Kini William dan Marsha sudah tiba di Bolshoi Theatre. William sengaja membawa Marsha ke Bolshoi Theatre. Dia ingin mengajak istrinya untuk menonton opera. Sudah lama rasanya William tidak memiliki waktu berdua dengan istrinya itu. Sejak dulu, Sean putra mereka selalu ikut setiap kali William ingin mengajak Marsha hanya berdua saja. "William, kau sudah membeli tiket?" tanya Marsha memastikan. "Sudah sayang," William mengecup kening Marsha. Kemudian, dia merengkuh masuk ke dalam Bolshoi Theatre. Beruntung, William memesan tempat duduk di tengah. Itu membuat Marsha lebih nyaman ketika menonton opera. Tidak lama kemudian, Teater Opera di mulai. "William, nanti kita ke sini lagi mengajak Sean. Pasti Sean menyukainya," bisik Marsha. William mengusap rambut istrinya. "Ya, nanti kita akan ke sini lagi." "Ah, ya aku juga ingin melihat pertunjukan balet, William. Tapi tidak mungkin aku membawa Sean," gumam Marsha. William mengulum senyumannya. "Berarti, kita harus segera memiliki anak p
"Sean, sepertinya menyukai tidur dalam pelukanmu." Frans mendekat ke arah Karin, dia menatap Sean yang tertidur pulas dalam pelukan Karin. Senyum di bibirnya terukir, kala melihat Sean tertidur begitu pulas dalam pelukan Karin. Karin menoleh, dia menatap Frans yang mendekat ke arahnya. "Kau sudah pulang?" tanyanya dengan suara pelan. Dia tidak ingin membuat Sean terbangun. Frans mengangguk, dia langsung duduk di samping Karin. "Kenapa kau belum memindahkan Sean ke kamarnya?""Tadi saat aku ingin memindahkan Sean, dia terbangun. Jadi aku membiarkan dia tidur dalam pelukanku. Lagi pula aku menyukai Sean tidur dalam pelukanku," jawab Karin sembari mengecup hidung Sean. Dia melihat Sean yang tertidur begitu pulas, membuat hatinya menghangat. "Sean beruntung, kau sangat menyayanginya," ucap Frans sembari mengelus lembut pipi gemuk Sean. "Aku sudah menganggap Sean seperti anakku sendiri," Karin mengecup kening Sean. Tatapanya terus menatap lembut Sean yang begitu tenang, tidur dalam pel
Pagi hari, Marsha membantu Karin menyiapkan sarapan. Khusus hari ini, Marsha sengaja tidak meminta pelayan untuk menyiapkan sarapan. Rasanya, dia sudah lama sekali tidak masak untuk William. Terlebih, sejak dirinya memegang kendali perusahaan keluarganya. Dia sangat jarang memasak untuk William."Selesai," ucap Marsha ketika selesai menyajikan Linguine Alle Vongole, Lasagna dan Fettucini Alfredo. Ya, William memang menyukai Italian Cuisine. Itu kenapa Marsha selalu masak Italian cuisine, jika memiliki waktu senggang. "Marsha, kau sekarang sangat hebat. Apa setiap hari kau selalu masak untuk William?" tanya Karin dengan tatapan kagum. Marsha tersenyum. "Tidak, Karin. Aku sangat jarang masak untuk William. Kau tahu, sekarang aku sudah memegang kendali perusahaan keluargaku." "Aku sangat bangga padamu, Marsha." Karin mengelus lengan Marsha. "Aku pernah melihat dirimu di majalah bisnis. Kau terlihat sangat cantik." "Jangan berlebihan, Karin," Marsha mendengus. Karin terkekeh."Tadi m
"Sean, jangan berlari, sayang.. Nanti Bibi dimarahi Ibumu," seru Karin dengan cukup keras. Dia menatap kesal Sean yang tengah berlari, dengan teman barunya. Ya, kini Karin dan Frans mengajak Sean ke Tagansky Park. Sebuah wahana bermain anak-anak yang ada di Moskow. Karin mendesah pelan, melihat Sean yang tengah berlari dengan teman barunya di taman itu. Beberapa kali, Sean bermain bola dengan teman barunya. Sudah sejak tadi, Karin berteriak, agar Sean tidak berlari. Dia tidak ingin Sean sampai terjatuh apalagi sampai terluka. Bisa-bisa, Marsha tidak akan lagi mempercayakan Sean padanya. "Karin, biarkan Sean bermain. Lihatlah pengawal William selalu mengawasi putranya. Kau tidak perlu mencemaskan Sean," ujar Frans seraya melihat beberapa pengawal William yang mengelilingi putranya itu. Frans sudah tahu, William pasti akan selalu meminta pengawalnya menjaga putranya itu. "Baiklah, kalau begitu kita duduk saja. Aku lelah." Kemudian Karin duduk di kursi yang tidak jauh darinya. Begitup
"William, minumlah. Aku membuatkan kopi untukmu." Marsha memberikan cangkir yang berisikan kopi yang dia buat khusus suaminya itu. Tatapannya menatap lembut William yang tengah fokus pada iPad di tangannya. Ya, Marsha tentu tahu, meski William sedang tidak ada di Toronto, tapi suaminya itu akan tetap fokus pada pekerjaanya. "Terima kasih, sayang." William menerima kopi yang diberikan istrinya. Lalu dia menyesap kopinya perlahan. "Marsha, apa sean sudah pulang?" tanyanya ketika menyadari tidak ada suara putranya. "Belum, kau seperti tidak tahu saja. Sean sangat dekat dengan Frans. Dia akan menghabiskan waktu dengan Pamannya," Marsha duduk di samping William sembari menyandarkan kepalanya di bahu suaminya. Kini Tatapannya menatap suasana sore di taman begitu menyejukan. "Apa besok kau ingin berbelanja?" tanya William sambil mengusap rambut Marsha. "Sepertinya, besok aku ingin kita berbelanja dengan Sean. Aku ingin berbelanja sepatu untuk Sean," jawab Marsha antusias. Dia baru menyad
Kini William dan Marsha tengah berada di TSUM shopping Center, salah satu departement store terbesar di Moscow. Sudah sejak tadi Marsha membelikan baju dan sepatu untuk Sean. Tidak hanya Sean, Marsha juga membelikan banyak pakaian dan segala kebutuhan sang suami. "Sayang, kau belum membelikan apapun untukmu," ucap William sambil melihat shopping bag yang dibawakan oleh pengawalnya. Ya, sejak tadi Marsha hanya membelikan pakaian untuk sean dan William. "Aku ingin melihat dress di toko itu." tunjuk Marsha di salah satu toko yang tidak jauh darinya. William mengangguk, kemudian dia merengkuh bahu Marsha dengan tangan kirinya. Tangan kanannya menggendong Sean yang sejak tadi begitu tenang. Sean hanya menurut, dan terus memeluk leher William dengan tangan mungilnya. Setibanya di toko, Marsha langsung memilih beberapa dress yang sejak tadi menarik perhatiannya. William yang tengah menggendong Sean, dia mengikuti istrinya yang tengah memilih dress itu. "Sayang, ambil ini." William membe
William menggedong Sean yang kini tertidur pulas dalam pelukannya. Dia langsung membawa Sean ke kamar dan membaringkan putranya di ranjang. Seharinya pergi menamani Marsha berbelanja, membuat Sean terlihat kelelahan. "Sean pasti sangat lelah," ucap Marsha sambil melihat putranya yang tengah tertidur pulas. "Ya, biarkan dia tidur," William mengecup kening Marsha. "Aku harus ke kantor. Tadi Frans mengirimkan pesan padaku, ada rekan bisnisku dari Melbourne, ingin bertemu denganku." "Kau ingin langsung ke kantor? Apa kau tidak lelah?" Marsha mengerutkan keningnya. Dia tidak percaya, seharian ini suaminya sudah menemani dirinya berbelanja, tapi William masih ingin ke kantor cabangnya yang dipimpin Frans. "Aku akan beristiarahat nanti," William menarik dagu Marsha, mencium dan melumat lembut bibir istrinya. "Aku berangkat, nanti kau tidurlah duluan. Jangan menungguku." Marsha mengangguk. "Aku akan menamanimu ke depan." Kemudian, Marsha langsung memeluk lengan William, berjalan mening
"Mommy.... Daddy...." Suara tangis Sean begitu kencang, membuat Marsha dan Karin terkejut. Dengan cepat Marsha dan Karin beranjak dari tempat duduk mereka, dan langsung menghampiri Sean."Oh, sayang? Kenapa menangis.." Marsha yang sudah tiba di kamar, dia langsung memeluk erat Sean. Karin duduk di samping Marsha sambil mengusap rambut Sean. "Kenapa menangis, sayang? Mommy di sini.." Marsha mengertakan pelukannya. Dia mengusap punggung putranya itu. Sean membenamkan wajahnya dalam pelukan Marsha, lalu dia mendongak dengan mata dan hidung memerah. "Mommy, di mana Daddy? Sean ingin Daddy..." isak Sean kembali terdengar saat menanyakan William. "Daddy bekerja, sayang. Di sini ada Mommy dan Bibi Karin yang menemanimu. Jangan menangis, sayang." Marsha menghapus air mata putranya dengan jemari tangannya. Dia mengecup pipi gemuk putranya itu. "Aku ingin Daddy, Mommy. Aku ingin Daddy.." isak Sean. Dia semakin mengeratkan pelukannya pada Marsha. "Sean, Daddy sedang ada di kantor bersama Pa
Beberapa bulan kemudian... Tokyo, Japan... "Selena... Miracle... Hati-hati, jangan melempar bola salju seperti itu," seru Marsha memberikan peringatan pada kedua putrinya itu, yang tengah bermain salju. "Sean, jaga kedua adikmu. Jangan sampai mereka terluka," lanjutnya yang sedikit berteriak memperingatkan putra sulungnya itu, yang juga ikut bermain salju dengan Selena dan Miracle. "Sayang, Sean akan menjaga Selena dan Miracle dengan baik. Kau tenang saja," William merengkuh bahu Marsha seraya mengecup kening Marsha. "Lihatlah, Dominic masih tertidur pulas, meski tadi suaramu kencang. Tapi dia tetap tenang," ujarnya yang kini melihat ke arah Dominic yang tengah dalam pelukan Marsha. Marsha mendesah pelan, kemudian dia menatap Dominic yang masih tertidur pulas. Beruntung, putra bungsunya itu, tidak terbangun karena mendengar suaranya yang sedikit kencang memperingati ketiga anaknya. Ya, waktu berjalan begitu cepat. Kini Dominic berusia delapan bulan. William dan Marsha, sengaja men
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi laki-lakinya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak keempat mereka adalah laki-laki. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sesaat William menatap Marsha dengan tatapan yang begitu bahagia. Tidak pernah terpikir dalam hidup mereka, akan kembali merasakan kebahagiaan ini lagi."Dia mirip dengan Sean saat bayi," ucap William di telinga Marsha seraya memberikan banyak kecupan dipipi istrinya itu. "Terima kasih, sayang. Terima kasih telah memberikanku hadiah yang luar biasa."Marsha tersenyum dia terus mengusap lembut kepala bayi laki-lakinya itu. "Aku juga sangat bahagia, William. Melahirkan buah cinta kita adala
Marsha mematut cermin. Tubuhnya kini telah terbalut dress khusus wanita hamil yang membuat Marsha sangat nyaman. Ya, lagi dan lagi Marsha mengalami kenaikan berat badan cukup drastis. Berkali-kali suaminya mengatakan dirinya sangat cantik dan seksi saat hamil, namun Marsha tentu tidak akan percaya. Bagaimana tidak? Setiap kali Marsha menatap ke cermin, dia selalu melihat tubuhnya tampak begitu besar. Beruntung, kali ini adalah kehamilan yang terakhirnya. Memiliki empat anak sudah lebih dari cukup bagi Marsha. Padahal dulu, dia hanya menginginkan dua anak saja. Tapi William tidak akan pernah mau jika hanya dua anak. Bahkan hingga detik ini, William selalu meminta untuk kembali menambah anak. Marsha benar-benar tidak habis pikir dengan keinginan sang suami. "Setelah melahirkan, aku harus berolah raga. Aku tidak ingin gemuk seperti ini terus," gumam Marsha seraya mengusap perut buncitnya. "Sayang, Mommy sangat mencintaimu. Tenang saja, Mommy tidak akan menyalahkanmu karena kau membuat t
Suara teriakan yang keras membuat Laura yang baru saja menata pajangan di rumahnya, langsung terkejut. Dengan cepat Laura mengalihkan pandangannya, menatap ke arah pintu rumahnya. Seketika Laura mengerutkan keningnya, melihat Lea yang baru saja pulang sekolah, dengan raut wajah yang marah melangkah masuk ke dalam rumah. "Ahg! Kenapa mereka itu menyebalkan sekali! Mereka menggangguku!" seru Lea dengan suara keras kala tiba di rumah. "Sayang? Kau kenapa?" Laura mendekat ke arah Lea, dia langsung mengelus lembut pipi putrinya itu. "Tidak baik, gadis cantik masuk ke dalam rumah dengan wajah yang kesal. Sekarang katakan pada Mommy ada apa dan di mana Ken? Kenapa Ken tidak pulang bersama denganmu?" Lea mendengus, dia mencebikan bibirnya. "Ken masih berada di sekolah. Ada khursus yag harus dia ikuti. Mommy, aku rasanya ingin pindah sekolah saja. Aku tidak mau bersekolah di sekolah yang sama dengan Ka Sean. Aku pusing, Mommy!" Laura menautkan alisnya menatap bingung Lea. "Kenapa, sayang?
"Mommy..." Seorang anak perempuan berusia empat tahun berlari menghampiri Karin yang tengah memasak di dapur. Disusul dengan anak laki-laki yang juga berusia empat tahun, ikut berlari menghampiri Karin. Karin yang baru saja selesai masak, dan hendak meletakan makanan di atas meja, dia langsung mengalihkan pandangannya kala ada yang memanggilnya. Seketika senyum di bibir Karin terukir, melihat kedua anaknya tengah menghampirinya. Dengan cepat Karin langsung membuka tangannya dan memberikan pelukan hangat pada kedua anaknya itu. "Kelvin... Charlotte... Kalian sudah pulang?" Karin memberikan banyak kecupan pada kedua anaknya itu. "Ya, Mommy. Kami sudah pulang," jawab Kelvin dan Charlotte bersamaan seraya memeluk erat tubuh Karin. "Bagaimana hari kalian di sekolah? Apa kalian selalu bersama Selena dan Miracle?" tanya Karin sambil mengelus lembut pipi Kelvin dan Charlotte. Kelvin Frans Geovan dan Charlotte Frans Geovan, anak kembar dari Frans dan Karin yang berusia empat tahun ini ben
Lima Tahun Kemudian..."Astaga, Miracle. Hentikan bermain dengan pisau! Nanti kau terluka, Miracle!" Suara Marsha berseru dengan nada yang keras, agar putri kecilnya itu menghentikan bermain dengan pisau. Vanessa Miracle William Geovan, sejak kecil William mengajarkan bela diri pada Miracle, demi melindungi dirinya sendiri. Tentu William melakukan itu semua karena Miracle tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. William selalu waspada jika suatu saat ada yang berusaha mencelakai putrinya. Namun, Miracle sangat berbeda dengan Selena, saudara kembarnya yang berambut pirang, memiliki sifat yang begitu lemah lembut. Sangat sulit bagi William, mengajarkan Selena bela diri, karena berkali-kali Selena akan selalu terluka. Itu kenapa Willliam lebih memilih menjaga Selena dengan banyak pengawal yang mengikuti putrinya itu. "Mom, aku bisa melempar pisau di papan tepat sasaran. Aku hebat, kan, Mom?" Miracle tersenyum bangga, kala pisau yang dia lempar ke papan, tepat sasaran. Kemudian, dia pun
Karin menatap keindahan Canada's sugar beach. Sudah sejak beberapa hari lalu dirinya ingin pergi ke pantai ini. Tapi dia terpaksa menunda karena Frans disibukan dengan pekerjaannya. Dengan kaki telanjang, dan perut yang membuncit Karin melangkah melusuri pantai. Ya, kini kandangan Karin memasuki minggu ke tiga puluh empat. Selama kehamilan ini. Karin dilarang untuk melakukan kegiatan berat. Biasanya Karin menghabiskan waktu bersantai di rumah atau menonton film drama kesukannya. Jika Karin ingin keluar rumah, maka Frans harus ikut dengannya. Sejak hamil, sifat Frans memang begitu overprotective padanya. Dulu Karin berpikir, dia tidak akan pernah tahu bagaiamaa sifat seorang suami yang mengatasi istrinya yang tengah mengandung, tapi ternyata Tuhan begitu baik padanya, hingga memberikan kesempatan untuknya hamil. Kebahagiaan Frans dan Karin bertambah saat Dokter memberitahu dia hamil bayi kembar. Tentu Karin dan Frans begitu bahagia menyambut bayi kembar mereka. "Frans, kenapa kau tid
"Karin, pagi ini aku berangkat lebih awal. Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan menggantikan William. Beberapa hari ke depan, William tidak masuk ke kantor," ucap Frans seraya memakai dasi. Karin yang tengah duduk, dia bangkit berdiri mendekat ke arah Frans, dan langsung mengambil alih Frans yang tengah memakai dasi. "Aku mengerti, William pasti sedang menemani Marsha yang baru melahirkan. Saat ini Marsha benar-benar membutuhkan William berada disisinnya." Karin menepuk pelan dada Frans kala selesai memakaikan dasi suaminya. "Terima kasih sudah mengerti," Frans menarik dagu Karin, mencium dan melumat lembut bibir Karin. "Yasudah aku berangkat sekarang. Malam ini kau tidurlah duluan. Jangan menungguku." "Hati-hati. Kabari aku jika kau sudah di kantor. Jangan lupakan makan siangmu," balas Karin mengingatkan. Frans mengangguk. Kemudian, dia mengecup singkat bibir Karin, lalu melangkah keluar meninggalkan kamar. Karin hendak menemani Frans, namun, Frans memintanya untuk tetap di
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi kembarnya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak kembar mereka adalah perempuan. Hal yang membuat William bertambah bahagia adalah saat sang Dokter mengatakan anak kembar mereka bukanlah kembar identik. Anak perempuan pertama yang lebih dulu lahir memiliki rambut pirang seperti Marsha. Sedangkan anak perempuan kedua yang lahir, memiliki rambut coklat seperti William. Sungguh, William tidak menyangka, bayi kembarnya akan lahir dengan begitu special. Kini Marsha tidak akan lagi iri, karena sekarang, Marsha memiliki satu anak yang begitu mirip dengannya. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sedangkan William d