Pagi yang cerah mendadak gersang. Panas menyengat terasa menggigit kulit Dira. Sengatan tajam dan menyakitkan itu menerobos masuk hingga ke hatinya. Panas dan sangat menggerahkan, hingga Dira tak lagi menghiraukan panggilan Ria.Dengan menggeleng pelan, Ria hanya bisa menggerutu, “Kenapa lagilah anak itu. Udah ah, aku berangkat aja.”Beberapa saat kemudian, Dira melirik ke arah ruang tamu guna memastikan kepergian Ria. Segera menutup rapat pintu rumah dan menjatuhkan dirinya di atas sofa. Lelah, wajahnya begitu lelah hingga kini pundak dan kepalanya terkulai lemas di atas sandaran kursi.“Gilak, gilak, gilak! Dia cowon pertama yang berani nyentuh aku. Syukur enggak kena bogem tuh orang!” gerutu Dira yang tanpa sadar mengingat kembali momen dimana Daffin membelai lembut kepalanya.Seketika matanya berkaca-kaca, membayangkan masa kecilnya yang suram. Masa itu Dira mendapati kebahagiaannya. Dira kecil mendapat kasih sayang yang cukup dari ibu terutama ayahnya. Sebagai anak sulung berstat
Terbangun di tengah malam yang gelap hanya karena sebuah gigitan nyamuk. Berusaha melenyapkan biang pengusik dengan menepuk kuat. Mungkin berhasil mengusir pergi, namun tak lantas mampu mengembalikan rasa kantuk. Lelap seketika lenyap dengan mata yang menyala.Berbaring ke lain arah, meraih kain dan menutupi hingga ke wajah, namun tetap saja tak membuatku kembali tidur. Memejam paksa mata dan menanti lelap, namun justru telinga tajamku menangkap suara aneh.“Ih, suara apa itu?”Penasaran, gadis kecil itu segera keluar dari kelambu usang miliknya. Melangkah pelan dengan kaki kecilnya, mendekati pintu yang tak lagi memiliki pintu. Melirik ke kanan dan kiri mencari asal suara yang ternyata berasal dari ruang tengah.“Ayak?” gumam gadis yang tak lain adalah Dira kecil.“Mak ... cepat kalilah kau pergi ninggalin aku, Mak ....”Kalimat itu terus saja keluar dari mulut pria yang menjadi cinta pertamanya. Terduduk dengan wajah menunduk, wajahnya dipenuhi air mata kesedihan. Tangis kepedihan i
“Hei! Kenapa sih, murung terus daritadi?” tanya Ria yang merusak hayalan Dira.“Apanya kau!” ucap Dira dengan lirikan kesal.“Udah waktunya makan siang. Temani makan yuk! Ada warung makan enak kali loh, murah lagi,” pujuk Ria. Selaku teman serumah Dira, sepertinya Ria tahu kegundahan yang tengah Dira rasakan. Meski belum begitu lama tinggal bersama, namun Dira terlalu mudah memancarkan perasaan hati melalui wajahnya.“Yoklah! Aku yang bayarin deh.”Sontak saja lirikan Dira terlihat tak percaya dan curiga akan kebaikan Ria kepadanya. Gadis Medan yang satu ini sangat sulit menerima bantuan orang lain meskipun ia tengah sangat membutuhkan. Apalagi saat ini, hati dan pikirannya sedang tak karuan.“Is, aku pengen banget loh. Udah beberapa hari ini lidahku rindu masakan kampung. Hehehe, aku mau bayarin kali ini. Tapi besok-besok gantian ya, kamu yang bayari aku,” ucap Ria dengan santainya.Penjelasan singkat dengan nada malu-malu ini berhasil meluluhkan segala kecurigaan Dira. Meski menunju
“Apanya yang pemerintahan. Lihat tuh artis-artis yang pada datang. Hah! Palak kali ah kalok kek gini terus. Lama-lama jadi artis jugak aku. Ih, amit-amit! Yang penting jangan sampek anak sebijik itu datang jugak ke sini. Bisa repot aku nantinya,” gerutu Dira setelah tiba di sebuah hotel mewah.Kehadiran Dira di sana tak lain untuk sebuah pengawalan keamanan acara, karena akan dipenuhi oleh banyak pejabat negara. Tak terkecuali presiden. Acara penting ini akan berlangsung selama tiga hari dua malam. Tidak hanya pejabat, artis serta turis asing yang terdiri dari pejabat dan pengusaha hebat pun turut hadir. Pembukaan tempat wisata ini didasari oleh hampir seluruh kawasan Asia terutama bagian tenggara. Tak heran jika ada banyak patung dan tampilan yang menggambarkan khas sebuah negara. Seperti Jepang yang terkenal akan bentuk bangunan serta pohon sakuranya. Australia hewan kanggurunya hingga diletakkan sebuah kangguru asli yang telah dikeraskan. Indonesia dengan beragam baju dan makanan t
Menyadari ada keributan di bagian resepsionis, Dira segera menghampiri guna menanyakan apa yang terjadi.“Itu, Mba. Ibu yang ada di kamar 303 jatuh pingsan. Kami sedang menghubungi Dokter ini,” jelas salah satu petugas hotel tempat dimana Dira dan banyak tamu lainnya menginap.“Buk Devi!” seru Dira yang segera berlari menaiki lift menuju lantai tiga. Namun, sayang lift penuh dan kini masih berada di lantai tujuh. Tak ingin membuang waktu Dira segera berlari menuju lantai darurat. Tanpa mengenap lelah ia melangkahkan kaki melewati tiap anak tangga yang akan membawanya ke lantai tiga.Terlihat dari kejauhan kamar 303 dipenuhi beberapa orang karyawan. Dira menerobos masuk untuk melihat keadaan wanita tua yang baru ia kenal tadi malam.“Maaf, Mba dilarang masuk!” ucap salah satu karyawan hotel yang sedari tadi berdiri di pintu.“Kekmana keadaan Ibuk itu? Aku mau lihat!” seru Dira bernada kesal. Ingin rasanya ia memperlihatkan kartu identitas kepolisiannya, namun ia tahan. Saat ini ia tak
“Dir, bukannya enggak setuju kalau kamu nemani Ibu itu. Tapi malam ini tugas kamu jaga loh. Kalau enggak gini aja, kamu temani Ibu itu. Biar aku yang gantiin kamu malam. Tapi besok kamu yang jaga ya, biar aku tidur,” tawar Ria diakhiri dengan kedipan mata.“Oke deh! Setuju,” ucap Dira diikuti sambutan tangan. Saling bersalaman dan tersenyum, perjanjian pun berlaku. Dira bisa tenang menemani Bu Devi tanpa harus berjaga penuh. Meskipun begitu, ia meminta Ria segera menghubunginya jika terjadi sesuatu yang mencurigakan.Kembali ke kamar, Dira mendapati Bu Devi tengah terbaring dengan keadaan selimut terseret turun ke bagian kaki. Dengan penuh senyum bahagia, Dira menyelimuti wanita tua itu seraya berkata dalam hati, “Makasih udah mengobati rasa rinduku!”Meski sudah dibebas tugaskan, Dira tetap saja tak bisa tidur. Duduk di balkon menatap bulan, Dira merasa kecewa akan dirinya sendiri. Misi khusus selama di Jakarta belum mendapat perkembangan. Bahkan tak ada informasi baru yang ia temuka
Ria seketika lenyap bersama hilangnya sirine ambulans. Luka parah yang ditemukan di kaki Ria pastinya bukan sembarang pisau.“Gimana, gimana?” tanya beberapa pekerja kepada dua petugas keamanan dan seorang pelayan hotel yang baru tiba.“Enggak dapet orangnya. Kami udah kejar,” jawab mereka dengan napas yang terengah-engah.“Siapa yang tau kejadian sebetulnya?” tanya Dira. Amarah memenuhi dadanya. Kesal dan segera ingin menghajar, Dira tak kuasa untuk mendapatkan pelaku yang berani menyakiti rekannya Ria.“Saya Mba!” sahut si pelayan hotel. Ia pun mulai menceritakan kejadian yang ia alami.“Tadi saya ke lantai empat mau nganterin pesanan. Saya lihat teman Mba tadi ngikutin seseorang. Awalnya saya pikir dianya lagi mata-matai cowoknya. Nah, pas saya keluar kamar tamu saya lihat teman Mba lari gitu sambil minta bantuan untuk ngejar. Nah, saya bantu ngejar juga. Cowok yang dikejar masuk lift, sedangkan teman Mba naik tangga darurat. Kebeneran saya ikut juga dari belakang. Tapi lari teman
Langkah kaki terdengar, Dira yang merasa tersudut memilih untuk menuju balkon dan berdiri di sudut ruang. Tak lupa ia menutup pintu, namun keburu ketahuan jika harus menutup rapat. Tiada yang bisa ia lakukan, kecuali menahan napas yang terasa menyesakkan. Tak henti-hentinya Dira memaki dalam hati.“Sial, sial, sial! Dia pulak orangnya. Argh ... kenapa harus dia. Kalok tau dia ponakan Ibuk tau, enggak mau aku kawani malam ini. Aduh ... kalok udah kekgini cemana ya?” Dira terus menghardik dirinya sendiri. Ia merasa kesal karena tak percaya pada pendengaran. Sudah sedari awal ia sadar kalau suara pria itu sama dengan Daffin. Namun, tetap saja ia menepisnya. Hingga hari ini datang, Dira melihat sendiri Daffin menghampiri Bu Devi yang kini masih terbaring lemas.“Bibi, Daffin datang!” ucapnya sembari membelai lembut kepala wanita tua. “Daffin!” seru Devi yang tak menyangka akan kehadiran Daffin. Ucapan ini pun dibalas dengan kecupan di dahinya.“Bibi minum obat dulu ya. Maaf ... Daffin t
Dira lebih dulu pulang bersama Bibi, sedangkan Daffin bersama kru lainnya. Rasa tak ingin berpisah itu hadir, namun Daffin tahan. Terlebih setelah melihat wajah jutek Dira. Bayang indahnya perjalanan pulang jika ia lalui bersama pun segera pudar setelah Sofia memanggil dirinya.“Bi, hati-hati ya. Jangan lupa untuk selalui kabari Daffin. Oke,” ucap pria tampan itu. Tatapan tulus serta kecupan penuh kasih ia layangkann pada wanita yang ada di hadapannya.“Ya sayang, Bibi tunggu di rumah.”Sesungguhnya Daffin ingin mengatakan sesuatu kepada Dira, tetapi sepertinya gadis itu menghindar dan memilih untuk pergi terlebih dahulu. Daffin hanya bisa menghela napas berat dari mulutnya. Ia pun mengantarkan Bibi menuju parkiran mobil.Sepanjang jalan Daffin terus tersenyum dalam diam. Sontak kejadian ini membuat banyak mata yang menaruh curiga.“Ehem, ada apa nih. Kok ada yang lain. Apa ada yang tau?” ledek salah satu kru.“Tanya Sofia gih. Kan dia yang paling dekat. Ngomong-ngomong cewek tadi sia
Salah seorang kru mengetahui kabar kecelakaan yang dialami mobil Daffin. Ia pun segera menyampaikan kepada Leo selaku manajernya Daffin.“Mas Leo, aku dapat kabar kalau sopir mas Daffin kecelakaan,” ucapnya dengan tatapan cemas.“Apa?” tanya Leo dengan nada yang begitu kuat. Hingga membuat banyak mata memandang ke arahnya seketika. Tak terkecuali Daffin yang saat ini sibuk pemotretan.“Sebentar ya,” ucap Daffin meminta izin untuk menghentikan pemotretan sementara. Ia pun segera menghampiri Leo guna menanyakan apa yang telah terjadi.“Sopir lu kecelakaan!” jelas Leo dengan raut wajah cemas.“Emang dia kemana?” tanya Daffin yang tak mengetahui alasan sopirnya pergi.Leo pun menjelaskan, bahwa ia telah menyuruh si sopir mencari sesuatu di daerah kota. Untuk menjaga keamanan, ia menyuruhnya pergi dengan mengendarai mobil pribadi milik Daffin.Setidikitpun Daffin tak menaruh curiga. Ia justru sangat menghawatirkan keadaan pemuda yang menjadi sopir barunya. Sopir muda yang sengaja ia utus u
Belaian lembut di kepalanya membuat Dira tersadar akan kantuknya. Wangi yang tak asing berhasil menggelitik hidungnya. Sadar betul akan sosok yang kini duduk memandanginya Dira, perlahan membuka matanya. Meski kabur, Dira tahu benar bahwa Daffin kini duduk tersenyum menatapnya.“Kau?” ucapnya menatap tak percaya.Memutuskan untuk bangkit dan segera memeluk Daffin. Tersenyum penuh haru kebahagiaan, Dira merasa senang sekali saat ini. Terisak, ia melampiaskan semua kekacauan hatinya. Memeluk kian erat, hingga membuat kerutan pada sebahagian kemeja Daffin.Sepertinya tidak hanya Dira, melainkan Daffin pun menunjukkan tatapan yang sama. Keduanya terhanyut dalam hangatannya pelukan rindu. Seling memeluk erat seakan tak ingin kembali dipisahkan.Semua ini terasa begitu nyata, hingga akhirnya tatapan Dira yang sedari tadi bersembunyi di dada Daffin kini beralih pada Devi. Senyum penuh syukur yang terlihat pada wajah wanita tua itu memberi isyarat bahwa semua ini nyata.Masih tak menyadari da
Dira masih saja menatap bingung ke arah pemuda itu. Pemuda yang begitu mirip dengan rekannya Tomi.“Kau kok bisa di sini, Tom?” tanya Dira dengan nyolotnya.“Maaf, salah orang. Saya bukan Tomi,” ucapnya sembari menunjukkan senyuman. Lalu memutuskan pergi. Namun, baru saja tubuhnya berbalik, Dira lebih dulu menahan pundaknya dengan tangan.“Enggak usah main-main kau! Ngapain kau di sini?” tanya Dira kembali. Perasaan curiga mendadak hadir. Tepatnya semenjak kemarin, dimana mereka harus menangkap pengedar di bar.“Le, Cepat sini! Malah kenalan sama cewek,” ucap relawan lain. Ia melambaikan tangan ke arah pria yang diduga Tomi.“Maaf, Mba. Sekali lagi saya bilang, saya bukan Tomi. Mungkin kami hanya mirip,” ungkapnya menolak halus. Tangannya dengan lembut melepaskan tangan Dira dari pundaknya.“Enggak, kau pasti Tomi!” ungkap Dira. Kali ini ia bertindak nekad dengan menepis tangan kemeja pria itu. Terlihat ada tato kecil bergambar bintang di sana. Memperjelas kalau dia bukanlah Tomi yang
Terik cuaca tak lantas membuat Dira menyerah. Perut yang belum sempat terisi tak menunjukkan gejala lapar. Yang ada dalam benak Dira saat ini hanyalah ingin segera menemukan Daffin. Terus melangkah dan mencoba memasang telinga, Dira berharap bisa mendengar kata tolong dari seseorang. Bayang wajah Daffin yang tengah kesakitan pun membuat Dira semakin cemas.“Woy! Kemari!” teriak salah satu relawan.Dira dan timnya pun turut mendekati asal suara. Ternyata mereka menemukan tas berisi uang tunai yang tak sedikit jumlahnya. Tas kecil berupa koper itu bewarna putih. Sesaat Dira sadar akan penjelasan aparat kemarin.“Jangan bilang yang dilihat supir truk itu koper ini. Bukannya orang,” gumam Dira yang mulai mencemaskan akan keberadaan Daffin saat ini.Kini hari mendekati siang, suasana semakin panas meski ada banyak pohon yang melindungi mereka. Lelah, kaki Dira mulai gemetar. Tak dapat dipungkiri jika saat ini tubuhnya terasa lemas sekali. “Mba, ini minum dulu! Wajah Mba pucat banget,” uca
“Daffin!” teriakan Dira menggema. Sebuah tepukan di pundaknya membuka matanya.“Kamu enggak kenapa-kenapa, Nak? Minum teh dulu!” pinta Devi dengan wajah sembabnya.Dira tersadar dan seketika merasa malu. Ternyata apa yang baru saja ia lamai hanyalah sebuah mimpi.“Kamu mimpiin Daffin ya?” tanya Devi sembari mendekap tubuh Dira.Tangis yang sedari pagi ia tahan pun meledak. Dira menangis terisak berharap sesak didadanya berkurang. Ia terus menangis sambil membayangkan wajah Daffin yang ia lihat di dalam mimpi. Ia tak bisa membayangkan jika penampakan Daffin yang ia temui adalah keadaan nyata yang Daffin alami. Bisa saja darah yang ada pada tangan dan kaki Daffin itu nyata dan kini Daffin masih terbaring kesakitan menanti ajal di tengah hutan belantara.Tangis Dira sungguh sulit dikontrol, meski ia merasa malu dalam keadaan seperti ini. Namun, hatinya tak mampu membohongi diri. Pilu jika Daffin benar pergi untuk selamanya, sedangkan ia mulai menyadari bahwa telah jatuh hati.“Kita doaka
Malam itu mobil putih pintu geser yang sering Daffin gunakan untuk bekerja itu melaju kencang di tengah jalan sepi. Jalan lintas yang berjarak sempit dan cukup berkelok sedikit menyeramkan karena lampu penerangan jalan yang sangat minim. Seakan tak takut akan hal buruk yang mungkin terjadi, mobil putih itu terus melaju kencang seirama dengan musik DJ yang begitu deras.Sopir pribadi Daffin terus tertawa riang, bahkan sesekali ia bergoyang menikmati alunan nada. Bersorak dan ikut bernyanyi, ia begitu menikmati perjalanannya. Mungkin itu cara untuknya agar bisa terus melakukan perjalanan meski sudah tengah malam.Meski tak banyak kendaraan yang melintas, namun tak jarang mobil truk pengangkut barang berat melintas di tengah malam. Mereka sengaja bepergian di jam sepi, saat tak banyak kendaraan pribadi.Seakan memiliki nyawa cadangan, sopir itu terus saja melaju kencang meski sudah beberapa kali melewati mobil besar pengangkut barang berat. Langit malam itu terlihat lebih gelap, tanpa bi
Suasana berubah haru diikuti wajah kebingungan. Terdengar kabar bahwa mobil yang dikendarai Daffin mengalami kecelakaan fatal di salah satu tol. Berita ini disampaikan langsung oleh pihak kepolisian yang bertugas dan Devi selaku pihak keluarga diminta untuk datang ke kantor kepolisian sekitar.“Kenapa, Bu?” tanya Minah yang segera menghampiri nyonya pemilik rumah.Devi semakin syok setelah melihat foto yang berisi mobil Daffin yang penyot dibagian depan dan samping kiri. Dira yang sedari tadi diam pun turut menghampiri Devi. Saat ini sudah pukul setengah sebelas malam, tak mungkin mereka memaksakan diri untuk datang. Dira memutuskan untuk berangkat esok pagi bersama Devi dan sopir pribadinya.Malam ini terasa kacau. Pikiran Dira sungguh tak tenang. Waktu menunjukkan pukul satu malam, namun matanya masih enggan terpejam. Berulang kali mengubah gaya tidur, tak lantas membuatnya terlelap. Pikirannya dipenuhi dengan keadaan Daffin. Bayang wajah Daffin yang kini terbaring di atas ranjang d
Tomi lebih dulu masuk ke ruangan, memaksa Dira mengikuti rencana dadakannya. Melangkah masuk dengan gemuruh di dada Dira siap melakukan bela diri untuk menangkap salah satu bandar yang sedang berada di sana.Tetapi hal mengejutkan terjadi. Ruang yang Dira masuki terlihat kosong. Meninggalkan seorang pelayan yang tengah berbenah.“Kemana semua tamunya?” tanya Dira bingung.“Udah pada pulang, Mba. Emangnya Mba cari siapa ya?” tanya si pelayan bar yang tak kalah bingungnya. Menyadari Dira bisa masuk dengan mudah ke dalam ruangan, pelayan itu sadar jika Dira bukan orang sembarang. Jika bukan karena memiliki kenalan orang dalam, setidaknya ia pejabat negara.“Jadi, para pejabat sialan itu udah pada kabur?” tanya Dira kesal. Giginya saling beradu hingga menimbulkan bunyi.“Pejabat? Bukan Mba. Tapi anak muda biasa kok. Enggak ada anak pejabat juga pun,” ungkap si pelayan sambil menunjukkan wajah tengah berpikir keras.“Arrgh! Ini pasti kerjaan Tomi. Dia mau angkat telor rupanya,” gumam Dira