Pagi hari, Marsha tengah membuatkan sarapan untuk William. Jika biasanya, Marsha terbiasa dengan pelayan yang menyiapkan makanan untuknya dan William, tapi kali ini Marsha ingin sendiri menyiapkan sarapan untuk suaminya. Dan hari ini, Marsha membuatkan Gnocchi. Makanan khas Italia, sesuai dengan kesukaan William. Lama tinggal di Milan, membuat William lebih menyukai hidangan Italia. Karena William tidak begitu menyukai sayuran, Marsha memilih mengisi Gnocchi dengan daging. Tentu Andine, chefnya turut membantu. Meski tidak sepenuhnya, tapi Andine hanya melihat saja dan memberitahu jika ada bahan makan yang Marsha salah masukan. "Selesai," Marsha tersenyum puas ketika dia sudah selesai membuatkan Gnocchi. "Andine, apa ada yang kurang?" tanya Marsha pada Andine yang berdiri di sampingnya. "Tidak Nyonya, rasanya juga sudah pas. Saya yakin, Tuan William pasti menyukainya," jawab Andine. Marsha tersenyum. "Baiklah, aku akan menemui William." Andine mengangguk. Kemudian Marsha melangka
"Marsha, beberapa hari lalu kau makan siang dengan temanmu. Luna mengatakan temanmu itu bernama Anna, apa yang dimaksud-" "Ya, Anna mantan kekasihmu. Aku menyukainya. Dia sangat baik. Aku tidak sengaja bertemu dengan Anna di supermarket ketika aku berbelaja, bahan-bahan makanan." Marsha langsung memotong ucapan William. Terakhir Marsha memang tidak membahas tentang dia bertemu dengan Anna. Dia berpikir, William sudah menyadarinya. Namun, ternyata William tidak menyadari Anna yang dia maksud adalah mantan kekasihnya sendiri. Lagi pula. Marsha menyukai Anna, wanita itu sangat baik dan lembut. William mengangguk, kemudian dia duduk di sofa seraya membaca email masuk di iPadnya. Terlihat jelas, raut wajah William yang tidak perduli dengan Anna. Bahkan saat bertemu tidak sengaja, William juga tidak menyapa Anna. "William?" Marsha menyusul William, dia duduk di samping suaminya itu. "Apa kau masih membenci Anna?" "Aku tidak memiliki alasan untuk membencinya," jawab William datar. "Tapi
William duduk di kursi kepemimpinan. Tepat di samping William, ada Raymond yang tengah membaca dokumen yang baru saja diberikan oleh Dimitry. Hari ini, meeting dipimpin langsung oleh Dimitry yang membahas tentang penyusunan pembangunan hotel baru di Roma dan Milan. Segala kerugian, telah diatasi oleh William. Bahkan William tidak terlalu mengambil pusing kerugian itu. Bagi William, kerugian itu tentu tidak ada apa-apaanya. Meski selama hampir sembilan tahun William memegang kendali Geovan Group, ini pertama kalinya dia mengalami kerugian begitu besar. "Tuan William, pembanguan hotel di Roma dan Milan, diperkirakan akan selesai kurang di awal tahun depan," ujar Dimitry dengan begitu yakin. William mengangguk. "Aku tidak menyukai pekerjaan yang lama. Bulan depan, Albert akan menyusun proposal pembanguan hotel di Asia. Termasuk di Indonesia, aku ingin membangun hotel di negara kelahiran istriku." "Saya rasa itu ide yang bagus. Mengingat Indonesia salah satu negara yang memiliki tingka
William duduk di tepi ranjang, dia menatap Marsha yang masih belum juga sadar. Beruntung, tidak terjadi sesuatu pada kandungan istrinya. Dokter mengatakan terlalu banyak yang dipikirkan. Pikiran William tetap tidak bisa tenang, disisi lain dia ingin melihat keadaan adiknya yang masih di ruang operasi. Namun, di sisi lainnya William tidak mungkin meninggalkan Marsha sendiri. Terlebih kondisi Marsha belum membaik. Dokter melarang Marsha terlalu banyak beban pikiran. William mengusap rambut Marsha, dia memberikan banyak kecupan di puncak kepala istrinya itu. Kemudian, dia membawa tangannya mengusap lembut perut Marsha yang membuncit itu. Perlahan Marsha mulai membuka matanya. Dia merasakan ada yang menyentuh wajahnya. Saat dia membuka matanya, dia tersenyum mendapati William berada di sampingnya. "Sayang, kau sudah sadar?" William mengelus lembut pipi Marsha. "William, kenapa aku ada di sini?" tanya Marsha dengan suara pelan. "Tadi kau pingsan. Jangan memikirkan apa pun. Aku tidak i
Anna membuka sebuah kotak yang sudah lama dia tidak pernah buka. Dia menatap kalung berinisial W. Senyum di bibir Anna terukir melihat kalung berlian itu. Namun, seketika senyum di bibirnya pudar, tergantikan dengan wajah yang tampak muram. Sudut matanya mulai mengeluarkan air mata. Kali ini, Anna membiarkan air matanya berlinang membasahi pipinya. Selama ini, dia selalu menahan air matanya. Dan tidak untuk saat ini. Anna sengaja membiarkan dirinya menangis. Dengan menangis hatinya bisa lebih sedikit tenang. "Bahkan hingga detik ini, aku tidak mampu melupakanmu, William.." isak Anna. Dia meremas pelan kalung yang ada ditangannya. Air matanya semakin berlinang membasahi pipinya. "Anna!" Suara teriakan begitu menggelegar memanggil namanya membuat Anna terkejut. Dengan cepat Anna menggapus air matanya, dia menoleh ke belakang. Tatapannya kini melihat Adrian, suaminya berdiri di ambang pintu, dengan wajah penuh dengan kemarahan. "A-Adrian, kau tidak ke kantor?" Anna langsung menyimpan
Raymond menatap inkubator dari balik kaca, bayi mungilnya berhasil diselamatkan. Dia tidak henti bersyukur, anak dan istrinya bisa terselamatkan. Tidak ada hal yang membuatnya bahagia, selain melihat istri dan anaknya selamat. "Tuan Raymond?" Dion sang assistant memanggil, hingga membuat Raymond menghentikan lamunannya. Raymond mengalihkan pandangannya, dia menatap dingin Dion. "Ada apa?" "Tuan saya ingin menyampaikan tentang kecelakana Nyonya," jawab Dion. "Kau sudah menyelidikinya? Katakan padaku sekarang," desak Raymond yang sudah tidak sabar. "Ada yang sengaja merusak rem mobil Nyonya. Saya sudah memeriksa rekaman CCTV, tapi orang itu ternyata sangat cerdas, Tuan. Saya berusaha memulihkan CCTV, tapi tetap tidak bisa, Tuan. Hingga detik ini saya dan Albert masih mencoba memulihkan CCTV," jawab Dion seraya menundukan kepalanya. Dia tidak berani menatap Raymond yang tengah melayangkan tatapan tajam dan penuk kemarahan. "Aku membayarmu untuk selalu bisa melakukan apapun, Dion! K
Suara dering ponsel terdengar, William yang tengah tertidur pulas harus terbangun akibat dering ponsel yang tak kunjung berhenti. Dengan terpaksa, William membuka matanya, dia melirik ke samping Marsha masih tertidur pulas dalam pelukannya. Perlahan William mulai meletakan kepala Marsha di atas bantal. Lalu dia mengambil ponselnya yang berada di atas nakas. William mengerutkan keningnya, melihat nomor Frans tertera di layar ponselnya. Tanpa menunggu lama, William langsung menggerser tombol hijau untuk menerima panggilan, sebelum kemudian meletakan ke telinganya. "Ada apa?" William menjawab dingin saat panggilan terhubung."William, kita mengalami masalah besar!" seru Frans dengan nada begitu cemas dan panik.Mendengar ucapan Frans, William segera beranjak dari ranjang. Dia menjauh dari Marsha, dan tidak ingin istrinya itu mendengarnya. "Katakan ada apa? Kenapa kau menghubungi tengah malam seperti ini?" tukas William dingin. "Apartemenmu di Jepang, yang baru saja selesai pembangunan
Dering interkom masuk, membuat William yang tengah membaca berkas dari Albert harus mengalihkan pandangannya. William menatap dingin interkom yang tak kunjung berhenti itu. Hingga kemudian, dia menekan tombol hijau untuk menerima panggilan, sebelum kemudian menjawab dingin, "Apa kau tidak mendengar perkataanku? Jangan menggangguku!" "M-Maaf Tuan, tapi ada Tuan Raymond Jefferson ingin bertemu anda." Suara Aluna, sekretaris William terdengar begitu gugup dari seberang line. "Minta dia untuk masuk." William menekan tombol merah, untuk mengakhiri panggilan tersebut. Tidak lama kemudian, Raymond melangkah masuk ke dalam ruang kerja William. Dia tidak memperdulikan tatapan William yang menghunus tajam ke arahnya. Dia mendekat, lalu duduk di hadapan William. "Aku tidak suka berbasa-basi. Katakan padaku, ada apa?" seru William dengan wajah yang tampak tak bersahabat. "Ada hal penting yang ingin aku bicarakan padamu," jawab Raymond. "Apa kau ingin membahas kebakaran hotel dan apartemenku
Beberapa bulan kemudian... Tokyo, Japan... "Selena... Miracle... Hati-hati, jangan melempar bola salju seperti itu," seru Marsha memberikan peringatan pada kedua putrinya itu, yang tengah bermain salju. "Sean, jaga kedua adikmu. Jangan sampai mereka terluka," lanjutnya yang sedikit berteriak memperingatkan putra sulungnya itu, yang juga ikut bermain salju dengan Selena dan Miracle. "Sayang, Sean akan menjaga Selena dan Miracle dengan baik. Kau tenang saja," William merengkuh bahu Marsha seraya mengecup kening Marsha. "Lihatlah, Dominic masih tertidur pulas, meski tadi suaramu kencang. Tapi dia tetap tenang," ujarnya yang kini melihat ke arah Dominic yang tengah dalam pelukan Marsha. Marsha mendesah pelan, kemudian dia menatap Dominic yang masih tertidur pulas. Beruntung, putra bungsunya itu, tidak terbangun karena mendengar suaranya yang sedikit kencang memperingati ketiga anaknya. Ya, waktu berjalan begitu cepat. Kini Dominic berusia delapan bulan. William dan Marsha, sengaja men
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi laki-lakinya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak keempat mereka adalah laki-laki. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sesaat William menatap Marsha dengan tatapan yang begitu bahagia. Tidak pernah terpikir dalam hidup mereka, akan kembali merasakan kebahagiaan ini lagi."Dia mirip dengan Sean saat bayi," ucap William di telinga Marsha seraya memberikan banyak kecupan dipipi istrinya itu. "Terima kasih, sayang. Terima kasih telah memberikanku hadiah yang luar biasa."Marsha tersenyum dia terus mengusap lembut kepala bayi laki-lakinya itu. "Aku juga sangat bahagia, William. Melahirkan buah cinta kita adala
Marsha mematut cermin. Tubuhnya kini telah terbalut dress khusus wanita hamil yang membuat Marsha sangat nyaman. Ya, lagi dan lagi Marsha mengalami kenaikan berat badan cukup drastis. Berkali-kali suaminya mengatakan dirinya sangat cantik dan seksi saat hamil, namun Marsha tentu tidak akan percaya. Bagaimana tidak? Setiap kali Marsha menatap ke cermin, dia selalu melihat tubuhnya tampak begitu besar. Beruntung, kali ini adalah kehamilan yang terakhirnya. Memiliki empat anak sudah lebih dari cukup bagi Marsha. Padahal dulu, dia hanya menginginkan dua anak saja. Tapi William tidak akan pernah mau jika hanya dua anak. Bahkan hingga detik ini, William selalu meminta untuk kembali menambah anak. Marsha benar-benar tidak habis pikir dengan keinginan sang suami. "Setelah melahirkan, aku harus berolah raga. Aku tidak ingin gemuk seperti ini terus," gumam Marsha seraya mengusap perut buncitnya. "Sayang, Mommy sangat mencintaimu. Tenang saja, Mommy tidak akan menyalahkanmu karena kau membuat t
Suara teriakan yang keras membuat Laura yang baru saja menata pajangan di rumahnya, langsung terkejut. Dengan cepat Laura mengalihkan pandangannya, menatap ke arah pintu rumahnya. Seketika Laura mengerutkan keningnya, melihat Lea yang baru saja pulang sekolah, dengan raut wajah yang marah melangkah masuk ke dalam rumah. "Ahg! Kenapa mereka itu menyebalkan sekali! Mereka menggangguku!" seru Lea dengan suara keras kala tiba di rumah. "Sayang? Kau kenapa?" Laura mendekat ke arah Lea, dia langsung mengelus lembut pipi putrinya itu. "Tidak baik, gadis cantik masuk ke dalam rumah dengan wajah yang kesal. Sekarang katakan pada Mommy ada apa dan di mana Ken? Kenapa Ken tidak pulang bersama denganmu?" Lea mendengus, dia mencebikan bibirnya. "Ken masih berada di sekolah. Ada khursus yag harus dia ikuti. Mommy, aku rasanya ingin pindah sekolah saja. Aku tidak mau bersekolah di sekolah yang sama dengan Ka Sean. Aku pusing, Mommy!" Laura menautkan alisnya menatap bingung Lea. "Kenapa, sayang?
"Mommy..." Seorang anak perempuan berusia empat tahun berlari menghampiri Karin yang tengah memasak di dapur. Disusul dengan anak laki-laki yang juga berusia empat tahun, ikut berlari menghampiri Karin. Karin yang baru saja selesai masak, dan hendak meletakan makanan di atas meja, dia langsung mengalihkan pandangannya kala ada yang memanggilnya. Seketika senyum di bibir Karin terukir, melihat kedua anaknya tengah menghampirinya. Dengan cepat Karin langsung membuka tangannya dan memberikan pelukan hangat pada kedua anaknya itu. "Kelvin... Charlotte... Kalian sudah pulang?" Karin memberikan banyak kecupan pada kedua anaknya itu. "Ya, Mommy. Kami sudah pulang," jawab Kelvin dan Charlotte bersamaan seraya memeluk erat tubuh Karin. "Bagaimana hari kalian di sekolah? Apa kalian selalu bersama Selena dan Miracle?" tanya Karin sambil mengelus lembut pipi Kelvin dan Charlotte. Kelvin Frans Geovan dan Charlotte Frans Geovan, anak kembar dari Frans dan Karin yang berusia empat tahun ini ben
Lima Tahun Kemudian..."Astaga, Miracle. Hentikan bermain dengan pisau! Nanti kau terluka, Miracle!" Suara Marsha berseru dengan nada yang keras, agar putri kecilnya itu menghentikan bermain dengan pisau. Vanessa Miracle William Geovan, sejak kecil William mengajarkan bela diri pada Miracle, demi melindungi dirinya sendiri. Tentu William melakukan itu semua karena Miracle tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. William selalu waspada jika suatu saat ada yang berusaha mencelakai putrinya. Namun, Miracle sangat berbeda dengan Selena, saudara kembarnya yang berambut pirang, memiliki sifat yang begitu lemah lembut. Sangat sulit bagi William, mengajarkan Selena bela diri, karena berkali-kali Selena akan selalu terluka. Itu kenapa Willliam lebih memilih menjaga Selena dengan banyak pengawal yang mengikuti putrinya itu. "Mom, aku bisa melempar pisau di papan tepat sasaran. Aku hebat, kan, Mom?" Miracle tersenyum bangga, kala pisau yang dia lempar ke papan, tepat sasaran. Kemudian, dia pun
Karin menatap keindahan Canada's sugar beach. Sudah sejak beberapa hari lalu dirinya ingin pergi ke pantai ini. Tapi dia terpaksa menunda karena Frans disibukan dengan pekerjaannya. Dengan kaki telanjang, dan perut yang membuncit Karin melangkah melusuri pantai. Ya, kini kandangan Karin memasuki minggu ke tiga puluh empat. Selama kehamilan ini. Karin dilarang untuk melakukan kegiatan berat. Biasanya Karin menghabiskan waktu bersantai di rumah atau menonton film drama kesukannya. Jika Karin ingin keluar rumah, maka Frans harus ikut dengannya. Sejak hamil, sifat Frans memang begitu overprotective padanya. Dulu Karin berpikir, dia tidak akan pernah tahu bagaiamaa sifat seorang suami yang mengatasi istrinya yang tengah mengandung, tapi ternyata Tuhan begitu baik padanya, hingga memberikan kesempatan untuknya hamil. Kebahagiaan Frans dan Karin bertambah saat Dokter memberitahu dia hamil bayi kembar. Tentu Karin dan Frans begitu bahagia menyambut bayi kembar mereka. "Frans, kenapa kau tid
"Karin, pagi ini aku berangkat lebih awal. Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan menggantikan William. Beberapa hari ke depan, William tidak masuk ke kantor," ucap Frans seraya memakai dasi. Karin yang tengah duduk, dia bangkit berdiri mendekat ke arah Frans, dan langsung mengambil alih Frans yang tengah memakai dasi. "Aku mengerti, William pasti sedang menemani Marsha yang baru melahirkan. Saat ini Marsha benar-benar membutuhkan William berada disisinnya." Karin menepuk pelan dada Frans kala selesai memakaikan dasi suaminya. "Terima kasih sudah mengerti," Frans menarik dagu Karin, mencium dan melumat lembut bibir Karin. "Yasudah aku berangkat sekarang. Malam ini kau tidurlah duluan. Jangan menungguku." "Hati-hati. Kabari aku jika kau sudah di kantor. Jangan lupakan makan siangmu," balas Karin mengingatkan. Frans mengangguk. Kemudian, dia mengecup singkat bibir Karin, lalu melangkah keluar meninggalkan kamar. Karin hendak menemani Frans, namun, Frans memintanya untuk tetap di
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi kembarnya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak kembar mereka adalah perempuan. Hal yang membuat William bertambah bahagia adalah saat sang Dokter mengatakan anak kembar mereka bukanlah kembar identik. Anak perempuan pertama yang lebih dulu lahir memiliki rambut pirang seperti Marsha. Sedangkan anak perempuan kedua yang lahir, memiliki rambut coklat seperti William. Sungguh, William tidak menyangka, bayi kembarnya akan lahir dengan begitu special. Kini Marsha tidak akan lagi iri, karena sekarang, Marsha memiliki satu anak yang begitu mirip dengannya. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sedangkan William d