Aku mengguncang-guncangkan tubuhnya, tapi dia sama sekali tak bergerak. Apa dia benar-benar telah meninggal."Mayraaa ... bangunlah, kamu gak mungkin meninggal, kan!" ujarku sambil terus mengguncang tubuhnya.'Ya Tuhaaan ... kenapa hidup Mayra harus berakhir tragis seperti ini, maafkan aku Mayra aku ikut andil dalam semua yang terjadi dalam hidup kamu!' Aku tak tahan menahan sedih dan rasa bersalah yang menyeruak dalam hatiku."Pa, tenanglah, Pa." Arlita berusaha menenangkanku, aku memeluknya dan menangis di pelukan Arlita."Mayra, Maaaa ... akuuu ... tidak tega Ma, kalau dia harus berakhirnya seperti ini, Maa ...!" Aku menumpahkan semua kesedihan dan kegusaran hatiku di pelukan Istriku."Iya Pak, tenang dulu, biar para medis memeriksanya." Para medis segera memeriksa kondisi Mayra."Denyut jantungnya sangat lemah, hampir tidak terdengar, mungkin karena luka tembakannya cukup dalam dan terlalu banyak mengeluarkan darah, Nona ini harus segera dibawa ke rumah sakit. Cepat kita bawa Nona
"Gimana Dok, sebenarnya istri saya usia kandungannya sudah berapa Minggu?" tanyaku tak sabar setelah dokter melakukan pemeriksaan USG." Usia kandungan Istri Pak Firman, sudah memasuki hampir 11 Minggu.""Haaaa ... hampir 3 bulan?" Sekali lagi aku terkejut, kandungannya udah sebesar itu dan kami tak menyadarinya sama sekali."Pantesan saya selalu pusing dan sudah beberapa bulan haid saya telat, saya pikir saya karena saya sedang stres, saya tidak pernah berpikir kalau saya sedang hamil, Dok, hahaha ...!" Arlita tersenyum bahagia, aku sangat senang bisa melihat senyum itu lagi, rasanya sudah lama aku tidak melihatnya tersenyum seperti itu.Terima kasih Ya Allah, anugerah ini hadir setelah semua musibah dan tragedi yang sudah kami alami yang begitu menyiksa hati dan batin kami.******Setelah beberapa bulan kemudian, kandungan Arlita semakin besar, dan kemungkinan minggu ini Arlita melahirkan.Kami sengaja tidak menanyakan jenis kelaminnya, agar kami tidak terlalu berharap karena sangat
POV FirmanSetelah kejadian itu aku sama sekali tidak pernah melihat Mayra sama sekali, aku dengar dia dihukum dua puluh tahun. Aku tidak pernah menuntut dia soal penculikan Tita dan diriku, ini karena keinginan Arlita, dia merasa kasihan pada tragedi yang telah menimpa Mayra, menurutnya semua ini terjadi juga karena ada hubungannya dengan kami, mungkin pernikahan kami adalah salah satu penyebabnya, atau mungkin awal dari dendamnya pada kami. Dan satu lagi kami juga tidak mau berurusan lagi dengannya, dia hanya dijatuhi hukuman karena kejahatan mengedarkan barang haram itu, itu pun mungkin sudah membuatnya lama mendekam di penjara.Tapi entahlah, ini sudah hampir tujuh tahun, aku belum pernah mengunjunginya sama sekali, bagaimanakah kabarnya sekarang, apa dia masih menyimpan perasaan itu padaku.Sampai saat ini aku belum berani jujur pada Arlita mengenai kejadian malam itu, karena aku tidak mau kami mengingat hal buruk itu lagi, sekarang keadaan rumah tangga kami sudah kembali harmo
POV MayraBeberapa bulan setelah Mayra berada di penjara.."Nak, semoga kamu tumbuh sehat yah di sini!" ucapku pada perutku yang sudah semakin membesar.Dalam keadaan hamil di penjara memang sangat menyedihkan, biasanya ada seorang suami yang senantiasa menemani istrinya, tapi aku harus merasakan dinginnya lantai penjara dalam keadaan hamil.Tak ada yang menemaniku yang kerap mengalami pusing dan mual yang sungguh menyiksa di awal kehamilanku.Semua aku lakukan sendiri, apapun yang menjadi ngidam anakku, tak ada yang membantuku.Maya tidak bisa diharapkan dia pun sedang dalam masa penahanan, hanya saja kasusnya tidak terlalu berat mungkin kurang dari dua tahun pun dia akan keluar, apalagi ada seseorang yang ingin membantunya diam-diam.Dia adalah salah satu laki-laki yang pernah berhubungan dengannya, dia tidak bisa mengeluarkannya sekaligus hanya bisa meringankan masa kurungannya saja.Setiap kali aku memeriksa kandunganku, aku selalu merasa sedih teringat akan ayah dari anakku ini.
"Selamat yah Bu, bayinya perempuan!" ucap perawat sambil membawakan bayi itu ke pangkuanku.'Bayi berkelamin perempuan itu sangat cantik, ini anak kita, Mas Alfa. Dia sangat cantik!' Air mataku meleleh melihat bayi merah itu kini telah hadir di pangkuanku, aku sangat bahagia campur haru, seorang anak yang lahir dari cinta kami."Maaf Bu, siapa yang akan mengadzani bayi ini?" tanya sang perawat membuatku sangat sedih.Deg! Ya Tuhan ... anakku, belum diadzani! Siapa yang akan mengadzaninya, ayahnya saja tidak ada di sini.Aku terdiam, apa yang akan aku katakan pada perawat ini, aku sungguh bingung apa yang harus aku jawab.'Mas Alfa, anakmu sudah lahir tapi kamu tidak ada di sini untuk mengadzaninya, bahkan kamu sama sekali tidak tahu menahu soal anak ini.'"Maaf Sus, ayahnya tidak ada ... daaan dia sama sekali tidak tahu kalau saya sedang mengandung anaknya," jawabku dengan lirih, air mataku hendak turun tapi sebisanya aku tahan. Ya Tuhaaan ... begitu berat hatiku mengatakannya."Maaf
Beberapa tahun kemudian ...Aku hendak pulang ke rumah, aku sudah tak sabar ingin makan siang bersama istriku.Belum juga sampai setengah jalan, di depan ada keramaian di jalanan.Ada apa itu kenapa orang-orang pada berkerumun? Apa ada kecelakaan yah?Aku yang penasaran menepikan mobilku dan menghampiri kerumunan itu, aku menelusup ke dalamnya.Aku lihat seorang gadis berseragam putih biru tergeletak dengan bersimbah darah.Aku mendekati korban kecelakaan itu, "Ini korban tabrakan?""Iya Pak, tapi orang yang menabraknya Kabur, saat kami mencoba mengejarnya.""Sudah hubungi ambulans?""Sudah, mungkin sebentar lagi sampai.""Apa kalian sudah hubungi keluarganya?""Sepertinya anak ini sekolah di SMP sana!" ujar salah seorang Bapak yang berkerumun itu sambil menunjuk sebuah sekolah mewah yang letaknya tak jauh dari tempat kecelakaan."Sekolah megah itu?"Berarti anak ini anak orang kaya, tidak mungkin kalau anak dari kalangan biasa bisa sekolah di sana, karena biaya di sekolah itu selang
Lebih baik aku pergi, sebelum kedua guru itu melihatku di sini.Aku melepaskan perlahan tangannya, "Maafin Om yah, Om harus pergi, semoga kamu cepet sembuh."Baru aku mau menutup pintu, tepukan seseorang mengejutkanku."Bapak masih di sini!"Orang yang ingin aku hindari malah memergokiku di sini, aku benar-benar malu padahal tadi aku sudah pamitan."Eeeeuh ... Pak, iya Pak, saya penasaran tadi sama keadaan korban, jadi saya balik lagi. Hanya ingin lihat saja." "Oooh ... Saya malah belum lihat Pak, tadi dokternya ngajak bicara serius.""Apa kata dokternya?" Aku malah jadi kepo ingin tahu juga kondisi anak itu."Anak itu butuh banyak darah Pak, karena sudah banyak kehabisan darah, di rumah sakit ini kekurangan cadangan darah B+ saya golongan darahnya A, Bu Rani O." Pak Juhari tampak bingung, aku bisa melihat dari raut wajahnya.B+? Apa ini suatu kebetulan ataukah apa, golongan darahnya sama denganku, dan aku merasa ada sesuatu yang aneh dengan perasaanku sama anak itu, entah rasa apa i
Alhamdulillah, makin hari kondisi anakku berangsur membaik, kata dokter setelah mendapatkan transfusi darah, jadi Fayra bisa lebih cepat ditangani jadi tidak ada luka serius yang harus dikhawatirkan.Aku lupa belum mendatangi bagian administrasi, mungkin tagihannya membengkak karena dari awal masuk aku belum membayar sedikit pun."Jo, tolong tungguin Fayra yah.""Iya, May. Kamu masih segan aja minta bantuan sama aku, dia juga kan anakku, May. Bahkan aku merawatnya sejak bayi, jadi aku sudah menganggapnya seperti anak kandungku sendiri." Iya juga, padahal dia sudah merawat Fayra, tapi kenapa aku masih saja canggung meminta bantuan darinya."Maafkan aku Jo, aku lupa kalau kamu juga ayahnya, meskipun dia bukan darah daging kamu, tapi kamu sudah seperti ayahnya sendiri.""Ya udah sana, aku akan menungguinya.""Iya Jo, aku ke depan dulu yah. Kalau Fayra bangun terus nanyain aku, bilang aku lagi ke bagian administrasi yah!""Oke, Sayang."Dia sudah bertahun-tahun jadi suamiku tapi aku masih
Firlita POVSebulan kemudian ... Aku tak pernah bertemu dengan Pak Willy sesuai kesepakatan. Dia memenuhi janjinya tak menggangguku hingga aku siap menerimanya lagi.Hari ini aku dipanggil oleh HRD, entah apa salahku. Padahal kinerjaku bagus kata managerku."Maaf Nona Firlita, mulai hari ini Nona dipindahkan ke bagian lain," kata Manager HRD."Saya salah apa Pak?" tanyaku, padahal aku sudah mulai nyaman di divisi ini."Nona tidak salah apa-apa, hanya saja Nona lebih dibutuhkan di bagian lain. Silahkan bawa surat ini, dan Nona pergi ke lantai 10"Lantai 10? Bukankah itu lantai khusus ruangan direktur dan direksi yah."Iya selamat yah Nona, Nona terpilih menjadi sekretaris Direktur kami yang baru."Sekretaris Direktur? Beneran ini ... Bahkan aku tidak menguasai pekerjaan sekretaris.Ya sudahlah, dari pada aku tidak bekerja. Aku terima saja."Iya terima kasih Pak, saya tidak menyangka akan dipilih menjadi sekretaris Direktur." Entah aku harus senang, ataukah bimbang ... aku tidak perna
"Apaaa ... Om Firman ini adalah ..." Belum sempat Fayra selesai dengan ucapannya, Tante Mayra langsung memotongnya, "Iya, dia ayah kandung kamu, Fayra. orang yang selalu kamu tanyakan kini sudah ada di depan kamu!"What! Pak Firman ayahnya Fayra. Waw, waw ... ini jadi makin seru!Kami semua tampak terkejut, Papa Mama pun sama, hanya Firlita saja yang tampak biasa, apa dia sudah tahu yah."Aku baru tahu kemarin!" bisiknya, seolah tahu kalau aku mau menanyakannya."Oh.""Ayaaah ....!!" Fayra langsung memeluk Pak Firman dengan mata berkaca-kaca."Pantas saja aku merasa nyaman bila dekat Om, rupanya memang ada chemistry ayah dan anak di antara kita.""Aku sangat merindukanmu, Ayah! Sejak kecil aku hanya mengetahui namamu saja, wajahmu sjaa aku tidak pernah tahu, ayah! Aku hanya ingin disayang seperti anak-anak lain yang memiliki ayah," Fayra menangis sesenggukan di pelukan Pak Firman."Maafkan aku Nak, ayahmu ini bahkan tidak pernah tahu keberadaan kamu, Mamamu menyembunyikannya dari ayah
William POVAku memilih untuk menghampiri dulu Firlita di kantor, sedangkan Papa pergi menuju kantor Pak Firman. Kita ingin semuanya clear hari ini juga, agar hidupku lebih tenang tidak terus-menerus diganggu oleh model sialan itu.Aku menuju ruangan divisi keuangan. Aku tahu ke napa dia sampai minta pindah ke sini. Pasti untuk menghindari bertemu denganku.'Itu dia, wanitaku ... sudah satu bulan lebih kamu menghindariku, aku sangat merindukannya.' Sosok perempuan cantik dengan senyum mempesona sosok gadis impianku itu tengah berjalan menuju ruangannya aku pun mengendap-endap di belakangnya.Begitu tiba di dekatnya. Aku langsung tarik tangannya."Hei apa-apaan ini Pak!" protesnya kesal, berusaha menepis tanganku, tapi tenaganya kalah kuat."Ikut saja denganku!" Aku terus menarik tangannya hingga ke depan mobil."Saya tidak mau Pa. Saya mau kerja, baru juga dua hari saya kerja. Jangan buat nama saya jelek di divisi yang baru ini dong!" bentaknya, dia menepis tanganku lagi kali ini deng
"Ayo cepat, Willy. Kita hampir terlambat!" ujarku pada William yang tengah menyetir menuju restoran yang telah ditentukan menjadi tempat pertemuan dengan orang yang telah menghubungi mereka kemarin."Sabaaar ... Pa. Ini macet banget." Willy pun kesal karena jalanan hari ini kebetulan sedang macet-macetan kami sampai terjebak di tengah-tengah.Kenapa sih, macet ini gak tahu waktu, kita lagi buru-buru ini malah macet. Aku hanya bisa berkeluh kesah karena mobil hanya maju sedikit demi sedikit.Mudah-mudahan dia mau menunggu kita. Ini sudah hampir pukul 10.00."Ini gara-gara kamu susah banget dibangunin!" makiku, karena kesal William tadi bangun jam 9.00."Maafin aku Pa, semalam aku gak bisa tidur. Aku baru tidur subuh tadi, Pa.""Kamu, Wil!" Percuma juga marahin anak itu, dia memang terkadang susah tidur mungkin memikirkan kehidupan percintaannya yang berantakan."Udah Pa, udah. Tuh mobil di depan udah maju," timpal istriku menenangkanku yang tengah kesal."Maju Wil, cepetan tuh ada jala
"Fiir ...! Firlitaaa .. !" Suara itu mengagetkanku, sudah lama aku merindukan dia memanggilku begitu."Iya Pak." Aku masih berusaha menghormatinya sebagai atasanku."Masuklah ke ruanganku. Aku ingin bicara denganmu.""Ma-maaf Pak, sebaiknya kita bicara saja di sini.""Ayolah Fir, sampai kapan kamu akan menghindariku!" Pak Willy mencekal tanganku.Dia seperti tahu saja kalau selama ini aku memang berusaha untuk menghindarinya.Aku celingukan takut ada yang lihat. "Udah masuk saja, gak usah takut gak ada siapa-siapa ini!" Pak Willy menarik tanganku menuju ruanganku."Masuk!" Pak memaksaku masuk dan mengunci pintu."Gak usah dikunci Pak! Disangka orang kita lagi ngapain lagi!" protesku sambil hendak memutar kunci yang masih menempel di lubang kunci."Fiiiir ... jangan bikin aku terus menderita, Fir ... aku putus dari kamu saja bikin hidup aku terpuruk, apalagi melihat kedekatan kamu sama laki-laki itu saja membuatku tambah tersiksa." Sebegitunyakah yang dia rasakan, bukannya seharusnya d
Firman POVMalam ini aku baru pulang dari kantor, entah kenapa setelah aku bertemu Mayra tadi siang perasaanku tidak enak.Baru masuk ke rumah aura rumah terasa sangat berbeda. Kulihat istriku hanya duduk di sofa tanpa menyambutku."Waalaikumsalam." Dia menjawab salamku dengan ekspresi datar."Sayaaang... ada apa sih, aku pulang kok cemberut?" godaku sambil mencolek pipinya yang mulus."Gak usah colek-colek segala!" ketus Arlita."Idih galak amat sih, Neng," jawabku sambil bercanda."Udah gak usah bercanda, duduk!" Arlita tampak serius, sikapnya begitu dingin. Ada apa dengan istriku ini kenapa mukanya gak ada manis-manisnya hari ini. Apa aku sudah berbuat salah yah."Pa, Mama sekarang minta Papa jujur! Kenapa Papa gak mau mempertimbangkan permintaan William untuk bersanding sama putri kita, padahal Mama yakin dia sungguh-sungguh mencintai anak kita?" Ini kenapa tiba-tiba Arlita menanyakan hal ini lagi yah? Aneh sekali."Jawab Pa, kenapa diem?""Bukannya Mama sudah tahu alasannya, k
Fayra POV"Kamu senang kan bisa bertunangan dengan pria yang kamu cintai?" tanya Mama."Tentu saja, Ma. Akhirnya aku bisa miliki dia," jawabku dengan senyuman yang lebar."Pertahankan dia Fay, jangan kayak Mama. Mama dulu terlalu mementingkan ego Mama untuk menjadi model yang terkenal. Hingga Mama kehilangan Papa kamu. Dia memilih menikah dengan wanita lain." Mama terlihat begitu sedih, mungkin itu penyesalan yang tak berujung dalam hidupnya, kehilangan cinta sejatinya.Aku tidak boleh seperti Mama, aku harus bertahan demi cintaku pada Pak Willy."Maaf Ma, aku dari dulu ingin sekali menanyakan hal ini? Apaaa... Papaku masih ada? Kenapa Mama selalu menyembunyikannya dariku?"Mungkin ini saatnya aku mendesak Mama untuk memberitahu secara mendetail soal Papaku."Maaf Fay, belum saatnya kamu tahu. Suatu hari nanti pasti Mama akan kasih tahun kamu, Fay.""Mama selalu begitu, kenapa sih Ma?" Mama tetap tak mau bilang soal Papa. Sampai hari ini hanya namanya saja yang aku tahu."Kamu kan uda
Sial banget hidupku, kenapa harus kenal sama gadis itu, padahal dari awal pun aku tidak tertarik sedikit pun sama dia. Aku harus menemui Papanya Firlita siapa tahu dia bisa membujuk Papaku untuk membatalkan pertunangan ini."Pak Firmaaaan .... Saya mohon tolong saya, saya benar-benar tidak ada hubungan apa-apa sama gadis itu. Saya hanya mencintai putri Pak Firman." Aku mengucapkannya dengan sungguh-sungguh, entah Pak Firman akan melihat kesungguhanku ini."Saya tidak yakin setelah saya mendengar ucapan gadis itu!" Pak Firman tampaknya sudah terlanjur percaya dengan ucapan gadis itu."Pak, saya sangat yakin kalau saya ini dijebak, tolong izinkan saya tetap bersama Firlita? Dan tolong bilang sama Papa saya untuk Menolak pertunangan saya dengan Fayra, Pak.""Maafkan aku Willy, aku belum seratus persen percaya sama kamu." Aku tahu ini bakalan sulit, tapi demi Firlita Aku harus terus membujuknya."Tante Arlita, saya sungguh-sungguh sama Firlita... tolong bantu saya. Saya tahu, kalau saya
Flashback on"Pak Willy tolong saya, saya disekap oleh seseorang di sebuah apartement!!" Suara Fayra terdengar panik di ujung telepon."Ka-kamu di mana Fay?" tanyaku ikut panik."Saya ada di apartement Berlian lantai 7 kamar 52, cepat Pak! Saya takut ini!"Tok! Tok! Tok !! "Wei, cepaaaat.... kalau gak saya akan mendobrak pintu kamar mandi itu!"Terdengar suara laki-laki yang berteriak sambil menggedor pintu dengan keras."Udah yah Pak, kayaknya mereka udah curiga! Pak Willy harus cepat, saya takut Paaak...!" katanya sambil berbisik dan terdengar begitu gugup.Tut! Dia mematikan sambungan telepon.Aduh, gimana ini? Aku harus menolongnya, tapii... bagaimana dengan pertunanganku.Aku melihat ke arah jam tanganku, masih ada Waktu sekitar dua jam.Aku pun bergegas makin cepat pergi, makin cepat beres urusannya dan aku bisa pergi ke pertunanganku."Lho Willy, kamu mau ke mana? Kok malah pergi acara pertunangan kamu sebentar lagi?" tanya Papa saat melihatku hendak pergi."Ada urusan sangat