"Mas ini bicara apa sih? mana mungkin Ustaz Azam menyukai Adek, beliau sudah beristri. Lagipula Umi Mus itu sosok wanita yang sempurna, jadi tidak mungkin Ustaz Azam menduakannya!" ucapku membantah sangkaan Mas Akbar yang tidak masuk akal."Di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin, Dek. Apalagi seorang laki-laki diperbolehkan untuk memiliki istri lebih dari satu!" timpal Mas Akbar lagi."Sudahlah, Mas. Adek tidak mau memperdebatkan hal yang belum jelas kebenarannya!" ucapku mencoba mengalihkan pembicaraan."Kamu benar, Dek. Mas hanya takut kamu tergoda kepada Ustaz itu dan menjadi duri dalam rumah tangga mereka!" "Insya Allah, Adek bukan wanita seperti itu, Mas. Adek juga seorang wanita, tidak ingin bahagia diatas penderitaan orang lain.""Iya, Mas percaya Adek. Lalu, bagaimana dengan permintaan Reno yang menginginkan Adek menjadi pendamping hidupnya?" tanya Mas Akbar kemudian."Adek akan mencoba mengenal Reno lebih jauh, Mas. Bagaimanapun, Adek tidak ingin kecewa untuk yang kedua ka
"Maaf Mbak Aisha...maksud saya, apakah sudah yakin dengan calon suami Mbak? bukannya saya mau ikut campur, tetapi jangan sampai kejadian sebelumnya terulang lagi!" ucap Umi Mus menjelaskan maksud dari pertanyaannya.Aku tersenyum kecut. Dalam hati merasa sedikit kecewa, karena Umi Mus terkesan ikut campur dengan urusan pribadiku. Mungkin maksud beliau baik, namun tetap saja sedikit kurang suka jika ada orang lain yang mencampuri urusan pribadiku.Jangankan orang lain, Mas Akbar kakak kandung saja tidak suka mencampuri urusan pribadiku."Itu sebabnya saya dan calon suami saya masih dalam tahap pengenalan satu sama lain, Umi. Saya percaya dengan takdir Allah. Jika memang berjodoh, seberat apapun halangan dan rintangannya, kami pasti akan dipersatukan. Begitu juga sebaliknya!" timpalku membalas ucapan Umi Mus.Aku menatap sekilas ke arah Ustaz Azam, wajahnya terlihat kikuk. Mungkin beliau merasa tidak enak dengan sikap istrinya yang terkesan mencampuri urusan pribadi orang lain."Mbak Ais
Aku mengeluarkan ponsel dan berhasil merekam dan mengambil gambar mereka berdua, berikut nama hotel tempat mereka akan memadu kasih. Mungkin ini adalah jawaban dari Allah, atas istikharah yang Aku lakukan. Reno bukanlah laki-laki yang baik untuk menjadi imam dan ayah sambung untuk kedua anakku.Aku segera melajukan mobil dan meninggalkan hotel itu dengan perasaan campur aduk. Walaupun Aku belum memiliki perasaan kepada Reno, namun tetap merasakan sakit hati karena telah dibohongi mentah-mentah olehnya.Dia begitu berani meminta restu langsung kepada Mas Akbar, namun pada kenyataannya dia mempunyai hubungan dengan wanita lain. Aku berulangkali menarik nafas dan menghembuskannya perlahan, mencoba menenangkan diri dalam menghadapi masalah ini.Berusaha untuk tidak gegabah dalam mengambil keputusan, karena masalah ini melibatkan dua orang terdekatku. Mas Akbar dan Alma. Sahabatku itu sepertinya tidak tahu kelakuan Reno di belakangnya.Rasanya tidak mungkin jika Alma menjodohkanku dengan la
Aku melangkah keluar kamar menuju pintu gerbang dan membukanya. Membiarkan mobil Reno memasuki halaman rumah. Aku mencoba untuk bersikap biasa saja, walaupun sebenarnya ada gemuruh emosi dalam dada.Menjatuhkan bobot tubuh pada sofa yang berada di ruang tamu, menanti kedatangan Reno yang belum juga keluar dari mobilnya. Aku berpura-pura sibuk memainkan ponsel, untuk meredam emosi yang mulai meletup-letup. Saat dia datang, Aku menatap wajah tampan yang disembunyikan oleh sang pemiliknya."Ka-mu habis pergi kemana, Sha?" tanya Reno berbasa-basi."Habis wisata ke Taman Safari!" jawabku singkat.Reno telihat kikuk dan seperti mencari bahan obrolan selanjutnya. Padahal Aku sudah tidak sabar dan tidak ingin banyak basa-basi."Siapa wanita itu?" tanyaku seraya menatap wajah Reno dengan tatapan setajam elang.Reno nampak terkejut. Rupanya dia tidak menyangka jika Aku akan langsung bertanya seperti itu."Dia, Tari...." jawabnya ragu."Siapa dia?" "Dia temanku!""Ooh, teman yang bisa di ajak ce
“Ternyata Umi bisa bercanda juga ya!” ledekku pada Umi Mus seraya menahan senyum. Umi Mus membalas senyumanku lalu berkata, “Saya tidak bercanda, Mbak Aisha. Ada seorang laki-laki yang insya Allah akan membawa kebaikan dunia dan akhirat untuk Mbak Aisha. Bukan begitu, Abi?” Umi Mus mengalihkan pandangannya kepada Ustaz Azam yang sejak tadi terlihat gugup.“Kalau boleh tahu siapakah orangnya, Umi? Apakah saya mengenalnya?” tanyaku sedikit penasaran. Aku fikir Umi Mus hanya berusaha menggodaku, namun kenyataannya beliau serius.“Mbak Aisha sudah mengenal siapa orangnya,” jawab Umi Mus semakin membuatku penasaran.“Boleh saya tahu, siapa?” tanyaku tidak sabar.“Suami saya, Ustaz Azam!” jawab Umi Mus enteng, namun membuatku seperti tersambar petir di siang bolong. Aku tidak percaya dengan yang dikatakan Umi Mus. Sepertinya beliau hanya berusaha untuk menggodaku.“Umi ini suka sekali menggoda saya,” ucapku kembali tersenyum. Kali ini Umi Mus menatap dengan wajah serius, senyumanku terhenti
Pagi harinya, aku berangkat bekerja seperti biasa. Cuaca hari ini sedikit mendung, membuatku membayangkan rebahan di kamar bersama Adeeva. Sementara itu arus lalu lintas pun hari ini cukup padat, membuatku tidak bisa bersantai mengemudikan mobil. Aku tidak mau datang terlambat ke kantor. Beruntung aku hafal jalan alternatif untuk menghindari kemacetan, sehingga bisa tiba di kantor tepat waktu. Saat berjalan dari parkiran, tak sengaja berpapasan dengan Alma yang juga baru tiba. Dia berjalan menunduk, sehingga tidak melihatku.Aku pun berpura-pura tidak melihatnya, karena jam masuk kantor tinggal beberapa menit lagi. Sudah biasa jika bertemu dengan sahabatku yang satu itu membuat lupa waktu. Kami menuju meja kerja masing-masing dan memulai aktifitas seperti biasa.Baru saja mengerjakan sebagian pekerjaan, tiba-tiba ponselku bergetar. Selama jam kerja, ponselku memang di seting dengan mode getar. Aku meraih ponsel yang tergeletak di meja kerja dan membaca nama yang tertera di layar. Umi M
Nama Umi Mus tertera di layar ponselku. Ada apa gerangan beliau menelpon? tanpa fikir panjang segera menerima panggilannya."Assalamuaalikum. Mba Aisha, ini saya Ustaz Azam," ucap laki-laki yang suaranya sangat Aku kenal."Us-taz Azam. Iya, ada apa Ustaz?" tanyaku sedikit gugup. Saking terlalu gugupnya, hingga lupa menjawab salam beliau."Mbak Aisha, saya minta maaf karena sudah mengganggu waktu liburnya. Tetapi ini keadaan darurat. Apakah Mbak Aisha bisa datang ke Rumah Sakit Azra sekarang?" tanya Ustaz Azam ragu."Apa Ustaz? ke Rumah Sakit? Siapa yang sakit? apakah Umi Mus?" Aku memberondong beliau dengan beberapa pertanyaan sekaligus."Iya, Mbak. Kondisi istri saya sekarang cukup parah. Semoga saja dengan kehadiran Mbak, dapat membuat kondisi istri saya sedikit membaik."Aku terhenyak mendengar kabar Umi Mus dalam keadaan parah. Apa mungkin penyebabnya karena jawabanku tempo hari?"Baik, Ustaz. Saya segera kesana." Setelah berpamitan, Ustaz Azam mengakhiri pembicaraan denganku. Aku
"Umi, jangan dulu banyak bicara. Fokus dulu dengan kesembuhan Umi," ucapku dengan lembut. Dalam keadaan seperti ini, Umi Mus masih saja memikirkan tawarannya menjodohkanku dengan suaminya."Iya, Humaira. Benar yang dikatakan Mbak Aisha. Kamu harus fokus dengan kesehatan yang saat ini sedang menurun!" ucap Ustaz Azam kepada istrinya.Kalau tidak salah dengar, tadi beliau memanggil Umi Mus dengan sebutan humaira? bukankah humairoh itu artinya pipi yang kemerahan. Panggilan kesayangan yang juga digunakan oleh baginda nabi Muhamad SAW untuk istrinya Sayidina Aisyah. Hatiku sedikit berdesir melihat sikap Ustaz Azam yang begitu manis kepada Umi Mus."Abi, Umi merasa waktu Umi sudah hampir habis. Umi ingin Abi menikah dengan Mbak Aisha sebelum kepergian Umi. Umi mohon, talak Umi sekarang juga. Agar Umi bisa tenang kembali kepangkuan ilahi," ucap Umi Mus dengan suara sedikit berat. Air mata telah menggenang di kedua sudut matanya.Aku menjadi salah tingkah melihat sikap Umi Mus yang bersikukuh
Aku dan Alma hanya menatap dengan wajah tegang saat melihat Mas akbar melayangkan tinjunya ke wajah Pak Askara. Terdengar erangan kesakitan, bersamaan dengan cairan merah segar yang keluar dari mulutnya. Sebenarnya aku tidak tega melihatnya, tetapi Mas akbar sepertinya sudah dilanda emosi saat mengetahui semua kebenarannya. Pak Askara menginginkan cinta dariku, seorang wanita yang telah bersuami. Terlebih dia mempermainkan hati wanita yang dicintainya, Alma. Dia menjalin hubungan dengan Alma hanya bertujuan ingin membalaskan sakit hatinya karena mendapatkan penolakan dariku.Beberapa jam sebelumnya, saat Mas Azam berkata akan menemui Pak Askara, aku sangat mengkhawatirkannya. Sehingga lekas menghubungi Mas Akbar untuk meminta bantuannya. Kebetulan dia sedang berada diluar. Namun bersamaan dengan itu, Alma pun datang berkunjung ke rumah. Akhirnya aku mengajaknya serta untuk menyusul Mas Azam dan Pak Askara di tempat yang belum diketahui keberadaannya. Namun kemudian Mas Akbar memberit
Aku melangkah lebar meninggalkan Aisha, istriku. Dia melepas kepergian dengan tatapan kosong. Pasti dia khawatir terjadi hal yang tidak diinginkan karena akan menemui Pak Askara, laki-laki yang menjadi duri dalam rumah tanggaku.Laki-laki yang menginginkan Aisha, padahal dengan jelas mengetahui statusnya telah bersuami.Kami sepakat untuk bertemu di sebuah taman yang terletak di pusat kota. Entah apa yang akan terjadi diantara kami berdua. Seandainya laki-laki itu mengajak menyelesaikan masalah secara jantan, mau tidak mau harus siap meladeninya. Ini semua demi harga diriku dan Aisha.Mobil yang aku kemudikan dengan kecepatan tinggi melesat menembus jalan raya yang cukup padat. Sebenarnya jika menuruti hawa nafsu, emosiku sudah terpancing sejak mendengar percakapannya dengan Aisha. Dia seolah mengancam, akan menghancurkan hati Alma sahabatnya karena tidak menerima cinta laki-laki itu. Sebenarnya memang sudah sejak lama aku menaruh rasa cemburu kepadanya.Bahkan aku hampir saja menyera
Aku menepiskan rasa heran karena calon suami Alma tidak berada diantara kami.“Mas, sebaiknya segera pangil ambulance,” ucapku memberi saran kepada Mas Akbar yang sedang menopang tubuh Alma, dia masih belum juga sadarkan diri.“Saya sudah memanggil ambulance, Mbak. Mungkin sebentar lagi datang,” timpal wanita yang dipanggil bu rt oleh Alma.Benar saja, tidak lama kemudian terdengar bunyi sirine yang memecah kesunyian malam. Warga yang berada di sekitar kejadian seketika membubarkan diri saat mobil ambulance perlahan menepi. Salah satu warga yang mengendong Shania pun tengah bersiap menyambut kedatangan kendaraan yang ditakuti oleh beberapa kalangan orang ini.Mas Azam berinisiatif meminta izin untuk mengambil alih Shania, setelah mobil ambulance berhenti tepat di hadapan kami. Dua orang petugas menurunkan brankar untuk membawa pasien. Mas Azam menggendong Shania dan meletakkannya di atas brankar. Setelah mengucapkan terimakasih kepada semua warga yang membantu, Mas Azam, Mas Akbar bes
Aku menoleh ke arah sumber suara. Benar saja, sosok laki-laki berpangkat Wakapolres itu duduk bersisian denganku. Seperti biasa, dia melemparkan senyum manis ke arahku. Dia menyapa Adeeva dengan penuh kehangatan dan seperti biasa putriku itu mencium punggung tangan Pak Askara dengan takzim.“Mau setor juga, Pak?” alih-alih menjawab pertanyaannya, aku malah bertanya balik. Pak Askara mengangguk. Lalu dengan semangatnya dia bercengkrama dengan Adeeva. Putri kecilku itu terlihat ceria bersamanya. Putriku termasuk anak yang supel, sehingga mudah akrab dengan siapa saja. Ditambah Pak Askara bukan lagi orang baru baginya.Aku jadi teringat dengan Alma. Apa sebaiknya aku tanyakan mengenai hubungan mereka? Aku mengumpulkan keberanian untuk bertanya kepadanya.“Pak Askara, maaf sebelumnya jika saya lancang bertanya,” ucapku ragu.“Mau bertanya apa, Bu Aisha? Kelihatannya serius ….,” jawabnya seraya tersenyum simpul.Aku sedikit keraguan untuk bertanya hal yang cukup ribadi kepada laki-laki ya
Mas Azam mengajak kami semua menuju ruang tunggu. Menurut informasi dari maskapai, perkiraan delay akan berlangsung selama setengah sampai satu jam kemudian. Namun tidak dapat dipastikan, tepat atau malah meleset dari perkiraan.“Bagaimana ini, Hubby? Apa kita harus menunggu, mengganti jadwal penerbangan atau digagalkan saja?” tanyaku dengan wajah cemas.“Sebaiknya kita tunggu saja. Semoga delaynya tidak memakan waktu lama,” jawab Mas Azam menenangkanku.“Iya, Sha kita tunggu aja. Biar nggak bete, lebih baik kita photo-photo dulu. Bagaimana?” tanya Alma memberi ide. Dia terlihat santai dengan kabar delay ini. Alma memang sudah terbiasa bepergian menggunakan pesawat, sementara ini adalah pengalaman pertama bagiku.Kami akhirnya menuruti ide Alma. Berganti-ganti pose mengikuti arahan Alma yang bertindak sebagai photographer dadakan. Dengan tingkah lucunya, dia bisa membuat kami semua tertawa. Bahkan Mas Akbar yang beberapa bulan terakhir bermuram durja, kini sudah bisa tersenyum. Dia se
Baru saja aku akan menjawab pertanyaan Abraham, tiba-tiba terdengar bunyi sirine ambulance yang memekakkan telinga. Sontak membuat kami bertiga menoleh ke arah sumber suara. Asisten rumah tangga Mas Akbar berlari membukakan pintu gerbang, ketika bunyi sirine menghilang dan tergantikan oleh suara klakson mobil Mas Akbar.Abraham berjalan menuju halaman rumah, mencari tahu asal suara sirine yang kini sudah tidak terdengar lagi. Detik berikutnya, sebuah mobil ambulance melaju memasuki halaman rumah, disusul kemudian oleh mobil Mas Akbar yang mengikuti dari belakang. Dua orang petugas turun dari mobil ambulance dan menurunkan brankar yang diatasnya terdapat keranda berselimutkan kain berwarna putih. Mas Akbar turun dari mobil dan berlari kecil menyusul kedua petugas itu.Jantungku berdegub kencang menyaksikan pemandangan ini. Mas Azam yang berada bersisian denganku turut membantu mendorong brankar memasuki rumah. Sementara Abraham terlihat bingung dengan situasi yang terjadi. .Setelah men
“Asalkan apa, Abraham?” tanyaku penasaran.“Asalkan Mama normal seperti yang lainnya!” jawab Abraham tegas.Aku terdiam mendengar jawaban Abraham. Dia mewarisi sifat keras kepala seperti ibunya. Sementara Mas Akbar juga terdiam mendengar jawaban putra semata wayangnya. Mobil terus melaju menembus jalan raya yang terlihat sedikit ramai oleh para pengendara yang berlalu lalang. Ditambah cuaca yang sedikit terik, membuat cadangan oksigen di dalam mobil terasa berkurang.Mobil yang dikemudikan Mas Azam akhirnya tiba di polres kota. Aku sudah menyiapkan diri jika seandainya bertemu dengan Pak Askara. Kejadian sebelumnya akan menjadi pelajaran untukku. Jangan sampai terjadi kesalah pahaman lagi antara Mas Azam dan Pak Askara.Mas Akbar mendahului dengan menghampiri petugas yang berjaga dan menyampaikan maksud dan tujuan kami. Setelah melengkapi semua prosedur untuk jadwal kunjungan, kami dipersilakan untuk menuju ruang khusus yang tersedia dan terletak di bagian belakang Polres. Letaknya ya
Aku memasuki villa terlebih dahulu. Tidak sabar untuk mencari keberadaan Mas Azam. Berkeliling memeriksa satu persatu ruangan yang berada di lantai bawah. Napasku memburu seiring berpacu dengan waktu, khawatir Mbak Nisa kembali ke villa ini. Namun seberapa keras mencari, sosok yang aku harapkan tidak kunjung kutemukan. Sementara itu, Mas Akbar dan Alma naik ke lantai atas untuk ikut membantu mencari Mas Azam. Namun tidak lama kemudian mereka pun turun."Ruangan atas kosong Dek, tidak ada seorang pun.” Mas Akbar melaporkan hasil pencariannya. Sementara Alma mengangguk membenarkan laporan kakakku.“Di semua ruangan bawah juga tidak ada, Mas. Sepertinya Mbak Nisa sengaja menjebak kita, Mas,” ucapku mengungkapkan kecurigaan. “Sepertinya begitu, Dek. Nisa bukan wanita yang bodoh, pasti dia sudah mengetahui rencana kita," jawab Mas Akbar sependapat denganku. “Lalu, apa yang harus kita lakukan selanjutnya, Mas? Perasaanku semakin tidak enak. Aku mengkhawatirkan keadaan Mas Azam.” Aku beruc
Aku tidak hentinya tertawa.Ya ... menertawakan kebodohan mereka. Apa mereka pikir, sebodoh itu sehingga tidak mengetahui tindakan mereka yang menguntitku?Tidak semudah itu mereka mengalahkan seorang Annisa Putri Rahmawati Muttaqin. Seorang putri pemilik pondok pesantren terkenal di daerah Jawa Tengah. Kecerdasanku yang berada di atas rata-rata terbukti sejak masih duduk di bangku SD selalu meraih gelar juara kelas, bahkan hingga menyelesaikan gelar S1 dengan predikat cumelaude.Namun sayang, harapanku untuk mendapatkan beasiswa dan melanjutkan sekolah S2 ke Mesir terhalang restu kedua orangtua. Mereka tidak merestui karena penyakit yang aku derita. Bipolar disorder. Penyakit yang begitu asing ditelinga, tetapi berhasil menghancurkan semua mimpiku. Aku merupakan sosok wanita yang ambisius dalam segala hal. Selalu ingin menjadi orang nomor satu di kehidupan, karena sejak lahir sudah terbiasa dinomor satukan dalam keluarga karena aku adalah anak tunggal.Lingkungan keluargaku sangat ag