William menggedong Sean yang kini tertidur pulas dalam pelukannya. Dia langsung membawa Sean ke kamar dan membaringkan putranya di ranjang. Seharinya pergi menamani Marsha berbelanja, membuat Sean terlihat kelelahan. "Sean pasti sangat lelah," ucap Marsha sambil melihat putranya yang tengah tertidur pulas. "Ya, biarkan dia tidur," William mengecup kening Marsha. "Aku harus ke kantor. Tadi Frans mengirimkan pesan padaku, ada rekan bisnisku dari Melbourne, ingin bertemu denganku." "Kau ingin langsung ke kantor? Apa kau tidak lelah?" Marsha mengerutkan keningnya. Dia tidak percaya, seharian ini suaminya sudah menemani dirinya berbelanja, tapi William masih ingin ke kantor cabangnya yang dipimpin Frans. "Aku akan beristiarahat nanti," William menarik dagu Marsha, mencium dan melumat lembut bibir istrinya. "Aku berangkat, nanti kau tidurlah duluan. Jangan menungguku." Marsha mengangguk. "Aku akan menamanimu ke depan." Kemudian, Marsha langsung memeluk lengan William, berjalan mening
"Mommy.... Daddy...." Suara tangis Sean begitu kencang, membuat Marsha dan Karin terkejut. Dengan cepat Marsha dan Karin beranjak dari tempat duduk mereka, dan langsung menghampiri Sean."Oh, sayang? Kenapa menangis.." Marsha yang sudah tiba di kamar, dia langsung memeluk erat Sean. Karin duduk di samping Marsha sambil mengusap rambut Sean. "Kenapa menangis, sayang? Mommy di sini.." Marsha mengertakan pelukannya. Dia mengusap punggung putranya itu. Sean membenamkan wajahnya dalam pelukan Marsha, lalu dia mendongak dengan mata dan hidung memerah. "Mommy, di mana Daddy? Sean ingin Daddy..." isak Sean kembali terdengar saat menanyakan William. "Daddy bekerja, sayang. Di sini ada Mommy dan Bibi Karin yang menemanimu. Jangan menangis, sayang." Marsha menghapus air mata putranya dengan jemari tangannya. Dia mengecup pipi gemuk putranya itu. "Aku ingin Daddy, Mommy. Aku ingin Daddy.." isak Sean. Dia semakin mengeratkan pelukannya pada Marsha. "Sean, Daddy sedang ada di kantor bersama Pa
"Kakak Sean..." Lea berteriak memanggil Sean, dia langsung berlari masuk ke dalam rumah. "Lea, jangan berlari, sayang. Nanti kau terjatuh," teriak Laura ketika melihat putrinya berlari. "Biarkan, sayang. Lea pasti merindukan Sean." Raymond merengkuh bahu Laura, lalu berjalan masuk ke dalam menyusul Lea yang sudah lebih dulu. "Kak Sean?" Lea kini melihat Sean, yang tengah bermain robot. Dia langsung mendekat dan duduk di samping Sean. Sean melirik Lea sekilas, lalu dia kembali main dengan robotnya tanpa menghiraukan kedatangan Lea. Marsha dan Karin yang baru saja selesai membuat puding, mereka terkejut melihat Lea duduk di samping Sean. Marsha langsung meletakan puding yang dia buat ke atas meja, lalu berjalan menghampiri Sean dan Lea. "Lea sayang, kau sudah datang?" tanya Marsha dengan suara lembut. Lea mendongakan kepalanya, dia tersenyum melihat Marsha dan Karin. Dengan cepat Lea beranjak dari tempat duduknya, lalu memeluk Marsha dan Karin. "Bibi Marsha... Bibi Karin... Aku
"Marsha.." Langkah Marsha terhenti, saat mendengar suara William memanggil namanya. Dia langsung membalikan tubuhnya, dan menatap sang suami yang kini berdiri tidak jauh darinya. "William? Apa Sean mencariku?" Marsha mendekat, dia melangkah menghampiri William. "Tidak, sayang. Sean dan Lea sudah tertidur di kamar mereka," jawab William sembari mengelus lembut pipi Marsha. "Ada hal yang ingin aku bicarakan padamu." "Ada apa, William?" Marsha mengerutkan keningnya, menatap bingung William. "Kita ke kamar." William merengkuh bahu istrinya. Membawa Marsha masuk ke dalam kamar. Marsha menurut, dia memilih mengikuti William. Meski dia tidak tahu apa yang ingin William bicarakan padanya. "Apa yang ingin kau katakan?" tanya Marsha yang penasaran saat dirinya dan William sudah tiba di kamar. William masih diam, dia menarik tangan Marsha, membawa istrinya duduk di sofa. "Besok Frans dan Karin, akan lebih dulu berangkat ke Indonesia bersama dengan Raymond dan Laura." Dia menyelipkan rambu
Keesokan hari, suasana rumah sudah terlihat begitu sibuk. Terutama Karin, yang meminta pelayan memindahkan koper-koper miliknya ke dalam mobil. Kemarin, saat Frans mengatakan pada Karin, keberangkatan ke Indonesia dipercepat, membuat Karin langsung menghubungi butik langganannya. Karin meminta butik langganannya itu, mengirimkan tas dan sepatu koleksi terbaru untuk ibunya. Tentu saja, kemarin Karin kesal karena Frans tidak mengatakan padanya, jika keberangkatan ke Indonesia dipercepat. Tidak hanya Karin yang tengah sibuk, Laura juga tengah sibuk membawa mengatur barang-barang yang akan di bawa ke Indonesia. Tapi, Laura tidak terlalu membawa banyak barang, karena dia lebih memilih untuk membelinya di sana, jika nanti dia membutuhkan sesuatu. "Sayang, kenapa kau membawa banyak sekali barang?" tanya Frans dengan nada sedikit kesal. Dia menatap tumpukan koper-koper milik kekasihnya itu. Bahkan satu mobil juga tidak akan muat menampung koper milik Karin.Karin mendengus, kemudian dia men
Suara dering ponsel membuat Marsha yang baru saja selesai mandi, dia langsung berjalan mengambil ponselnya yang berada di atas nakas. Kini tatapannya teralih menatap nomor Clara, ibunya yang tengah menghubunginya. Tanpa menunggu lama, Marsha langsung menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan, sebelum kemudian meletakan ke telinganya. "Ya, Ma?" jawab Marsha saat panggilan terhubung. "Marsha, apa Mama mengganggumu?" tanya Clara dari seberang line. "Tida, Ma. Ada apa?" "Mama dengar, kau akan ke Indonesia.""Astaga, Mama. Aku lupa memberitahu Mama. Iya, aku akan ke Indonesia, Karin dan Frans akan menikah di sana. Mama tahu dari mana? Maaf, Ma. Aku lupa memberitahumu." "Kau ini benar-benar, Marsha. Bagaimana kau bisa tidak memberitahu Mama?" Marsha berdecak. "Aku lupa, Ma. Lagi pula, Mama juga sudah mendengarnya." "Ya, Mama tahu dari Papamu. William yang sudah menceritakannya. Tapi Mama, menunggumu cerita pada Mama." Marsha meringis. Kali ini benar-benar lupa untuk menceritaa
William dan Marsha turun dari mobil melangkah masuk ke dalam perusahaan cabang milik Geovan Group yang ada di Moscow. Sean yang tengah digendong oleh William, menjadi pusat perhatian para karyawan yang ada di area lobby itu. Tampak para karyawan yang langsung menundukan kepalanya, saat melihat William dan Marsha. "Marsha, nanti kau tunggu di kamar pribadiku. Aku akan meeting dengan Mr. Beck mungkin hingga dua atau tiga jam ke depan," kata William sambil menatap Marsha.Marsha mengangguk paham. "Ya, aku dan Sean akan menunggumu." "Mommy, aku ingin ice cream," pinta Sean."William, apa di ruanganmu, kau memiliki persediaan ice cream?" tanya Marsha. "Tidak, sayang. Nanti aku akan meminta anak buahku membelikan ice cream," jawab William sembari mengecup pipi gemuk Sean. "Daddy, aku ingin membeli ice cream dengan Mommy," Sean memeluk leher William dengan tangan mungilnya. Dia menatap William dengan penuh permohonan. "William, biarkan aku membeli ice cream berdua dengan Sean," Marsha m
"Tuan William, bagaimana dengan software yang akan kita pakai diperusahaan teknologi ini?" tanya Beck rekan bisnis William yang duduk tepat di hadapan William. "Aku akan memilih yang terbaik. Nanti assistant akan mengurusnya," tukas Willliam dingin.Beck mengangguk. "Baik, Tuan. Aku akan menunggu informasi selanjutnya." "Tuan William.." Seorang wanita berlari menerobos masuk ke dalam ruang meeting. William langsung mengalihkan pandangannya. Dia menatap dingin Carol, manager perusahaan cabangnya menerobos masuk ke dalam ruang meeting. "Ada apa?" tanya William dingin, dengan alis yang saling beratautan dan sorot mata tajam. "Tuan, Maaf menggaggu. Tapi saya ingin memberitahu tentang Nyonya," jawab Carol dengan gugup. "Apa maksudmu? Katakan yang jelas!" William semakin menghunuskan tatapan tajam. Terlebih Carol menyebut istrinya."Nyonya Marsha berkelahi dengan seorang wanita, Tuan," jawab Carol seraya menundukan kepalanya tidak berani menatap William. William tersentak, dengan cep
Beberapa bulan kemudian... Tokyo, Japan... "Selena... Miracle... Hati-hati, jangan melempar bola salju seperti itu," seru Marsha memberikan peringatan pada kedua putrinya itu, yang tengah bermain salju. "Sean, jaga kedua adikmu. Jangan sampai mereka terluka," lanjutnya yang sedikit berteriak memperingatkan putra sulungnya itu, yang juga ikut bermain salju dengan Selena dan Miracle. "Sayang, Sean akan menjaga Selena dan Miracle dengan baik. Kau tenang saja," William merengkuh bahu Marsha seraya mengecup kening Marsha. "Lihatlah, Dominic masih tertidur pulas, meski tadi suaramu kencang. Tapi dia tetap tenang," ujarnya yang kini melihat ke arah Dominic yang tengah dalam pelukan Marsha. Marsha mendesah pelan, kemudian dia menatap Dominic yang masih tertidur pulas. Beruntung, putra bungsunya itu, tidak terbangun karena mendengar suaranya yang sedikit kencang memperingati ketiga anaknya. Ya, waktu berjalan begitu cepat. Kini Dominic berusia delapan bulan. William dan Marsha, sengaja men
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi laki-lakinya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak keempat mereka adalah laki-laki. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sesaat William menatap Marsha dengan tatapan yang begitu bahagia. Tidak pernah terpikir dalam hidup mereka, akan kembali merasakan kebahagiaan ini lagi."Dia mirip dengan Sean saat bayi," ucap William di telinga Marsha seraya memberikan banyak kecupan dipipi istrinya itu. "Terima kasih, sayang. Terima kasih telah memberikanku hadiah yang luar biasa."Marsha tersenyum dia terus mengusap lembut kepala bayi laki-lakinya itu. "Aku juga sangat bahagia, William. Melahirkan buah cinta kita adala
Marsha mematut cermin. Tubuhnya kini telah terbalut dress khusus wanita hamil yang membuat Marsha sangat nyaman. Ya, lagi dan lagi Marsha mengalami kenaikan berat badan cukup drastis. Berkali-kali suaminya mengatakan dirinya sangat cantik dan seksi saat hamil, namun Marsha tentu tidak akan percaya. Bagaimana tidak? Setiap kali Marsha menatap ke cermin, dia selalu melihat tubuhnya tampak begitu besar. Beruntung, kali ini adalah kehamilan yang terakhirnya. Memiliki empat anak sudah lebih dari cukup bagi Marsha. Padahal dulu, dia hanya menginginkan dua anak saja. Tapi William tidak akan pernah mau jika hanya dua anak. Bahkan hingga detik ini, William selalu meminta untuk kembali menambah anak. Marsha benar-benar tidak habis pikir dengan keinginan sang suami. "Setelah melahirkan, aku harus berolah raga. Aku tidak ingin gemuk seperti ini terus," gumam Marsha seraya mengusap perut buncitnya. "Sayang, Mommy sangat mencintaimu. Tenang saja, Mommy tidak akan menyalahkanmu karena kau membuat t
Suara teriakan yang keras membuat Laura yang baru saja menata pajangan di rumahnya, langsung terkejut. Dengan cepat Laura mengalihkan pandangannya, menatap ke arah pintu rumahnya. Seketika Laura mengerutkan keningnya, melihat Lea yang baru saja pulang sekolah, dengan raut wajah yang marah melangkah masuk ke dalam rumah. "Ahg! Kenapa mereka itu menyebalkan sekali! Mereka menggangguku!" seru Lea dengan suara keras kala tiba di rumah. "Sayang? Kau kenapa?" Laura mendekat ke arah Lea, dia langsung mengelus lembut pipi putrinya itu. "Tidak baik, gadis cantik masuk ke dalam rumah dengan wajah yang kesal. Sekarang katakan pada Mommy ada apa dan di mana Ken? Kenapa Ken tidak pulang bersama denganmu?" Lea mendengus, dia mencebikan bibirnya. "Ken masih berada di sekolah. Ada khursus yag harus dia ikuti. Mommy, aku rasanya ingin pindah sekolah saja. Aku tidak mau bersekolah di sekolah yang sama dengan Ka Sean. Aku pusing, Mommy!" Laura menautkan alisnya menatap bingung Lea. "Kenapa, sayang?
"Mommy..." Seorang anak perempuan berusia empat tahun berlari menghampiri Karin yang tengah memasak di dapur. Disusul dengan anak laki-laki yang juga berusia empat tahun, ikut berlari menghampiri Karin. Karin yang baru saja selesai masak, dan hendak meletakan makanan di atas meja, dia langsung mengalihkan pandangannya kala ada yang memanggilnya. Seketika senyum di bibir Karin terukir, melihat kedua anaknya tengah menghampirinya. Dengan cepat Karin langsung membuka tangannya dan memberikan pelukan hangat pada kedua anaknya itu. "Kelvin... Charlotte... Kalian sudah pulang?" Karin memberikan banyak kecupan pada kedua anaknya itu. "Ya, Mommy. Kami sudah pulang," jawab Kelvin dan Charlotte bersamaan seraya memeluk erat tubuh Karin. "Bagaimana hari kalian di sekolah? Apa kalian selalu bersama Selena dan Miracle?" tanya Karin sambil mengelus lembut pipi Kelvin dan Charlotte. Kelvin Frans Geovan dan Charlotte Frans Geovan, anak kembar dari Frans dan Karin yang berusia empat tahun ini ben
Lima Tahun Kemudian..."Astaga, Miracle. Hentikan bermain dengan pisau! Nanti kau terluka, Miracle!" Suara Marsha berseru dengan nada yang keras, agar putri kecilnya itu menghentikan bermain dengan pisau. Vanessa Miracle William Geovan, sejak kecil William mengajarkan bela diri pada Miracle, demi melindungi dirinya sendiri. Tentu William melakukan itu semua karena Miracle tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. William selalu waspada jika suatu saat ada yang berusaha mencelakai putrinya. Namun, Miracle sangat berbeda dengan Selena, saudara kembarnya yang berambut pirang, memiliki sifat yang begitu lemah lembut. Sangat sulit bagi William, mengajarkan Selena bela diri, karena berkali-kali Selena akan selalu terluka. Itu kenapa Willliam lebih memilih menjaga Selena dengan banyak pengawal yang mengikuti putrinya itu. "Mom, aku bisa melempar pisau di papan tepat sasaran. Aku hebat, kan, Mom?" Miracle tersenyum bangga, kala pisau yang dia lempar ke papan, tepat sasaran. Kemudian, dia pun
Karin menatap keindahan Canada's sugar beach. Sudah sejak beberapa hari lalu dirinya ingin pergi ke pantai ini. Tapi dia terpaksa menunda karena Frans disibukan dengan pekerjaannya. Dengan kaki telanjang, dan perut yang membuncit Karin melangkah melusuri pantai. Ya, kini kandangan Karin memasuki minggu ke tiga puluh empat. Selama kehamilan ini. Karin dilarang untuk melakukan kegiatan berat. Biasanya Karin menghabiskan waktu bersantai di rumah atau menonton film drama kesukannya. Jika Karin ingin keluar rumah, maka Frans harus ikut dengannya. Sejak hamil, sifat Frans memang begitu overprotective padanya. Dulu Karin berpikir, dia tidak akan pernah tahu bagaiamaa sifat seorang suami yang mengatasi istrinya yang tengah mengandung, tapi ternyata Tuhan begitu baik padanya, hingga memberikan kesempatan untuknya hamil. Kebahagiaan Frans dan Karin bertambah saat Dokter memberitahu dia hamil bayi kembar. Tentu Karin dan Frans begitu bahagia menyambut bayi kembar mereka. "Frans, kenapa kau tid
"Karin, pagi ini aku berangkat lebih awal. Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan menggantikan William. Beberapa hari ke depan, William tidak masuk ke kantor," ucap Frans seraya memakai dasi. Karin yang tengah duduk, dia bangkit berdiri mendekat ke arah Frans, dan langsung mengambil alih Frans yang tengah memakai dasi. "Aku mengerti, William pasti sedang menemani Marsha yang baru melahirkan. Saat ini Marsha benar-benar membutuhkan William berada disisinnya." Karin menepuk pelan dada Frans kala selesai memakaikan dasi suaminya. "Terima kasih sudah mengerti," Frans menarik dagu Karin, mencium dan melumat lembut bibir Karin. "Yasudah aku berangkat sekarang. Malam ini kau tidurlah duluan. Jangan menungguku." "Hati-hati. Kabari aku jika kau sudah di kantor. Jangan lupakan makan siangmu," balas Karin mengingatkan. Frans mengangguk. Kemudian, dia mengecup singkat bibir Karin, lalu melangkah keluar meninggalkan kamar. Karin hendak menemani Frans, namun, Frans memintanya untuk tetap di
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi kembarnya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak kembar mereka adalah perempuan. Hal yang membuat William bertambah bahagia adalah saat sang Dokter mengatakan anak kembar mereka bukanlah kembar identik. Anak perempuan pertama yang lebih dulu lahir memiliki rambut pirang seperti Marsha. Sedangkan anak perempuan kedua yang lahir, memiliki rambut coklat seperti William. Sungguh, William tidak menyangka, bayi kembarnya akan lahir dengan begitu special. Kini Marsha tidak akan lagi iri, karena sekarang, Marsha memiliki satu anak yang begitu mirip dengannya. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sedangkan William d