Nama Umi Mus tertera di layar ponselku. Ada apa gerangan beliau menelpon? tanpa fikir panjang segera menerima panggilannya."Assalamuaalikum. Mba Aisha, ini saya Ustaz Azam," ucap laki-laki yang suaranya sangat Aku kenal."Us-taz Azam. Iya, ada apa Ustaz?" tanyaku sedikit gugup. Saking terlalu gugupnya, hingga lupa menjawab salam beliau."Mbak Aisha, saya minta maaf karena sudah mengganggu waktu liburnya. Tetapi ini keadaan darurat. Apakah Mbak Aisha bisa datang ke Rumah Sakit Azra sekarang?" tanya Ustaz Azam ragu."Apa Ustaz? ke Rumah Sakit? Siapa yang sakit? apakah Umi Mus?" Aku memberondong beliau dengan beberapa pertanyaan sekaligus."Iya, Mbak. Kondisi istri saya sekarang cukup parah. Semoga saja dengan kehadiran Mbak, dapat membuat kondisi istri saya sedikit membaik."Aku terhenyak mendengar kabar Umi Mus dalam keadaan parah. Apa mungkin penyebabnya karena jawabanku tempo hari?"Baik, Ustaz. Saya segera kesana." Setelah berpamitan, Ustaz Azam mengakhiri pembicaraan denganku. Aku
"Umi, jangan dulu banyak bicara. Fokus dulu dengan kesembuhan Umi," ucapku dengan lembut. Dalam keadaan seperti ini, Umi Mus masih saja memikirkan tawarannya menjodohkanku dengan suaminya."Iya, Humaira. Benar yang dikatakan Mbak Aisha. Kamu harus fokus dengan kesehatan yang saat ini sedang menurun!" ucap Ustaz Azam kepada istrinya.Kalau tidak salah dengar, tadi beliau memanggil Umi Mus dengan sebutan humaira? bukankah humairoh itu artinya pipi yang kemerahan. Panggilan kesayangan yang juga digunakan oleh baginda nabi Muhamad SAW untuk istrinya Sayidina Aisyah. Hatiku sedikit berdesir melihat sikap Ustaz Azam yang begitu manis kepada Umi Mus."Abi, Umi merasa waktu Umi sudah hampir habis. Umi ingin Abi menikah dengan Mbak Aisha sebelum kepergian Umi. Umi mohon, talak Umi sekarang juga. Agar Umi bisa tenang kembali kepangkuan ilahi," ucap Umi Mus dengan suara sedikit berat. Air mata telah menggenang di kedua sudut matanya.Aku menjadi salah tingkah melihat sikap Umi Mus yang bersikukuh
Ibu meraih jemariku seraya menatap dengan kedua netra yang telah basah oleh air matanya.“Adnan berada di tahanan. Sementara Irwan, menjadi buronan Polisi karena dugaan penipuan. Sekarang Ibu hidup menumpang di rumah salah satu saudara Ibu, Aisha.”Aku terhenyak mendengar penuturan mantan ibu mertua. Beliau kini sudah tidak memiliki tempat tinggal, karena rumah satu-satunya terpaksa dijual untuk menutupi hutang Mas Adnan. Sungguh miris hidupnya kini. Aku baru paham maksud perkataannya barusan, bahwa beliau mengakui tidak dapat mendidik kedua putranya dengan baik karena nasib kedua putranya kini menyedihkan.“Lalu untuk kebutuhan ibu sehari-hari darimana, Bu?” tanyaku penasaran. Beliau terdiam dan menundukkan wajah. Namun kemudian beliau berkata lirih, “Ibu hidup dari belas kasihan saudara. Jika kondisi kesehatan Ibu cukup baik, Ibu bekerja mencari barang bekas untuk dijual ke pengepul.”“Maksud Ibu, bekerja jadi pemulung?” tanyaku seolah tidak percaya dengan pengakuannya. Tiba-tiba r
"Ustaz, maafkan saya. Bukannya saya mencari alasan untuk tidak melanjutkan perjodohan kita. Namun saya butuh waktu untuk mengenal Ustaz lebih jauh. Ditambah saya telah memiliki dua orang anak yang harus dimintakan pendapat untuk menerima calon ayah baru bagi mereka," ucapku memberikan alasan."Baiklah saya setuju, Mbak Aisha. Kita perlu mengenal satu sama lain terlebih dahulu. Saya juga perlu memperkenalkan diri kepada kedua anak Mbak Aisha. Semoga semua proses perkenalan kita dilancarkan oleh Allah SWT," ucap Ustaz Azam menyetujui alasanku.Tak lama kemudian, Ustaz Azam berpamitan pulang. Aku mengantarnya sampai teras depan rumah. Setelah sosoknya tidak terlihat dari pandangan, aku melangkah kembali ke dalam rumah.Saat akan masuk ke dalam kamar, aku berpapasan dengan Bik Darmi. Dia tersenyum malu-malu ke arahku."Kenapa senyum-senyum, Bik?" tanyaku penasaran. "Bibik ikut senang mendengar Ibu akan menikah lagi," ucap Bik Darmi seraya tersipu. "Darimana Bibik tahu?" tanyaku heran."M
Aku membuka kaca jendela mobil dan menganggukkan kepala ke arah mantan Ibu Mertua. Setelah pintu gerbang terbuka, aku melajukan mobi dan memasukkannya ke dalam garasi. Setelahnya, berjalan menuju ruang tamu menemui Ustaz Azam dan mantan Ibu Mertua yang sudah menunggu.“Aisha, habis darimana? Bukankah ini hari libur?” tanya Ibu penasaran.“Aisha dari Kantor Polisi, habis mencabut laporan. Ibu tenang saja, sebentar lagi Mas Adnan akan segera bebas,” jawabku.“Alhamdulillah. Terimakasih Aisha, kamu memang menantu Ibu yang terbaik!” ucapnya.“Maaf, Bu. Mantan menantu. Saya sudah berpisah dengan Mas Adnan,” potongku.Wajah Ibu bersemu kemerahan mendengar ucapanku. Sementara Ustaz Azam hanya menjadi pendengar setia.“Mbak Aisha, dimana anak-anak?” Ustaz Azam akhirnya membuka suaranya.“Mungkin di belakang, Ustaz. Nanti saya panggilkan,” jawabku seraya tersenyum.“Aisha, siapa laki-laki ini?” tanya mantan Ibu Mertua.“Oh iya, Aisha lupa memperkenalkan. Ini Ustaz Azam, calon suaminya Aisha,” j
Kami serentak menoleh ke arah suara. Sesosok yang aku kenal, telah berdiri di ambang pintu. Sosok itu tak lain adalah Umi Mus. Penampilannya sangat berbeda dari sebelumnya. Tubuhnya terlihat lebih berisi dan wajahnya kini nampak lebih segar dengan riasan yang sedikit tebal. “Kalian kenapa menangis?” tanya Umi Mus dengan wajah tanpa dosa.Aku terdiam seraya menghapus sisa air mata yang menggenang. Sementara Ustaz Azam bangkit dari tempat sebelumnya dan kembali duduk di atas sofa.“Abi belum jawab pertanyaan Umi, kenapa kalian menangis?” tanya Umi Mus untuk yang kedua kalinya.“Aku menangis karena Mbak Aisha menolak menikah denganku.”Wajah Umi Mus terlihat pias seketika saat mendengar jawaban Ustaz Azam.“Apakah abi masih ingin menikahi Mbak Aisha, padahal Umi sekarang sudah sembuh dan tengah mengandung buah hati kita?” tanya Umi Mus dengan tatapan menyelidik.“Aku mencintai Mbak Aisha. Bukankah kamu sendiri yang dulu memaksaku menikah dengannya padahal aku menolak? Sekarang setelah ak
Kami berdua serempak menengok ke arah suara berasal. Aku terkejut saat mengetahui sosok yang memanggil. Nampak Reno sudah berdiri di belakang kami dengan wajah merah padam. Matanya menatap nyalang ke arah Pak Askara, sahabatnya."Reno, apa maksudmu bertanya seperti itu?" tanya Askara heran."Apa yang kamu lakukan bersama Aisha?" tanyanya kali ini dengan suara meninggi.Sementara aku hanya menjadi pendengar setia perdebatan diantara mereka."Aku kebetulan bertemu dengan Bu Aisha saat sedang membeli kue, itu saja. Kenapa kamu terlihat emosi kepadaku?" tanya Pak Askara lagi."Sebaiknya kamu jangan dekat dengan Aisha, karena dia...." Reno tidak melanjutkan ucapannya."Karena apa? karena dia mantan yang pernah kamu kecewakan?" sindir Askara kemudian."Bukan. Aisha sudah mempunyai calon suami. Jadi jangan pernah membuat masalah dengan merebut yang sudah menjadi milik orang lain!" Aku mendengarkan ucapan Reno seraya tersenyum sinis. Bukankah itu sama saja menyindir dirinya sendiri? merebut m
Ustaz Azam turun dari mobil saat aku melihat ke arahnya. Pandangan kami saling bertemu. Aku tercekat melihat kedatangannya. Andai saja tadi Bik Darmi yang datang, pasti dia bisa beralasan kalau aku sedang tidak berada di rumah. Mau tidak mau, aku membukakan pintu gerbang untuk beliau. Wajahnya terlihat sedih. Aku jadi penasaran dengan kabar yang dibawanya.“Maaf, Ustaz ada apa ya?” tanyaku tanpa berbasa-basi.“Mbak Aisha, saya minta maaf kalau mengganggu waktunya. Kedatangan saya kesini ingin menyampaikan pesan Umi Mus, yang ingin bertemu Mbak Aisha. Saat ini beliau sedang dalam perawatan Rumah Sakit,” jawab Ustaz Azam dengan suara bergetar. Aku sedikit terkejut mendengar kabar darinya, namun berusaha terlihat biasa saja.“Lalu, apa hubungannya dengan saya?” tanyaku dingin.“Beliau ingin menyampaikan permohonan maaf kepada Mbak Aisha,” jawabnya lagi.“Umi Mus tidak punya salah sama saya, jadi untuk apa meminta maaf? Saya hanya bisa berdoa untuk kesembuhan Umi Mus. Maaf Ustaz, jika tida
Aku dan Alma hanya menatap dengan wajah tegang saat melihat Mas akbar melayangkan tinjunya ke wajah Pak Askara. Terdengar erangan kesakitan, bersamaan dengan cairan merah segar yang keluar dari mulutnya. Sebenarnya aku tidak tega melihatnya, tetapi Mas akbar sepertinya sudah dilanda emosi saat mengetahui semua kebenarannya. Pak Askara menginginkan cinta dariku, seorang wanita yang telah bersuami. Terlebih dia mempermainkan hati wanita yang dicintainya, Alma. Dia menjalin hubungan dengan Alma hanya bertujuan ingin membalaskan sakit hatinya karena mendapatkan penolakan dariku.Beberapa jam sebelumnya, saat Mas Azam berkata akan menemui Pak Askara, aku sangat mengkhawatirkannya. Sehingga lekas menghubungi Mas Akbar untuk meminta bantuannya. Kebetulan dia sedang berada diluar. Namun bersamaan dengan itu, Alma pun datang berkunjung ke rumah. Akhirnya aku mengajaknya serta untuk menyusul Mas Azam dan Pak Askara di tempat yang belum diketahui keberadaannya. Namun kemudian Mas Akbar memberit
Aku melangkah lebar meninggalkan Aisha, istriku. Dia melepas kepergian dengan tatapan kosong. Pasti dia khawatir terjadi hal yang tidak diinginkan karena akan menemui Pak Askara, laki-laki yang menjadi duri dalam rumah tanggaku.Laki-laki yang menginginkan Aisha, padahal dengan jelas mengetahui statusnya telah bersuami.Kami sepakat untuk bertemu di sebuah taman yang terletak di pusat kota. Entah apa yang akan terjadi diantara kami berdua. Seandainya laki-laki itu mengajak menyelesaikan masalah secara jantan, mau tidak mau harus siap meladeninya. Ini semua demi harga diriku dan Aisha.Mobil yang aku kemudikan dengan kecepatan tinggi melesat menembus jalan raya yang cukup padat. Sebenarnya jika menuruti hawa nafsu, emosiku sudah terpancing sejak mendengar percakapannya dengan Aisha. Dia seolah mengancam, akan menghancurkan hati Alma sahabatnya karena tidak menerima cinta laki-laki itu. Sebenarnya memang sudah sejak lama aku menaruh rasa cemburu kepadanya.Bahkan aku hampir saja menyera
Aku menepiskan rasa heran karena calon suami Alma tidak berada diantara kami.“Mas, sebaiknya segera pangil ambulance,” ucapku memberi saran kepada Mas Akbar yang sedang menopang tubuh Alma, dia masih belum juga sadarkan diri.“Saya sudah memanggil ambulance, Mbak. Mungkin sebentar lagi datang,” timpal wanita yang dipanggil bu rt oleh Alma.Benar saja, tidak lama kemudian terdengar bunyi sirine yang memecah kesunyian malam. Warga yang berada di sekitar kejadian seketika membubarkan diri saat mobil ambulance perlahan menepi. Salah satu warga yang mengendong Shania pun tengah bersiap menyambut kedatangan kendaraan yang ditakuti oleh beberapa kalangan orang ini.Mas Azam berinisiatif meminta izin untuk mengambil alih Shania, setelah mobil ambulance berhenti tepat di hadapan kami. Dua orang petugas menurunkan brankar untuk membawa pasien. Mas Azam menggendong Shania dan meletakkannya di atas brankar. Setelah mengucapkan terimakasih kepada semua warga yang membantu, Mas Azam, Mas Akbar bes
Aku menoleh ke arah sumber suara. Benar saja, sosok laki-laki berpangkat Wakapolres itu duduk bersisian denganku. Seperti biasa, dia melemparkan senyum manis ke arahku. Dia menyapa Adeeva dengan penuh kehangatan dan seperti biasa putriku itu mencium punggung tangan Pak Askara dengan takzim.“Mau setor juga, Pak?” alih-alih menjawab pertanyaannya, aku malah bertanya balik. Pak Askara mengangguk. Lalu dengan semangatnya dia bercengkrama dengan Adeeva. Putri kecilku itu terlihat ceria bersamanya. Putriku termasuk anak yang supel, sehingga mudah akrab dengan siapa saja. Ditambah Pak Askara bukan lagi orang baru baginya.Aku jadi teringat dengan Alma. Apa sebaiknya aku tanyakan mengenai hubungan mereka? Aku mengumpulkan keberanian untuk bertanya kepadanya.“Pak Askara, maaf sebelumnya jika saya lancang bertanya,” ucapku ragu.“Mau bertanya apa, Bu Aisha? Kelihatannya serius ….,” jawabnya seraya tersenyum simpul.Aku sedikit keraguan untuk bertanya hal yang cukup ribadi kepada laki-laki ya
Mas Azam mengajak kami semua menuju ruang tunggu. Menurut informasi dari maskapai, perkiraan delay akan berlangsung selama setengah sampai satu jam kemudian. Namun tidak dapat dipastikan, tepat atau malah meleset dari perkiraan.“Bagaimana ini, Hubby? Apa kita harus menunggu, mengganti jadwal penerbangan atau digagalkan saja?” tanyaku dengan wajah cemas.“Sebaiknya kita tunggu saja. Semoga delaynya tidak memakan waktu lama,” jawab Mas Azam menenangkanku.“Iya, Sha kita tunggu aja. Biar nggak bete, lebih baik kita photo-photo dulu. Bagaimana?” tanya Alma memberi ide. Dia terlihat santai dengan kabar delay ini. Alma memang sudah terbiasa bepergian menggunakan pesawat, sementara ini adalah pengalaman pertama bagiku.Kami akhirnya menuruti ide Alma. Berganti-ganti pose mengikuti arahan Alma yang bertindak sebagai photographer dadakan. Dengan tingkah lucunya, dia bisa membuat kami semua tertawa. Bahkan Mas Akbar yang beberapa bulan terakhir bermuram durja, kini sudah bisa tersenyum. Dia se
Baru saja aku akan menjawab pertanyaan Abraham, tiba-tiba terdengar bunyi sirine ambulance yang memekakkan telinga. Sontak membuat kami bertiga menoleh ke arah sumber suara. Asisten rumah tangga Mas Akbar berlari membukakan pintu gerbang, ketika bunyi sirine menghilang dan tergantikan oleh suara klakson mobil Mas Akbar.Abraham berjalan menuju halaman rumah, mencari tahu asal suara sirine yang kini sudah tidak terdengar lagi. Detik berikutnya, sebuah mobil ambulance melaju memasuki halaman rumah, disusul kemudian oleh mobil Mas Akbar yang mengikuti dari belakang. Dua orang petugas turun dari mobil ambulance dan menurunkan brankar yang diatasnya terdapat keranda berselimutkan kain berwarna putih. Mas Akbar turun dari mobil dan berlari kecil menyusul kedua petugas itu.Jantungku berdegub kencang menyaksikan pemandangan ini. Mas Azam yang berada bersisian denganku turut membantu mendorong brankar memasuki rumah. Sementara Abraham terlihat bingung dengan situasi yang terjadi. .Setelah men
“Asalkan apa, Abraham?” tanyaku penasaran.“Asalkan Mama normal seperti yang lainnya!” jawab Abraham tegas.Aku terdiam mendengar jawaban Abraham. Dia mewarisi sifat keras kepala seperti ibunya. Sementara Mas Akbar juga terdiam mendengar jawaban putra semata wayangnya. Mobil terus melaju menembus jalan raya yang terlihat sedikit ramai oleh para pengendara yang berlalu lalang. Ditambah cuaca yang sedikit terik, membuat cadangan oksigen di dalam mobil terasa berkurang.Mobil yang dikemudikan Mas Azam akhirnya tiba di polres kota. Aku sudah menyiapkan diri jika seandainya bertemu dengan Pak Askara. Kejadian sebelumnya akan menjadi pelajaran untukku. Jangan sampai terjadi kesalah pahaman lagi antara Mas Azam dan Pak Askara.Mas Akbar mendahului dengan menghampiri petugas yang berjaga dan menyampaikan maksud dan tujuan kami. Setelah melengkapi semua prosedur untuk jadwal kunjungan, kami dipersilakan untuk menuju ruang khusus yang tersedia dan terletak di bagian belakang Polres. Letaknya ya
Aku memasuki villa terlebih dahulu. Tidak sabar untuk mencari keberadaan Mas Azam. Berkeliling memeriksa satu persatu ruangan yang berada di lantai bawah. Napasku memburu seiring berpacu dengan waktu, khawatir Mbak Nisa kembali ke villa ini. Namun seberapa keras mencari, sosok yang aku harapkan tidak kunjung kutemukan. Sementara itu, Mas Akbar dan Alma naik ke lantai atas untuk ikut membantu mencari Mas Azam. Namun tidak lama kemudian mereka pun turun."Ruangan atas kosong Dek, tidak ada seorang pun.” Mas Akbar melaporkan hasil pencariannya. Sementara Alma mengangguk membenarkan laporan kakakku.“Di semua ruangan bawah juga tidak ada, Mas. Sepertinya Mbak Nisa sengaja menjebak kita, Mas,” ucapku mengungkapkan kecurigaan. “Sepertinya begitu, Dek. Nisa bukan wanita yang bodoh, pasti dia sudah mengetahui rencana kita," jawab Mas Akbar sependapat denganku. “Lalu, apa yang harus kita lakukan selanjutnya, Mas? Perasaanku semakin tidak enak. Aku mengkhawatirkan keadaan Mas Azam.” Aku beruc
Aku tidak hentinya tertawa.Ya ... menertawakan kebodohan mereka. Apa mereka pikir, sebodoh itu sehingga tidak mengetahui tindakan mereka yang menguntitku?Tidak semudah itu mereka mengalahkan seorang Annisa Putri Rahmawati Muttaqin. Seorang putri pemilik pondok pesantren terkenal di daerah Jawa Tengah. Kecerdasanku yang berada di atas rata-rata terbukti sejak masih duduk di bangku SD selalu meraih gelar juara kelas, bahkan hingga menyelesaikan gelar S1 dengan predikat cumelaude.Namun sayang, harapanku untuk mendapatkan beasiswa dan melanjutkan sekolah S2 ke Mesir terhalang restu kedua orangtua. Mereka tidak merestui karena penyakit yang aku derita. Bipolar disorder. Penyakit yang begitu asing ditelinga, tetapi berhasil menghancurkan semua mimpiku. Aku merupakan sosok wanita yang ambisius dalam segala hal. Selalu ingin menjadi orang nomor satu di kehidupan, karena sejak lahir sudah terbiasa dinomor satukan dalam keluarga karena aku adalah anak tunggal.Lingkungan keluargaku sangat ag