Saat tiba di lobby hotel, tatapan William dan Marsha, teralih pada sosok pria paruh baya yang berdiri tidak jauh dari mereka. William dan Marsha sama-sama berusaha mengenali pria paruh baya itu, tapi mereka sangat yakin, belum pernah bertemu dengan pria paruh baya itu. William dan Marsha melangkah menuju pria paruh baya itu, namun langkah mereka terhenti kala mleihat Raymond dan Laura berlari ke arah mereka. Ya, sebelumnya Albert pun memanggil Raymond dan Laura untuk turun ke lobby. Kini William, Marsha serta Raymond dan Laura melangkah bersamaan pada sosok pria paruh baya itu. Terlihat wajah mereka smua sudah tidak sabar. Terutama untuk Marsha dan Laura, mata sembab dan wajah pucat mereka begitu terlihat. "Kau siapa?" William menyapa pria paruh baya itu dengan tatapan dingin, pada pria paruh baya yang berdiri di hadapannya. Pria paruh baya itu mengalihkan pandanganya, lalu mengulas senyuman d wajahnya. "Perkenalkan nama saya Gusti. Saya ke sini ingin bertemu dengan Tuan William Ge
Kini Marsha tengah menyuapi Sean dengan Salmon steak dan pasta carbonara. Tampak Sean yang begitu lahap menikmati makanannya. Senyum di bibir Marsha terukir, melihat putranya yang begitu lahap menikmati makanannya itu. William yang duduk di samping putranya, dia terus mengusap kepala putranya itu. Terlihat mata William yang begitu menghangat putranya telah kembali. Begitupun dengan Marsha, sejak tadi dia menatap penuh bahagia melihat putranya telah kembali. "Sean, Mommy ingin bertanya padamu, sayang.." Marsha mengambil tisu, dia membersihkan sisa makanan yang menempel di bibir putranya itu. "Mommy ingin bertanya apa?" tanya Sean dengan suara polosnya sambil menatap Marsha."Sayang, Paman Gusti tadi mengatakan bisa memukan Mommy and Daddy di sini karena Sean memberitahu nama lengkap Mommy and Daddy." Marsha mengelus lembut pipi gemuk putranya, lalu mengecupnya. "Apa Mommy boleh tahu, apa yang Sean katakan pada Paman Gusti?" tanyanya yang sejak tadi penasaran."Paman itu sangat baik,
Keesokan hari, Marsha sudah bersiap-siap menuju bandara. Ya, tadi malam William berubah pikiran. Dia memutuskan untuk langsung menuju bandara. Seluruh barang-barang mereka nyang berada di Hotel yang mereka tempati di Uluwatu, sudah dibawakan oleh pelayan. Beruntung saat sebelum pergi ke Singaraja, Marsha sudah merapihkan barang-barangnya ke dalam kopernya. Paling tidak pelayan tidak akan terlalu disusahkan dengan banyaknya barang miliknya itu. "Marsha?" William yang berdiri di ambang pintu kamar, dia melangkah mendekat ke arah istrinya. Marsha yang tengah mengemasi barang-barang pribadi milik suami dan anaknya, langsung mengalihkan pandangannya, menatap William. "Ya? Kau sudah siap, William?" "Sudah," William mengecup kening istrinya. "Di mana Sean? Aku tidak melihatnya setelah sarapan." tanyanya seraya mengedarkan pandangan kesekeliling, tidak menemukan putranya itu. "Sean tadi bersama Raymond," Marsha mengambil tangan William, dia menggulung kemeja milik suaminya itu dengan rapih
Pesawat yang membawa William dan Marsha telah mendarat di Bandara Udara Internasional Pearson Toronto, Kanda. Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, akhirnya William dan Marsha tiba di Negara mereka. Tampak Sean yang masih tertidur pulas dalam pelukan Marsha. Ya, perjalanan jauh, membuat Sean begitu kelelahan. Ditambah dengan selama berlibur di Bali, Sean selalu bermain setiap hari. Tidak hanya, Sean, tapi Marsha pun merasakan kelelahan. Namun, meski merasa lelah, tapi Marsha sungguh sangat bahagia karena liburannya kali ini, William banyak meluangkan waktu untuknya dan juga Sean. Jika biasanya, William selalu disibukan dengan pekerjaan, kali ini sang suami tidak lagi disibukan dengan pekerjaan. Selama di Bali, William hanya sesekali mengunjungi lahan yang dia beli yang nantinya akan dia bangun menjadi hotel. Selebihnya, William akan banyak meluangkan waktu untuknya dan juga Sean.Tatapan William Kini teralih pada sang istri yang tengah menggendong Sean, dia langsung mengambil a
Sinar matahari pagi menembus jendela, menyentuh kulit wajah Marsha. Perlahan Marsha mulai membuka, dia mengerjapkan matanya beberapa kali. Ketika Marsha sudah membuka matanya, dia mengalihkan pandangannya ke samping—dia mendesah pelan, ketika mendapati sang suami sudah tidak ada di sampingnya. Tentu dia sudah tahu, suaminya itu pasti sudah berangkat. Karena tadi malam, William mengatakan akan berangkat lebih awal. Marsha turun dari ranjang seraya mengikat asal rambutnya. Dia melihat jam dinding, sekarang sudah pukul delapan pagi. Pagi ini Marsha bangun sedikit terlembat. Sepulang dari Bali, tubuhnya masih begitu lelah. Kini Marsha hendak melangkah, menuju kamar mandi. Namun langkahnya terhenti saat dia melihat sebuah note yang berada di atas nakas. Kemudian, Marsha mengambil note yang ada di atas nakas itu, lalu membacanya.*Sayang, maaf aku berangkat sebelum kau bangun. Hari ini aku memiliki meeting penting dan banyak pekerjaan yang belum aku selesaikan. Katakan pada Sean, aku minta
Miler Internasional School, adalah sekolah yang sengaja dibangun oleh William untuk putranya. Sudah sejak tahun lalu William merancang Miler Internasional School. Kali ini William memutuskan untuk menggunakan nama Miler saat membangun sekolah ini. Tentu, semua fasilitas yang dimiliki oleh Miler Internasional School sangat lengkap dan mewah. Bahkan William tidak sembarangan memilih guru yang mengajar disekolahnya itu. Ya, William selalu terkenal perfeksionis dalam bekerja. Termasuk dalam membangun sekolah ini, dia menginginkan yang sempurna. Kini mobil yang membawa Marsha bersama Veronica dan Sean sudah memasuki lobby Miler Internasional School. Tampak Sean yang sepanjang jalan menuju sekolah, selalu riang bernyanyi sambil bertepuk tangan. Marsha pun tidak henti tersenyum melihat tingkah Sean yang begitu menggemaskan. Marsha dan Veronia turun dari mobil, berserta Sean yang digandeng oleh Veronica turun dari mobil. Mereka pun langsung masuk ke dalam lobby dan mengantarkan Sean menuju k
William tersenyum kala melihat video dan foto yang dikirimkan istrinya. Tampak putranya, Sean begitu tampan dan menggemaskan dalam video dan foto itu. Terlebih pesan Marsha yang mengatakan Sean selalu bertanya 'Apa aku sudah mirip dengan Daddy?' Sebuah kalimat yang membuat hati William menghangat mendengarkan semua itu. Sejak dulu, Sean selalu ingin menjadi dirinya. Itu yang membuat William benar-benar merasakan menjadi seorang ayah dalah hal yang paling membahagiakan didunia ini. Terdengar suara interkom masuk, membuat William yang tengah melihat video Sean diponselnya, langsung mengalihkan pandangannya ke telepon yang tak kunjung reda itu. Kemudian dia menekan tombol hijau untuk menerima panggilan lalu menjawab dengan nada dingin, "Ada apa, Aluna? Bukannya meeting dua jam lagi? Kenapa kau menggangguku?" "Tuan William, maaf mengganggu waktu anda. Tapi di luar Ada Tuan Antonio Leonardo De Luca, beliau ingin menemui anda, Tuan," ujar Aluna, sang sekretaris dari seberang line. "Persi
Suara ketukan pintu terdengar bersamaan dengan teriakan membuat Wiliam dan Marsha yang masih tertidur pulas, langsung membuka mata mereka. Marsha langsung bangkit dari ranjang dan mengikat asal rambutnya. Kini terdengar begitu jelas, suara teriakan Sean memanggil Marsha dan William. Dengan cepat, Marsha berjalan membuka pintu kamarnya. "Mommy...." Sean langsung memeluk Marsha saat pintu terbuka."Sayang? Kenapa kau di sini? Di mana Bibi Ruth?" tanta Marsha sambil mengusap pelan rambut putranya. "Aku ingin di sini dengan Mommy and Daddy. Hari ini Daddy and Mommy akan bersama mengantarku ke sekolah,kan?" Sean mendongakan kepalanya, menatap Marsha dengan bibir yang berkerut. Marsha mengulum senyumannya, dia mencium hidung Sean gemas. "Iya, sayang. Mommy and Daddy hari ini akan mengantar Sean ke sekolah. Yasudah, Mommy akan membantu Sean bersiap-siap." Sean mengangguk antusias. "Ya, Mommy..."Kemudian Marsha membawa Sean masuk ke dalam kamar. Ketika Sean masuk ke dalam kamar, dia lan
Beberapa bulan kemudian... Tokyo, Japan... "Selena... Miracle... Hati-hati, jangan melempar bola salju seperti itu," seru Marsha memberikan peringatan pada kedua putrinya itu, yang tengah bermain salju. "Sean, jaga kedua adikmu. Jangan sampai mereka terluka," lanjutnya yang sedikit berteriak memperingatkan putra sulungnya itu, yang juga ikut bermain salju dengan Selena dan Miracle. "Sayang, Sean akan menjaga Selena dan Miracle dengan baik. Kau tenang saja," William merengkuh bahu Marsha seraya mengecup kening Marsha. "Lihatlah, Dominic masih tertidur pulas, meski tadi suaramu kencang. Tapi dia tetap tenang," ujarnya yang kini melihat ke arah Dominic yang tengah dalam pelukan Marsha. Marsha mendesah pelan, kemudian dia menatap Dominic yang masih tertidur pulas. Beruntung, putra bungsunya itu, tidak terbangun karena mendengar suaranya yang sedikit kencang memperingati ketiga anaknya. Ya, waktu berjalan begitu cepat. Kini Dominic berusia delapan bulan. William dan Marsha, sengaja men
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi laki-lakinya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak keempat mereka adalah laki-laki. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sesaat William menatap Marsha dengan tatapan yang begitu bahagia. Tidak pernah terpikir dalam hidup mereka, akan kembali merasakan kebahagiaan ini lagi."Dia mirip dengan Sean saat bayi," ucap William di telinga Marsha seraya memberikan banyak kecupan dipipi istrinya itu. "Terima kasih, sayang. Terima kasih telah memberikanku hadiah yang luar biasa."Marsha tersenyum dia terus mengusap lembut kepala bayi laki-lakinya itu. "Aku juga sangat bahagia, William. Melahirkan buah cinta kita adala
Marsha mematut cermin. Tubuhnya kini telah terbalut dress khusus wanita hamil yang membuat Marsha sangat nyaman. Ya, lagi dan lagi Marsha mengalami kenaikan berat badan cukup drastis. Berkali-kali suaminya mengatakan dirinya sangat cantik dan seksi saat hamil, namun Marsha tentu tidak akan percaya. Bagaimana tidak? Setiap kali Marsha menatap ke cermin, dia selalu melihat tubuhnya tampak begitu besar. Beruntung, kali ini adalah kehamilan yang terakhirnya. Memiliki empat anak sudah lebih dari cukup bagi Marsha. Padahal dulu, dia hanya menginginkan dua anak saja. Tapi William tidak akan pernah mau jika hanya dua anak. Bahkan hingga detik ini, William selalu meminta untuk kembali menambah anak. Marsha benar-benar tidak habis pikir dengan keinginan sang suami. "Setelah melahirkan, aku harus berolah raga. Aku tidak ingin gemuk seperti ini terus," gumam Marsha seraya mengusap perut buncitnya. "Sayang, Mommy sangat mencintaimu. Tenang saja, Mommy tidak akan menyalahkanmu karena kau membuat t
Suara teriakan yang keras membuat Laura yang baru saja menata pajangan di rumahnya, langsung terkejut. Dengan cepat Laura mengalihkan pandangannya, menatap ke arah pintu rumahnya. Seketika Laura mengerutkan keningnya, melihat Lea yang baru saja pulang sekolah, dengan raut wajah yang marah melangkah masuk ke dalam rumah. "Ahg! Kenapa mereka itu menyebalkan sekali! Mereka menggangguku!" seru Lea dengan suara keras kala tiba di rumah. "Sayang? Kau kenapa?" Laura mendekat ke arah Lea, dia langsung mengelus lembut pipi putrinya itu. "Tidak baik, gadis cantik masuk ke dalam rumah dengan wajah yang kesal. Sekarang katakan pada Mommy ada apa dan di mana Ken? Kenapa Ken tidak pulang bersama denganmu?" Lea mendengus, dia mencebikan bibirnya. "Ken masih berada di sekolah. Ada khursus yag harus dia ikuti. Mommy, aku rasanya ingin pindah sekolah saja. Aku tidak mau bersekolah di sekolah yang sama dengan Ka Sean. Aku pusing, Mommy!" Laura menautkan alisnya menatap bingung Lea. "Kenapa, sayang?
"Mommy..." Seorang anak perempuan berusia empat tahun berlari menghampiri Karin yang tengah memasak di dapur. Disusul dengan anak laki-laki yang juga berusia empat tahun, ikut berlari menghampiri Karin. Karin yang baru saja selesai masak, dan hendak meletakan makanan di atas meja, dia langsung mengalihkan pandangannya kala ada yang memanggilnya. Seketika senyum di bibir Karin terukir, melihat kedua anaknya tengah menghampirinya. Dengan cepat Karin langsung membuka tangannya dan memberikan pelukan hangat pada kedua anaknya itu. "Kelvin... Charlotte... Kalian sudah pulang?" Karin memberikan banyak kecupan pada kedua anaknya itu. "Ya, Mommy. Kami sudah pulang," jawab Kelvin dan Charlotte bersamaan seraya memeluk erat tubuh Karin. "Bagaimana hari kalian di sekolah? Apa kalian selalu bersama Selena dan Miracle?" tanya Karin sambil mengelus lembut pipi Kelvin dan Charlotte. Kelvin Frans Geovan dan Charlotte Frans Geovan, anak kembar dari Frans dan Karin yang berusia empat tahun ini ben
Lima Tahun Kemudian..."Astaga, Miracle. Hentikan bermain dengan pisau! Nanti kau terluka, Miracle!" Suara Marsha berseru dengan nada yang keras, agar putri kecilnya itu menghentikan bermain dengan pisau. Vanessa Miracle William Geovan, sejak kecil William mengajarkan bela diri pada Miracle, demi melindungi dirinya sendiri. Tentu William melakukan itu semua karena Miracle tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. William selalu waspada jika suatu saat ada yang berusaha mencelakai putrinya. Namun, Miracle sangat berbeda dengan Selena, saudara kembarnya yang berambut pirang, memiliki sifat yang begitu lemah lembut. Sangat sulit bagi William, mengajarkan Selena bela diri, karena berkali-kali Selena akan selalu terluka. Itu kenapa Willliam lebih memilih menjaga Selena dengan banyak pengawal yang mengikuti putrinya itu. "Mom, aku bisa melempar pisau di papan tepat sasaran. Aku hebat, kan, Mom?" Miracle tersenyum bangga, kala pisau yang dia lempar ke papan, tepat sasaran. Kemudian, dia pun
Karin menatap keindahan Canada's sugar beach. Sudah sejak beberapa hari lalu dirinya ingin pergi ke pantai ini. Tapi dia terpaksa menunda karena Frans disibukan dengan pekerjaannya. Dengan kaki telanjang, dan perut yang membuncit Karin melangkah melusuri pantai. Ya, kini kandangan Karin memasuki minggu ke tiga puluh empat. Selama kehamilan ini. Karin dilarang untuk melakukan kegiatan berat. Biasanya Karin menghabiskan waktu bersantai di rumah atau menonton film drama kesukannya. Jika Karin ingin keluar rumah, maka Frans harus ikut dengannya. Sejak hamil, sifat Frans memang begitu overprotective padanya. Dulu Karin berpikir, dia tidak akan pernah tahu bagaiamaa sifat seorang suami yang mengatasi istrinya yang tengah mengandung, tapi ternyata Tuhan begitu baik padanya, hingga memberikan kesempatan untuknya hamil. Kebahagiaan Frans dan Karin bertambah saat Dokter memberitahu dia hamil bayi kembar. Tentu Karin dan Frans begitu bahagia menyambut bayi kembar mereka. "Frans, kenapa kau tid
"Karin, pagi ini aku berangkat lebih awal. Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan menggantikan William. Beberapa hari ke depan, William tidak masuk ke kantor," ucap Frans seraya memakai dasi. Karin yang tengah duduk, dia bangkit berdiri mendekat ke arah Frans, dan langsung mengambil alih Frans yang tengah memakai dasi. "Aku mengerti, William pasti sedang menemani Marsha yang baru melahirkan. Saat ini Marsha benar-benar membutuhkan William berada disisinnya." Karin menepuk pelan dada Frans kala selesai memakaikan dasi suaminya. "Terima kasih sudah mengerti," Frans menarik dagu Karin, mencium dan melumat lembut bibir Karin. "Yasudah aku berangkat sekarang. Malam ini kau tidurlah duluan. Jangan menungguku." "Hati-hati. Kabari aku jika kau sudah di kantor. Jangan lupakan makan siangmu," balas Karin mengingatkan. Frans mengangguk. Kemudian, dia mengecup singkat bibir Karin, lalu melangkah keluar meninggalkan kamar. Karin hendak menemani Frans, namun, Frans memintanya untuk tetap di
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi kembarnya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak kembar mereka adalah perempuan. Hal yang membuat William bertambah bahagia adalah saat sang Dokter mengatakan anak kembar mereka bukanlah kembar identik. Anak perempuan pertama yang lebih dulu lahir memiliki rambut pirang seperti Marsha. Sedangkan anak perempuan kedua yang lahir, memiliki rambut coklat seperti William. Sungguh, William tidak menyangka, bayi kembarnya akan lahir dengan begitu special. Kini Marsha tidak akan lagi iri, karena sekarang, Marsha memiliki satu anak yang begitu mirip dengannya. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sedangkan William d