"Move di culik!" Berbarengan Ray dan Farhan mengucapkan kata-kata itu membuat petugas di ruang cctv itu terkejut.
"Pak! Apa kita nggak seharusnya melapor ke pihak yang berwajib?"
"Iya, Pak. Saya msu coba ngecek lewat ponselnya dulu siapa tahu bisa dilacak keberadaannya." kata Farhan.
"Oh kebetulan saya bisa, melacak keberadaan ponsel tersebut meskipun sudah mati ponselnya, Pak,"
"Oh ya. Kalau begitu silakan,"
Farhan memberi jalan dan menyerahkan poselnya untuk melacak keberadaan Move. Tak lama petugas cctv tersebut sudah mdngembalikan ponsel tersebut.
"Di sini, Pak titiknya. Semoga Mbak Move belum di bawa lebih jauh lagi."
Dengan segera Ray dan Farhan menuju ke parkiran dan melajukan mobilnya ke arah lokasi yang sudah di temukan. Ray melajukan mobilnya seperti orang membabi buta. Dia nggak ngangka awal-awal dia mau menikah dengan Move masih ada aja orang yang sirik. Ada yang tidak suka dengan kebahagiaan mereka.
Bersama
Mampir yuk temaan-teman
Tamparan itu terasa keras sekali. Nyatanya dari sudutbibir kanannya sobek dan menetes darah. Laki-laki itu hanya bisa memegangi pipinya yang anas seperti tersengat setrum. Sedang aku dengan mata nyalang dan sot tajam menghujam langsung ke dada Dkmetri Arteca. "Lancang kamu, Dimetri!" seruku sambil menarik laki-laki itu kehadapanku. "Kamu tidak pernah berubah, Dimetri! Tetap aja brengsek!" Makiku penuh dengan kemarahan. Tak bisa dipungkiri aku memang marah dan sangat marah. Tapi laki-laki itu hanya bergeming mendapatkan hadiah tamparan dariku. "Laki-laki menjijikkan!" Belum puas rupanya aku memaki dengan sarkasnya. Tapi ada yang berbeda lho! Laki-lali dewasa ini lebih banyak diem dan sepertinya ada yang menggajal di dadanya. Tapi aku tak peduli. Aku ingin pulang. Aku tahu dia menculikku terang-terangan. Dengan getrakan cepat aku turun dari pembaringan dan menuju ke pintu. "Mau kemana?" tanyanya cepat. "Mau
Aku pulang tanpa diantar. Bukannya tidak mau mengantar tapi aku yang tidak mau diantar. Kusuri jalan dengan kaki lelahku. Tubuh kecilku pun rasanya sudah tak mampu kupaksakan berjalan. Aku terduduk di sebuah halte. Bingung, bagaimana aku bisa pulang. Aku nggak ada uang. Ponselku pun menghilang. Sebuah bus sudah lewat dan aku hanya mampi memandangi kepergian bis itu. Menelungkup kebingungan. Karena gengsi dan jaga image akhirnya semua berantakan. Lihat! Sekarang sudah lewat dari magrib. Aku mau pulang bagaimana? Saat sedang kalut begitu, suara klakson mobil pribadi sangat menggangguku dan semakin kutelungkupkan wajahku ke dalam kedua tanganku. Agak terkejut mana kala ada sentuhan halus di pundakku. Aku mendongak dan seakan tak percaya kalau itu memang benar-benar dia. "Ray," panggilku menyerupai desisan. Dan laki-laki itu menarikku dalam dekapannya dan dipeluknya erat-erat membuatku sesak napas. "Ray, lepasin! Aku nggak bisa napas!" ucapku tersengal. D
Dengan cepat aku membereskan barang-barangku dan ku masukkan ke koper kecilku. Aku sudah bertekad untuk pergi dari kota ini dan menghilang sejauh mungkin agar tidak di temukan lagi. Aku sudah capek dengan sakit hati dan terluka, lebih-lebih rasa kecewa sudah tidak dapat kugambarkan lagi. Kenyataanya, aku harus paham bahwa hidup itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sudah banyak yang kualami bahkan taruhan nyawanerkali-kali. Tapi kenapa aku harus merasakan kecewa dan terluka lagi. Mungkin begitu sayangnya Tuhan denganku atau malah aku begitu banyak melakukan dosa selama ini, makanya aku sekarang sedang menerima balasan dari Tuhan. Aku sudah tak mampu lagi menggambarkan perasaan yang ada di hatiku. Mungkin ini keputusan yang sudah tepat. Membatalkan pernikahan dan berhenti bermimpi untuk bahagia betsama Ray. Orang yang sudah 7 tahun kurang lebihnya mengisi hari-hariku. Kalsu kenyataannya aku harus berpisah dengannya aku bisa apa. Nggak ada yang bisa aku lakukan
Raya Dinata meluruhkan badannya dihadapanku dan seketika itu juga aku terkejut, mataku terpana memandang pria yang dulu angkuh, dingin, dan galak itu bersimpuh di hadapanku. "Ray, apa yang kamu lakukan? Ayo berdiri," ucapku berjongkok di hadapannya. Tapi laki-laki itu masih duduk bersimpuh dengan lututnya. "Ray, Please!" Wajah Ray luruh menatapku seolah memohon padaku. Dan aku typical orang yang mudah meledak-ledak juga mudah melunak. Kuraih tangan itu ke dadaku lalu kutarik tubuh kekarnya ke dalam dekapanku. Spontan pria itu mengungkungku dengan dengan kedua tangannya, dan mengunci dengan tatapan mata elangnya. Aku tak bisa membohongi diriku sendiri bahwa aku terlalu sulit untuk melupakan segala kisah 7 tahun itu, menampik segala pesona sang ditektur muda itu. Iya! Umur kami berbeda, kasta kami berbeda bahkan ststus kami pun berbeda, namun hati kami sama. Satu rasa dan satu jiwa. Bahkan kami sudah memulai kisah kami 7 tahun yang lalu.
Aku menghembuskan napas dalam-dalam mengingat semua perkataan Dimetri. Terasa seperti mimpi saja melihat sosok 10 tahun yang lalu itu sekarang lebih dewasa dan kinerjanya dalam memimpin perusahaannya sudah banyak meningkat. Aku hanya bisa bersyukur setidaknya ada usaha pria dewasa itu untuk berubah. Mungkin inilah yang membuat Raya cemburu setengah mati dan sering mengumbar kemarahan dan sering berbuat kasar. Semoga ini tidak berlangsung lama dan rencana pernikahanku berjalan lancar tanpa ada lagi halangan apapun. Kring ... kring Aku tersentak mendengar telpon di ponsel genggamku. [Iya, Ray,] [Sayang, aku jemput, ya. Kita ada pemotretan prewedding] [Aku masih merapikan file, Ray] [Nggak masalah, kan? Apa Farhan mempersulit kamu?] Aku hanya menggeleng dengan lemah. Bagaimana aku bisa meenjelaskan pada semua orang tentang Renata. Rasanya pusing. Segera saja aku ke ruangan Farhan di sana ada Renata seda
Melihat tangan thremor yang memegang gelas sampe jatuh ke lantai itu aku sudah nggak kaget. Setidaknya aku sudah bisa membuktikan bahwa semua yang diucapkan oleh Dimetri itu benar adanya.Bahwa Renata memang punya niat nggak baik dari awal datang ke Genius Group. Dua benar-benar wanita ular. Yang bisa bertahan saampai beberapa tahun di perusahaan Farhan hanya untuk menguasai secara garis besar sistem dan cara kerja Genius Group.Licik! Entah dia itu tangan kanan siapa yang di suruh untuk menyusup ke Genius Group. Yang pasti saat ini samua data perusaan dan sitem kinerja Genius Group sudah terbaca dan ia kuasain.Setidaknya kalau tencana ini bisa digagalkan tidak menutup kemungkinan Dinata Group jadi incaran selanjutnya."Renata, dengan reaksi kamu yang seperti ini, sudah cukup menjawab semua pertanyaan yang ada di otak aku. Aku punya bukti kejahatanmu, Renata." Seketika itu wajah Renata berubsh merah padam.Aku langsung beranjak berdiri. Tanpa memo
Suara tangisan itu terdengar begitu keras hingga membuatku tersadar. Siapa yang menangis? Aku mencoba bangkit dari pembaringanku. Badanku rasanta remuk redam. Suara itu semakin terdengar di telingaku. Dan aku semakin penasaran. Sebenarnya siapa yang ditangisi? Apakah Ray? Apa calon suamiku itu tidak selamat? Astaga! Buruk sangka aja aku ini. Bagaimana tidak. Aku masih ingat betul bagaimana peristiwa itu terjadi. Ada beberapa mobil yang mengikuti kami ketika aku dan Ray akan mendatangi tempat pemotretan pre wedding kami. Dan tepat di kilometer 17 mobil-mobil itu menyenggol mobil Ray hingga mobil yang kami tumpangi masuk jurang. Itu artinya nyawa kami jadi taruhannya. Tetapi aku masih bisa merasakan sakit. Tandanya aku masih hidup. Nah! Apakah menangisi kematin Ray. Dengan buru-buru aku bangkit dari tidurku. "Ouw!" Kurasakan ada yang sakit di seluh badanku entah itu apa? Dan saat alu bisa melihat siapa yang menangis aku sangat terkejut. It
Teriakan Ray membuat seluruh penghuni ruangan itu tersentak. Semua tertuju pada tubuh Move yang kejang-kejang. Seketika senua yabg ada di ruangan di suruh keluar.Ray dengan paniknya tak bisa menenangkan perasaannya. Berkali-kali dua meraup mukanya. Bahkan semua orang mencoba untuk menenangkannya namun sia-sia.Seilah menunggu anteian lama sekali. Pintu ruangan itu tak kunjung dibuka. Padahal sudah hampir 30 menit. Dan ketika terdengar suara langkah kaki dari dalam menuju pintu keluar, Ray dengan segera menyambut dokter itu."Dok, bagaimana__"Sebaiknya, Bapak lihat sendiri keadaannya di dalam." Suara dokter itu membuat Ray terpana."Ray, sebaiknya kamu ke dalam duluan," ucap mamanya sambil memeluk putranya itu."Aku temani," kata Farhan masuk terlebih dahulu. Lalu di susul Ray.Kedua saudara kembar itu harap-harap cemas ketika memasuki ruangan itu. Beberapa suster sudah pergi meninggalkan mereka tapi di atas pembaringan p