Sesampainya di rumah Budhe Narti...
"Maaf budhe, Amira, aku nitip Reni dulu, tinggal sementara disini, boleh kan?"
"Ya, tentu saja boleh, nak..." sahut budhe Narti.
"Sini, Reni tidur sama tante ya..." ajak Amira.
"Iya tante, Reni kangeeen banget sama tante," sahut Reni, dia memeluk tantenya.
"Tante juga kangen sama Reni."
Aku tersenyum, sepertinya Reni akan lebih aman disini. Aku tidak perlu khawatir kalau Reni bersama Amira, sedari kecil yang menemani Reni adalah Amira, bukan yang lainnya. Amira mengajak Reni ke kamar dan menidurkannya.
Beruntung, Bian masih ada disana, jadi aku masih bisa bertanya padanya.
"Maaf Bian, kamu tahu apa ini?" tanyaku sambil menyerahkan benda yang tadi kubawa.
Mereka saling berpandangan melihat sesuatu yang kubawa.
"Itu aku temukan dalam lemari Lani," sahutku lagi. Aku menghela nafas dalam-dalam.
"Bukankah ini ilmu pelet, iya kan budhe?" jawab Bian agak ragu
POV LaniAku tak pernah menyangka malam itu aku diusir dari rumah oleh suamiku sendiri. Dia memergoki kami yang sedang memadu kasih. Aku tak pernah mengira dia akan pulang secepat ini, jadi aku tak punya persiapan apapun untuk menghindarinya. Nasi sudah menjadi bubur, Mas Restu mengusir dan menceraikanku sekaligus.Aaarghhh, kenapa aku jadi sebodoh ini! Bahkan dia tak punya perasaan saat mengusirku, dia juga sudah menghajar adiknya sendiri hingga babak belur. Benar-benar tak punya belas kasih!Malam ini aku harus kemana? Cuaca yang begitu dingin menusuk kulit, membuat bulu kudukku meremang. Sekarang aku menyedihkan, bukan? Tak punya apa-apa yang bisa buat sandaran.Aku melangkah gontai, kutelusuri tiap sisi jalan. Semua pintu menutup dengan sempurna. Tak ada tanda-tanda orang diluar, semua bersembunyi dibalik pintu.Kuhampiri rumah Nita, dia satu-satunya teman yang mungki
POV Bian "Bian! Bian! Bangunn...!" teriak seorang wanita sambil mengguncang tubuhku. Aku terlonjak kaget. Budhe sudah berada disampingku dengan muka cemas. "Ada apa budhe?" tanyaku sambil memicingkan mata. "Tuh, Amira mau melahirkan, buruan bangun, antar dia ke rumah sakit," tukas budhe lagi. Aku melirik ke arah Amira. Dia sedang meringis kesakitan sambil memegangi perutnya. "Ayo ke rumah sakit," ajakku. Untung saja mobil kuparkir di rumah budhe. "Perlengkapan bayinya udah disiapkan?" tanyaku lagi. Amira hanya mengangguk. "Taruh dimana?" tanyaku lagi. "Ada di kamar mas, tas ransel warna hitam," jawabnya lirih. "Ya sudah, ayo ke mobil dulu. Budhe dan Reni sekalian ikut?" tanyaku. "Budhe sama Reni nyusul aja, budhe mau nutup warung dulu, nanti langsung kesana kalau beres" sahut budhe. Akupun mengangguk. Budhe pergi mengambilkan tas Amira. Sedangkan aku menuntun Amira
POV Bian"Eh, kamu jangan sok-sokan deh! Jangan campuri urusanku. Reni itu anakku, aku ibunya! Aku berhak membawanya pergi bersamaku!" seru Lani emosi. Perangainya tidak berubah sama sekali, dia masih suka marah-marah tiap bertemu denganku ataupun Amira."Ini jadi tanggung jawabku, karena ayahnya menitipkannya padaku!""Tidaaak!" tukasnya dengan cepat sembari terus merangkul anaknya dengan erat. "Tolooong... Tolooong...! Ada penculik!" teriaknya tiba-tiba, membuat orang yang berlalu lalang mendekat menghampiri kami. Duh, posisiku serba salah kalau begini sekarang, kalau terus memaksa Reni pulang bersamaku, aku dikira penculik beneran. Dasar wanita licik!"Mana bu penculiknya?" tanya salah seorang warga."Dia, pak! Dia berusaha menculik anakku!" tunjuknya mengarah padaku. Lani menangis, mungkin hanya pura-pura."Bukan pak, saya bukan penculik!" sanggahku.Orang-orang menatap geram ke arahku. "Mana ada orang jahat yang mau n
POV Lani Bruukk... Tanpa sengaja aku menabrak seseorang saat masuk ke minimarket, mungkin jalanku yang terburu-buru dan menunduk hingga tak melihat ke depan. "Maaf, aku tidak sengaja," ucapku. Aku mendongak, sungguh kaget dibuatnya. "Kau...!" pekik kami secara bersamaan. Aku kemudian berlalu begitu saja dengan wajah sinis. Hah, aku paling malas bertemu dengan orang itu. Ya, dia, Bian, dia sudah kuanggap sebagai musuh bebuyutanku karena dialah penyebab aku dan Mas Restu bercerai. Ah, aku harus kerja apa? Persediaan uangku sudah sangat menipis. Aku duduk di emperan minimarket sembari memijat pelipisku sendiri. Rasanya begitu penat. Dicerai suami tanpa ada harta yang dibawa, menyebalkan. Apakah dulu ini yang dirasakan oleh Amira? Dan sekarang berbalik padaku? Tapi Amira sangat beruntung ada seseorang yang membantunya. Meskipun dia seorang pengangguran, tapi kenapa uangnya banyak terus ya? Aku berjalan tak tentu arah, Aku har
"Jadi kita rujuk, mas?" tanyaku dengan mata berbinar. "Akan kupikirkan lagi," jawabnya dengan singkat. "Tapi, kenapa mas?" "Aku belum yakin dengan sikapmu yang mendadak berubah begitu." "Tapi mas, tadi aku sudah membuktikannya. Aku rela bunuh diri demi kamu, tapi kamu sendiri yang mencegahku," sanggahku lagi. "Aku masih kurang yakin. Siapa tau kamu hanya mempermainkanku lagi." "Tidak, mas. Aku sungguh-sungguh. Kenapa kau tidak percaya padaku? Aku harus bagaimana agar kau percaya?" "Buktikanlah!" sergahnya dengan nada ketus. "Bagaimana caranya?" "Lakukan apa yang kuminta." "Ya, baiklah. Apa itu? "Kamu yakin?" tanya Mas Restu seolah tak yakin dengan ucapanku. Duh sepertinya aku sudah terjebak oleh Mas Restu. Bagaimana ini? Jalani sajalah, siapa tahu Mas Restu benar-benar mau menerimaku kembali. "Iya mas, aku yakin. Aku akan lakukan apapun yang kau suruh, t
POV Restu Mendengar kabar Reni dibawa oleh Lani, hatiku menjadi tak tenang. Apalagi Lani sudah menjebak Bian, mengatakan kalau dia seorang penculik, membuatnya jadi babak belur dipukuli warga. Apa yang akan dilakukan oleh Lani? Oke, aku ikuti permainanmu. Aku menuju kontrakan Lani, ketika dia menghubungiku lewat telepon. Dia mangancamku, dan akan kuladeni ancamannya. Sampai di kontrakan, Lani langsung memelukku dan meminta maaf. Dia berjanji tidak akan mengulangi kesalahannya lagi. Dia ingin berubah, lagi-lagi dia memohon dengan tatapan memelas. Tapi aku masih belum yakin akan permintaan maafnya. Aku rasa dia hanya pura-pura saja. Lagi pula, aku tak bisa begitu saja memaafkannya. Kesalahannya terlalu fatal. Dia mengkhianatiku, dan berlaku syirik, menggunakan ilmu pemikat untuk menarik perhatian Andri. Dia pula yang sudah menjebak Bian dan Amira. Aku tidak bisa begitu saja memaafkan. Hatiku terlalu sakit. Hingga Lani bilang, dia akan
POV AndriHari-hariku disini semakin membaik. Dengan telaten Pak Ustadz mengobatiku dengan dzikir dan doa-doa. Akupun mulai rajin sholat dan mengaji kembali. Ada kedamaian menyeruak dari dalam hati.Kurasakan perubahan besar pada diriku. Kepalaku sudah tak terasa penat. Tengkukku juga tidak terasa berat seperti sebelum-sebelumnya.Siang itu, aku masih mengobrol dengan Pak Ustadz. Ia menanyakan tentang keadaanku."Bagaimana keadaanmu, Ndri?" tanya seseorang. Aku menoleh dan langsung memeluknya ketika tahu yang datang adalah kakakku, Mas Restu."Alhamdulillah, aku baik-baik saja mas, rasa berat di tengkukku lama-lama hilang. Sepertinya aku sudah sembuh seperti sedia kala mas," jawabku.Mas Restu mengangguk."Terima kasih mas, atas bantuanmu. Terima kasih atas semuanya, mas. Dan tolong maafkan aku mas, kalau aku menyakiti hatimu. Aku memang adik yang tidak tahu diri. Tolong maafkan aku ya, mas."Kulihat netranya nampak
PoV AmiraAku merasa sedikit lega, setelah Mbak Lani mau meminta maaf dan mengakui kesalahannya. Biarpun Mas Bian ingin Mbak Lani dijebloskan ke penjara namun aku menolaknya. Biarlah dia tahu, aku bukan seorang pendendam. Itupun agar dia sadar tidak ada lagi rasa iri dan dengki di hatinya. Harusnya berpisah dengan Mas Restu membuat dia sadar, kalau kita tidak boleh berbuat jahat. Semoga saja Mbak Lani benar-benar berubah dan mau bertaubat.Hari pernikahan sudah semakin dekat, entah kenapa jantungku berdebar tak karuan. Luka lebam di wajah dan tubuh Mas Bian pun sudah mulai pulih. Budhe Narti yang paling antusias ketika acara pernikahan sudah di depan mata. Dia memberikanku wejangan dan nasehat serta apa-apa saja yang disuka maupun tidak disukai oleh Mas Bian. Tapi sebagian besar yang kutangkap dari obrolan Budhe Narti, Mas Bian orangnya nrimo.Budhe Narti sudah seperti ibunya sendiri, beliau yang mengasuhnya karena sedari kecil mas Bian sudah ditingg
POV RestuPagi menjelang siang, aku kedatangan tamu yang tidak terduga. Andri dan istrinya datang berkunjung. Mereka membawa Affan juga. Sudah lama kami tak bertemu."Mas, maaf ya mas, aku gak bisa datang waktu acara pernikahanmu. Waktu itu istriku lagi ngidam parah, mual dan muntah-muntah terus tiap hari sampai dia harus bedrest total," ucap Andri mengungkapkan alasannya kenapa dia tak bisa datang saat acara pernikahanku digelar."Istrimu sedang hamil, Ndri?" tanyaku."Iya mas, sudah memasuki usia 4 bulanan," jawab Andri sembari memandang istrinya dengan penuh cinta. Aini hanya mengulum senyum sambil mengangguk."Alhamdulillah, mas ikut senang mendengarnya.""Iya mas, ini baru bisa diajak pergi-pergi. Dulu mau ditinggal juga kasihan.""Tidak apa-apa, mas senang kalau kalian sehat, itu saja sudah cukup.""Aku gak bisa ngasih apa-apa, Mas.
POV MutiaMenikah dengan seseorang yang tak kukenal sebelumnya, kalian bisa bayangkan sendiri bagaimana rasanya. Takut, ragu, canggung, semuanya campur aduk jadi satu.Tapi mungkin ini jalan takdirku. Dan mungkin saja Mas Restu adalah jodoh yang dipilihkan Allah untukku dengan jalan yang tidak terduga.Setelah sempat beberapa hari kemarin hidupku benar-benar terguncang, menghadapi kenyataan yang ada di depanku. Kehilangan seseorang yang besok akan meminangku. Calon suamiku meninggal tepat dua hari sebelum hari H.Lalu, setelah menghadapi kenyataan bahwa ternyata Mas Roni-lah yang bersalah, tidak hati-hati dalam mengendarai motornya hingga ia terjatuh. Hatiku terkoyak begitu dalam.Apalagi keinginan ibu yang seakan memaksa kalau aku harus menikah dengan yang menabrak Mas Roni, itu tidak masuk akal bukan? Tapi aku bisa apa? Aku tak berani menolak. Keluarga Mas Roni telah banyak membantuku. Mereka sangat berjasa dalam hidupku. Mereka telah membawa
"Mas, kenapa melamun?" tanyanya menghenyakkanku."Emmh, enggak. Terima kasih ya dek, semoga kamu bisa menerima anakku ...""Iya, mas. Aku beres-beres dulu."Aku mengangguk. Kutinggalkan dia di kamar bersama Reni dan tumpukan baju yang akan dimasukkan ke dalam lemari.Aku bergegas membuka warung, sudah beberapa hari ini, tidak buka karena hal-hal yang tidak terduga. Beruntung yang dijual adalah sembako dan produk-produk kering lainnya untuk kebutuhan sehari-hari."Mas, baru buka, nih?" tanya ibu-ibu pembeli saat datang ke warung. "Katanya habis nikah ya, Mas? Kok gak ngundang-ngundang?" tanya ibu itu kembali."Iya Bu, pernikahannya sederhana saja, cuma digelar di tempat mempelai wanita," jawabku."Sama orang mana, Mas?""Beda kecamatan saja, Bu.""Mana istrinya? Gak kelihatan ...""Lagi beres-beres Bu, di kamar.""Oh iya iya, semoga langgeng ya mas, pernikahannya.""Aamiin, iya Bu, terima kasih doanya
POV Restu"Biar aku yang akan menikahi Mutia."Mungkin itu pernyataan konyol yang aku lontarkan saat itu. Bisa-bisanya aku mengajak nikah dengan orang yang tak kukenal sebelumnya. Wanita seperti apa dia, sikap dan karakternya bagaimana. Entahlah. Kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku.Sebenarnya aku hanya ingin tidak ada keretakan dalam rumah tangga Bian dan Amira. Kasihan, cinta mereka selalu diuji. Padahal baru saja akan merasakan kebahagiaan, sudah harus melewati masalah yang begitu besar."Kamu serius akan menikahi Mutia?" tanya Pak Sobri.Aku mengangguk. Aku paham mungkin mereka khawatir, aku tidak bisa menafkahinya."Dari pada menikah dengan Bian lalu menjadi yang kedua, lebih baik Mutia menikah denganku. Aku memang seorang duda, tapi aku bisa menafkahinya," jawabku."Aku sudah lama sendiri, istriku sudah meninggal. Anakku sekarang sudah kelas lima SD. Kalau Bapak dan Bu Sobri merestui, aku akan segera menikahi
Sesampainya disana, setelah mengobrol banyak dengan petugas polisi, aku sepakat meminta petugas polisi untuk membebaskan mereka semua.Bu Sobri dan Mutia terlihat saling berpelukan. Mereka menangis."Terima kasih Mas Bian, kamu sudah membebaskan kami," ucap Mutia berusaha ramah. Wajahnya masih terlihat sendu dan juga kuyu, masih tersisa genangan air mata dalam tatapannya. Sedangkan Bu Sobri terdiam, wanita paruh baya itu terlihat menyeka air mata yang jatuh ke pipinya."Maafkan kesalahan kami ya mas," ucap Mutia kembali. "Ibu sangat terpukul dengan keadaan ini, makanya dia bertindak nekat. Meskipun seharusnya kami tak bertindak seperti ini pada kalian. Kami benar-benar bersalah. Tapi kalian sudah berbaik hati membebaskan kami. Sekali lagi terima kasih Mas Bian, Mas Restu, kalian benar-benar orang yang sangat baik."Tak lama Pak Sobri juga datang menjemput. Rupanya dia habis ada pekerjaan, ketika Bu Sobri berlaku nekat pada Alia, pak Sobri tidak tahu
"Alia, bertahanlah ya nak, kita akan menemui ibu," bisikku pada pada Alia. Tubuh mungil itu sepertinya kedinginan, sepanjang perjalanan aku mendekapnya dengan erat.Sesampainya di rumahKami langsung disambut oleh isak tangis Amira. Dia menciumi Alia tanpa henti."Mas, badan Alia panas sekali," ucap Amira. Air mata yang masih menggenang di pelupuk matanya."Segera kompres Alia, dek. Lalu kasih ASI. Obat penurun panas juga, masih ada kan?"Amira mengangguk lalu menuju ke kamar. Ia langsung menyusui Alia. Sedangkan Budhe Narti segera mengambilkan air hangat untuk kompres.Aku duduk di sofa ruang tamu. Kuhela nafas dalam-dalam. Ya Allah, terima kasih akhirnya anakku kembali, semoga dia tidak apa-apa. Batinku terus berdoa, semoga Alia selalu dalam lindungan-Mu, ya Allah."Restu, terima kasih kamu sudah membantuku, untung saja kamu segera datang," ucapku memecah kebisuan"Iya Bian, maaf kami sedikit terlambat tadi. Aku tidak m
Siang itu aku dan Restu pergi ke pemakaman. Berziarah ke makam Roni, korban kecelakaan itu.Sesampainya disana, kulihat seorang wanita sedang terpekur sambil memeluk pusara itu. Tangisannya terdengar pilu. Dia pasti Mutia, sedalam itu kah luka hatinya?Hatiku benar-benar merasa tersayat pedih, seharusnya mereka bahagia bersanding di pelaminan. Tapi... tanpa disengaja aku telah memisahkan mereka."Bian, ayo," ajak Restu, dia menarik lenganku untuk mendekat ke pusara itu.Gadis itu mendongak, air matanya basah membanjiri pipi. Matanya nampak sembab. Ia menyeka air matanya sendiri lalu menunduk dan pergi begitu saja tanpa sepatah kata apapun.Kulantunkan surat Alfatihah dan berdoa untuknya.Tiba-tiba ponselku berdering, panggilan dari Amira."Hallo, assalamualaikum. Ada apa, sayang?""Waalaikum salam, mas, Alia mas," sahut Amira dengan nada khawatir."Kenapa dengan Alia?""Alia diculik mas, huhuhu..." sahutnya
Sudah satu minggu aku menginap disini. Banyak nyamuk, pasti. Kedinginan? Ya tentu saja, karena gak ada Amira yang menghangatkanku. Sesekali tubuhku terasa menggigil ketika cuaca sedang dingin-dinginnya karena terus menerus diguyur hujan.Ah, sebenarnya bukan itu yang aku pikirkan. Aku memikirkan Amira dan bayi kami. Terbayang kembali raut wajah Amira yang bersedih dengan hal ini. Aku tak tega membayangkannya apalagi kalau melihatnya menitikkan air mata.Agaknya proses penyidikan masih lama berlangsung, Restu dan pengacara yang ia sewa pun sedang mengumpulkan bukti-bukti kuat, agar aku dinyatakan tidak bersalah, setidaknya misalkan menjalani masa hukuman, tidak terlalu lama.Aku bersyukur masih punya teman baik seperti Restu. Dia rela membantuku.Pagi menjelang siang, Amira datang menjengukku kembali. Ini kali kedua ia berkunjung kesini, aku maklum dia pasti kerepotan dan mungkin saja, badannya masih sakit pasca melahirkan, masih belum sembuh total.
"Mereka minta kamu menikahi gadis itu."Jedeeerr...! Bagaikan disambar petir saat mendengar pernyataan Restu. Sungguh ini tidak masuk akal. Benar-benar tidak masuk akal."Apaaaa?? Itu tidak mungkin! Apa mereka sudah gila?" pekikku tak percaya.Restu terdiam."Restu, katakan pada mereka, aku menolak. Aku lebih baik di penjara dari pada harus menikah dengan gadis itu. Berapa tahun hukumanku? Lima tahun? Sepuluh tahun? Baik, aku akan menjalaninya. Tapi kalau untuk menikahi gadis itu, aku tidak mau," sergahku dengan tegas."Ya, aku mengerti.""Restu, rasa cintaku pada Amira melebihi apapun. Kau tahu itu, bukan? Aku tidak akan pernah menduakannya, sampai kapanpun. Bila aku harus selamanya mendekam di penjara, itu tidak masalah bagiku.""Apa kau tidak memikirkan perasaan Amira dan juga anakmu? Kalau kamu terus menerus mendekam di penjara, bagaimana hidup mereka tanpamu?" tanya Restu. Ah, kenapa dia tak paham dengan isi hatiku?