Suara dering ponsel terdengar, William yang tengah tertidur pulas harus terbangun akibat dering ponsel yang tak kunjung berhenti. Dengan terpaksa, William membuka matanya, dia melirik ke samping Marsha masih tertidur pulas dalam pelukannya. Perlahan William mulai meletakan kepala Marsha di atas bantal. Lalu dia mengambil ponselnya yang berada di atas nakas. William mengerutkan keningnya, melihat nomor Frans tertera di layar ponselnya. Tanpa menunggu lama, William langsung menggerser tombol hijau untuk menerima panggilan, sebelum kemudian meletakan ke telinganya. "Ada apa?" William menjawab dingin saat panggilan terhubung."William, kita mengalami masalah besar!" seru Frans dengan nada begitu cemas dan panik.Mendengar ucapan Frans, William segera beranjak dari ranjang. Dia menjauh dari Marsha, dan tidak ingin istrinya itu mendengarnya. "Katakan ada apa? Kenapa kau menghubungi tengah malam seperti ini?" tukas William dingin. "Apartemenmu di Jepang, yang baru saja selesai pembangunan
Dering interkom masuk, membuat William yang tengah membaca berkas dari Albert harus mengalihkan pandangannya. William menatap dingin interkom yang tak kunjung berhenti itu. Hingga kemudian, dia menekan tombol hijau untuk menerima panggilan, sebelum kemudian menjawab dingin, "Apa kau tidak mendengar perkataanku? Jangan menggangguku!" "M-Maaf Tuan, tapi ada Tuan Raymond Jefferson ingin bertemu anda." Suara Aluna, sekretaris William terdengar begitu gugup dari seberang line. "Minta dia untuk masuk." William menekan tombol merah, untuk mengakhiri panggilan tersebut. Tidak lama kemudian, Raymond melangkah masuk ke dalam ruang kerja William. Dia tidak memperdulikan tatapan William yang menghunus tajam ke arahnya. Dia mendekat, lalu duduk di hadapan William. "Aku tidak suka berbasa-basi. Katakan padaku, ada apa?" seru William dengan wajah yang tampak tak bersahabat. "Ada hal penting yang ingin aku bicarakan padamu," jawab Raymond. "Apa kau ingin membahas kebakaran hotel dan apartemenku
Marsha memasukan barang-barang yang akan di bawa oleh William ke Milan ke dalam koper. Setelah selesai, dia langsung meminta pelayan meletakan koper suaminya itu ke dalam mobil. Terlihat wajah Marsha tampak begitu muram. Ya, dia merasa berat untuk membiarkan William pergi ke Milan. Marsha ingin sekali untuk pergi ke Milan menemani suaminya. Tapi kondisi kandungannya tidak memungkinkan. Jika saja Marsha sedang tidak hamil, dia sudah pasti akan ikut ke Milan. William yang tengah berdiri di ambang pintu, dia menatap istrinya yang terlihat begitu muram. Dia langsung mendekat dan memeluk Marsha dari belakang. Marsha tersenyum kala mendapatkan pelukan hangat William. Kemudian, dia membalikan tubuhnya. Kini dia dan William saling menatap dalam satu sama lain. William menagkup ke dua pipi Marsha, mencium serta melumat lembut bibir istrinya itu. "Aku akan segera pulang sayang." William tidak henti mencium bibir Marsha, dia memagut dengan lembut bibir ranum Marsha. Marsha membenamkan wajahn
Namun, saat Karin hendak mengganti channel televisi, dia melihat berita terbaru yang diberitakann oleh penyiar. Marsha beranjak dari tempat duduknya ketika melihat berita itu. Tatapan Marsha tidak lepas melihat berita yang disampaikan oleh penyiar berita itu.Tidak hanya Marsha yang mendekat, tapi Karin juga mendekat dan berdiri di samping Marsha mendengarkan berita yang disampaikan oleh penyiar itu. Hingga kemudian, tubuh Marsha mematung mendengar berita itu. Dia menggelengkan kepalanya dengan tegas ketika mendengar berita yang telah di sampaikan oleh penyiar.*Pesawat pribadi milik pengusaha muda William Geovan lost contact. Pesawat yang membawa William Geovan bersama dengan sang assistant baru saja lepas landas lima belas menit lalu. Saat ini kami masih menunggu kabar selanjutnya.*Tubuh Marsha hampir ambruk mendengar berita itu. Dengan cepat Karin memeluk bahu Marsha. Napas Marsha memburu, dia kembali menggelangkan kepala dengan tegas. Mata Marsha memerah, air matanya mulai berlin
Frans mundur perlahan, tubuhnya terasa begitu panas ketika meneguk wine yang baru saja dia pesan. Seketika dia berusaha keluar dari kamar hotel namun, dia tidak mampu. Frans ingin mengambil ponselnya, tapi dia tidak menemukan ponselnya. Frans terus mengumpat, tubuhnya sudah tidak sanggup lagi menahan rasa panas. Terlebih rekan bisnis yang tadi dia temui, kini menghilang dan membuatnya terjebak dalam sebuah kamar hotel. "Apa kau ingin aku temani?" Seorang wanita berjalan masuk ke dalam kamar. Wanita itu sangat cantik. Ya, dia memiliki tubuh yang begitu indah. Balutan gaun berwarana merah, membuat wanita itu sangat seksi. Frans tidak mampu bergeming, kala wanita itu merapatkan tubuhnya. Wanita itu mengecupi lehernya. Napas halus milik wanita itu nyatanya semakin membangkitkan gairah Frans. Berkali-kali Frans berusaha menahan diri, namun dia tetap tidak mampu. Panas di dalam tubuhnya begitu membuatnya tidak mampu menolak setiap sentuhan wanita itu. Frans memejamkan matanya, ketika wa
"Tuan Raymond?" Dion menerobos masuk ke dalam ruang kerja Raymond dengan begitu tergesa-gesa. "Jika kau datang hanya mengatakan belum mendapatkan apa pun, lebih baik kau pergi," seru Raymond dengan tatapan menghunus tajam ke arah asisstantnya. "Saya sudah mendapatkan data tentang Tuan Dimitry, Tuan," jawab Dion cepat. Raymond membuang napas kasar. "Katakan apa yang kau dapat?" "Tuan Dimitry pernah memiliki skandal dengan adik dari istrinya. Selain itu beberapa hari lalu saya berhasil menemukan sebuah mobil silver tertangkap kamera CCTV berada di Geovan Company," ujar Dion. "Mobil Silver? Apa kau mendapatkan plat mobil itu?" tanya Raymond yang tak sabar. "Sudah Tuan, saya sudah mendapatkan plat mobil itu," jawab Dion. "Kau sudah melacak alamat mobil silver itu?" Raymond kembali bertanya dengan tatapan begitu serius. "Adrian Franklin. Saya melihat mobil itu menuju kediaman Adrian Frankilin, Tuan," jawab Dion. "Adrian Franklin?" Raymond menautkan alisnya. "Apa William pernah mem
Flashback on#Albert melajukan mobil dengan kecepatan sedang menuju bandara. Sedangkan Wiliam yang duduk di samping Albert, lebih memilih melihat ke luar jendela. Namun, seketika senyum di bibir William terukir saat melihat ada sebuah mobil putih dengan jarak yang cukup dekat dengannya tengah mengikutinya. "Albert, ada yang mengikuti kita," tukas William dingin. Albert melirik ke arah spion, dan benar saja sebuah mobil tengah mengikutinya. "Tuan, apa rencana selanjutnya?" "Buat mereka seolah tahu kita pergi ke Milan," balas William dengan sorot mata menerawang ke depan. "Maaf Tuan? Seolah pergi ke Milan? Maksud Tuan kita tidak akan pergi ke Milan?" tanya Albert hati-hati. "Ya, jika mereka sudah tahu tujuanku ke Milan, maka mereka telah merencanakan sesuatu," jawab William. "Hubungi yang lain, melacak orang yang mengikuti kita." Albert mengangguk. "Baik Tuan. Lalu bagaimana dengan keadaan hotel di Milan?" "Minta direktur pemasaran untuk ke Milan besok pagi. Aku akan melihat hasi
"Ah satu lagi. Laura Geovan maaf maksudku Laura Jefferson, adikmu yang cantik itu. Maaf karena hingga detik ini adikmu belum sadar, bahkan wajah cantiknya harus rusak. Kau harus menyalahkan adik iparmu Raymond Jefferson, yang ikut campur dalam hal ini," tukas Adrian dengan seringai di wajahnya."Adrian Franklin, kau telah berani menyentuh istriku! Aku akan menghancurkanmu!" desis Raymond dengan geraman tertahan. Tatapannnya menghunus tajam ke arah Adrian. Jika Frans lepas kendali ingin menyerang Adrian, berbeda dengan Raymond yang tetap tidak bergeming pada tempatnya. Bukan tidak ingin melawan, tapi Raymond menunggu waktu untuk menyerang pria yang berani melukai anak dan istrinya itu.Adrian kembali tertawa melihat kemarahan Raymond. Sedangkan William masih tetap diam, namun tatapan William kali ini menatap tajam dan penuh kemarahan pada pria di hadapannya itu."Berikan aku alasan, kenapa kau berniat menghancurkanku. Aku bahkan tidak pernah menjalin kerja sama denganmu." Suara William
Beberapa bulan kemudian... Tokyo, Japan... "Selena... Miracle... Hati-hati, jangan melempar bola salju seperti itu," seru Marsha memberikan peringatan pada kedua putrinya itu, yang tengah bermain salju. "Sean, jaga kedua adikmu. Jangan sampai mereka terluka," lanjutnya yang sedikit berteriak memperingatkan putra sulungnya itu, yang juga ikut bermain salju dengan Selena dan Miracle. "Sayang, Sean akan menjaga Selena dan Miracle dengan baik. Kau tenang saja," William merengkuh bahu Marsha seraya mengecup kening Marsha. "Lihatlah, Dominic masih tertidur pulas, meski tadi suaramu kencang. Tapi dia tetap tenang," ujarnya yang kini melihat ke arah Dominic yang tengah dalam pelukan Marsha. Marsha mendesah pelan, kemudian dia menatap Dominic yang masih tertidur pulas. Beruntung, putra bungsunya itu, tidak terbangun karena mendengar suaranya yang sedikit kencang memperingati ketiga anaknya. Ya, waktu berjalan begitu cepat. Kini Dominic berusia delapan bulan. William dan Marsha, sengaja men
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi laki-lakinya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak keempat mereka adalah laki-laki. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sesaat William menatap Marsha dengan tatapan yang begitu bahagia. Tidak pernah terpikir dalam hidup mereka, akan kembali merasakan kebahagiaan ini lagi."Dia mirip dengan Sean saat bayi," ucap William di telinga Marsha seraya memberikan banyak kecupan dipipi istrinya itu. "Terima kasih, sayang. Terima kasih telah memberikanku hadiah yang luar biasa."Marsha tersenyum dia terus mengusap lembut kepala bayi laki-lakinya itu. "Aku juga sangat bahagia, William. Melahirkan buah cinta kita adala
Marsha mematut cermin. Tubuhnya kini telah terbalut dress khusus wanita hamil yang membuat Marsha sangat nyaman. Ya, lagi dan lagi Marsha mengalami kenaikan berat badan cukup drastis. Berkali-kali suaminya mengatakan dirinya sangat cantik dan seksi saat hamil, namun Marsha tentu tidak akan percaya. Bagaimana tidak? Setiap kali Marsha menatap ke cermin, dia selalu melihat tubuhnya tampak begitu besar. Beruntung, kali ini adalah kehamilan yang terakhirnya. Memiliki empat anak sudah lebih dari cukup bagi Marsha. Padahal dulu, dia hanya menginginkan dua anak saja. Tapi William tidak akan pernah mau jika hanya dua anak. Bahkan hingga detik ini, William selalu meminta untuk kembali menambah anak. Marsha benar-benar tidak habis pikir dengan keinginan sang suami. "Setelah melahirkan, aku harus berolah raga. Aku tidak ingin gemuk seperti ini terus," gumam Marsha seraya mengusap perut buncitnya. "Sayang, Mommy sangat mencintaimu. Tenang saja, Mommy tidak akan menyalahkanmu karena kau membuat t
Suara teriakan yang keras membuat Laura yang baru saja menata pajangan di rumahnya, langsung terkejut. Dengan cepat Laura mengalihkan pandangannya, menatap ke arah pintu rumahnya. Seketika Laura mengerutkan keningnya, melihat Lea yang baru saja pulang sekolah, dengan raut wajah yang marah melangkah masuk ke dalam rumah. "Ahg! Kenapa mereka itu menyebalkan sekali! Mereka menggangguku!" seru Lea dengan suara keras kala tiba di rumah. "Sayang? Kau kenapa?" Laura mendekat ke arah Lea, dia langsung mengelus lembut pipi putrinya itu. "Tidak baik, gadis cantik masuk ke dalam rumah dengan wajah yang kesal. Sekarang katakan pada Mommy ada apa dan di mana Ken? Kenapa Ken tidak pulang bersama denganmu?" Lea mendengus, dia mencebikan bibirnya. "Ken masih berada di sekolah. Ada khursus yag harus dia ikuti. Mommy, aku rasanya ingin pindah sekolah saja. Aku tidak mau bersekolah di sekolah yang sama dengan Ka Sean. Aku pusing, Mommy!" Laura menautkan alisnya menatap bingung Lea. "Kenapa, sayang?
"Mommy..." Seorang anak perempuan berusia empat tahun berlari menghampiri Karin yang tengah memasak di dapur. Disusul dengan anak laki-laki yang juga berusia empat tahun, ikut berlari menghampiri Karin. Karin yang baru saja selesai masak, dan hendak meletakan makanan di atas meja, dia langsung mengalihkan pandangannya kala ada yang memanggilnya. Seketika senyum di bibir Karin terukir, melihat kedua anaknya tengah menghampirinya. Dengan cepat Karin langsung membuka tangannya dan memberikan pelukan hangat pada kedua anaknya itu. "Kelvin... Charlotte... Kalian sudah pulang?" Karin memberikan banyak kecupan pada kedua anaknya itu. "Ya, Mommy. Kami sudah pulang," jawab Kelvin dan Charlotte bersamaan seraya memeluk erat tubuh Karin. "Bagaimana hari kalian di sekolah? Apa kalian selalu bersama Selena dan Miracle?" tanya Karin sambil mengelus lembut pipi Kelvin dan Charlotte. Kelvin Frans Geovan dan Charlotte Frans Geovan, anak kembar dari Frans dan Karin yang berusia empat tahun ini ben
Lima Tahun Kemudian..."Astaga, Miracle. Hentikan bermain dengan pisau! Nanti kau terluka, Miracle!" Suara Marsha berseru dengan nada yang keras, agar putri kecilnya itu menghentikan bermain dengan pisau. Vanessa Miracle William Geovan, sejak kecil William mengajarkan bela diri pada Miracle, demi melindungi dirinya sendiri. Tentu William melakukan itu semua karena Miracle tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. William selalu waspada jika suatu saat ada yang berusaha mencelakai putrinya. Namun, Miracle sangat berbeda dengan Selena, saudara kembarnya yang berambut pirang, memiliki sifat yang begitu lemah lembut. Sangat sulit bagi William, mengajarkan Selena bela diri, karena berkali-kali Selena akan selalu terluka. Itu kenapa Willliam lebih memilih menjaga Selena dengan banyak pengawal yang mengikuti putrinya itu. "Mom, aku bisa melempar pisau di papan tepat sasaran. Aku hebat, kan, Mom?" Miracle tersenyum bangga, kala pisau yang dia lempar ke papan, tepat sasaran. Kemudian, dia pun
Karin menatap keindahan Canada's sugar beach. Sudah sejak beberapa hari lalu dirinya ingin pergi ke pantai ini. Tapi dia terpaksa menunda karena Frans disibukan dengan pekerjaannya. Dengan kaki telanjang, dan perut yang membuncit Karin melangkah melusuri pantai. Ya, kini kandangan Karin memasuki minggu ke tiga puluh empat. Selama kehamilan ini. Karin dilarang untuk melakukan kegiatan berat. Biasanya Karin menghabiskan waktu bersantai di rumah atau menonton film drama kesukannya. Jika Karin ingin keluar rumah, maka Frans harus ikut dengannya. Sejak hamil, sifat Frans memang begitu overprotective padanya. Dulu Karin berpikir, dia tidak akan pernah tahu bagaiamaa sifat seorang suami yang mengatasi istrinya yang tengah mengandung, tapi ternyata Tuhan begitu baik padanya, hingga memberikan kesempatan untuknya hamil. Kebahagiaan Frans dan Karin bertambah saat Dokter memberitahu dia hamil bayi kembar. Tentu Karin dan Frans begitu bahagia menyambut bayi kembar mereka. "Frans, kenapa kau tid
"Karin, pagi ini aku berangkat lebih awal. Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan menggantikan William. Beberapa hari ke depan, William tidak masuk ke kantor," ucap Frans seraya memakai dasi. Karin yang tengah duduk, dia bangkit berdiri mendekat ke arah Frans, dan langsung mengambil alih Frans yang tengah memakai dasi. "Aku mengerti, William pasti sedang menemani Marsha yang baru melahirkan. Saat ini Marsha benar-benar membutuhkan William berada disisinnya." Karin menepuk pelan dada Frans kala selesai memakaikan dasi suaminya. "Terima kasih sudah mengerti," Frans menarik dagu Karin, mencium dan melumat lembut bibir Karin. "Yasudah aku berangkat sekarang. Malam ini kau tidurlah duluan. Jangan menungguku." "Hati-hati. Kabari aku jika kau sudah di kantor. Jangan lupakan makan siangmu," balas Karin mengingatkan. Frans mengangguk. Kemudian, dia mengecup singkat bibir Karin, lalu melangkah keluar meninggalkan kamar. Karin hendak menemani Frans, namun, Frans memintanya untuk tetap di
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi kembarnya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak kembar mereka adalah perempuan. Hal yang membuat William bertambah bahagia adalah saat sang Dokter mengatakan anak kembar mereka bukanlah kembar identik. Anak perempuan pertama yang lebih dulu lahir memiliki rambut pirang seperti Marsha. Sedangkan anak perempuan kedua yang lahir, memiliki rambut coklat seperti William. Sungguh, William tidak menyangka, bayi kembarnya akan lahir dengan begitu special. Kini Marsha tidak akan lagi iri, karena sekarang, Marsha memiliki satu anak yang begitu mirip dengannya. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sedangkan William d