Ada beberapa detik mereka terpana seolah terhipnotis dengan apa yang kulakukan. Bahkan mereka tidak pernah menyangka aku bisa melakukan ini. Aku sendiri juga tidak tahu, setan apa yang menyerang otakku. Tiba-tiba dengan bringas aku ke kantor Ray dan menampar laki-laki itu sekuat tenaga.
Entah, apa Ray merasakan sakit sesakit hatiku bahkan tanganku kebas karena menampar pipinya yang terlihat biru lebam.
Hatiku masih mengeras bahkan membatu, karena nggak ada sedikitpun penyesalan karena menamparnya.
Baik Ray maupun Dattan hanya bergeming melihat kemarahanku yang dasyat. Mereka sangat paham kenapa aku bisa semarah itu. Terutama Ray. Laki-laki itu harus bertanggung jawab dengan kejadian kemarin, di rumah sakit. Bisa-bisanya dia php-in aku yang berusaha mencoba melupakan dirinya.
"Bisa jelaskan, apa maksudnya itu!" Jari telunjukku mengarah pada kertas undangan yang terdampar di atas kerjanya.
Ray mendesah dengan napas berat. Seolah ada beban yang t
Up lagi , pembaca yang budiman, bantu rate dan rivew, ya
Tanpa berkata apa-apa, aku lewati saja orang itu yang kemudian keluar dari lift. Sudah dapat dipastikan di kemana. Oh--hh! Ada yang terasa perih di sudut hatiku. Rasa sakit dan tak rela menyergaku bersamaan. Dan ku lihat Dattan Sergio Sesha, sangat peka dengan kondisiku. Dia merangkul pundaku dengan lembut. Aku tak menyangka, laki-laki ini lah yang jadi penghubung antara aku dan Ray. Seandainya saat itu, Dattan tidak meninggalkan benda pintarnya itu di kamar tidur Ray, mungkin sampai saat ini aku tidak akan merasakan sakit yang begitu dasyat lagi. "Aku antar ke rumah sakit, ya?" suaranya lembut terdengar di telingaku. Dan suara itulah yang 6 tahun silam pertama kali kudengar. Dan sebenarnya aku peka sekali ketika suara itu tiba-tiba tergantikan dengan suara orang lain. Suara yang lebih berat, namun aku selalu merindu suara itu. Suara Ray yang selalu membuat aku terbangun di malam hari. Dan kini, setelah 6 tahun begitu mudahnya di
Baik aku dan Careld sama-sama terkejut mendengar suara panggilan itu. Seketika badan kami merenggang, dan menoleh ke arah suara. Dadaku seperti ditusuk duri-duri yang merejam, melihat dua makhluk itu sudah berada di seberang kami berdiri. "Hei,Ray, tumben datang ke sini?" sapa dokter Careld menjawab panggilan dari Ray beberapa menit yang lalu. Di sampingnya bergelayut manja tangan-tangan mungil yang seolah tak mau lepas bahkan sedikitpun tak mau bergeser dari tubuh sang pria. Aku merasakan atmosfer di sekitarku tiba-tiba tersedot oleh makhluk gaib yang membuat aku kekurangan oksigen. Apalagi, ketika dua makhluk itu mendekati kami, rasanya seperti dihantam palu yang bertalu-talu. Tubuhku spontan menyingsut rapat dengan tubuh Careld memberi jalan pada sepasang calon pengantin itu. Sekilas kulihat Ray menatapku dengan sorot tajam, mengisyaratkan sebuah kemarahan mutlak. Aku hanya menarik napas dalam-dalam. Dan ketikan tangan dokter Careld menarik
Mendengar suara itu Ray bergeming di depan pintu. Tidak ada pergerakan untuk menyusul calon mempelainya ke kamar mandi. Setidaknya hanya sekedar ingin tahu ada apa dengan Isya. Sakit atau cuma masuk angin. "Huek!" Kembali suara itu terdengar, kali ini dari kamar mandi di rumah dokter Careld. Aku dan dokter Careld saling tatap. Kali ini kita satu frekuensi. Aku rasa apa yang aku pikirkan sama dengan apa yang dokter Careld pikirkan. Tanpa pikir panjang lagi aku bergegas masuk ke dalam. Naluri kewanitaanku terpanggil. Nggak mungkin aku biarin keadaan Nafisya seoerti itu seorang diri. Ketika aku melewati badan Ray, aku hanya menghentakkan kakiku dengan keras. Sesaat dokter Careld pun menyusul. Masih dengan napas terengah kulihat Nafisya memuntahkan semua isi perutnya berulang kali. Alu kasihan melihatnya. Mungkin ini untuk pertama kalinya bagi Nafisya. Sungguh, jauh-jauh kusingkirkan perasaan sakit hati itu. Setelah dia selesai dan tak ada lagi ya
Jantung aku itu kaget, bukan karena dia bilang cinta sama aku, tapi karena dia sudah mencuri ciuman di bibirku. Dan yang lebih membuat aku ciut, di seberang pintu sudah ada seseorang yang dengan geramnya mengepalkan tangan kokohnya. Tergesa mendekati kami. "Lepasin dia, brengsek! Bukk!" Aku terjengkal ke samping, sedang dokter Careld sudah terjungkal dengan darah di bibir. Tidak sampai di situ saja, Ray meraih tubuh sepupunya dan lagi-lagi dihantamnya tubuh kekar itu. Kali ini dokter Careld tidak tinggal diam, dengan sigap dia tangkis tangan Ray, dan di balasnya pukulan itu telak kena hidung Ray. Seketika itu hidung Ray mengeluarkan darah. "Stop!" Hentikan! Aku bilang!" teriakku sekuat tenaga dan berharap mereka berhenti. Suara isak tangisku menderu, terisak, sesenggukan. Tapi mereka patuh dengan titahku. Melihat aku menangis tersedu begitu dengan posisi terduduk lunglai, mereka menghentikan perkelahian itu. Dokter Careld mendeka
"Ray, lepasin! Please," ucapku memohon, karena kurasakan pedih di pergelangan tanganku. Laki-laki itu masih dengan wajah tegang menarikku ke tempat yang begitu sangat jauh dari ruang ICU. Ketika sampai di pojok rumah sakit, dia melepaskan aku dengan kasar, sampai-sampai aku terjerembab. Oh Tuhan! Kenapa, laki-laki ini menjadi kasar sekali. Tatatapanya begitu menakutkan. Wajah dinginnya begitu menyeramkan, bahkan bibir itu membentuk lengkungan tanpa kata. Terkatup rapat. Diperhatikannya aku dengan sorotnya yang tajam. Hazel matanya berpendar dengan binar hitamnya. Aku menelan salivaku yang kering dengan susah payah. Tapi, kali ini aku yang akan mengambil inisiatif. Aku mengenal Ray lebih dari 6 tahun. Mungkin hanya aku saat ini yang mampu menyamankan hatinya. Aku mendekatinya dan berdiri tepat di hadapannya. Kuraih jemari yang terasa dingin itu. Dan dia merespon dengan cepat. Seketikaj itu aku merasakan ada aliran darah yang menyengat d
Apa bisa semua kembali seperti semula, sedangkan hatiku merasa sangat terluka, meskipun tidak mengurangi kadar cintaku pada sosok ini. Laki-laki yang tengah memelukku dan memohon padaku untuk kembali padanya. Padahal beberapa hari atau minggu yang lalu dia lah yang mencampakkan aku dan meninggalkan aku demi akan menikahi mantannya. Aku masih bergeming dengan pelukannya, tanpa ingin membalasnya atau berniat menolaknya. Ada yang bergemuruh hebat di dadaku. Antara benci dan marah, tapi rasa cinta itu masih begitu besar terhadapnya. Tiba-tiba baik aku dan Ray dikejutkan dengan getaran yang berasal dari ponsel genggamku. Segera kuangkat panggilan itu. "Iya, Dok," "Move, Kamu di mana?" Cepat ke ruang perawatan ya, Nafisya sudah siuman." "Oh baik, Dok." Sekelumit pembicaraan singkat ditelpon dengan dokter Careld pun kututup. Berniat ingin pergi menemuinya, namun badanku terkungkung oleh Raya Dinata. "Lepasin Aku, Ray. Aku harus kerja.
"Move!" Suara itu memanggilku dengan langkahnya yang setengah berlari. Aku tak acuh. Ku abaikan dia, yang mengejar langkahku dengan tergesa. Aku kesal dengan sikap mereka. Kekanak-kanakan. Kalau perempuan lain mungkin bahagia dan bangga jadi rebutan. Lain dengan aku. Aku merasa seperti terhina di jadikan bahan rebutan apa lagi sampai berantem dan baku hantam. Aku merasa statusku ini sangat menyakitkan. Meskipun aku janda tapi aku tak semurah itu. Yang bisa dilempar sana lempar sini. Dari awal mula Dattan mengatakan ingin menikah denganku, sampai dokter Careld melamarku juga. Seolah-olah aku ini wanita gampangan. Apalagi Ray! Mentang-mentang mantannya hamil dengan suaminya yang belum jadi di ceraikan, seenak-enaknya saja laki-laki arogant itu mau kembali sama aku. Memangnya aku ini apa? Sampah yang bisa dibuang kalau sudah nggak berguna, terus di pungut lagi kalau masih ada manfaatnya! Dasar brengsek! Aku berjalan deng
Aku semakin terisak, punggungku terguncang hebat. Ray menghentikan aktivitasnya. Di putarnya tubuhku menghadapnya. Didapatinya air mata itu sudah membanjiri pipi tirusku. "Sayang, kenapa menangis seperti ini? Aku minta maaf sudah sangat menyakitimu. Aku minta maaf. Maaf, Sayang," ucapnya berulang-ulang sambil menghapus air mataku. "Jangan nangis lagi, kumohon ...," sekali lagi dia menghiba. Kucoba menghentikan air mataku. Walau terasa sesak dadaku dengan isak tangis yang terpaksa harus kuhentikan dengan mendadak. Laki-laki itu mendekatkan wajahnya ke wajahku. Aku memejamkan mataku berusaha menghalau debar jantungku yang seolah mau copot. Padahal sudah 6 tahun aku mencintainya meskipun putus nyambung, tapi tetap aja kalau berdekatan dengannya selalu berdebar. Apalagi bau mintnya itu bikin ketagihan, bikin candu buatku. Tiba-tiba tangannya meraih daguku. Ketika aku membuka mata, wajahnya begitu dekat denganku. "Katakan, apakah kamu
Hari itu akhirnya datang juga. Hari di mana aku jadi ratu sehari dan Ray jadi raja sehari. Bahagia? Tentu. Bahkan hanya air mata haru yang menjadi temanku.Laki-laki 7 tahunku . Ya Tuhan, akhirnya. Aku benar-benar pengen pingsan karena nggak kuatnya menahan kebahagiaanku.Bahagia! Benar-benar bahagia. Saat ijab kabul itu berlangsung dan jawaban sah itu terdengar, tubuh melemah seketika. Tangan dan kaki ku thremor tiba-tiba.Puji syukur ya Tuhan, semua atas keridhoanmu. Kedua tanganku lama banget tertengadah hingga kulihat imamku masuk ke kamar yang sudah dipersiapkan."Sudah sah, Sayang," bisiknya sambil mengecup daun telingaku membuat buluku meremang seketika.Kucium punggung tangannya tanda aku sangat menghormatinya lantas dia menyesap bibirku sebentar sebelum selanjutnya kami kembali ke pesta."Ma, Pa," kucium satu per satu punggung tangan mereka lalu kupeluk orang tua itu yang sekarang sudah menjadi orang tuaku.Giliran Farh
Ray masih terengah saat tubuhnya mengejang di atas tubuhku. Berkali-kali dia mengecup bibirku. Dan mengendus leherku saat dia sudah berbaring di sebelahku. Mataku sudah terpejam saat tangannya kembali menyentuh puncak dadaku yang tak terlapisi kain sedikit pun. Pria itu memainjannya dan membuat ku mengerang pelan. "Besok kita pre wedding, aku nggak mau ada halangan lagi." Aku hanya mengangguk sambil menikmati sentuhannya yang mrmbuatku kembali menegang. "Aku mau secepatnya kita menikah, Sayang," ucapnya bergetar sambil mengulum dadaku yang sudah mengeras. "Hemmn," jawabku dengan gelisah. Karena sudah kurasakan milikku lembab lagi. "Oh, Ray," akhirnya lolos juga dari tadi yang kutahan. Desahan berat karena tangan dan mulut Ray yabg usil. Pria itu hanya tersenyum puas melihat ku tersiksa seperti itu. Tak menunggu lama ketika wajahnya kembali terbenam di kedua pahaku aku kembali mendapat pelepasan. Rasanya aku sudah tidak sanggup
Hari selanjutnya aku sudah pulang dari rumah sakit. Kali ini aku pulang je rumah Ray bukan ke apartemen Farhan. Apartemen Farhan di kosongin sementara waktu. Kalau lagi bisan aja pengen liburan di sana. "Duduk di sini dulu atau mau langsung ke kamar?" tanyanya masih menggendong tubuhku yang masih lemah. "Langsung ke kamar saja," jawabku masih melingkarkan tanganku di lehernya. Setelah sekian lama banyak peristiwa yabg terjadi, entah kenapa baru kali ini aku merasa sedekat ini dengan Ray. Rasanya aku sangat merindukan saat-saat pertama kali dulu kita saling menyayangi tanpa ada pertengkaran dan air mata. Rasanya dulu aku sangat polos mencintai dia tanpa ada yang mengganggu gugat. Agak terhenyak rasanya ketika pria tampanku itu membaringkan tubuhku di tempat tidurnya. Aku terbangun dari lamunanku. "Pesen bubur dulu, ya. Habis itu minum obat." "Ray, nggak usah. Aku bikin sendiri saja." Ray mendelikkan matanya. "Maksudnya aoa mau b
Dorr ... doorr! Suara tembakan itu persis hampir mengenai jantung buatan Farhan ketika tiba-tiba pria tampan itu menutup kembali pintu ruang kerjanya. Buru-buru dia menghubungi polisi dan menghubungi Ray agar cepat bersembunyi. [Ray! Bersembunyi! Mereka menggunaksn senjata api!] Teriakan Farhan cukup membuat Ray mengerti. Pria itu tidak mengibstrupsi saudara kembarnya karena dia harus mencari bantuan. Suasana malam itu kian huru-hara karena tiba-tiba dua orang asing masuk ke ruang kerja Farhan dengan sarkasnya menembakkan beberapa amunisi hingga membuat suasana gaduh. Tak selang lama polisi dapat melumpuhkan penjahat amatiran itu. Ray dan Farhan pergi ke kantor polisi untuk memberikan kesaksian. "Ulah siapa, menempatkan penjahat amatiran begitu, Far?" Ray tampak kesal karena malamnya ini terganggu dengan ulah para penjahat amatiran yang pada belum bisa menggunakan senjata api. "Aku tahu siapa orangnya. Ni! Tolong pelajari! Aku mau pula
Berkali-kali Renata menelan salivanya. Tak henti-hentinya dia menatap ke wajah sang penguasa itu. Terlihat lebih dingin dan arogan dari biasanya. Manusia dengan jantung buatan itu masih sebuk dengan segaja macam file dan berkas penting serta surat perjanjian kontrak kerja sama. Sedang di sebelahnya setumpuk kertas file yang iya yakini entah kapan selesainya. Tapi bukan itu yang membuat Renata menatap gelisah setumpuk file dan berkas itu. Tapi salah satu berkas dan file itu ada salinan surat kontrak yang suda ia rubah mengenai isi perjanjiannya dengan perusahaan papanya yang terbelit hutang yang banyak. "Renata! Kamu bisa pulabg duluan. Mungkin saya mau tidur dikantor saja untuk menyelesaikan pemeriksakaan berkas filenya." Suara bariton Farhan menggema di ruang kerjanya. "Astaga! Gila apa orabg ini. Mau lembur sampai tidur di kantor segala!" batin Renata ngedumel marah. Kalau sampai bosnya tidur di kantor otomatis berkas file itu pasti akan selesai diperiksa m
Farhan menatap wajah yang umurnya jauh di atasnya itu. Seorang yang seharusnya sudah bisa bersikap dewasa dan bijaksana. Namun sikap itu jauh dari wajah yang seoerti anak muda itu. Farhan menghela naoas dalam. Baru dia bertatapan secara langsung laki-laki yang sering menyiksa istrinya lahir dan batin. "Kalau hanya ingin bertemu dengan untuk menanyakan masalah Renata, Aku rasa Move sudah memberi tahumu." Pria dewasa itu menghela napas menatap pria yang mukanya sama persis dengan pria yang akan menikahi mantan istrinya. "Kamu tahu sekarang kondisi Move seperti apa?" tanya Farhan sambil memasukkan ke dua tangannya ke dalam saku. Sejenak laki-laki yang tak lain Dimetri itu menyugar rambut hitamnya. Bukankah dia akan menikah. Sudah seharusnya kan dia berbahagia saat ini___ "Bukkkkk ...!" Pria bertubuh kekar itu sepoyongan, ada darah yang mengalir dari sudut bibirnya. Sedang Farhan mengibas-ngibaskan tangannya. Ada rasa panas menjala
Teriakan Ray membuat seluruh penghuni ruangan itu tersentak. Semua tertuju pada tubuh Move yang kejang-kejang. Seketika senua yabg ada di ruangan di suruh keluar.Ray dengan paniknya tak bisa menenangkan perasaannya. Berkali-kali dua meraup mukanya. Bahkan semua orang mencoba untuk menenangkannya namun sia-sia.Seilah menunggu anteian lama sekali. Pintu ruangan itu tak kunjung dibuka. Padahal sudah hampir 30 menit. Dan ketika terdengar suara langkah kaki dari dalam menuju pintu keluar, Ray dengan segera menyambut dokter itu."Dok, bagaimana__"Sebaiknya, Bapak lihat sendiri keadaannya di dalam." Suara dokter itu membuat Ray terpana."Ray, sebaiknya kamu ke dalam duluan," ucap mamanya sambil memeluk putranya itu."Aku temani," kata Farhan masuk terlebih dahulu. Lalu di susul Ray.Kedua saudara kembar itu harap-harap cemas ketika memasuki ruangan itu. Beberapa suster sudah pergi meninggalkan mereka tapi di atas pembaringan p
Suara tangisan itu terdengar begitu keras hingga membuatku tersadar. Siapa yang menangis? Aku mencoba bangkit dari pembaringanku. Badanku rasanta remuk redam. Suara itu semakin terdengar di telingaku. Dan aku semakin penasaran. Sebenarnya siapa yang ditangisi? Apakah Ray? Apa calon suamiku itu tidak selamat? Astaga! Buruk sangka aja aku ini. Bagaimana tidak. Aku masih ingat betul bagaimana peristiwa itu terjadi. Ada beberapa mobil yang mengikuti kami ketika aku dan Ray akan mendatangi tempat pemotretan pre wedding kami. Dan tepat di kilometer 17 mobil-mobil itu menyenggol mobil Ray hingga mobil yang kami tumpangi masuk jurang. Itu artinya nyawa kami jadi taruhannya. Tetapi aku masih bisa merasakan sakit. Tandanya aku masih hidup. Nah! Apakah menangisi kematin Ray. Dengan buru-buru aku bangkit dari tidurku. "Ouw!" Kurasakan ada yang sakit di seluh badanku entah itu apa? Dan saat alu bisa melihat siapa yang menangis aku sangat terkejut. It
Melihat tangan thremor yang memegang gelas sampe jatuh ke lantai itu aku sudah nggak kaget. Setidaknya aku sudah bisa membuktikan bahwa semua yang diucapkan oleh Dimetri itu benar adanya.Bahwa Renata memang punya niat nggak baik dari awal datang ke Genius Group. Dua benar-benar wanita ular. Yang bisa bertahan saampai beberapa tahun di perusahaan Farhan hanya untuk menguasai secara garis besar sistem dan cara kerja Genius Group.Licik! Entah dia itu tangan kanan siapa yang di suruh untuk menyusup ke Genius Group. Yang pasti saat ini samua data perusaan dan sitem kinerja Genius Group sudah terbaca dan ia kuasain.Setidaknya kalau tencana ini bisa digagalkan tidak menutup kemungkinan Dinata Group jadi incaran selanjutnya."Renata, dengan reaksi kamu yang seperti ini, sudah cukup menjawab semua pertanyaan yang ada di otak aku. Aku punya bukti kejahatanmu, Renata." Seketika itu wajah Renata berubsh merah padam.Aku langsung beranjak berdiri. Tanpa memo