POV ZaraBeberapa hari yang lalu, percakapan kami mengenai perusahaan travel yang akan dikembangkan itu tak menemui titik temu sehingga aku pun mulai kembali lagi berusaha mencari pekerjaan.Telah aku kirim lamaranku ke berbagai perusahaan dan tak memilih-milih jenis perusahaan seperti apa. Tabunganku memang masih ada untuk beberapa bulan namun aku tak ingin bersantai karena kebutuhan anakku itu terkadang tidak terduga.Sebagai seorang ibu pasti tak ingin jika anaknya mendapatkan kekurangan dalam hal apapun sehingga aku pun juga bersikap demikian. Aku tak pernah bisa menolak jika anakku meminta sesuatu karena bagiku yang terpenting adalah kebahagiaannya tercapai."Kamu yakin mau lamar kerja lagi, Ra?" tanya Alea yang sedang berada di rumahku melihatku sedang mengetik lamaran menggunakan laptop."Ya mau gimana lagi, Al. Aku nggak mungkin kan hidup hanya mengandalkan tabungan?"Alea yang sedang tiduran di atas kasurku itu berkata, "Aku ada teman nih yang lagi butuh jasa tour guide. Kamu
Rupanya Alea tak jadi menginap di rumahku lantaran suaminya menjemputnya tak lama setelah itu. Aku lega sekali melihat ternyata mereka tak memiliki masalah. Agaknya Alea sangat beruntung sekali mendapatkan pria yang begitu bertanggung jawab seperti suaminya itu dan aku pun turut bahagia untuknya.Keesokan harinya, kira-kira pada pukul sepuluh pagi aku dikejutkan dengan kedatangan Dimas yang baru saja memarkirkan mobilnya di depan rumahku.Masih dipenuhi dengan rasa kagetku, segera saja aku berkata pada mama, "Ma, Tolong bilang sama Dimas kalau Zara nggak ada di rumah."Mama yang baru saja selesai memasak itu menjawab, "Kamu minta Mama buat bohong sama dia?"Aku yang sedang menggendong Fuchsia itu menyahut, "Ma. Dimas itu sudah jadi suami orang. Zara rasa nggak baik jika Zara itu nemuin dia. Zara nggak mau kalau dituduh jadi orang ketiga dalam rumah tangga orang lain."Mama menjawab, "Tapi menghindar itu bukanlah pilihan yang terbaik, Ra. Seharusnya paling tidak kamu temuin dia sekara
"Ma, Dimas. Dimas, Ma," ujarku sambil menangis tak terkira.Segala kesedihanku menguasai hatiku sekarang hingga aku bahkan tak tahu bagaimana caranya untuk mengungkapkannya.Yang aku rasakan adalah rasa kehilangan yang begitu amat dalam dan rasa penyesalan yang begitu menguat."Dimas kenapa, Ra?""Dimas kecelakaan, Ma. Dia meninggal dan sebentar lagi mau dimakamkan."Aku kembali menangis di pelukan mama. Aku tak bisa menahannya karena memang jauh di dalam lubuk hatiku aku sangat merasa kepergiannya jadi sebuah pukulan berat untukku."Innalilahi wa innalillaihi ro jiun," ujar mama."Zara mau ke sana, Ma. Zara titip Fuchsia.""Tunggu, Nduk. Kamu mau ke sana sendirian? Kamu nggak apa-apa sendiri? Apa kamu nggak ajak teman kamu aja?" ucap mama.Aku menggigit bibir bawahku dan kemudian langsung saja menghubungi Alea yang masih berada di kota ini. Dan hebatnya lagi, Alea malah berkata akan menjemputku dan benar saja dia datang dalam waktu 15 menit kemudian.Alea sudah bisa menyetir mobil se
"Kamu ini ngomong apaan sih, Ra? Sudah, ini jelas bukan salah kamu. Kamu sama Dimas itu hanya korban keegoisan orang tua Dimas. Kalaupun ada yang bisa disalahkan atas kejadian ini ya orang tuanya sendiri. Tapi sekali lagi, meskipun semuanya terjadi seperti ini, kematian manusia itu mutlak menjadi rahasia Allah."Alea berhenti sejenak setelah mengatakan hal itu kepadaku.Aku terpaku saat dia mengatakannya karena jujur saja sekarang ini hatiku sedang kacau luar biasa jadi bahkan aku tak bisa berpikir jernih mengenai hal apapun termasuk akan ketetapan Allah."Berhentilah menyalahkan diri kamu sendiri dan bertanya-tanya kenapa semua ini sampai terjadi karena jika kamu melakukannya berarti kamu sama dengan mempertanyakan apa yang sudah menjadi ketentuan Allah. Kamu ngerti kan, Ra?" ucap Alea dengan ekspresi tenang sambil menatapku dengan sorot matanya yang terlihat sedih itu.Aku mengangguk lalu mulai mencoba untuk menguatkan hatiku sendiri sebelum akhirnya mulai makan. Alea benar, aku har
Rasa salahku pun kian memuncak setelah aku mengajak anakku berbicara. Benar, aku telah berbuat kesalahan yang besar dengan membiarkan anakku merasa kesepian. Maka, aku memutuskan untuk lebih banyak meluangkan waktuku untuk Fuchsia.Usai memikirkan banyak hal mengenai bagaimana caranya aku membagi waktu, aku pun memutuskan untuk menghubungi Anindia untuk membicarakan aku bergabung dengan mereka. Keputusan ini aku ambil berdasarkan pertimbangan yang begitu matang. Aku berpikir jika aku mendapatkan pekerjaan lain yang pastinya nanti akan menyita waktu, aku jadi kekurangan waktu dengan anakku.Namun, jika aku bekerja di tempat perusahaan travel milik Anindia, kemungkinan besar aku masih bisa meluangkan banyak waktu ku untuk gadis kecilku.Maka sekarang ini aku sedang menuju ke tempat Anindia mendirikan perusahaan travel itu. Dengan mudah aku bisa menemukan tempatnya yang ternyata berupa sebuah ruko berlantai 2 yang bisa dikatakan cukup besar.Segera aku memarkir motorku di tempat parkir
Pagi berikutnya, sesuai dengan jadwal, aku menjemput pria asal Thailand itu bersama dengan Arga, seorang sopir yang telah bekerja di Ans Travel sejak travel ini berdiri."Mbak, tumben Mbak Zara yang ambil. Biasanya Mbak Zara kan lebih suka ambil client dari Eropa atau Amerika," celetuk Arga.Aku membenarkan letak dudukku dan menjawab, "Kebetulan saja aku sekarang pas lagi nggak ada client luar, makannya dikasih yang dari Thailand.""Oh, pantas saja. Tapi ini tamunya saya lihat nggak terlalu banyak maunya ya Mbk. Saya baca di jadwalnya kayanya memang maunya santai," ucap Arga."Ya semoga dia berubah berpikiran menjadi client yang nyebelin," candaku.Tak terasa kami sudah tiba di stasiun kereta api. Aku segera memasang papan jemput bertuliskan nama pria itu. Aaron Kittibun. Meskipun aku bisa saja menghubunginya melalui panggilan saluran aplikasi chatting, namun untuk jaga-jaga aku tetap menggunakan cara lama saat menjemput turis.Hal ini dikarenakan kita tidak akan pernah tahu jika ada
Arga tersenyum kepadaku yang sontak aku balas dengan sebuah pelototan tajam. Anak muda ini memang cukup menjengkelkan.Dia ini memang tak hanya sekali dua kali menggodaku seperti itu. Pasalnya, dia memang tahu jika statusku memanglah seorang janda.Dia pun beberapa kali berusaha untuk mengenalkanku pada pria lajang. Dia bahkan lebih bersemangat dibandingkan dengan Tya, Anindia dan juga Marlina soal menjodohkanku itu."Eh, Mbak Zara. Nggak boleh marah. Kan Mas Aaron malah lagi memuji Mbak.""Heh, itu kita sudah mau sampai. Nyetir yang benar dulu deh," ucapku pada Aaron.Aku tak berani melirik ke arah kursi belakang karena takut jika nanti malah ada salah paham.Ketika kami sudah sampai di hotel tempat Aaron akan beristirahat setelah perjalanan panjangnya dari Bangkok."Mari ikut saya!" ajakku pada Aaron.Tanpa berkata apapun dia langsung saja mengikutiku untuk mengurus check-in.Prosesnya berjalan dengan cukup lancar karena kebetulan saja hotel ini adalah salah satu hotel yang sering s
"Ya kalau memang gitu ya tinggal mundur. Tapi kan paling tidak kamu sudah berusaha duluan jadi kan setidaknya kamu tahu lah," ujar Tya.Aku memutar bola mataku malas, "Nggak mau. Daripada coba-coba seperti itu dan belum juga jelas hasilnya, lebih baik aku melindungi hatiku. Nggak ada yang bisa melindungi hati aku sendiri selain aku."Marlina menanggapi, "Ya tapi sayang banget loh kalau dilewatkan. Kamu tahu nggak dari biodatanya aja udah jelas kalau dia itu cukup mapan. Dia ini ...."Aku sontak menyelanya, "Stop!" Just stop!""What!? Aku bahkan belum bilang apa-apa," sahut Marlina heran."Aku sudah tahu apa yang ingin kamu katakan," balasku cepat.Marlina terlihat menatapku dengan alis sebelah yang terangkat, "Memang kamu tahu dari mana? Kamu kan nggak bisa baca pikiran aku kaya Edward Cullen."Aku menoleh ke arah sahabatku yang berambut keriting itu dan membalas, "Nggak perlu jadi Edward Cullen untuk tahu apa yang ada di dalam kepala kamu."Marlina menanggapi, "Hm. Mencurigakan. Atau
"Ya. Aku tentu menyukainya, Ndy. Karena kalau tidak, mana mungkin aku mau menikah dengannya," ujarku yang telah tak bisa lagi membiarkan Gandhy terus-menerus menggangguku.Saat aku mengatakannya, wajah Gandy terlihat mengeras. Dia terdiam beberapa saat lamanya sampai aku lelah sendiri menunggunya sehingga aku berkata, "Aku kerja dulu ya, Ndy. Kalau mau ketemu Fuchsia, kamu tunggu aja. Dia udah bangun kok."Saat aku melangkah, ia mendadak berkata, "Maafin aku ya, Ra! Atas semua masalah yang aku timbulkan. Mungkin ini waktunya aku menyerah."Aku tertegun, tentu saja. Tak pernah terkira aku akan mendapatka permintaan maaf dari Gandhy yang notabene adalah orang yang anti sekali mengakui kesalahannya dan malah seakan tak pernah merasa bersalah padahal telah berbuat salah. "Aku benar-benar minta maaf atas tindakan dan sikap aku yang telah membuatmu terganggu selama ini, Ra. Aku tahu aku pasti udah bikin kamu nggak nyaman. Aku hanya masih sulit menerima jika kamu akan menjadi milik orang la
Jawaban dari pertanyaan Aaron tentu saja adalah iya. Namun, tentu aku tak langsung berkata lantang mengenai hal itu. Aku memilih untuk menyimpan keraguan kepadanya dan bertanya tentang hal lain, yang mungkin bisa saja membuat kepercayaanku kembali lagi."Aaron, saya bukannya meragukan kamu. Tapi ada sesuatu yang mengganggu pikiran saya," jawabku.Aaron membalas, "Apa? Beritahu saya, Zara!"Aku tersenyum tipis, "Boleh saya jujur sekaligus bertanya sama kamu?""Tentu saja boleh. Bukankah kita sebentar lagi akan hidup berdua? Kamu berhak bertanya hal apapun."Kuanggukkan kepalaku sebelum kemudian berkata pelan, "Tadi salah satu teman kerja aku, menemukan akun instagram lama kamu. Dan saya agak terkejut kamu nggak pernah menceritakan itu sama saya. Pertanyaan saya, kenapa kamu menyembunyikan hal itu dari saya?"Saat aku mengamati Aaron, jelas sekali ekspresi wajahnya yang tadi tampak tenang itu kini terlihat gusar."Jadi, kamu sempat melihatnya?" tanya Aaron.Aku mengangguk sekali lagi.A
"Ya dijual. Aaron bilang itu restorannya harus dijual," jawabku."Hah? Dijual? Apa nggak rugi? Nggak sayang, Ra?" tanya Andindia yang mengerti bagaimana susahnya menjalankan sebuah usaha. Aku sangat paham akan hal itu. Terlebih lagi kulihat sorot matanya ada sebuah ketidakrelaan yang ia perlihatkan dengan jelas."Iya pasti sayang banget, Nind. Tapi itu udah jadi keputusan dia jadi ya aku nggak bisa ikut campur," jawabku.Tya berdecak, "Lha apa nggak ada sanak saudaranya yang bisa mengurus usahanya itu, Ra? Aku masih agak gimana gitu kalau dijual."Aku menjawab, "Keluarganya yang lain itu punya usaha-usaha sendiri jadi ya nggak ada yang urus.""Walah. Sayang banget!" seru Anindia.Marlina bertepuk tangan, "Semua itu dilakukan demi perasaan yang dinamakan 'Love'. Ah, aku iri sekali jadinya sama kamu, Ra. Dicintai dengan begitu besar sama lelaki yang rela melakukan apapun demi kamu. Wow, that's so sweet, you know."Aku hanya diam, agak malu."Kamu benar-benar sangat beruntung banget, Ra.
"Ya ngapain juga aku bohong sama kamu, Al. Aneh-aneh aja kamu tuh," sahutku cepat.Kulihat Alea tersenyum, "Duh, dia tuh idaman banget, Ra."Aku menaikkan sebelah alisku menatap Alea, menunggu ia melanjutkan kata-katanya.Alea yang selalu dengan mudah memahami arti dari setiap sikapku itu langsung saja berkata, "Dia sangat dewasa, Ra. Ini nih ya, kalau cowok lain ya dia pasti akan berantem sama Gandhy. Terus kamu juga akan ditekan buat lebih tegas sama Gandhy dan malah bisa-bisa dia nggak kasih izin sama Gandhy buat ketemu Fuchsia."Aku sedikit terkejut mendengar apa yang dikatakan Alea."Tapi, Al. Aku lihat banyak juga kok yang bersikap kaya Aaron. Banyak juga yang masih kasih izin buat mantan suami ketemu sama anak hasil dari pernikahan si istri sebelumnya. Lagi pula, kan nggak ada hak dia larang-larang," ujarku.Alea menjawab, "Langka, Ra. Swear deh. Kamu cari tuh cowok macam Aaron di belahan dunia lain, pasti kamu kesulitan nyari."Aku terdiam. Alea melanjutkan, "Yakin deh. Kamu i
"Duh, memang ngomong sama kamu itu susah banget ya," ujarku putus asa, merasa sagat percuma berbicara dengan Gandy sekarang."Zara, aku itu hanya mau yang terbaik buat Fuchsia."Aku menggelengkan kepalaku."Kamu bahkan nggak tahu apa yang terbaik bagi Fuchsia. Kamu hanya memikirkan tentang dirimu sendiri. Kamu nggak pernah mau tahu mana yang baik dan buruk bagi Fuchsia," ujarku."Yang terbaik bagi Fuchsia itu ya dia hanya dekat dengan papa kandungnya saja."Aku tertawa. Tawa hambar yang kuperlihatkan pada Gandhy."Seharusnya kamu melakukan hal itu sejak dua tahun lalu. Bukannya baru berbicara sekarang. Ke mana saja kamu saat itu? Kamu aja nggak peduli sama anak kamu kok," ujarku."Kenapa sih kamu mengungkit hal itu lagi, Ra? Kamu masih dendam kepadaku?" tanyanya.Tak percaya aku dengan perkataanya yang semakin membuatku ingin sekali dia segera saja pulang dari rumahku."Lebih tepatnya aku heran bagaimana bisa kamu yang telah melakukan kesalahan besar tapi tak mau berkaca dan instropek
"Ada apa ke sini?" tanyaku sinis.Sengaja aku langsung menyambutnya. Hal ini bukan karena aku senang bertemu dengannya tapi karena aku masih sangat kesal sekali dengannya. Ini tentu berkaitan dengan pertemuan kami yang terakhir kemarin. Pertemuan yang membuatku muak karena kedatangan Deva yang tiba-tiba dan mengacaukan mood-ku."Loh kok ada apa sih, Ra? Kan kata kamu kemarin aku boleh datang jenguk Fuchsia kapan aja. Kamu bilang nggak akan halangin aku buat ketemu dia," ujarnya baru saja melepaskan helm."Ya, tapi bukan berarti terlalu sering. Mending kamu bikin jadwal aja deh. Bisa kan?" tanyaku.Gandhy menyahut, "Oke, nanti aku akan bikin jadwak biar kita sama-sama nyaman."Gandhy kemudian melirik ke arah bagian sepatu, "Ada tamu ya?""Ya. Ya sudah masuk aja."Gandhy kemudian masuk dan langsung saja bertatap muka dengan Aaron yang sedang main dengan Fuchsia. Namun, Gandhy memutus pandangannya dan langsung beralih melihat Fuchsia."Fuchsia, Sayang."Fuchsia mendekat ke arah Gandhy. "
"Nggak apa-apa, Ma," sahutku malu luar biasa."Assalamualaikum," ujar Aaron yang diiikuti oleh kedua orang tuanya."Waalaikumsalam," jawab kami bersamaan."Mari masuk!" ajak papa.Dan setelah itu, kurasa aku tak akan pernah lagi memiliki waktu untuk memikirkan hal lain selain memikirkan masalah Fuchsia dan juga orang baru yang telah menyatakan dirinya ingin segera menikahiku.Perbincangan itu pun bergulir dengan begitu santai. Tak pernah aku sangka jika ternyata kedua orangtua Aaron juga bisa berbahasa Indonesia dengn sangat baik sehingga tak ada masalah komunikasi yang terjadi antara orangtuaku dan orangtua Aaron. Sebagai seorang wanita yang sedang dilamar, aku tak terlalu banyak bersuara. Aku hanya akan berbicara ketika ditanya, seperti Aaron. Namun, hal lain yang membuatku masih agak terkejut adalah Fuchsia yang terlihat begitu nyaman duduk di sebelah Aaron. Sesekali dia berinteraksi dengan Aaron. Dan aku sempat melihat wajah hangat yang diitunjukkan oleh Mama Aaron."Sangat cant
"Hei, please deh. Jangan ribut di rumah orang!" ujarku yang sudah malas sekali melihat drama yang terjadi di hadapanku sekarang ini.Deva terlihat menoleh ke arahku, "Ini semua gara-gara kamu, Ra. Kalau memang benar apa yang dikatakan sama Gandhy. Berarti kamu yang paling salah di sini."Semakin aku tidak mengerti apa lagi yang dipikirkan oleh wanita ini. Aku hanya menghela napas bosan sebagai sebuah tanggapan. Gandhy berkata, "Dev, kenapa sih kamu nggak berhenti nyalahin Zara. Dia itu nggak salah apa-apa. Dia bahkan nggak pernah menghubungi aku. Aku yang mau ke sini.""Iya. Tapi kalau Zara nggak berniat menghancurkan hubungan aku sama kamu, dia seharusnya nggak menerima kamu di sini, Ndy. Dia harusnya menolak kamu dan menutup komunikasi dengan kamu. Tapi apa nyatanya. Dia malah mempersilahkan kamu buat datang ke sini dan malah ngobrol berdua. Apa itu namanya kalau nggak mau hancurin hubungan kita? APA!?" teriak Deva.Aku tertawa sinis. Deva dan Gandhy langsung menoleh ke arahku. Kut
"Nggak apa-apa, Ma. Zara nggak apa-apa kok," jawabku."Beneran, Ra? Kamu yakin?" tanya mama, terlihat tidak yakin saat menatapku.Aku mengangguk, "Zara baik-baik aja, Ma. Hanya kesal aja sih, Ma.""Dia ngapain aja, Ra? Kamu diapain aja sama dia?" tanya mama seperti menginterogasiku.Aku tersenyum kepadanya, "Nggak diapa-apain kok, Ma. Zara cuman tadi ngobrol sama di. Gitu doang.""Ngobrolin apa sampai kamu tuh kelihatan nggak semangat banget kaya tadi, Ra?""Dia nuduh Zara sudah bikin Gandhy nggak perhatian sama dia. Dia juga bilang kalau Zara itu yang pengaruhi Gandhy dan ingin balik sama dia," jelasku.Mama sontak berkata dengan ekspresi kaget tapi lebih terkesan jengkel, "Kok bisa dia mikir begitu? Apa dia kira kamu masih suka sama Gandhy? Aneh banget.""Kayanya begitu. Dia itu ngira Zara belum menikah lagi karena masih suka sama Gandhy dan berharap kembali sama si Gandhy, Ma.""Astagfirullah. Apa dikiranya semua orang itu suka sama si Gandhy apa? Dia pikir Gandhy udah paling-palin