Sesosok laki-laki yang dikenal dan pernah menorehkan luka dihatiku. Dia datang bersama seorang perempuan yang sampai saat ini masih aku hormati. Mas Adnan dan mantan ibu mertuaku berjalan memasuki pintu gerbang yang memang dibiarkan terbuka. Mereka menatap heran ke arah kami yang duduk lesehan di taman menikmati makan siang.Aku menatap ke arah Mas Akbar. Wajahnya berubah seketika. Sementara Mbak Nisa dan Ustaz Azam terlihat biasa saja. Adeeva yang sedang mengunyah makanan nampak terkejut dengan kedatangan ayah dan neneknya. Sontak dia bangkit dan beranjak meninggalkan tempatnya seraya menghambur menyambut kedatangan mereka.Mas Adnan terlihat memeluk dan menciumi wajah serta tangan putrinya, pun dengan mantan ibu mertuaku. Mereka terlihat saling melepaskan rindu. Wajah Adeeva terlihat begitu bahagia karena bertemu dengan ayahnya. Beberapa hari belakangan, dia memang sering menanyakan keberadaan Mas Adnan."Assalamualaikum, Aisha, Mas Akbar," sapanya seraya menggendong Adeeva daalm pel
Ternyata sosok yang datang adalah Pak Askara Dirgantara, wakil kepala Polres yang membantu menyelesaikan kasus penculikan Adeeva. Dia turun dari mobil seraya melemparkan senyumnya yang menawan. Kedua tangannya membawa dua buah godie bag berukuran besar."Selamat pagi, Ibu Aisha. Maaf jika kedatangan saya mengganggu waktu istirahat Anda. Saya ingin bertemu dengan Adeeva, putri Anda!" sapa Pak Askara memulai pembicaraan.Aku merasa sedikit kecewa, karena tamu yang datang berkunjung bukanlah Ustaz Asam. Oleh karena itu, aku terdiam seraya menatap heran ke arah Pak Askara."Bu Aisha, Anda baik-baik saja?" tanya laki-laki gagah dihadapanku ini."I-iya, saya baik-baik saja Pak. Maaf, saya sedang melamun. Mari silakan masuk," jawabku gugup.Pak Askara berjalan mengikuti langkahku dari belakang. Dalam hati aku merasa sedikit khawatir jika Ustaz Azam datang dan salah paham dengan Pak Askara. Aku berharap Ustaz Azam datang setelah Pak Askara pulang. Tiba di ruang tamu, aku mempersilakan beliau u
Sambil memeluk Mas Azam, aku menatap wajah orang yang melakukan kekerasan kepadanya. Ternyata dia adalah Mas Adnan. Dia terlihat ingin kembali melayangkan tinju kepada Mas Azam, namun dengan cepat aku menendang organ vitalnya hingga dia terjerembab ke tanah. Aku membantu Mas Azam untuk bangkit, agar tidak menjadi bulan-bulanan Mas Adnan. Laki-laki tidak waras itu terlihat meringis kesakitan saat organ vitalnya mendapatkan tendangan telak dariku."Mas Adnan, apa kamu sudah gila? pergi dari rumahku sekarang, atau kalau tidak aku akan telepon polisi!!" ancamku.Dia berusaha bangkit walaupun terlihat susah payah. Aku tahu, kelemahan seorang laki-laki ada di organ vitalnya. Namun aku juga tahu batasan dengan menendangnya tidak begitu keras karena takut akan berakibat fatal."Kamu mau menikah dengan laki-laki ini hanya karena dia bergelar Ustaz? kamu jangan salah, itu hanya kedok saja. Aslinya, dia tidak jauh lebih baik dariku!" ujar Mas Adnan dengan suara sedikit tertahan dan wajahnya masi
Aku berjalan menyusulnya ke kamar. Nampak suamiku sedang terduduk ditepian tempat tidur seraya membuka kaos kaki yang dikenakannya."Hubby, kamu kenapa? Kamu baik-baik aja, kan?" tanyaku penasaran seraya duduk bersisian dengannya.Laki-laki yang sudah membuatku jatuh cinta ini menatap wajahku lekat. Kedua netra kami saling bertemu, namun tidak terucap sepatah kata pun."Aku baik-baik saja, Hubby. Tubuhku terasa lelah setelah melalui perjalanan panjang. Sebaiknya aku mandi dulu supaya lebih segar!" ucapnya seraya beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi.Aku masih menatapnya heran, hingga sosoknya menghilang dibalik pintu kamar mandi. Ada perasaan curiga, karena saat beliau berangkat sikapnya begitu hangat. Naluriku mengatakan ada yang beliau sembunyikan. Aku harus mencari tahu, apa yang membuat sikap suamiku berubah drastis seperti itu?Aku meraih koper yang tergeletak di pojokan kamar. Perlahan membukanya dan memisahkan pakaian bersih dan yang kotor. Memeriksa barang-barang yang
“Kamu kenapa, By?” tanya Mas Azam heran melihatku yang sedang melamun.“Eng-gak apa-apa. Aku cuma lagi liatain cuaca di luar, kok udah mendung ya. Sebaiknya kita pulang sekarang, biar sampai di rumah enggak kemalaman,” jawabku berbohong.Aku tidak ingin Mas Azam curiga kalau aku sedang mengawasi sikap Mbak Nisa yang sedikit aneh.“Ayo, kalau mau pulang sekarang. Adeeva juga kelihatannya sudah mengantuk itu!” ucap Mas Azam sembari menunjuk ke arah Adeeva yang sedang menguap di atas sofa.Kami segera berpamitan kepada Mas Akbar dan Mbak Nisa. Ketika kami sudah berada di dalam mobil, Mbak Nisa terlihat melambaikan tangan seraya tersenyum genit. Entah kepada siapa dia memberikan senyum itu. Apa mungkin kepada suamiku?Mobil yang dikendarai Mas Azam segera meluncur meninggalkan rumah Mas Akbar. Di sepanjang perjalanan, aku masih memikirkan sikap Mbak Nisa yang sedikit berbeda kepada Mas Azam. Dari cara menatap dan melambaikan tangan, serta senyumnya yang terkesan genit. Padahal sebelumnya,
"Darimana saja kamu, jam segini baru pulang?" tanya Mas Azam dengan wajah tidak bersahabat.Aku meraih punggung tangannya dan menciumnya dengan takzim, tetapi Mas Azam membuang pandangannya. Aku menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan. Rupanya beliau sedikit marah, karena aku pulang terlambat hari ini."Maaf, By. Mobilku tadi mogok, jadi terpaksa diperbaiki dulu. Sementara ponselku kehabisan daya," ucapku berhati-hati, tidak ingin semakin membuatnya marah."Memangnya tidak ada teman yang bisa kamu pinjam ponselnya untuk mengabari?" tanya Mas Azam dengan tatapan menyelidik."Aku tadi mencoba beberapa kali menghubungimu, tetapi tidak ada jawaban!" jawabku jujur."Nomor siapa itu?" tanya Mas Azam.Aku terdiam mendapatkan pertanyaan itu, karena Mas Azam sedikit cemburu dengan Pak Askara. Aku tidak tahu bagaimana reaksinya saat mengatakan nomor yang digunakan untuk menghubunginya dan yang membantu memanggil orang bengkel juga Pak Askara."Kenapa diam?" tanya Mas Azam, masih dengan
Aku terkejut setelah membaca isi pesan yang berisi ancaman dari nomor tak dikenal tersebut. Namun aku tidak menghiraukannya. Mungkin saja ada orang yang salah kirim pesan, atau kemungkinan lainnya. Tidak mau kebahagiaanku terganggu hanya karena pesan tidak jelas itu.Setelah mengecup punggung tangan Mas Azam, aku pun segera berpamitan untuk berangkat bekerja. Namun di sepanjang perjalanan, aku kembali teringat dengan isi pesan dari nomor tidak dikenal itu.Aku merasa tidak pernah merebut milik orang lain, yang ada malah kebalikannya. "Apakah nomornya sama dengan nomor tak dikenal yang mengirim photo ke Mas Azam?" Tanyaku dalam hati.Setibanya di kantor, aku disibukkan oleh pekerjaan sehingga melupakan si pengirim pesan misterus tersebut. Hingga tak terasa jam istirahat tiba. Ponselku kembali berbunyi menandakan ada pesan di aplikasi berlogo hijau."Kamu tidak takut karma? tunggu kedatangannya, kamu pasti akan menjadi abu!" isi pesan berisi ancaman kembali berasal dari nomor yang sama.
Salah satu suster itu keluar dari ruang perawatanku. Tak lama kemudian kembali dengan membawa sebuah kursi roda. Mereka membantu aku untuk menaikinya. Setelah berada di atas kursi roda, salah satu dari perawat mendorongnya. Berjalan melewati beberapa ruang perawatan menuju lorong rumah sakit. Tepat di ujung ruangan rumah sakit, tibalah kami di depan pintu sebuah ruangan yang bertuliskan ruang jenazah. Jantung berdebar hebat serta lututku terasa lemas. Aku belum siap menerima kenyataan harus kehilangan salah satu anggota keluargaku. Salah satu perawat membuka pintu dan seketika udara dingin menyeruak menusuk kulit. Tercium juga bau kimia yang sangat menusuk hidung.Tubuhku gemetar, melihat beberapa jasad yang terbujur kaku tertutup kain berwarna putih. Perawat membawaku ke salah satu jasad yang juga tertutup kain berwarna putih."Ibu sudah siap melihat salah satu anggota keluarga Ibu yang telah berpulang?" tanya salah satu perawat dengan tatapan sendu.Aku hanya menjawab dengan anggukk
Aku dan Alma hanya menatap dengan wajah tegang saat melihat Mas akbar melayangkan tinjunya ke wajah Pak Askara. Terdengar erangan kesakitan, bersamaan dengan cairan merah segar yang keluar dari mulutnya. Sebenarnya aku tidak tega melihatnya, tetapi Mas akbar sepertinya sudah dilanda emosi saat mengetahui semua kebenarannya. Pak Askara menginginkan cinta dariku, seorang wanita yang telah bersuami. Terlebih dia mempermainkan hati wanita yang dicintainya, Alma. Dia menjalin hubungan dengan Alma hanya bertujuan ingin membalaskan sakit hatinya karena mendapatkan penolakan dariku.Beberapa jam sebelumnya, saat Mas Azam berkata akan menemui Pak Askara, aku sangat mengkhawatirkannya. Sehingga lekas menghubungi Mas Akbar untuk meminta bantuannya. Kebetulan dia sedang berada diluar. Namun bersamaan dengan itu, Alma pun datang berkunjung ke rumah. Akhirnya aku mengajaknya serta untuk menyusul Mas Azam dan Pak Askara di tempat yang belum diketahui keberadaannya. Namun kemudian Mas Akbar memberit
Aku melangkah lebar meninggalkan Aisha, istriku. Dia melepas kepergian dengan tatapan kosong. Pasti dia khawatir terjadi hal yang tidak diinginkan karena akan menemui Pak Askara, laki-laki yang menjadi duri dalam rumah tanggaku.Laki-laki yang menginginkan Aisha, padahal dengan jelas mengetahui statusnya telah bersuami.Kami sepakat untuk bertemu di sebuah taman yang terletak di pusat kota. Entah apa yang akan terjadi diantara kami berdua. Seandainya laki-laki itu mengajak menyelesaikan masalah secara jantan, mau tidak mau harus siap meladeninya. Ini semua demi harga diriku dan Aisha.Mobil yang aku kemudikan dengan kecepatan tinggi melesat menembus jalan raya yang cukup padat. Sebenarnya jika menuruti hawa nafsu, emosiku sudah terpancing sejak mendengar percakapannya dengan Aisha. Dia seolah mengancam, akan menghancurkan hati Alma sahabatnya karena tidak menerima cinta laki-laki itu. Sebenarnya memang sudah sejak lama aku menaruh rasa cemburu kepadanya.Bahkan aku hampir saja menyera
Aku menepiskan rasa heran karena calon suami Alma tidak berada diantara kami.“Mas, sebaiknya segera pangil ambulance,” ucapku memberi saran kepada Mas Akbar yang sedang menopang tubuh Alma, dia masih belum juga sadarkan diri.“Saya sudah memanggil ambulance, Mbak. Mungkin sebentar lagi datang,” timpal wanita yang dipanggil bu rt oleh Alma.Benar saja, tidak lama kemudian terdengar bunyi sirine yang memecah kesunyian malam. Warga yang berada di sekitar kejadian seketika membubarkan diri saat mobil ambulance perlahan menepi. Salah satu warga yang mengendong Shania pun tengah bersiap menyambut kedatangan kendaraan yang ditakuti oleh beberapa kalangan orang ini.Mas Azam berinisiatif meminta izin untuk mengambil alih Shania, setelah mobil ambulance berhenti tepat di hadapan kami. Dua orang petugas menurunkan brankar untuk membawa pasien. Mas Azam menggendong Shania dan meletakkannya di atas brankar. Setelah mengucapkan terimakasih kepada semua warga yang membantu, Mas Azam, Mas Akbar bes
Aku menoleh ke arah sumber suara. Benar saja, sosok laki-laki berpangkat Wakapolres itu duduk bersisian denganku. Seperti biasa, dia melemparkan senyum manis ke arahku. Dia menyapa Adeeva dengan penuh kehangatan dan seperti biasa putriku itu mencium punggung tangan Pak Askara dengan takzim.“Mau setor juga, Pak?” alih-alih menjawab pertanyaannya, aku malah bertanya balik. Pak Askara mengangguk. Lalu dengan semangatnya dia bercengkrama dengan Adeeva. Putri kecilku itu terlihat ceria bersamanya. Putriku termasuk anak yang supel, sehingga mudah akrab dengan siapa saja. Ditambah Pak Askara bukan lagi orang baru baginya.Aku jadi teringat dengan Alma. Apa sebaiknya aku tanyakan mengenai hubungan mereka? Aku mengumpulkan keberanian untuk bertanya kepadanya.“Pak Askara, maaf sebelumnya jika saya lancang bertanya,” ucapku ragu.“Mau bertanya apa, Bu Aisha? Kelihatannya serius ….,” jawabnya seraya tersenyum simpul.Aku sedikit keraguan untuk bertanya hal yang cukup ribadi kepada laki-laki ya
Mas Azam mengajak kami semua menuju ruang tunggu. Menurut informasi dari maskapai, perkiraan delay akan berlangsung selama setengah sampai satu jam kemudian. Namun tidak dapat dipastikan, tepat atau malah meleset dari perkiraan.“Bagaimana ini, Hubby? Apa kita harus menunggu, mengganti jadwal penerbangan atau digagalkan saja?” tanyaku dengan wajah cemas.“Sebaiknya kita tunggu saja. Semoga delaynya tidak memakan waktu lama,” jawab Mas Azam menenangkanku.“Iya, Sha kita tunggu aja. Biar nggak bete, lebih baik kita photo-photo dulu. Bagaimana?” tanya Alma memberi ide. Dia terlihat santai dengan kabar delay ini. Alma memang sudah terbiasa bepergian menggunakan pesawat, sementara ini adalah pengalaman pertama bagiku.Kami akhirnya menuruti ide Alma. Berganti-ganti pose mengikuti arahan Alma yang bertindak sebagai photographer dadakan. Dengan tingkah lucunya, dia bisa membuat kami semua tertawa. Bahkan Mas Akbar yang beberapa bulan terakhir bermuram durja, kini sudah bisa tersenyum. Dia se
Baru saja aku akan menjawab pertanyaan Abraham, tiba-tiba terdengar bunyi sirine ambulance yang memekakkan telinga. Sontak membuat kami bertiga menoleh ke arah sumber suara. Asisten rumah tangga Mas Akbar berlari membukakan pintu gerbang, ketika bunyi sirine menghilang dan tergantikan oleh suara klakson mobil Mas Akbar.Abraham berjalan menuju halaman rumah, mencari tahu asal suara sirine yang kini sudah tidak terdengar lagi. Detik berikutnya, sebuah mobil ambulance melaju memasuki halaman rumah, disusul kemudian oleh mobil Mas Akbar yang mengikuti dari belakang. Dua orang petugas turun dari mobil ambulance dan menurunkan brankar yang diatasnya terdapat keranda berselimutkan kain berwarna putih. Mas Akbar turun dari mobil dan berlari kecil menyusul kedua petugas itu.Jantungku berdegub kencang menyaksikan pemandangan ini. Mas Azam yang berada bersisian denganku turut membantu mendorong brankar memasuki rumah. Sementara Abraham terlihat bingung dengan situasi yang terjadi. .Setelah men
“Asalkan apa, Abraham?” tanyaku penasaran.“Asalkan Mama normal seperti yang lainnya!” jawab Abraham tegas.Aku terdiam mendengar jawaban Abraham. Dia mewarisi sifat keras kepala seperti ibunya. Sementara Mas Akbar juga terdiam mendengar jawaban putra semata wayangnya. Mobil terus melaju menembus jalan raya yang terlihat sedikit ramai oleh para pengendara yang berlalu lalang. Ditambah cuaca yang sedikit terik, membuat cadangan oksigen di dalam mobil terasa berkurang.Mobil yang dikemudikan Mas Azam akhirnya tiba di polres kota. Aku sudah menyiapkan diri jika seandainya bertemu dengan Pak Askara. Kejadian sebelumnya akan menjadi pelajaran untukku. Jangan sampai terjadi kesalah pahaman lagi antara Mas Azam dan Pak Askara.Mas Akbar mendahului dengan menghampiri petugas yang berjaga dan menyampaikan maksud dan tujuan kami. Setelah melengkapi semua prosedur untuk jadwal kunjungan, kami dipersilakan untuk menuju ruang khusus yang tersedia dan terletak di bagian belakang Polres. Letaknya ya
Aku memasuki villa terlebih dahulu. Tidak sabar untuk mencari keberadaan Mas Azam. Berkeliling memeriksa satu persatu ruangan yang berada di lantai bawah. Napasku memburu seiring berpacu dengan waktu, khawatir Mbak Nisa kembali ke villa ini. Namun seberapa keras mencari, sosok yang aku harapkan tidak kunjung kutemukan. Sementara itu, Mas Akbar dan Alma naik ke lantai atas untuk ikut membantu mencari Mas Azam. Namun tidak lama kemudian mereka pun turun."Ruangan atas kosong Dek, tidak ada seorang pun.” Mas Akbar melaporkan hasil pencariannya. Sementara Alma mengangguk membenarkan laporan kakakku.“Di semua ruangan bawah juga tidak ada, Mas. Sepertinya Mbak Nisa sengaja menjebak kita, Mas,” ucapku mengungkapkan kecurigaan. “Sepertinya begitu, Dek. Nisa bukan wanita yang bodoh, pasti dia sudah mengetahui rencana kita," jawab Mas Akbar sependapat denganku. “Lalu, apa yang harus kita lakukan selanjutnya, Mas? Perasaanku semakin tidak enak. Aku mengkhawatirkan keadaan Mas Azam.” Aku beruc
Aku tidak hentinya tertawa.Ya ... menertawakan kebodohan mereka. Apa mereka pikir, sebodoh itu sehingga tidak mengetahui tindakan mereka yang menguntitku?Tidak semudah itu mereka mengalahkan seorang Annisa Putri Rahmawati Muttaqin. Seorang putri pemilik pondok pesantren terkenal di daerah Jawa Tengah. Kecerdasanku yang berada di atas rata-rata terbukti sejak masih duduk di bangku SD selalu meraih gelar juara kelas, bahkan hingga menyelesaikan gelar S1 dengan predikat cumelaude.Namun sayang, harapanku untuk mendapatkan beasiswa dan melanjutkan sekolah S2 ke Mesir terhalang restu kedua orangtua. Mereka tidak merestui karena penyakit yang aku derita. Bipolar disorder. Penyakit yang begitu asing ditelinga, tetapi berhasil menghancurkan semua mimpiku. Aku merupakan sosok wanita yang ambisius dalam segala hal. Selalu ingin menjadi orang nomor satu di kehidupan, karena sejak lahir sudah terbiasa dinomor satukan dalam keluarga karena aku adalah anak tunggal.Lingkungan keluargaku sangat ag