"Ya, para tetangga pada ngomongin kalian. Seolah-olah rumor yang beredar bahwa kalian berselingkuh di belakang Andri itu benar, apalagi kamu sering datang kesini," ucap Budhe lagi.
"Budhe yang bilang sendiri kalau aku suruh nemanin Amira tiap hari," kilah Mas Bian.
"Iya, memang budhe yang nyuruh. Tapi makin kesini budhe makin tak nyaman dengan ocehan tetangga."
"Baik, aku siap tanggung jawab. Aku akan menikahi Amira. Tapi apa Amira siap menikah denganku?" sahutku. Aku menatapnya lekat.
Dia tertunduk, sepertinya malu. Aku justru terkekeh melihat tingkahnya yang tanpa sadar dia memegangi perut dan pipinya secara bergantian.
"Bagaimana denganmu, Amira? Kalian sudah sangat cocok," cetus Budhe lagi.
"Emmh... Aku... Maksudku, apa Mas Bian gak malu punya istri seperti aku? Mas Bian masih lajang, sedangkan aku..."
"Aku akan terima apapun kondisimu," tukasku dengan cepat.
Wajahnya merona lagi, namun dia tetap diam.
"Kamu ma
TTD 14POV LaniHari itu aku melihat wajah Mas Andri muram, bahkan lebih muram dari biasanya. Setelah kutahu ternyata karena ia tak bisa rujuk dengan Amira. Bukankah harusnya aku bahagia? Tapi kenapa, walaupun mereka sudah berpisah, Mas Andri tetap saja cinta mati sama Amira dan bersikeras untuk kembali padanya?Padahal aku sudah berhasil memisahkan mereka, tapi aku belum berhasil merebut hatinya. Aku ingin sekali membuatnya bertekuk lutut padaku. Sebenarnya aku ingin membalaskan dendam padanya, ada satu alasan yang membuatku harus begini. Alih-alih ingin membalaskan dendam justru aku yang kepincut sendiri. Terkesima dengan pesona adik ipar.Aku pergi menjejakkan langkah entahlah mau kemana, pikiranku masih kalut. Bagaimana caranya biar Mas Andri melihatku. Reni aku tinggal di rumah bersama neneknya. Biarlah dia sudah besar, bisa main sendiri. Ayahnyapun jarang ngasih perhatian pada anak dan istri. Ah, sebenarnya aku sudah malas, ingin sekali
"Kamu itu udah punya anak malah pergi-pergi gak jelas!" omel ibu mertuaku, membuatku tambah benci padanya."Maaf bu, tadi memang Nita ngajaknya dadakan. Aku kira gak bakal lama, ternyata malah lama begini. Lani janji bu, lain kali gak akan diulangi lagi. Ya sudah, Lani permisi, mau mandi dulu," ucapku sambil ngeloyor pergi."Andri, baringkan Reni di kamarnya. Kasihan dia," pinta ibu yang samar-samar kudengar dari dalam.Aku langsung bebersih diri, menghilangkan aroma-aroma yang tadi menempel. Kusemprot dengan minyak wangi. Setelahnya aku bergegas ke dapur untuk membuatkan mereka teh manis yang aku campur dengan obat tidur.Kuhidangkan teh manis itu bersama cemilan yang tadi sempat kubeli."Ini tehnya bu, mas.""Tumben kamu bikinin ibu teh," sahut ibu. Tapi dia tetap menyesap teh buatanku.Aku tersenyum. "Sekali-kali gak apa-apa to bu, lagian Amira kan sudah gak ada. Jadi biar aku yang gantian melayani ibu," s
Seperti yang Mas Andri bilang, jam tujuh malam dia pulang ke rumah. Pekerjaan sedang sibuk, jadi ia baru bisa pulang sore hari."Mas sudah datang," sambutku dengan suka cita, tentu saja disertai dengan senyuman manja. Aku memeluknya dengan erat, namun dia berusaha melepaskan pelukanku. Aku menatapnya penuh tanda tanya."Jangan seperti ini, katanya takut ketahuan orang rumah," ucapnya sambil tersenyum."Ibu sama Reni sudah tidur, mas," sahutku."Tidur? Masih sore begini udah tidur?" tanya Mas Andri."Iya mas, maklumlah ibu kan sudah tua, jadi wajar kalau tidur cepat. Dia sangat lelah. Reni juga, dia habis main seharian mungkin mereka capek. Jadi udah pada tidur setelah makan malam tadi."Mas Andri manggut-manggut mengerti. "Mas sudah makan belum?" tanyaku."Belum.""Aku siapkan makan dulu ya...""Nanti saja, aku mau ketemu sama Amira dulu.""Buat apa ketemu Amira, Mas? Dia kan sudah selingkuh.""
POV AndriAku tidak tahu dari mana awalnya. Hingga tiap hari bayangan Lani selalu menari-nari di dalam pikiranku. Ia yang sedang tersenyum, sangat manis. Bahkan perhatiannya aku tak bisa lupa. Dia bagaikan wanita yang sempurna. Mengerti keinginanku, perhatian dan kasih sayang.Meskipun kutahu ini salah, dia istri kakakku. Aku merasa bersalah pada mas Restu, tapi rasa cintaku mengalahkan segalanya. Mengalahkan akal sehatku, apalagi Lani juga nampak mencintaiku. Ia selalu bermanja-manja ketika di dekatku. Memelukku dan menggelayut manja di lenganku. Aku tak pernah keberatan akan hal itu. Bahkan tak segan dia yang selalu menciumku lebih dulu. Agresif, tapi aku menyukainya. Entahlah aku tak tahu sejak kapan. Padahal dulu aku selalu suka gadis pemalu seperti Amira. Ah Amira, aku jadi benci padanya. Tega-teganya dia selingkuh dibelakangku sampai hamil.Kembali lagi tentang Lani, dia tahu menyenangkan seorang lelaki. Kemolekan wajahnya, tubuh mulusn
"Dasar adik dan istri tak tahu malu! Kalian benar-benar menjijikkan!" teriak mas Restu lagi dengan sorot mata penuh kebencian."Mulai sekarang juga, kamu bukan istriku lagi! Aku ceraikan kamu!!" teriak mas Restu menggema ke seluruh isi ruangan."Mas, jangan mas, jangan ceraikan aku... Aku masih butuh kamu mas..."Lani mendekati mas Restu dan memeluk kakinya. Namun dengan sekuat tenaga mas Restu"Kamu tidak butuh aku, kamu hanya butuh uangku!! Pergi sana! Kau tidak berhak ada disini lagi! Istri tak tahu diri!Lani masih menangis histeris dan menggelengkan kepalanya dengan cepat."Enggak mas! Jangan usir aku dari sini. Aku gak mau pergi mas!" isaknya dengan pilu. Ah, aku makin tak tega terhadapnya. Ingin sekali kudekap tubuhnya, namun tubuhku rasanya tak berdaya. Lemah, kepalaku pusing dan berdenyut. Semuanya terlihat berputar-putar.Dengan samar-samar kulihat mas Restu keluar dari kamar, tak lama ia kembali dan
POV Restu"Nak, pulanglah...""Nak, pulanglah...""Nak, pulanglah..."Berkali-kali ibu memintaku pulang, wajahnya terlihat begitu sendu, putih dan pucat. Ada air mata yang membasahi pipinya. Ibu menangis, tiba-tiba dadaku terasa sesak. Ibu membalikkan badan dan pergi menjauh."Ibuuuu....!!" teriakku memanggilnya, namun dia tak berpaling. Dia terus berjalan tanpa menoleh ke arahku."Ibuuuu....!!"Aku terlonjak kaget. Aku terbangun dari tidurku, keringat mengucur membasahi tubuh. Berkali-kali aku memimpikan hal yang sama tentang ibu. Ibu menangis dalam mimpinya dan memintaku pulang. Ada apa dengan ibu? Apakah terjadi sesuatu pada ibu?Hah! Kuusap wajahku dengan kasar. Dan lagi-lagi meyakinkan diri kalau mimpi itu hanya bunga tidur, bukan sebuah firasat. Aku hanya terlalu lelah dan kangen sama ibu.Aku yakin, kalau terjadi sesuatu pada ibu, Lani pasti akan mengabariku. Paling tidak Andri juga pasti akan
Sudah cukup lama aku termangu di pusara ibu. Suasana sore sudah mulai menggelap. Aku bergegas bangkit dan ingin pulang ke rumah.Ditengah jalan, kudengar suara adzan maghrib. Aku bergegas mampir ke mushola terdekat. Ambil wudhu dan melakukan sholat berjamaah bersama.***"Lho, nak Restu, baru pulang ini?" sapa seseorang."Eh iya pak," jawabku singkat."Pekerjaan lagi sibuk ya, baru bisa pulang sekarang?""Iya pak.""Oh iya, tolong nasehatin adik sama istrimu, jangan sering-sering serumah bareng, takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, kan sekarang sudah gak ada ibu," tegur bapak itu lagi."Baik, pak. Terima kasih tegurannya," jawabku lagi.Aku berjalan lagi menuju rumah, tak disangka-sangka di tengah jalan aku bertemu dengan Bian."Hei, Restu, kamu pulang?" sapanya."Iya. Kalau kamu habis dari mana?""Biasa, habis dari tempatnya Budhe. Oh iya Res, tolong jangan pulang dulu, aku mau bicara
Sesampainya di rumah Budhe Narti..."Maaf budhe, Amira, aku nitip Reni dulu, tinggal sementara disini, boleh kan?""Ya, tentu saja boleh, nak..." sahut budhe Narti."Sini, Reni tidur sama tante ya..." ajak Amira."Iya tante, Reni kangeeen banget sama tante," sahut Reni, dia memeluk tantenya."Tante juga kangen sama Reni."Aku tersenyum, sepertinya Reni akan lebih aman disini. Aku tidak perlu khawatir kalau Reni bersama Amira, sedari kecil yang menemani Reni adalah Amira, bukan yang lainnya. Amira mengajak Reni ke kamar dan menidurkannya.Beruntung, Bian masih ada disana, jadi aku masih bisa bertanya padanya."Maaf Bian, kamu tahu apa ini?" tanyaku sambil menyerahkan benda yang tadi kubawa.Mereka saling berpandangan melihat sesuatu yang kubawa."Itu aku temukan dalam lemari Lani," sahutku lagi. Aku menghela nafas dalam-dalam."Bukankah ini ilmu pelet, iya kan budhe?" jawab Bian agak ragu
POV RestuPagi menjelang siang, aku kedatangan tamu yang tidak terduga. Andri dan istrinya datang berkunjung. Mereka membawa Affan juga. Sudah lama kami tak bertemu."Mas, maaf ya mas, aku gak bisa datang waktu acara pernikahanmu. Waktu itu istriku lagi ngidam parah, mual dan muntah-muntah terus tiap hari sampai dia harus bedrest total," ucap Andri mengungkapkan alasannya kenapa dia tak bisa datang saat acara pernikahanku digelar."Istrimu sedang hamil, Ndri?" tanyaku."Iya mas, sudah memasuki usia 4 bulanan," jawab Andri sembari memandang istrinya dengan penuh cinta. Aini hanya mengulum senyum sambil mengangguk."Alhamdulillah, mas ikut senang mendengarnya.""Iya mas, ini baru bisa diajak pergi-pergi. Dulu mau ditinggal juga kasihan.""Tidak apa-apa, mas senang kalau kalian sehat, itu saja sudah cukup.""Aku gak bisa ngasih apa-apa, Mas.
POV MutiaMenikah dengan seseorang yang tak kukenal sebelumnya, kalian bisa bayangkan sendiri bagaimana rasanya. Takut, ragu, canggung, semuanya campur aduk jadi satu.Tapi mungkin ini jalan takdirku. Dan mungkin saja Mas Restu adalah jodoh yang dipilihkan Allah untukku dengan jalan yang tidak terduga.Setelah sempat beberapa hari kemarin hidupku benar-benar terguncang, menghadapi kenyataan yang ada di depanku. Kehilangan seseorang yang besok akan meminangku. Calon suamiku meninggal tepat dua hari sebelum hari H.Lalu, setelah menghadapi kenyataan bahwa ternyata Mas Roni-lah yang bersalah, tidak hati-hati dalam mengendarai motornya hingga ia terjatuh. Hatiku terkoyak begitu dalam.Apalagi keinginan ibu yang seakan memaksa kalau aku harus menikah dengan yang menabrak Mas Roni, itu tidak masuk akal bukan? Tapi aku bisa apa? Aku tak berani menolak. Keluarga Mas Roni telah banyak membantuku. Mereka sangat berjasa dalam hidupku. Mereka telah membawa
"Mas, kenapa melamun?" tanyanya menghenyakkanku."Emmh, enggak. Terima kasih ya dek, semoga kamu bisa menerima anakku ...""Iya, mas. Aku beres-beres dulu."Aku mengangguk. Kutinggalkan dia di kamar bersama Reni dan tumpukan baju yang akan dimasukkan ke dalam lemari.Aku bergegas membuka warung, sudah beberapa hari ini, tidak buka karena hal-hal yang tidak terduga. Beruntung yang dijual adalah sembako dan produk-produk kering lainnya untuk kebutuhan sehari-hari."Mas, baru buka, nih?" tanya ibu-ibu pembeli saat datang ke warung. "Katanya habis nikah ya, Mas? Kok gak ngundang-ngundang?" tanya ibu itu kembali."Iya Bu, pernikahannya sederhana saja, cuma digelar di tempat mempelai wanita," jawabku."Sama orang mana, Mas?""Beda kecamatan saja, Bu.""Mana istrinya? Gak kelihatan ...""Lagi beres-beres Bu, di kamar.""Oh iya iya, semoga langgeng ya mas, pernikahannya.""Aamiin, iya Bu, terima kasih doanya
POV Restu"Biar aku yang akan menikahi Mutia."Mungkin itu pernyataan konyol yang aku lontarkan saat itu. Bisa-bisanya aku mengajak nikah dengan orang yang tak kukenal sebelumnya. Wanita seperti apa dia, sikap dan karakternya bagaimana. Entahlah. Kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku.Sebenarnya aku hanya ingin tidak ada keretakan dalam rumah tangga Bian dan Amira. Kasihan, cinta mereka selalu diuji. Padahal baru saja akan merasakan kebahagiaan, sudah harus melewati masalah yang begitu besar."Kamu serius akan menikahi Mutia?" tanya Pak Sobri.Aku mengangguk. Aku paham mungkin mereka khawatir, aku tidak bisa menafkahinya."Dari pada menikah dengan Bian lalu menjadi yang kedua, lebih baik Mutia menikah denganku. Aku memang seorang duda, tapi aku bisa menafkahinya," jawabku."Aku sudah lama sendiri, istriku sudah meninggal. Anakku sekarang sudah kelas lima SD. Kalau Bapak dan Bu Sobri merestui, aku akan segera menikahi
Sesampainya disana, setelah mengobrol banyak dengan petugas polisi, aku sepakat meminta petugas polisi untuk membebaskan mereka semua.Bu Sobri dan Mutia terlihat saling berpelukan. Mereka menangis."Terima kasih Mas Bian, kamu sudah membebaskan kami," ucap Mutia berusaha ramah. Wajahnya masih terlihat sendu dan juga kuyu, masih tersisa genangan air mata dalam tatapannya. Sedangkan Bu Sobri terdiam, wanita paruh baya itu terlihat menyeka air mata yang jatuh ke pipinya."Maafkan kesalahan kami ya mas," ucap Mutia kembali. "Ibu sangat terpukul dengan keadaan ini, makanya dia bertindak nekat. Meskipun seharusnya kami tak bertindak seperti ini pada kalian. Kami benar-benar bersalah. Tapi kalian sudah berbaik hati membebaskan kami. Sekali lagi terima kasih Mas Bian, Mas Restu, kalian benar-benar orang yang sangat baik."Tak lama Pak Sobri juga datang menjemput. Rupanya dia habis ada pekerjaan, ketika Bu Sobri berlaku nekat pada Alia, pak Sobri tidak tahu
"Alia, bertahanlah ya nak, kita akan menemui ibu," bisikku pada pada Alia. Tubuh mungil itu sepertinya kedinginan, sepanjang perjalanan aku mendekapnya dengan erat.Sesampainya di rumahKami langsung disambut oleh isak tangis Amira. Dia menciumi Alia tanpa henti."Mas, badan Alia panas sekali," ucap Amira. Air mata yang masih menggenang di pelupuk matanya."Segera kompres Alia, dek. Lalu kasih ASI. Obat penurun panas juga, masih ada kan?"Amira mengangguk lalu menuju ke kamar. Ia langsung menyusui Alia. Sedangkan Budhe Narti segera mengambilkan air hangat untuk kompres.Aku duduk di sofa ruang tamu. Kuhela nafas dalam-dalam. Ya Allah, terima kasih akhirnya anakku kembali, semoga dia tidak apa-apa. Batinku terus berdoa, semoga Alia selalu dalam lindungan-Mu, ya Allah."Restu, terima kasih kamu sudah membantuku, untung saja kamu segera datang," ucapku memecah kebisuan"Iya Bian, maaf kami sedikit terlambat tadi. Aku tidak m
Siang itu aku dan Restu pergi ke pemakaman. Berziarah ke makam Roni, korban kecelakaan itu.Sesampainya disana, kulihat seorang wanita sedang terpekur sambil memeluk pusara itu. Tangisannya terdengar pilu. Dia pasti Mutia, sedalam itu kah luka hatinya?Hatiku benar-benar merasa tersayat pedih, seharusnya mereka bahagia bersanding di pelaminan. Tapi... tanpa disengaja aku telah memisahkan mereka."Bian, ayo," ajak Restu, dia menarik lenganku untuk mendekat ke pusara itu.Gadis itu mendongak, air matanya basah membanjiri pipi. Matanya nampak sembab. Ia menyeka air matanya sendiri lalu menunduk dan pergi begitu saja tanpa sepatah kata apapun.Kulantunkan surat Alfatihah dan berdoa untuknya.Tiba-tiba ponselku berdering, panggilan dari Amira."Hallo, assalamualaikum. Ada apa, sayang?""Waalaikum salam, mas, Alia mas," sahut Amira dengan nada khawatir."Kenapa dengan Alia?""Alia diculik mas, huhuhu..." sahutnya
Sudah satu minggu aku menginap disini. Banyak nyamuk, pasti. Kedinginan? Ya tentu saja, karena gak ada Amira yang menghangatkanku. Sesekali tubuhku terasa menggigil ketika cuaca sedang dingin-dinginnya karena terus menerus diguyur hujan.Ah, sebenarnya bukan itu yang aku pikirkan. Aku memikirkan Amira dan bayi kami. Terbayang kembali raut wajah Amira yang bersedih dengan hal ini. Aku tak tega membayangkannya apalagi kalau melihatnya menitikkan air mata.Agaknya proses penyidikan masih lama berlangsung, Restu dan pengacara yang ia sewa pun sedang mengumpulkan bukti-bukti kuat, agar aku dinyatakan tidak bersalah, setidaknya misalkan menjalani masa hukuman, tidak terlalu lama.Aku bersyukur masih punya teman baik seperti Restu. Dia rela membantuku.Pagi menjelang siang, Amira datang menjengukku kembali. Ini kali kedua ia berkunjung kesini, aku maklum dia pasti kerepotan dan mungkin saja, badannya masih sakit pasca melahirkan, masih belum sembuh total.
"Mereka minta kamu menikahi gadis itu."Jedeeerr...! Bagaikan disambar petir saat mendengar pernyataan Restu. Sungguh ini tidak masuk akal. Benar-benar tidak masuk akal."Apaaaa?? Itu tidak mungkin! Apa mereka sudah gila?" pekikku tak percaya.Restu terdiam."Restu, katakan pada mereka, aku menolak. Aku lebih baik di penjara dari pada harus menikah dengan gadis itu. Berapa tahun hukumanku? Lima tahun? Sepuluh tahun? Baik, aku akan menjalaninya. Tapi kalau untuk menikahi gadis itu, aku tidak mau," sergahku dengan tegas."Ya, aku mengerti.""Restu, rasa cintaku pada Amira melebihi apapun. Kau tahu itu, bukan? Aku tidak akan pernah menduakannya, sampai kapanpun. Bila aku harus selamanya mendekam di penjara, itu tidak masalah bagiku.""Apa kau tidak memikirkan perasaan Amira dan juga anakmu? Kalau kamu terus menerus mendekam di penjara, bagaimana hidup mereka tanpamu?" tanya Restu. Ah, kenapa dia tak paham dengan isi hatiku?