"Ikut aku b*jingan! Kamu harus menikahi Nesya hari ini juga!"Aku terperangah. Sekuat tenaga kuhempaskan tangan Hans yang mencengkram bajuku hingga akhirnya terlepas. Pria itu mundur beberapa langkah karena tenaga yang kugunakan cukup besar. Tatapannya begitu nyalang, bak seorang singa yang ingin menerkam mangsanya."Jangan gila, Hans! Kenapa aku harus menikahi Nesya? Berapa kali aku bilang kalau bukan aku yang menghamilinya!" tukasku tak terima. "Tapi kamu yang sudah menghancurkan hidup adikku! Gara-gara kamu membuangnya begitu saja, hidup Nesya jadi berantakan. Karirnya hancur, ditambah sekarang dia depresi. Dia terus menyebut nama kamu dan ingin menikah dengan kamu. Kalau kamu tidak ingin dikatakan pengecut, tepati janjimu untuk menikahi adikku!""Maaf, aku tidak bisa, Hans. Nesya juga sudah membuatku kecewa. Aku pikir, dia wanita baik-baik yang bisa menjaga diri tapi ternyata, dia tidur dengan pria lain tanpa memiliki ikatan yang sah bahkan sampai hamil. Aku ... aku tidak bisa me
Satu bulan pasca meninggalnya Nesya, aku masih belum percaya dia akan pergi secepat ini. Kejadian tragis tepat di hari yang seharusnya menjadi hari pernikahan kami, ternyata telah menguak banyak sekali kejutan tentang keluarga mantan kekasihnya tersebut. Hans, pria yang aku kira kakak kandung Nesya ternyata hanyalah seorang anak angkat dari keluarga mereka. Pria itu telah lama menyimpan rasa kepada Nesya tetapi hanya bisa memendamnya karena status kakak adik yang mereka sandang. Sampai akhirnya kesempatan yang Hans nanti untuk mencurahkan rasa cintanya kepada sang adik tiba. Hans memanfaatkan kehancuran Nesya dengan meniduri wanita itu. Mereka terlibat hubungan tersembunyi hingga Nesya akhirnya diketahui keguguran dan depresi. Aku tidak pernah menyangka hidup Nesya akan berakhir di tangan kakak angkatnya sendiri. Ya, Hans yang telah memasukkan racun ke dalam minuman mantan kekasihku karena ia tidak terima Nesya masih terus mengharapkanku. Sungguh, sandiwara yang apik. Hans bertindak
Seharian ini, aku sama sekali tidak fokus pada pekerjaan. Perkataan Mama tentang acara lamaran nanti malam untuk Haifa, benar-benar membuat mood-ku menjadi buruk. Pada akhirnya, Mama mengundangku untuk datang ke sana menyaksikan acara tersebut. Namun, aku masih ragu untuk memenuhi undangan beliau. Aku belum siap untuk melihat kebahagiaan Haifa dengan pria lain. Egois memang. Akan tetapi, mau bagaimana lagi? Perasaan ini terlanjur tumbuh subur untuk mantan istriku itu. "Tunjukkan kalau kamu baik-baik saja dan ikut berbahagia untuknya."Kata-kata Mama tadi pagi terus terngiang di telinga ini. Ah, andai saja bisa semudah itu melakukannya, mungkin saja aku tidak akan sampai se-galau ini. Aku akan datang dengan wajah semringah dan mengucapkan selamat. Namun nyatanya, aku masih belum bisa se-ikhlas itu melepas Haifa untuk pria lain. Aku melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan. Sudah menunjukkan pukul sepuluh kurang lima menit. Aku harus menjemput Abyan di sekolahnya karena aku su
"Aku mengganggu kamu?"Aku bertanya ketika kami sudah duduk berhadapan. Haifa menggeleng sambil tersenyum. Aku menundukkan wajah karena kembali terpesona oleh senyuman manis itu. Duhai hati, tolong jangan buat aku lemah di hadapannya. "Sama sekali tidak menggangu kok, Mas. Kebetulan aku baru saja selesai makan siang. Mas sudah memesan makanan?" "Sudah." Aku mengangguk. "Sebenarnya, aku sengaja mengajakmu bertemu karena ingin menyerahkan ini."Aku mengambil paper bag yang kusimpan di kursi sebelah dan menyerahkannya kepada Haifa."Apa ini, Mas?" tanyanya sambil meneliti paper bag tersebut."Itu ... Kado pernikahan untuk kamu. Aku sengaja memberikannya sekarang karena kemungkinan besar, aku tidak bisa hadir di acara pernikahanmu nanti," terangku.Haifa sempat tertegun sebelum akhirnya menyimpan paper bag itu di atas pangkuannya."Kenapa Mas tidak bisa datang? Padahal aku berharap nanti Mas bisa hadir menjadi salah satu saksi."Aku menelan saliva. Tidak mungkin jika harus berkata juju
"Maaf, Mas. Saya gak sengaja."Untuk sesaat aku terpaku. Gadis di depanku gemetar ketakutan dengan kepala yang terus menunduk. Jilbab yang ia kenakan pun sudah tak beraturan hingga sebagian anak rambut mengintip keluar. Penampakan gadis ini benar-benar kacau. Rasa kesal yang tadi sempat singgah kini berubah menjadi rasa iba. Sepertinya, gadis ini sedang berada dalam kesulitan."Kamu kenapa ketakutan begitu? Dan ... kenapa malam-malam begini berkeliaran di luar?" tanyaku sambil terus memperhatikan gelagatnya."S-saya--""Itu dia! Hei, jangan lari!"Suara teriakan beberapa orang pria terdengar makin mendekat. Gadis di depanku tersentak dan gegas bersembunyi di belakang tubuhku. Aku makin merasa janggal. Sepertinya memang ada yang tidak beres pada gadis ini. "T-tolong saya, Mas. Mereka memaksa saya tapi saya tidak mau ikut," ucapnya tersendat. Belum sempat aku bicara, tiga orang pria tiba di depanku dengan seringai yang menakutkan. "Di sini kamu rupanya. Mau lari ke mana lagi, hah!" t
"Sani, apa yang kamu lakukan, Nak!" Pak Warman menegur anaknya yang masih tak sadar memelukku. Gadis berlesung pipi itu sontak melepas pelukannya. Ia terlihat gugup dan gelagapan, mungkin karena malu telah melakukan sesuatu yang tidak disadarinya. "M-maaf, Mas. Saya refleks karena terlalu senang.""Tidak apa. Saya maklum," ucapku sambil menahan geli. Gadis ini terlihat menggemaskan ketika pipinya merona karena malu."Nak Gani, maafkan atas kelancangan putri saya. Saya sangat berterima kasih karena Nak Gani sudah mau membantu kami. Saya janji akan mengganti uang Nak Gani meski dengan cara menyicil.""Tidak usah, Pak." Aku menolak dengan cepat. "Saya ikhlas berniat membantu, bukan memberi pinjaman. Bapak tidak perlu mengembalikan uang itu karena saya membantu Bapak dengan ikhlas," paparku. Mereka sedang mengalami kesusahan, mana mungkin aku tega menambah beban Bapak dan Anak itu."Saya jadi merasa tidak enak. Kalau memang begitu, izinkan saya membalas budi baik Nak Gani dengan cara ap
Kabar dari Mama tentang Haifa benar-benar membuatku gelisah. Tanpa pikir panjang, aku gegas mempersiapkan diri untuk pulang ke Jakarta. Aku ingin melihat kondisi Haifa yang kata Mama tidak sadarkan diri setelah mendengar kabar tentang Akram yang kemungkinan gugur saat bertugas di negara yang saat ini tengah rawan konflik. Memang belum ada konfirmasi lagi dari sana. Akan tetapi, keluarga tetap harus bersiap untuk menghadapi kemungkinan terburuk sekalipun."Mas jadi pulang ke Jakarta?"Sani yang tengah menungguku di teras rumah berdiri ketika melihatku membawa tas berisi pakaian. Wajah wanita itu ditekuk entah karena apa. Mungkin ia tidak rela aku meninggalkannya di sini. "Iya. Aku harus memastikan Haifa baik-baik saja. Aku juga khawatir pada Abyan karena bundanya tengah bersedih," jawabku sembari berjalan menuju mobil. Sani mengikutiku. Setelah memasukkan tas ke dalam bagasi mobil, aku menghampiri gadis itu yang tengah memperhatikan gerak gerik-ku."Aku berangkat dulu. Kamu jaga diri
Memilih antara Haifa dan Sani adalah hal yang paling sulit kulakukan. Kedua wanita itu mempunyai tempat tersendiri di hati ini. Namun, tentu saja aku tidak bisa merengkuh keduanya dalam satu waktu karena hal itu tidaklah mungkin bisa kulakukan. Akhirnya, di sini lah aku sekarang. Di rumah sakit bersama Abyan juga orang tuaku, menunggu Haifa yang sedang diperiksa. Untuk membantu Sani, aku sudah meminta salah satu anak buahku di sana untuk menemuinya ke rumah sakit dan menyelesaikan segala urusan di sana, termasuk soal biaya administrasi.Aku duduk dengan gelisah, takut terjadi sesuatu pada mantan istriku yang masih tidak sadarkan diri. Begitu berat cobaan yang Haifa hadapi selama ini. Ditinggalkan suami ketika seharusnya Mereka tengah menikmati suasana pengantin baru, pasti sangatlah menyesakkan. Memang, sudah menjadi resiko bagi istri seorang abdi negara yang harus siap dengan kemungkinan terburuk setiap suaminya berangkat bertugas. Namun, satu hal yang pasti, Akram gugur dalam keadaa
"Bunda!"Aku dan Haifa terperanjat. Kami sama-sama menjauhkan diri ketika suara Qinara terdengar begitu nyaring. Aku menghela napas kasar. Baru saja kami akan bermesraan, harus kembali ditunda karena teriakan putri kami. "Buka dulu pintunya. Aku mau pakai baju," bisik Haifa sambil terkekeh. "Gak jadi lagi?" Aku memasang raut sendu. "Ya ... habisnya gimana." Haifa menaikan sebelah alis. Ah, aku suka gayanya yang seperti itu. Ingin sekali aku menerkam dan memenjarakan tubuhnya, tetapi harus kutahan karena Qinara kembali berteriak memanggil bundanya. "Bunda!""Sebentar, Sayang!" Haifa menyahut. "Cepat buka pintunya, Mas. Kasian Qinara.""Iya, Sayang. Tapi nanti kalau Qinara sudah tidur, kita lanjut lagi, ya."Haifa mengangguk. Aku tersenyum lebar kemudian mencuri satu kecupan di pipinya yang merona. "Mas!""Hmm?""Pakai dulu bajunya!"Oh, ya Tuhan! Aku lupa sedang bertelanjang dada. Bergegas kukenakan lagi pakaian karena gedoran disertai teriakan dari luar makin mengencang. Membuk
Kabar tentang Bu Wanti sangat membuat kami terkejut. Tanpa membuang waktu, hari itu juga kami berangkat ke Bogor untuk melihat keadaannya. Menurut cerita salah satu tetangga di sana, Bu Wanti terpeleset di kamar mandi hingga jatuh. Mungkin karena kondisinya yang sedang tidak enak badan, Bu Wanti kurang berhati-hati hingga terjadilah insiden itu. Kondisinya yang kritis membuat Ibu dari Akram itu tidak bisa bertahan lebih lama. Beliau meninggal setelah sebelumnya memberi amanat yang membuat kami terkejut. Beliau ingin mendonorkan matanya untuk Abyan sebagai ungkapan rasa sayang terakhir untuk putraku itu. Beruntung Bu Wanti sempat bertemu Dengan cucunya yang baru lahir ke dunia. Sebelum kabar ini kami dengar, Bu Wanti sempat datang ke rumah orang tuaku untuk menengok Qinara. Di sinilah kami sekarang. Di rumah sakit, menunggui Abyan yang sedang menjalani operasi. Menurut Dokter, kualitas mata Bu Wanti masih terbilang sehat dan bisa didonorkan. Tindakan operasi pun segera dilaksanakan s
"Kamu yang sabar. Beri Haifa waktu untuk berpikir sebelum dia memutuskan mau menerima kamu atau tidak."Papa menepuk pundak ini kemudian duduk di sampingku. Pria yang baru saja menggendong cucu keduanya itu pasti memahami perasaanku saat ini. Sebenarnya tidak masalah jika Haifa meminta waktu untuk berpikir. Akan tetapi, entah mengapa diri ini begitu takut kehilangan dia untuk yang kedua kalinya. Aku tidak ingin lagi berpisah atau bahkan melihat Haifa bersanding dengan pria lain karena Haifa adalah satu-satunya wanita yang mampu membuatku sampai se-gila ini. "Ya, Pa. Aku paham dia masih ragu padaku. Aku akan berusaha sabar menunggu meski sebenarnya, aku takut dia akan menolakku karena ... ya, Papa pasti tahu alasannya."Papa mengangguk. "Ya, Papa tahu. Tidak mudah baginya menerima pria yang pernah menyakitinya," ujarnya membenarkan."Ngomong-ngomong, kondisi teman kamu bagaimana? Apa dia baik-baik saja?" Pertanyaan Papa membuatku hampir saja mengumpat. Aku melupakan Sani yang entah s
"Gani, kamu mau ikut Papa atau tetap di sini?"Pertanyaan Papa menyadarkan aku dari keterpakuan. Kabar Haifa yang akan melahirkan membuatku bertambah tidak tenang. Andai saja bisa, aku ingin mendampingi dan memberinya dukungan hingga prosesnya lancar. Namun, teringat Sani yang masih ditangani, aku pun dilanda bimbang. Aku tidak mungkin meninggalkan Sani sendirian tanpa ada yang menungguinya. Apalagi, aku merasa harus bertanggung jawab karena secara tidak langsung, aku-lah penyebab Sani seperti ini. "Gani, kok malah melamun?""Eh, i-iya, Pa. Sebenarnya aku ingin ikut ke sana tapi temanku tidak ada yang menjaga. Nanti kalau aku sudah memastikan dia baik-baik saja, aku pasti menyusul Papa," jawabku akhirnya memilih memastikan kondisi Sani terlebih dahulu."Baiklah, kalau begitu Papa ke sana dulu.""Iya, Pa."Setelah kepergian Papa, aku kembali duduk di kursi tunggu dengan gelisah. Meski ragaku ada di sini, tetapi hati tetap memikirkan Haifa. Bagaimana perasaannya ketika melahirkan tanpa
"Jangan becanda, Mas. Gak lucu!"Perkataan Haifa masih saja terngiang di telinga ini. Katanya, aku becanda? Apa dia sama sekali tidak melihat keseriusan di wajahku saat mengatakannya? Tangan ini memukul stir kemudi beberapa kali. Jujur saja, hati ini rasanya sakit saat mendengar Haifa justru menganggap pengakuanku sebagai sebuah lelucon. Dulu, aku memang pria brengsek yang telah tega menyakitinya. Namun setelah semua yang terjadi, aku selalu berusaha untuk memperbaiki diri agar bisa menjadi pria yang pantas untuk menjadi imam dari wanita seperti dirinya."Kenapa kamu gak ngerti juga, Fa. Aku itu mencintai kamu, bukan wanita lain." Lagi, tangan ini mendarat cukup kencang di atas stir kemudi.Setelah cukup lama berdiam diri di parkiran, aku menghidupkan mesin mobil untuk kembali ke kantor. Meski diri ini yakin tidak akan bisa fokus pada pekerjaan, tapi setidaknya aku sudah berusaha untuk tetap konsisten pada apa yang sudah menjadi tanggung jawabku.Benar saja, jangankan fokus, melihat
"Tante Sani ini ... bukan calon istri Papa, kan?"Aku terperangah mendengar pertanyaan Abyan. Calon istri? Bagaimana mungkin putraku bisa menebak sampai sejauh itu? Aku melirik ke arah Haifa juga Mama dan Papa. Ketiga orang itu pun sepertinya sama terkejutnya denganku. Akhirnya, aku hanya bisa menghela napas sambil menggelengkan kepala."Kok Abyan ngomongnya gitu? Tante Sani ini cuma teman Papa. Dia datang ke Jakarta untuk mencari pekerjaan. Papa membawanya ke sini biar Opa sama Oma, terus Abyan juga gak salah paham. Abyan ngerti kan?"Anak itu terdiam cukup lama sebelum akhirnya mengangguk. Seulas senyum pun kembali mengembang di bibirnya. "Abyan kira, Papa gak pulang- pulang dan betah di sana karena ada Tante Sani. Biasanya kalau orang sampai lupa pulang itu karena ada sesuatu yang membuatnya betah dan ingin tinggal lebih lama. Iya kan, Oma?"Putraku ini memang anak yang cerdas. Pemikiran Abyan terbilang kritis untuk anak seusia dirinya. Meski dia baru bertemu dengan Sani sekarang,
"Mas, aku harus bagaimana? Bapak ninggalin aku sendirian. Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain Bapak. Aku--"Sani terus meracau dalam pelukanku. Kudekap ia lebih erat, demi memberinya kekuatan setelah ayahnya meninggalkan gadis ini untuk selamanya. Ya, begitu aku dan Sani sampai di rumah, Pak Warman sudah tidak bernyawa. Sani sempat histeris dan mengguncang tubuh ayahnya dan dengan sigap aku menenangkan gadis itu. Entah karena kebetulan atau memang sudah takdir, dua wanita yang menempati posisi masing-masing di hati ini tengah berduka. Haifa ditinggalkan oleh suaminya dan Sani oleh sang ayah. Kini keduanya berada dalam kondisi berkabung. Akan tetapi, tentu saja aku tidak bisa memeluk Haifa ketika memberinya semangat karena entah mengapa, selalu terasa ada jarak yang membentang di antara aku dan dia. Meninggalkan Sani yang kini hidup sebatangkara bukanlah pilihan yang tepat. Apalagi Juragan Karta masih saja berusaha untuk menjadikan gadis itu istri ketiganya. Tidak ada pili
Memilih antara Haifa dan Sani adalah hal yang paling sulit kulakukan. Kedua wanita itu mempunyai tempat tersendiri di hati ini. Namun, tentu saja aku tidak bisa merengkuh keduanya dalam satu waktu karena hal itu tidaklah mungkin bisa kulakukan. Akhirnya, di sini lah aku sekarang. Di rumah sakit bersama Abyan juga orang tuaku, menunggu Haifa yang sedang diperiksa. Untuk membantu Sani, aku sudah meminta salah satu anak buahku di sana untuk menemuinya ke rumah sakit dan menyelesaikan segala urusan di sana, termasuk soal biaya administrasi.Aku duduk dengan gelisah, takut terjadi sesuatu pada mantan istriku yang masih tidak sadarkan diri. Begitu berat cobaan yang Haifa hadapi selama ini. Ditinggalkan suami ketika seharusnya Mereka tengah menikmati suasana pengantin baru, pasti sangatlah menyesakkan. Memang, sudah menjadi resiko bagi istri seorang abdi negara yang harus siap dengan kemungkinan terburuk setiap suaminya berangkat bertugas. Namun, satu hal yang pasti, Akram gugur dalam keadaa
Kabar dari Mama tentang Haifa benar-benar membuatku gelisah. Tanpa pikir panjang, aku gegas mempersiapkan diri untuk pulang ke Jakarta. Aku ingin melihat kondisi Haifa yang kata Mama tidak sadarkan diri setelah mendengar kabar tentang Akram yang kemungkinan gugur saat bertugas di negara yang saat ini tengah rawan konflik. Memang belum ada konfirmasi lagi dari sana. Akan tetapi, keluarga tetap harus bersiap untuk menghadapi kemungkinan terburuk sekalipun."Mas jadi pulang ke Jakarta?"Sani yang tengah menungguku di teras rumah berdiri ketika melihatku membawa tas berisi pakaian. Wajah wanita itu ditekuk entah karena apa. Mungkin ia tidak rela aku meninggalkannya di sini. "Iya. Aku harus memastikan Haifa baik-baik saja. Aku juga khawatir pada Abyan karena bundanya tengah bersedih," jawabku sembari berjalan menuju mobil. Sani mengikutiku. Setelah memasukkan tas ke dalam bagasi mobil, aku menghampiri gadis itu yang tengah memperhatikan gerak gerik-ku."Aku berangkat dulu. Kamu jaga diri