Share

72. Usaha?

Author: Zila Aicha
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

"Kamu ini ngomong apaan sih, Ra? Sudah, ini jelas bukan salah kamu. Kamu sama Dimas itu hanya korban keegoisan orang tua Dimas. Kalaupun ada yang bisa disalahkan atas kejadian ini ya orang tuanya sendiri. Tapi sekali lagi, meskipun semuanya terjadi seperti ini, kematian manusia itu mutlak menjadi rahasia Allah."

Alea berhenti sejenak setelah mengatakan hal itu kepadaku.

Aku terpaku saat dia mengatakannya karena jujur saja sekarang ini hatiku sedang kacau luar biasa jadi bahkan aku tak bisa berpikir jernih mengenai hal apapun termasuk akan ketetapan Allah.

"Berhentilah menyalahkan diri kamu sendiri dan bertanya-tanya kenapa semua ini sampai terjadi karena jika kamu melakukannya berarti kamu sama dengan mempertanyakan apa yang sudah menjadi ketentuan Allah. Kamu ngerti kan, Ra?" ucap Alea dengan ekspresi tenang sambil menatapku dengan sorot matanya yang terlihat sedih itu.

Aku mengangguk lalu mulai mencoba untuk menguatkan hatiku sendiri sebelum akhirnya mulai makan. Alea benar, aku har
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Talak Aku, Mas!   73. Travel

    Rasa salahku pun kian memuncak setelah aku mengajak anakku berbicara. Benar, aku telah berbuat kesalahan yang besar dengan membiarkan anakku merasa kesepian. Maka, aku memutuskan untuk lebih banyak meluangkan waktuku untuk Fuchsia.Usai memikirkan banyak hal mengenai bagaimana caranya aku membagi waktu, aku pun memutuskan untuk menghubungi Anindia untuk membicarakan aku bergabung dengan mereka. Keputusan ini aku ambil berdasarkan pertimbangan yang begitu matang. Aku berpikir jika aku mendapatkan pekerjaan lain yang pastinya nanti akan menyita waktu, aku jadi kekurangan waktu dengan anakku.Namun, jika aku bekerja di tempat perusahaan travel milik Anindia, kemungkinan besar aku masih bisa meluangkan banyak waktu ku untuk gadis kecilku.Maka sekarang ini aku sedang menuju ke tempat Anindia mendirikan perusahaan travel itu. Dengan mudah aku bisa menemukan tempatnya yang ternyata berupa sebuah ruko berlantai 2 yang bisa dikatakan cukup besar.Segera aku memarkir motorku di tempat parkir

  • Talak Aku, Mas!   74. Pria Thailand

    Pagi berikutnya, sesuai dengan jadwal, aku menjemput pria asal Thailand itu bersama dengan Arga, seorang sopir yang telah bekerja di Ans Travel sejak travel ini berdiri."Mbak, tumben Mbak Zara yang ambil. Biasanya Mbak Zara kan lebih suka ambil client dari Eropa atau Amerika," celetuk Arga.Aku membenarkan letak dudukku dan menjawab, "Kebetulan saja aku sekarang pas lagi nggak ada client luar, makannya dikasih yang dari Thailand.""Oh, pantas saja. Tapi ini tamunya saya lihat nggak terlalu banyak maunya ya Mbk. Saya baca di jadwalnya kayanya memang maunya santai," ucap Arga."Ya semoga dia berubah berpikiran menjadi client yang nyebelin," candaku.Tak terasa kami sudah tiba di stasiun kereta api. Aku segera memasang papan jemput bertuliskan nama pria itu. Aaron Kittibun. Meskipun aku bisa saja menghubunginya melalui panggilan saluran aplikasi chatting, namun untuk jaga-jaga aku tetap menggunakan cara lama saat menjemput turis.Hal ini dikarenakan kita tidak akan pernah tahu jika ada

  • Talak Aku, Mas!   75. Canggung

    Arga tersenyum kepadaku yang sontak aku balas dengan sebuah pelototan tajam. Anak muda ini memang cukup menjengkelkan.Dia ini memang tak hanya sekali dua kali menggodaku seperti itu. Pasalnya, dia memang tahu jika statusku memanglah seorang janda.Dia pun beberapa kali berusaha untuk mengenalkanku pada pria lajang. Dia bahkan lebih bersemangat dibandingkan dengan Tya, Anindia dan juga Marlina soal menjodohkanku itu."Eh, Mbak Zara. Nggak boleh marah. Kan Mas Aaron malah lagi memuji Mbak.""Heh, itu kita sudah mau sampai. Nyetir yang benar dulu deh," ucapku pada Aaron.Aku tak berani melirik ke arah kursi belakang karena takut jika nanti malah ada salah paham.Ketika kami sudah sampai di hotel tempat Aaron akan beristirahat setelah perjalanan panjangnya dari Bangkok."Mari ikut saya!" ajakku pada Aaron.Tanpa berkata apapun dia langsung saja mengikutiku untuk mengurus check-in.Prosesnya berjalan dengan cukup lancar karena kebetulan saja hotel ini adalah salah satu hotel yang sering s

  • Talak Aku, Mas!   76. Rencana Teman

    "Ya kalau memang gitu ya tinggal mundur. Tapi kan paling tidak kamu sudah berusaha duluan jadi kan setidaknya kamu tahu lah," ujar Tya.Aku memutar bola mataku malas, "Nggak mau. Daripada coba-coba seperti itu dan belum juga jelas hasilnya, lebih baik aku melindungi hatiku. Nggak ada yang bisa melindungi hati aku sendiri selain aku."Marlina menanggapi, "Ya tapi sayang banget loh kalau dilewatkan. Kamu tahu nggak dari biodatanya aja udah jelas kalau dia itu cukup mapan. Dia ini ...."Aku sontak menyelanya, "Stop!" Just stop!""What!? Aku bahkan belum bilang apa-apa," sahut Marlina heran."Aku sudah tahu apa yang ingin kamu katakan," balasku cepat.Marlina terlihat menatapku dengan alis sebelah yang terangkat, "Memang kamu tahu dari mana? Kamu kan nggak bisa baca pikiran aku kaya Edward Cullen."Aku menoleh ke arah sahabatku yang berambut keriting itu dan membalas, "Nggak perlu jadi Edward Cullen untuk tahu apa yang ada di dalam kepala kamu."Marlina menanggapi, "Hm. Mencurigakan. Atau

  • Talak Aku, Mas!   77. Percakapan Umum

    Obrolan itu pun terpaksa berakhir saat kami kedatangan tamu lain dan aku pun memilih untuk menyingkir guna memberi ruang pada tamu itu.Di saat seperti menunggu waktu seperti ini biasanya aku akan menggunakannya untuk pulang ke rumah. Namun, dikarenakan jarak hotel tempat menginap turisku saat ini cukup jauh dari rumah, sehingga aku pun tak bisa pulang untuk menghemat waktu.Maka aku memilih untuk melakukan panggilan video call dengan Fuchsia lewat ponsel mama. Tak sampai dering ketiga, panggilan itu telah diangkat. Seperti biasa juga, mama sudah hafal sekali kebiasaanku yang sering kali menghubungi mama saat sedang bekerja."Sia, lagi apa?" tanyaku begitu wajah manis nan menggemaskan putri tercintaku terlihat di layar berukuran beberapa inci itu."Main," jawabnya polos."Main apa?" Dia terlihat meletakkan ponsel itu di meja lalu dalam beberapa detik kemudian, dia muncul lagi dengan membawa mainan rumah-rumahan barbie."Ah, lagi main barbie ya?""Iya, Ma.""Main barbie sama siapa?""

  • Talak Aku, Mas!   78. Taman Selekta

    Usai makan siang, aku segera mengajaknya untuk pergi ke tempat wisata pertama yang akan dia kunjungi, Taman Selekta.Perjalanan memakan waktu sekitar satu jam lamanya dari pusat kota Malang dan anehnya perjalanan itu terasa sangat cepat sekali. Mungkin karena cuaca yang tidak terlalu panas membuatnya demikian.Aku yang memilih untuk tetap bersikap normal itu lalu bertanya pada Aaron, "Apakah kamu mau membeli camilan dulu?""Tidak. Saya masih kenyang," jawabnya."Mau beli air dulu?" tanyaku lagi. Biasanya para turis lebih suka membawa air minum memang.Jelas memang air minum lebih dibutuhkan di negara yang beriklim tropis ini. Selain untuk mencegah dehidrasi yang mungkin saja dirasakan, air minum juga bermanfaat membuat peminumnya melupakan rasa lapar sesaat."Boleh. Saya tadi tak membawa botol air minum saya," jawab Aaron.Aku mengangguk dan menoleh pada Arga yang kali ini lebih banyak diam lantaran konsen mengemudi. "Nanti mampir ke minimarket depan sana ya, Ga?" ucapku."Siap, Mba

  • Talak Aku, Mas!   79. Bianglala

    "Kadang suka hal lama, kadang hal baru."Aaron menoleh, seolah menunggu penjelasanku lebih lanjut sehingga aku berkata lagi, "Kalau ibarat barang. Saya akan memilih barang lama jika memang fungsinya masih bagus, tapi kalau memang sudah tidak pakai lagi ya terpaksa saya membeli barang baru."Pria muda itu tersenyum lalu menanggapi, "Jawaban kamu membuat saya sedikit merasa lebih baik."Aku tentu saja agak bingung tapi tetap diam saja."Ya sudah ayo salat dulu," ajaknya yang membuatku terkagum kepadanya. Dia termasuk disiplin dalam beribadah.Usai menunaikan salat ashar, aku membawa Aaron ke alun-alun kota batu. Hari masih sore, matahari belum tenggelam di ufuk barat. Aku tidak terkejut ketika melihat banyaknya pengunjung di tempat itu.Alun-alun kota Batu menjadi salah satu tempat singgah bagi wisatawan untuk beristirahat sejenak setelah menikmati wisata kota tersebut.Di sana, semua orang bisa melihat keindahan kota Batu dari ketinggian."Aaron, kamu mau naik bianglala?" tanyaku.Aar

  • Talak Aku, Mas!   80. Tersadar

    Dikarenakan aku tak ingin membicarakan hal yang tak seharusnya dibicarakan itu, aku berusaha mengalihkan pembicaraan itu dan berbicara dengan hati-hati, "Apa kamu memiliki saudara?"Aku menatap ke arah luar tanpa melihat reaksi Aaron sama sekali. Namun, kemudian aku bisa mengembuskan napas dengan lega ketika mendengar ia berkata, "Ya. Saya memiliki seorang kakak perempuan dan seorang kakak laki-laki."Aku mengangguk. Dia melanjutkan, "Mereka semua telah menikah dan tinggal di luar negeri."Karena tertarik aku segera menoleh ke arahnya yang ternyata ia sedang menatapku. Oh, tidak. Aku telah melakukan kesalahan besar. Dengan segera aku menunduk, mencoba untuk menghindari tatapannya. Untuk mengatasi rasa gugupku, aku berkata, "Kenapa tinggal di luar negeri?""Kakak perempuanku menikah dengan pria asal Singapore jadi ia mengikuti suaminya tinggal di sana. Sedangkan kakak laki-lakiku kebetulan saja bekerja di Jepang dan mendapatkan jodoh orang sana," jelas pria itu."Tinggal kamu yang bel

Latest chapter

  • Talak Aku, Mas!   98. Akhir

    "Ya. Aku tentu menyukainya, Ndy. Karena kalau tidak, mana mungkin aku mau menikah dengannya," ujarku yang telah tak bisa lagi membiarkan Gandhy terus-menerus menggangguku.Saat aku mengatakannya, wajah Gandy terlihat mengeras. Dia terdiam beberapa saat lamanya sampai aku lelah sendiri menunggunya sehingga aku berkata, "Aku kerja dulu ya, Ndy. Kalau mau ketemu Fuchsia, kamu tunggu aja. Dia udah bangun kok."Saat aku melangkah, ia mendadak berkata, "Maafin aku ya, Ra! Atas semua masalah yang aku timbulkan. Mungkin ini waktunya aku menyerah."Aku tertegun, tentu saja. Tak pernah terkira aku akan mendapatka permintaan maaf dari Gandhy yang notabene adalah orang yang anti sekali mengakui kesalahannya dan malah seakan tak pernah merasa bersalah padahal telah berbuat salah. "Aku benar-benar minta maaf atas tindakan dan sikap aku yang telah membuatmu terganggu selama ini, Ra. Aku tahu aku pasti udah bikin kamu nggak nyaman. Aku hanya masih sulit menerima jika kamu akan menjadi milik orang la

  • Talak Aku, Mas!   97. Keterbukaan

    Jawaban dari pertanyaan Aaron tentu saja adalah iya. Namun, tentu aku tak langsung berkata lantang mengenai hal itu. Aku memilih untuk menyimpan keraguan kepadanya dan bertanya tentang hal lain, yang mungkin bisa saja membuat kepercayaanku kembali lagi."Aaron, saya bukannya meragukan kamu. Tapi ada sesuatu yang mengganggu pikiran saya," jawabku.Aaron membalas, "Apa? Beritahu saya, Zara!"Aku tersenyum tipis, "Boleh saya jujur sekaligus bertanya sama kamu?""Tentu saja boleh. Bukankah kita sebentar lagi akan hidup berdua? Kamu berhak bertanya hal apapun."Kuanggukkan kepalaku sebelum kemudian berkata pelan, "Tadi salah satu teman kerja aku, menemukan akun instagram lama kamu. Dan saya agak terkejut kamu nggak pernah menceritakan itu sama saya. Pertanyaan saya, kenapa kamu menyembunyikan hal itu dari saya?"Saat aku mengamati Aaron, jelas sekali ekspresi wajahnya yang tadi tampak tenang itu kini terlihat gusar."Jadi, kamu sempat melihatnya?" tanya Aaron.Aku mengangguk sekali lagi.A

  • Talak Aku, Mas!   96. Rencana Aaron

    "Ya dijual. Aaron bilang itu restorannya harus dijual," jawabku."Hah? Dijual? Apa nggak rugi? Nggak sayang, Ra?" tanya Andindia yang mengerti bagaimana susahnya menjalankan sebuah usaha. Aku sangat paham akan hal itu. Terlebih lagi kulihat sorot matanya ada sebuah ketidakrelaan yang ia perlihatkan dengan jelas."Iya pasti sayang banget, Nind. Tapi itu udah jadi keputusan dia jadi ya aku nggak bisa ikut campur," jawabku.Tya berdecak, "Lha apa nggak ada sanak saudaranya yang bisa mengurus usahanya itu, Ra? Aku masih agak gimana gitu kalau dijual."Aku menjawab, "Keluarganya yang lain itu punya usaha-usaha sendiri jadi ya nggak ada yang urus.""Walah. Sayang banget!" seru Anindia.Marlina bertepuk tangan, "Semua itu dilakukan demi perasaan yang dinamakan 'Love'. Ah, aku iri sekali jadinya sama kamu, Ra. Dicintai dengan begitu besar sama lelaki yang rela melakukan apapun demi kamu. Wow, that's so sweet, you know."Aku hanya diam, agak malu."Kamu benar-benar sangat beruntung banget, Ra.

  • Talak Aku, Mas!   95. Alasan Zara

    "Ya ngapain juga aku bohong sama kamu, Al. Aneh-aneh aja kamu tuh," sahutku cepat.Kulihat Alea tersenyum, "Duh, dia tuh idaman banget, Ra."Aku menaikkan sebelah alisku menatap Alea, menunggu ia melanjutkan kata-katanya.Alea yang selalu dengan mudah memahami arti dari setiap sikapku itu langsung saja berkata, "Dia sangat dewasa, Ra. Ini nih ya, kalau cowok lain ya dia pasti akan berantem sama Gandhy. Terus kamu juga akan ditekan buat lebih tegas sama Gandhy dan malah bisa-bisa dia nggak kasih izin sama Gandhy buat ketemu Fuchsia."Aku sedikit terkejut mendengar apa yang dikatakan Alea."Tapi, Al. Aku lihat banyak juga kok yang bersikap kaya Aaron. Banyak juga yang masih kasih izin buat mantan suami ketemu sama anak hasil dari pernikahan si istri sebelumnya. Lagi pula, kan nggak ada hak dia larang-larang," ujarku.Alea menjawab, "Langka, Ra. Swear deh. Kamu cari tuh cowok macam Aaron di belahan dunia lain, pasti kamu kesulitan nyari."Aku terdiam. Alea melanjutkan, "Yakin deh. Kamu i

  • Talak Aku, Mas!   94. Putus Asa

    "Duh, memang ngomong sama kamu itu susah banget ya," ujarku putus asa, merasa sagat percuma berbicara dengan Gandy sekarang."Zara, aku itu hanya mau yang terbaik buat Fuchsia."Aku menggelengkan kepalaku."Kamu bahkan nggak tahu apa yang terbaik bagi Fuchsia. Kamu hanya memikirkan tentang dirimu sendiri. Kamu nggak pernah mau tahu mana yang baik dan buruk bagi Fuchsia," ujarku."Yang terbaik bagi Fuchsia itu ya dia hanya dekat dengan papa kandungnya saja."Aku tertawa. Tawa hambar yang kuperlihatkan pada Gandhy."Seharusnya kamu melakukan hal itu sejak dua tahun lalu. Bukannya baru berbicara sekarang. Ke mana saja kamu saat itu? Kamu aja nggak peduli sama anak kamu kok," ujarku."Kenapa sih kamu mengungkit hal itu lagi, Ra? Kamu masih dendam kepadaku?" tanyanya.Tak percaya aku dengan perkataanya yang semakin membuatku ingin sekali dia segera saja pulang dari rumahku."Lebih tepatnya aku heran bagaimana bisa kamu yang telah melakukan kesalahan besar tapi tak mau berkaca dan instropek

  • Talak Aku, Mas!   93. Keegoisan

    "Ada apa ke sini?" tanyaku sinis.Sengaja aku langsung menyambutnya. Hal ini bukan karena aku senang bertemu dengannya tapi karena aku masih sangat kesal sekali dengannya. Ini tentu berkaitan dengan pertemuan kami yang terakhir kemarin. Pertemuan yang membuatku muak karena kedatangan Deva yang tiba-tiba dan mengacaukan mood-ku."Loh kok ada apa sih, Ra? Kan kata kamu kemarin aku boleh datang jenguk Fuchsia kapan aja. Kamu bilang nggak akan halangin aku buat ketemu dia," ujarnya baru saja melepaskan helm."Ya, tapi bukan berarti terlalu sering. Mending kamu bikin jadwal aja deh. Bisa kan?" tanyaku.Gandhy menyahut, "Oke, nanti aku akan bikin jadwak biar kita sama-sama nyaman."Gandhy kemudian melirik ke arah bagian sepatu, "Ada tamu ya?""Ya. Ya sudah masuk aja."Gandhy kemudian masuk dan langsung saja bertatap muka dengan Aaron yang sedang main dengan Fuchsia. Namun, Gandhy memutus pandangannya dan langsung beralih melihat Fuchsia."Fuchsia, Sayang."Fuchsia mendekat ke arah Gandhy. "

  • Talak Aku, Mas!   92. Rencana Masa Depan

    "Nggak apa-apa, Ma," sahutku malu luar biasa."Assalamualaikum," ujar Aaron yang diiikuti oleh kedua orang tuanya."Waalaikumsalam," jawab kami bersamaan."Mari masuk!" ajak papa.Dan setelah itu, kurasa aku tak akan pernah lagi memiliki waktu untuk memikirkan hal lain selain memikirkan masalah Fuchsia dan juga orang baru yang telah menyatakan dirinya ingin segera menikahiku.Perbincangan itu pun bergulir dengan begitu santai. Tak pernah aku sangka jika ternyata kedua orangtua Aaron juga bisa berbahasa Indonesia dengn sangat baik sehingga tak ada masalah komunikasi yang terjadi antara orangtuaku dan orangtua Aaron. Sebagai seorang wanita yang sedang dilamar, aku tak terlalu banyak bersuara. Aku hanya akan berbicara ketika ditanya, seperti Aaron. Namun, hal lain yang membuatku masih agak terkejut adalah Fuchsia yang terlihat begitu nyaman duduk di sebelah Aaron. Sesekali dia berinteraksi dengan Aaron. Dan aku sempat melihat wajah hangat yang diitunjukkan oleh Mama Aaron."Sangat cant

  • Talak Aku, Mas!   91. Debat Kusir

    "Hei, please deh. Jangan ribut di rumah orang!" ujarku yang sudah malas sekali melihat drama yang terjadi di hadapanku sekarang ini.Deva terlihat menoleh ke arahku, "Ini semua gara-gara kamu, Ra. Kalau memang benar apa yang dikatakan sama Gandhy. Berarti kamu yang paling salah di sini."Semakin aku tidak mengerti apa lagi yang dipikirkan oleh wanita ini. Aku hanya menghela napas bosan sebagai sebuah tanggapan. Gandhy berkata, "Dev, kenapa sih kamu nggak berhenti nyalahin Zara. Dia itu nggak salah apa-apa. Dia bahkan nggak pernah menghubungi aku. Aku yang mau ke sini.""Iya. Tapi kalau Zara nggak berniat menghancurkan hubungan aku sama kamu, dia seharusnya nggak menerima kamu di sini, Ndy. Dia harusnya menolak kamu dan menutup komunikasi dengan kamu. Tapi apa nyatanya. Dia malah mempersilahkan kamu buat datang ke sini dan malah ngobrol berdua. Apa itu namanya kalau nggak mau hancurin hubungan kita? APA!?" teriak Deva.Aku tertawa sinis. Deva dan Gandhy langsung menoleh ke arahku. Kut

  • Talak Aku, Mas!   90. Kekacauan

    "Nggak apa-apa, Ma. Zara nggak apa-apa kok," jawabku."Beneran, Ra? Kamu yakin?" tanya mama, terlihat tidak yakin saat menatapku.Aku mengangguk, "Zara baik-baik aja, Ma. Hanya kesal aja sih, Ma.""Dia ngapain aja, Ra? Kamu diapain aja sama dia?" tanya mama seperti menginterogasiku.Aku tersenyum kepadanya, "Nggak diapa-apain kok, Ma. Zara cuman tadi ngobrol sama di. Gitu doang.""Ngobrolin apa sampai kamu tuh kelihatan nggak semangat banget kaya tadi, Ra?""Dia nuduh Zara sudah bikin Gandhy nggak perhatian sama dia. Dia juga bilang kalau Zara itu yang pengaruhi Gandhy dan ingin balik sama dia," jelasku.Mama sontak berkata dengan ekspresi kaget tapi lebih terkesan jengkel, "Kok bisa dia mikir begitu? Apa dia kira kamu masih suka sama Gandhy? Aneh banget.""Kayanya begitu. Dia itu ngira Zara belum menikah lagi karena masih suka sama Gandhy dan berharap kembali sama si Gandhy, Ma.""Astagfirullah. Apa dikiranya semua orang itu suka sama si Gandhy apa? Dia pikir Gandhy udah paling-palin

DMCA.com Protection Status