"Tidak. Mana bisa ini dianggap mencuri? Hartanya kan juga masih hartaku juga. Oke, aku masih memiliki hak untuk ini juga. Lagi pula, dia juga tak pernah menganggap ini penting kan? Dia saja juga menaruhnya sembarangan di sini," gumamku.Setelah meyakinkan diriku sendiri aku lalu meminta pamanku untuk membantuku mengangkat barang-barang itu ke luar dari kamar itu. Aku pandangi sekali lagi tempat itu untuk yang terakhir kalinya karena aku tahu sekarang adalah terakhir kalinya aku di sana. Bagaimana pun juga, meskipun aku tak terlalu lama tinggal di kamar itu. Masa-masa awal pernikahanku juga di saat aku hamil serta masa kecil Fuchsia banyak dihabiskan di kamar itu.Meskipun tak banyak kenangan yang indah di dalam kamar itu, tapi setidaknya memang ada beberapa kenangan yang cukup membuatku terharu. Aku tak sampai menitikan air mataku ketika meninggalkan kamar itu dan duduk di ruang tamu karena saat ini Bapak Mertuaku yang sebentar lagi akan resmi menjadi mantan Bapak Mertuaku itu sudah
Aku berperang dengan diriku sendiri yang ragu dengan keputusanku ini tetapi mengingat aku belum memiliki cara lain untuk bertahan hidup selain menjual cincin itu, aku memutuskan untuk membuang rasa cemasku itu dan cepat-cepat pergi dari tempat penggadaian itu.Uang yang ada di tanganku sekarang cukup besar, aku mengira-ngira uang itu cukup untuk hidup kami berdua selama beberapa bulan jika aku bisa menghemat.Aku tak lupa juga membelikan mainan baru untuk Fuchsia yang sudah jarang aku belikan mainan. Gadis kecilku itu bermain dengan riang ketika mendapatkan mainan barunya dan aku pun tak bisa menahan rasa bahagiaku ketika melihat anakku satu-satunya itu tertawa."Sia, coba hadap sini sebentar. Mama mau photo Fuchsia," ujarku pada anakku itu.Gadis yang suka sekali difoto itu langsung saja menoleh ke arahku dan mulai bergaya. Dengan cepat aku mengambil beberapa foto anakku dan kemudian memajangnya di dalam status di aplikasi chatting.'Fuchsia-ku', aku tulis begitu di bawah foto Fuchsia
Aku masih belum pergi dari tempat mesin ATM itu dan menunggu balasan dari Gandhy. Aku dengan cepat membukanya ketika dia membalasnya beberapa menit kemudian. Jawabannya semakin membuatku jengkel.Gandhy: 'Lagi sepi. Nanti aku transfer lagi kalau udah ada. Tapi tolong kirimin photo dan video Fuchsia dulu.'Aku: 'Photo dan video? Ini maksudnya kamu nggak akan mau kirimin uang kalau aku nggak mau kasih photo dan video Fuchsia?'Gandhy: 'Mikir jelek aja terus.'Kekesalanku sedang berada di ubun-ubun padahal jelas-jelas aku berkali-kali melihat status miliknya yang seringkali dia pergi ke luar untuk makan. Kalau dia saja masih bisa bersenang-senang di luar rumah, kenapa dia tidak bisa mengirim anaknya uang dengan jumlah yang cukup?Aku semakin tak bisa menahan rasa kesalku terhadap pria yang telah membuatku mulai membencinya itu."Astaga, kenapa dia sangat brengsek sekali? Ya Tuhan, kenapa aku dulu bisa bertemu dengan manusia semacam dia?" gumamku.Namun, setelah tersadar jika ucapanku itu
"Nggak ah, Al. Aku membayangkannya saja ngeri," ucapku.Alea berkata, "Loh, kenapa malah kamu yang ngeri? Kan kamu senang kalau misalnya dia mendapatkan balasan dari apa yang dia perbuat? Tahu nggak sih, Ra. Sanksi sosial itu memang harus diberikan pada orang-orang macam perebut suami ataupun istri orang lain."Aku memikirkan ucapan Alea tetapi tetap saja aku rasanya tidak akan mungkin bisa melakukan hal semacam itu."Aku nggak bisa, Al," ucapku.Kudengar Alea mendesah, "Kenapa nggak bisa? Mereka itu harus dikasih pelajaran dan salah satu pelajaran yang bisa kita kasih ke mereka itu ya dengan cara ini. Biar saja semua orang tahu."Aku menatap sahabatku itu lalu berujar, "Al, kalau aku viralin kasus ini dan semua orang tahu, aku juga yang akan malu.""Loh, kok jadi kamu yang malu? Kan mereka yang salah. Mereka yang sudah berani menjalin hubungan di belakang kamu. Mereka dong yang harus malu. Kamu nggak salah apa-apa kok," ujar Alea.Aku menggelengkan kepalaku, "Iya, tapi apa kamu itu lu
"Nggak sih, sebenarnya bisa dibilang mungkin aku yang lebay aja, Ra," ucap Alea lalu dia menghapus air matanya.Aku menaikkan alisku heran. Teman baikku yang satu itu benar-benar luar biasa aneh. Beberapa detik yang lalu dia baru saja menangis tersedu-sedu sampai aku langsung cemas, tetapi sekarang ini dia kembali tersenyum konyol. "Kamu ini gimana sih?" ucapku mulai sebal.Alea tertawa kecil, "Uh, itu hanya masalah Mas Rangga yang sering banget maksain keinginan dia.""Maksain keinginan dia gimana?"tanyaku lagi.Alea mengerucutkan bibirnya, "Dia nyuruh aku buat manjangin rambutku tetapi aku nggak mau. Kesel banget aku itu. Aku mau potong rambut di salon yang baru aja buka di salah satu mall gitu, eh dia nggak mau nganterin. Kan bikin jengkel dia."Aku menatap tak percaya setelah mendengar ocehan Alea."Astaga, Ra. Kamu ini, aku kira apaan tahu nggak sih?" ucapku sambil menggelengkan kepalaku.Alea tertawa kecil."Omong-omong kamu tadi ke sini diantar sama suami kamu?" tanyaku yang sa
"Mbak, Mbak. Sudah bawa persyaratannya?" tanya seorang petugas di bagian pendaftaran.Aku baru saja tersadar dari lamunanku."Oh, syarat? Saya belum membawanya, Pak. Saya ke sini mau tanya tentang persyaratan dan juga biayanya dulu, Pak," ujarku."Oh, begitu. Sebentar kalau begitu," ucap petugas yang aku taksir usianya mungkin tak jauh berbeda denganku."Ini yang mengajukan pihak Anda atau suami, Mbak?" tanya petugas itu."Saya, Pak," jawabku pelan.Aku melihat dia lalu menulis sesuatu di atas kertas itu dan tak lama kemudian, dia menyerahkannya kepadaku."Ini, Mbak. Persyaratannya sudah saya tulis di kertas itu ya beserta biayanya," ucap petugas itu."Terima kasih, Pak," ucapku lalu mulai membaca kertas itu."Kalau masih bingung, bisa ditanyakan pada saya," ucapnya.Aku mengangguk dan mengerutkan dahiku, "Pak, ini jadi harus ada surat pengantar dari desa ya?""Benar, Mbak," jawabnya.Aku kembali meneguk salivaku dalam-dalam.Astagfirullah, ini sama saja aku dengan tidak sengaja member
Aku ingin sekali membalas ucapan orang itu tetapi aku berusaha membuat diriku sabar. Masalahnya, orang itu seusia papaku dan juga dia adalah salah satu perangkat desa. Jika aku menanggapi omongannya yang tidak enak, nantinya pasti akan canggung sekali saat aku pergi ke kantor desa lagi.Maka, dari pada aku terlibat pertengkaran tidak jelas, aku memilih untuk segera cabut dari kantor desa dan langsung menuju ke tempat rental komputer yang letaknya dekat dengan tempatku bersekolahku dulu."Mas, tolong dong ini difotocopy, masing-masing lima ya Mas," ucapku."Baik, Mbak. Kertasnya biasa ya?" tanya Mas penjaga."Biasa aja, Mas. Oh iya, komputernya ada yang kosong nggak Mas? Saya mau cetak photo," ujarku."Ada, Mbak. Yang komputer paling ujung, Mbak," sahut Mas penjaga."Oke, Mas."Aku melangkahkan kakiku menuju komputer itu dan mulai mencetak beberapa photo. Foto yang aku maksud itu adalah foto bukti perselingkuhan Mas Gandhy dan Deva. Aku mencetak semuanya tanpa aku lewatkan sedikitpun s
Setelah mempertimbangkan banyak hal, akhirnya aku memilih untuk berhenti berjualan roti. Memang benar apa yang dikatakan oleh Mama dan juga Mbah Uti, tubuhku rasanya tidak kuat jika harus berkeliling untuk menjual roti-roti itu. Selain itu, waktu yang kuhabiskan pun lebih banyak sehingga membuat anakku rasanya seperti kehilangan banyak waktu denganku. Jadi, aku sekarang lebih memfokuskan diriku untuk mengambil lebih banyak job sebagai seorang pengajar les privat. Sebenarnya, ini bukan semata-mata karena aku malu berjualan roti itu tetapi lebih pada kesehatanku serta waktuku. Namun, memang ternyata ketika aku berhenti Mama dan Mbah Uti begitu lega. "Zara, mau daftar ke pengadilan dulu, Ma," pamitku yang sudah selesai menyiapkan semua berkas gugatan cerai. Mama terlihat memandangku dengan tatapan sayunya, dia berujar pelan sambil duduk di salah satu kursi yang kosong. "Mama sebenarnya nggak pernah menyangka kalau rumah tangga kamu harus berakhir seperti ini. Perceraian itu memang
"Ya. Aku tentu menyukainya, Ndy. Karena kalau tidak, mana mungkin aku mau menikah dengannya," ujarku yang telah tak bisa lagi membiarkan Gandhy terus-menerus menggangguku.Saat aku mengatakannya, wajah Gandy terlihat mengeras. Dia terdiam beberapa saat lamanya sampai aku lelah sendiri menunggunya sehingga aku berkata, "Aku kerja dulu ya, Ndy. Kalau mau ketemu Fuchsia, kamu tunggu aja. Dia udah bangun kok."Saat aku melangkah, ia mendadak berkata, "Maafin aku ya, Ra! Atas semua masalah yang aku timbulkan. Mungkin ini waktunya aku menyerah."Aku tertegun, tentu saja. Tak pernah terkira aku akan mendapatka permintaan maaf dari Gandhy yang notabene adalah orang yang anti sekali mengakui kesalahannya dan malah seakan tak pernah merasa bersalah padahal telah berbuat salah. "Aku benar-benar minta maaf atas tindakan dan sikap aku yang telah membuatmu terganggu selama ini, Ra. Aku tahu aku pasti udah bikin kamu nggak nyaman. Aku hanya masih sulit menerima jika kamu akan menjadi milik orang la
Jawaban dari pertanyaan Aaron tentu saja adalah iya. Namun, tentu aku tak langsung berkata lantang mengenai hal itu. Aku memilih untuk menyimpan keraguan kepadanya dan bertanya tentang hal lain, yang mungkin bisa saja membuat kepercayaanku kembali lagi."Aaron, saya bukannya meragukan kamu. Tapi ada sesuatu yang mengganggu pikiran saya," jawabku.Aaron membalas, "Apa? Beritahu saya, Zara!"Aku tersenyum tipis, "Boleh saya jujur sekaligus bertanya sama kamu?""Tentu saja boleh. Bukankah kita sebentar lagi akan hidup berdua? Kamu berhak bertanya hal apapun."Kuanggukkan kepalaku sebelum kemudian berkata pelan, "Tadi salah satu teman kerja aku, menemukan akun instagram lama kamu. Dan saya agak terkejut kamu nggak pernah menceritakan itu sama saya. Pertanyaan saya, kenapa kamu menyembunyikan hal itu dari saya?"Saat aku mengamati Aaron, jelas sekali ekspresi wajahnya yang tadi tampak tenang itu kini terlihat gusar."Jadi, kamu sempat melihatnya?" tanya Aaron.Aku mengangguk sekali lagi.A
"Ya dijual. Aaron bilang itu restorannya harus dijual," jawabku."Hah? Dijual? Apa nggak rugi? Nggak sayang, Ra?" tanya Andindia yang mengerti bagaimana susahnya menjalankan sebuah usaha. Aku sangat paham akan hal itu. Terlebih lagi kulihat sorot matanya ada sebuah ketidakrelaan yang ia perlihatkan dengan jelas."Iya pasti sayang banget, Nind. Tapi itu udah jadi keputusan dia jadi ya aku nggak bisa ikut campur," jawabku.Tya berdecak, "Lha apa nggak ada sanak saudaranya yang bisa mengurus usahanya itu, Ra? Aku masih agak gimana gitu kalau dijual."Aku menjawab, "Keluarganya yang lain itu punya usaha-usaha sendiri jadi ya nggak ada yang urus.""Walah. Sayang banget!" seru Anindia.Marlina bertepuk tangan, "Semua itu dilakukan demi perasaan yang dinamakan 'Love'. Ah, aku iri sekali jadinya sama kamu, Ra. Dicintai dengan begitu besar sama lelaki yang rela melakukan apapun demi kamu. Wow, that's so sweet, you know."Aku hanya diam, agak malu."Kamu benar-benar sangat beruntung banget, Ra.
"Ya ngapain juga aku bohong sama kamu, Al. Aneh-aneh aja kamu tuh," sahutku cepat.Kulihat Alea tersenyum, "Duh, dia tuh idaman banget, Ra."Aku menaikkan sebelah alisku menatap Alea, menunggu ia melanjutkan kata-katanya.Alea yang selalu dengan mudah memahami arti dari setiap sikapku itu langsung saja berkata, "Dia sangat dewasa, Ra. Ini nih ya, kalau cowok lain ya dia pasti akan berantem sama Gandhy. Terus kamu juga akan ditekan buat lebih tegas sama Gandhy dan malah bisa-bisa dia nggak kasih izin sama Gandhy buat ketemu Fuchsia."Aku sedikit terkejut mendengar apa yang dikatakan Alea."Tapi, Al. Aku lihat banyak juga kok yang bersikap kaya Aaron. Banyak juga yang masih kasih izin buat mantan suami ketemu sama anak hasil dari pernikahan si istri sebelumnya. Lagi pula, kan nggak ada hak dia larang-larang," ujarku.Alea menjawab, "Langka, Ra. Swear deh. Kamu cari tuh cowok macam Aaron di belahan dunia lain, pasti kamu kesulitan nyari."Aku terdiam. Alea melanjutkan, "Yakin deh. Kamu i
"Duh, memang ngomong sama kamu itu susah banget ya," ujarku putus asa, merasa sagat percuma berbicara dengan Gandy sekarang."Zara, aku itu hanya mau yang terbaik buat Fuchsia."Aku menggelengkan kepalaku."Kamu bahkan nggak tahu apa yang terbaik bagi Fuchsia. Kamu hanya memikirkan tentang dirimu sendiri. Kamu nggak pernah mau tahu mana yang baik dan buruk bagi Fuchsia," ujarku."Yang terbaik bagi Fuchsia itu ya dia hanya dekat dengan papa kandungnya saja."Aku tertawa. Tawa hambar yang kuperlihatkan pada Gandhy."Seharusnya kamu melakukan hal itu sejak dua tahun lalu. Bukannya baru berbicara sekarang. Ke mana saja kamu saat itu? Kamu aja nggak peduli sama anak kamu kok," ujarku."Kenapa sih kamu mengungkit hal itu lagi, Ra? Kamu masih dendam kepadaku?" tanyanya.Tak percaya aku dengan perkataanya yang semakin membuatku ingin sekali dia segera saja pulang dari rumahku."Lebih tepatnya aku heran bagaimana bisa kamu yang telah melakukan kesalahan besar tapi tak mau berkaca dan instropek
"Ada apa ke sini?" tanyaku sinis.Sengaja aku langsung menyambutnya. Hal ini bukan karena aku senang bertemu dengannya tapi karena aku masih sangat kesal sekali dengannya. Ini tentu berkaitan dengan pertemuan kami yang terakhir kemarin. Pertemuan yang membuatku muak karena kedatangan Deva yang tiba-tiba dan mengacaukan mood-ku."Loh kok ada apa sih, Ra? Kan kata kamu kemarin aku boleh datang jenguk Fuchsia kapan aja. Kamu bilang nggak akan halangin aku buat ketemu dia," ujarnya baru saja melepaskan helm."Ya, tapi bukan berarti terlalu sering. Mending kamu bikin jadwal aja deh. Bisa kan?" tanyaku.Gandhy menyahut, "Oke, nanti aku akan bikin jadwak biar kita sama-sama nyaman."Gandhy kemudian melirik ke arah bagian sepatu, "Ada tamu ya?""Ya. Ya sudah masuk aja."Gandhy kemudian masuk dan langsung saja bertatap muka dengan Aaron yang sedang main dengan Fuchsia. Namun, Gandhy memutus pandangannya dan langsung beralih melihat Fuchsia."Fuchsia, Sayang."Fuchsia mendekat ke arah Gandhy. "
"Nggak apa-apa, Ma," sahutku malu luar biasa."Assalamualaikum," ujar Aaron yang diiikuti oleh kedua orang tuanya."Waalaikumsalam," jawab kami bersamaan."Mari masuk!" ajak papa.Dan setelah itu, kurasa aku tak akan pernah lagi memiliki waktu untuk memikirkan hal lain selain memikirkan masalah Fuchsia dan juga orang baru yang telah menyatakan dirinya ingin segera menikahiku.Perbincangan itu pun bergulir dengan begitu santai. Tak pernah aku sangka jika ternyata kedua orangtua Aaron juga bisa berbahasa Indonesia dengn sangat baik sehingga tak ada masalah komunikasi yang terjadi antara orangtuaku dan orangtua Aaron. Sebagai seorang wanita yang sedang dilamar, aku tak terlalu banyak bersuara. Aku hanya akan berbicara ketika ditanya, seperti Aaron. Namun, hal lain yang membuatku masih agak terkejut adalah Fuchsia yang terlihat begitu nyaman duduk di sebelah Aaron. Sesekali dia berinteraksi dengan Aaron. Dan aku sempat melihat wajah hangat yang diitunjukkan oleh Mama Aaron."Sangat cant
"Hei, please deh. Jangan ribut di rumah orang!" ujarku yang sudah malas sekali melihat drama yang terjadi di hadapanku sekarang ini.Deva terlihat menoleh ke arahku, "Ini semua gara-gara kamu, Ra. Kalau memang benar apa yang dikatakan sama Gandhy. Berarti kamu yang paling salah di sini."Semakin aku tidak mengerti apa lagi yang dipikirkan oleh wanita ini. Aku hanya menghela napas bosan sebagai sebuah tanggapan. Gandhy berkata, "Dev, kenapa sih kamu nggak berhenti nyalahin Zara. Dia itu nggak salah apa-apa. Dia bahkan nggak pernah menghubungi aku. Aku yang mau ke sini.""Iya. Tapi kalau Zara nggak berniat menghancurkan hubungan aku sama kamu, dia seharusnya nggak menerima kamu di sini, Ndy. Dia harusnya menolak kamu dan menutup komunikasi dengan kamu. Tapi apa nyatanya. Dia malah mempersilahkan kamu buat datang ke sini dan malah ngobrol berdua. Apa itu namanya kalau nggak mau hancurin hubungan kita? APA!?" teriak Deva.Aku tertawa sinis. Deva dan Gandhy langsung menoleh ke arahku. Kut
"Nggak apa-apa, Ma. Zara nggak apa-apa kok," jawabku."Beneran, Ra? Kamu yakin?" tanya mama, terlihat tidak yakin saat menatapku.Aku mengangguk, "Zara baik-baik aja, Ma. Hanya kesal aja sih, Ma.""Dia ngapain aja, Ra? Kamu diapain aja sama dia?" tanya mama seperti menginterogasiku.Aku tersenyum kepadanya, "Nggak diapa-apain kok, Ma. Zara cuman tadi ngobrol sama di. Gitu doang.""Ngobrolin apa sampai kamu tuh kelihatan nggak semangat banget kaya tadi, Ra?""Dia nuduh Zara sudah bikin Gandhy nggak perhatian sama dia. Dia juga bilang kalau Zara itu yang pengaruhi Gandhy dan ingin balik sama dia," jelasku.Mama sontak berkata dengan ekspresi kaget tapi lebih terkesan jengkel, "Kok bisa dia mikir begitu? Apa dia kira kamu masih suka sama Gandhy? Aneh banget.""Kayanya begitu. Dia itu ngira Zara belum menikah lagi karena masih suka sama Gandhy dan berharap kembali sama si Gandhy, Ma.""Astagfirullah. Apa dikiranya semua orang itu suka sama si Gandhy apa? Dia pikir Gandhy udah paling-palin