Kubukakan pintu mobil mempermudahnya untuk keluar dan sebagai tanda kalau ucapanku bukan gertakan semata. Aku bahkan mendorongnya hingga akhirnya Aurel terpaksa keluar dari mobil. Setelah memastikan wanita yang masih sah menjadi istriku itu keluar, maka mobil kujalankan kembali meninggalkannya di pinggir jalan. Aku tak peduli bagaimana caranya pulang karena yakin dia mampu pulang sendiri. Aku tidak setega itu meninggalkannya tanpa berpikir lebih dahulu. Waktu belum menunjukkan tinggi malam, masih ada taksi atau kendaraan lainnya yang bisa dipa
Wanita paruh baya yang berada di depanku ini terdiam dengan mengamati lekat kartu undangan pernikahan yang baru saja kuberikan. Kuletakkan kartu tersebut di atas meja di hadapannya. Ia menatapku bergantian dengan kartu undangan tersebut, dan tampak ragu saat mengambilnya. Sebelum membaca isinya, ia menatapku lagi sebentar. Lalu akhirnya terpaku pada kartu undangan itu untuk beberapa saat. Tampak ekspresi wajahnya berubah-ubah saat membacanya. Di awali terkejut, sempat terlihat mengernyitkan keningnya dan lalu berwajah muram. Sepertinya dia tak suka dengan isi bacaan yang ada di dalamnya dan aku sudah yakin akan hal itu. "Apa ini, Medina? Apa maksudnya namamu ada di sana?" Dilempar kasar kartu undangan tersebut di depan meja di hadapanku. Tampak kemarahan di wajahnya. "Maaf, Ma. Medina yakin Mama paham dengan hal tersebut. Medina akan … menikah. Kalau Mama ada waktu, Mama bisa–""Kamu mengejekku?" selanya memotong ucapanku. "Iya, begitu? Tega kamu Na!" Lalu melengos dengan wajah k
Pov Aurel"Sudah cantik, kok. Ayo pergi!" ajak Surya melihatku lama mematut diri di depan cermin. Aku belum beranjak dari sana. "Iya, sebentar lagi. Tunggu di depan, habis nih, aku ke depan kok," jawabku tanpa menoleh, masih memperhatikan penampilan diri sendiri apa sudah cantik atau belum. Aku tidak mau kalah apalagi kebanting penampilanku sama Medina, mantannya Surya. Bagaimanapun juga aku ingin membuktikan kalau aku jauh lebih cantik dari wanita itu terutama di hadapan Surya, apalagi teman-temannya. Aku ingin dia bangga beristrikan aku. Tampak Surya menggelengkan kepala seolah merutuki sikapku. Masa bodoh, aku tak peduli. "Aku tunggu di depan, jangan lama nanti kutinggal!" Mendengar ancamannya, aku hanya mencebik. Selalu saja begitu. Suka sekali mengancam. Akan ini, akan itu, menyebalkan. Syukur belum pernah dia mengancam akan menceraikanku, huh! Mana berani. Dia terlalu bucin. Bakalan patah hati terdalam kalau sampai aku meninggalkannya. Dirasa cukup, aku bergegas menghampi
"Der!" Aku memanggil Deri yang tampaknya juga baru datang. Segera aku beranjak menjauh dari Irwan. Aku malas sampai disinggungnya lagi masalah Medina. Malas menjawabnya juga. Pasti pembicaraannya tidak jauh membahas dari mantanku itu. Entah ada apa dengannya. Selalu saja mengungkit soal mantanku itu seolah sedang menyindirku yang salah telah melepasnya. "Hey, baru datang atau sudah lama?" tanyanya sembari menepuk bahuku. "Baru saja datang.""Sama Aurel?" Deri celingukan tampak mencari sosok itu. Aku mengangguk. "Sama siapa lagi." Dengan tersenyum kecut aku menjawabnya. Tatapan mataku ke arah belakang di mana Aurel berada. "Sabar, ini ujian." Aku hanya terkekeh diejeknya seperti itu. Tidak tersinggung karena memang faktanya begitu. Ini ujian untukku. Semoga kedepannya aku bisa lebih bijak dalam mengambil keputusan biar tidak salah langkah lagi.Selain itu dia teman terdekat yang paling kupercaya. "Katanya mempelai lagi bersiap-siap jadi belum muncul."Deri membuka obrolan. Ne
"Der!" Aku memanggil Deri yang tampaknya juga baru datang. Segera aku beranjak menjauh dari Irwan. Aku malas sampai disinggungnya lagi masalah Medina. Malas menjawabnya juga. Pasti pembicaraannya tidak jauh membahas dari mantanku itu. Entah ada apa dengannya. Selalu saja mengungkit soal mantanku itu seolah sedang menyindirku yang salah telah melepasnya. "Hey, baru datang atau sudah lama?" tanyanya sembari menepuk bahuku. "Baru saja datang.""Sama Aurel?" Deri celingukan tampak mencari sosok itu. Aku mengangguk. "Sama siapa lagi." Dengan tersenyum kecut aku menjawabnya. Tatapan mataku ke arah belakang di mana Aurel berada. "Sabar, ini ujian." Aku hanya terkekeh diejeknya seperti itu. Tidak tersinggung karena memang faktanya begitu. Ini ujian untukku. Semoga kedepannya aku bisa lebih bijak dalam mengambil keputusan biar tidak salah langkah lagi.Selain itu dia teman terdekat yang paling kupercaya. "Katanya mempelai lagi bersiap-siap jadi belum muncul."Deri membuka obrolan. Ne
Pov Surya Hari yang tidak kuinginkan akhirnya datang juga. Aku menyesal, aku merutuki kebodohanku saat ini. Kenapa baru sadar setelah kehilangannya? "Yang, kamu sedih ya tahu mantanmu itu nikah lagi?" Aku hanya mampu menarik napas berat saat pertanyaan itu ditanyakan Aurel lagi. Sepertinya dia tidak percaya kalau aku bisa menerima kenyataan tersebut. "Kenapa diulang terus, Rel. Aku capek jawabnya. Jawabannya masih sama jadi kumohon hentikan mengulang pertanyaan ini," jawabku dengan kesal. Aurel mencebik. "Bagaimana aku tidak nanya lagi, Ya. Nih, coba lihat wajahmu saat ini, nih lihatlah!" Badanku didorong Aurel hingga berdiri di depan cermin. "Lihat wajah ini, apa ini wajah orang bahagia atau sedih?" tudingnya penuh kekesalan. Aku yang sedang mengancing baju hanya menatap sekilas ke cermin lalu menjauh dengan wajah datar. Sekarang sebisa mungkin mengendalikan diri dan mengubah raut wajahku agar tak dicurigai Aurel atau siapapun yang melihatnya. Biar apa yang mereka pikirkan t