Sudah hampir satu minggu, William sering pulang larut malam. Beruntung, Marsha bisa mengerti, meski William selalu merasa kasihan pada istrinya, tapi dia tidak bisa berbuat apa pun. Dia tidak mungkin membebani Frans, karena sepupunya itu masih berada di Roma. Jika ada masalah perusahaan, William terbiasa dengan memeriksa itu sendiri. Dia tidak sepenuhnya menyerahkan pada Albert. William menyandarkan punggungnya di kursi dan memejamkan mata lelah. Dia ingin sekali selalu berada disisi Marsha, terlebih kandungan Marsha kini sudah memasuki bulan ke enam. Perut istrinya kian membesar, membuat William ingin selalu menjaga istrinya itu. Namun, dia tidak memiliki pilihan lain. Ya, tentu William memikirkan puluhan ribu karyawannnya. Dengan masalah di perusahaannya, akan berdampak pada keuntungan perusahaan. Itu yang membuat William, harus segera menyelesaikan pekerjannya.Suara dering ponsel terdengar, William membuka matanya, dia menatap ponselnya yang terus berdering itu. Kemudian, dia men
Suara ketukan pintu terdengar, membuat Raymond yang tengah membaca dokumen di hadapannya, langsung mengalihkan pandangannya ke arah pintu dan menginterupsi untuk masuk. "Tuan," sapa Dion saat melangkah masuk ke dalam ruang kerja Raymond. "Jika kau datang hanya membahas yang lain lebih baik kau pergi. Aku hanya ingin mendengar kau mendapatkan data yang aku minta," tukas Raymond dingin ketika melihat assistantnya itu berada di hadapannya. "Maaf Tuan, saya hanya ingin memberikan data yang anda minta. Ini adalah data orang-orang yang terlibat dalam proyek kerja sama Geovan Group dengan Watson Group," ujar Dion seraya menyerahkan dokumen yang ada di tangannya pada Raymond. "Kau ini lambat sekali! Aku memintamu mencari data satu atau dua hari bukan satu minggu!" Raymond melayangkan tatapan tajamnya, saat menerima dokumen yang diberikan assistantnya itu. "M-Maaf Tuan, kemarin data yang saya dapat belum lengkap jadi saya belum bisa memberikannya pada anda, Tuan," jelas Dion gugup. Dia me
"William, apa hari ini kau akan pulang terlambat?" tanya Marsha saat, dia baru saja keluar dari walk-in closetnya. Tatapannya kini menatap William yang duduk di sofa, dan fokus pada iPad ditangannya. "Tidak, aku akan pulang lebih awal," jawab William datar. Dia tetap fokus pada iPad di tangannya dan tidak sama sekali melihat ke arah istrinya. Marsha mendesah pelan, dia melangkah mendekat ke arah William, lalu duduk di sampingnya. "Bagaimana masalahmu di kantor? Apa semuanya baik-baik saja?" William mengalihkan pandangannya, ke arah Marsha. Lalu dia melatakan iPad di tangannya itu ke atas meja. "Kau tidak perlu mencemaskanku, hartaku jauh lebih banyak dari kerugian yang aku tanggung." "Apa rencanamu selanjutnya William?" tanya Marsha dengan raut wajah cemas. Ya, Marsha sangat tahu, William memiliki segalanya, tapi entah kenapa Marsha hanya masih mencemaskan suaminya. William tersenyum, dia menarik tangan Marsha, membawanya ke dalam pelukannya. "Aku sudah menyelesaikan semuanya, s
"Marsha?" Suara seorang wanita memanggil Marsha dengan cukup keras, hingga membuat langkah Marsha terhenti.Marsha langsung membalikan tubuhnya, ketika mendengar ada yang memanggil namanya. Seketika Marsha terdiam, melihat wanita itu tersenyum dan melangkah mendekat ke arahnya."Apa kabar Marsha? Kau masih mengingatku?" sapa wanita itu yang kini berdiri di hadapan Marsha. Marsha mengerutkan keningnya, dia menatap lekat wanita itu. "A-Anna? Kau Anna, kan?" "Kau masih mengingatku rupanya," Anna mengulas senyuman hangat di wajahnya. "Kau ada di Toronto?" Marsha sedikit terkejut, melihat Anna berada di Toronto. "Ya, aku sudah berada di Toronto dua minggu ini," ujar Anna. Kemudian, tetapannya melihat perut Marsha yang sudah membuncit. "Kau sedang hamil, Marsha?" Marsha mengangguk. "Lama tidak bertemu, terakhir kita bertemu saat kita di Turkey. Dan sekarang kita bertemu, aku sedang hamil." "Selamat untuk kehamilanmu, Marsha," ucap Anna dengan tulus. "Terima kasih Anna," balas Marsha
"Maaf, membuat kalian menunggu." Raymond melangkah masuk ke dalam ruang meeting. Dia menatap Dimtry dan Kim yang langsung berdiri menyambutnya. Mereka mengulurkan tangan, dan Raymond menyambut uluran tangan mereka. Ya, hari ini Raymond meminta assistannya bertemu dengan Dimtry dan Kim. Dan pertemuan ini sengaja Raymond atur di perusahaannya. Dia tidak ingin bertemu dengan Kim dan Dimitry di perusahaan William. Dia yakin, William akan menaruh curiga, karena tidak biasanya dia bertemu dengan Kim dan Dimitry. "Apa kabar Tuan Raymond? Saya rasa ini pertemuan pertama kita," ujar Kim seraya menundukan kepalanya. Raymond membalas dengan anggukan singkat, lalu duduk di hadapan Dimtry dan Kim. "Maaf dipertemuan pertama kita, aku datang terlambat." "Tidak masalah Tuan, kami juga baru datang," sambung Dimitry. "Alright, aku rasa kalian tahu, sekarang aku terlibat membantu William dalam proyek kerja sama Geovan Group dengan Watson Group. Sebelumnya aku ingin bertanya pendapat kalian mengenai
Pagi hari, Marsha tengah membuatkan sarapan untuk William. Jika biasanya, Marsha terbiasa dengan pelayan yang menyiapkan makanan untuknya dan William, tapi kali ini Marsha ingin sendiri menyiapkan sarapan untuk suaminya. Dan hari ini, Marsha membuatkan Gnocchi. Makanan khas Italia, sesuai dengan kesukaan William. Lama tinggal di Milan, membuat William lebih menyukai hidangan Italia. Karena William tidak begitu menyukai sayuran, Marsha memilih mengisi Gnocchi dengan daging. Tentu Andine, chefnya turut membantu. Meski tidak sepenuhnya, tapi Andine hanya melihat saja dan memberitahu jika ada bahan makan yang Marsha salah masukan. "Selesai," Marsha tersenyum puas ketika dia sudah selesai membuatkan Gnocchi. "Andine, apa ada yang kurang?" tanya Marsha pada Andine yang berdiri di sampingnya. "Tidak Nyonya, rasanya juga sudah pas. Saya yakin, Tuan William pasti menyukainya," jawab Andine. Marsha tersenyum. "Baiklah, aku akan menemui William." Andine mengangguk. Kemudian Marsha melangka
"Marsha, beberapa hari lalu kau makan siang dengan temanmu. Luna mengatakan temanmu itu bernama Anna, apa yang dimaksud-" "Ya, Anna mantan kekasihmu. Aku menyukainya. Dia sangat baik. Aku tidak sengaja bertemu dengan Anna di supermarket ketika aku berbelaja, bahan-bahan makanan." Marsha langsung memotong ucapan William. Terakhir Marsha memang tidak membahas tentang dia bertemu dengan Anna. Dia berpikir, William sudah menyadarinya. Namun, ternyata William tidak menyadari Anna yang dia maksud adalah mantan kekasihnya sendiri. Lagi pula. Marsha menyukai Anna, wanita itu sangat baik dan lembut. William mengangguk, kemudian dia duduk di sofa seraya membaca email masuk di iPadnya. Terlihat jelas, raut wajah William yang tidak perduli dengan Anna. Bahkan saat bertemu tidak sengaja, William juga tidak menyapa Anna. "William?" Marsha menyusul William, dia duduk di samping suaminya itu. "Apa kau masih membenci Anna?" "Aku tidak memiliki alasan untuk membencinya," jawab William datar. "Tapi
William duduk di kursi kepemimpinan. Tepat di samping William, ada Raymond yang tengah membaca dokumen yang baru saja diberikan oleh Dimitry. Hari ini, meeting dipimpin langsung oleh Dimitry yang membahas tentang penyusunan pembangunan hotel baru di Roma dan Milan. Segala kerugian, telah diatasi oleh William. Bahkan William tidak terlalu mengambil pusing kerugian itu. Bagi William, kerugian itu tentu tidak ada apa-apaanya. Meski selama hampir sembilan tahun William memegang kendali Geovan Group, ini pertama kalinya dia mengalami kerugian begitu besar. "Tuan William, pembanguan hotel di Roma dan Milan, diperkirakan akan selesai kurang di awal tahun depan," ujar Dimitry dengan begitu yakin. William mengangguk. "Aku tidak menyukai pekerjaan yang lama. Bulan depan, Albert akan menyusun proposal pembanguan hotel di Asia. Termasuk di Indonesia, aku ingin membangun hotel di negara kelahiran istriku." "Saya rasa itu ide yang bagus. Mengingat Indonesia salah satu negara yang memiliki tingka
Beberapa bulan kemudian... Tokyo, Japan... "Selena... Miracle... Hati-hati, jangan melempar bola salju seperti itu," seru Marsha memberikan peringatan pada kedua putrinya itu, yang tengah bermain salju. "Sean, jaga kedua adikmu. Jangan sampai mereka terluka," lanjutnya yang sedikit berteriak memperingatkan putra sulungnya itu, yang juga ikut bermain salju dengan Selena dan Miracle. "Sayang, Sean akan menjaga Selena dan Miracle dengan baik. Kau tenang saja," William merengkuh bahu Marsha seraya mengecup kening Marsha. "Lihatlah, Dominic masih tertidur pulas, meski tadi suaramu kencang. Tapi dia tetap tenang," ujarnya yang kini melihat ke arah Dominic yang tengah dalam pelukan Marsha. Marsha mendesah pelan, kemudian dia menatap Dominic yang masih tertidur pulas. Beruntung, putra bungsunya itu, tidak terbangun karena mendengar suaranya yang sedikit kencang memperingati ketiga anaknya. Ya, waktu berjalan begitu cepat. Kini Dominic berusia delapan bulan. William dan Marsha, sengaja men
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi laki-lakinya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak keempat mereka adalah laki-laki. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sesaat William menatap Marsha dengan tatapan yang begitu bahagia. Tidak pernah terpikir dalam hidup mereka, akan kembali merasakan kebahagiaan ini lagi."Dia mirip dengan Sean saat bayi," ucap William di telinga Marsha seraya memberikan banyak kecupan dipipi istrinya itu. "Terima kasih, sayang. Terima kasih telah memberikanku hadiah yang luar biasa."Marsha tersenyum dia terus mengusap lembut kepala bayi laki-lakinya itu. "Aku juga sangat bahagia, William. Melahirkan buah cinta kita adala
Marsha mematut cermin. Tubuhnya kini telah terbalut dress khusus wanita hamil yang membuat Marsha sangat nyaman. Ya, lagi dan lagi Marsha mengalami kenaikan berat badan cukup drastis. Berkali-kali suaminya mengatakan dirinya sangat cantik dan seksi saat hamil, namun Marsha tentu tidak akan percaya. Bagaimana tidak? Setiap kali Marsha menatap ke cermin, dia selalu melihat tubuhnya tampak begitu besar. Beruntung, kali ini adalah kehamilan yang terakhirnya. Memiliki empat anak sudah lebih dari cukup bagi Marsha. Padahal dulu, dia hanya menginginkan dua anak saja. Tapi William tidak akan pernah mau jika hanya dua anak. Bahkan hingga detik ini, William selalu meminta untuk kembali menambah anak. Marsha benar-benar tidak habis pikir dengan keinginan sang suami. "Setelah melahirkan, aku harus berolah raga. Aku tidak ingin gemuk seperti ini terus," gumam Marsha seraya mengusap perut buncitnya. "Sayang, Mommy sangat mencintaimu. Tenang saja, Mommy tidak akan menyalahkanmu karena kau membuat t
Suara teriakan yang keras membuat Laura yang baru saja menata pajangan di rumahnya, langsung terkejut. Dengan cepat Laura mengalihkan pandangannya, menatap ke arah pintu rumahnya. Seketika Laura mengerutkan keningnya, melihat Lea yang baru saja pulang sekolah, dengan raut wajah yang marah melangkah masuk ke dalam rumah. "Ahg! Kenapa mereka itu menyebalkan sekali! Mereka menggangguku!" seru Lea dengan suara keras kala tiba di rumah. "Sayang? Kau kenapa?" Laura mendekat ke arah Lea, dia langsung mengelus lembut pipi putrinya itu. "Tidak baik, gadis cantik masuk ke dalam rumah dengan wajah yang kesal. Sekarang katakan pada Mommy ada apa dan di mana Ken? Kenapa Ken tidak pulang bersama denganmu?" Lea mendengus, dia mencebikan bibirnya. "Ken masih berada di sekolah. Ada khursus yag harus dia ikuti. Mommy, aku rasanya ingin pindah sekolah saja. Aku tidak mau bersekolah di sekolah yang sama dengan Ka Sean. Aku pusing, Mommy!" Laura menautkan alisnya menatap bingung Lea. "Kenapa, sayang?
"Mommy..." Seorang anak perempuan berusia empat tahun berlari menghampiri Karin yang tengah memasak di dapur. Disusul dengan anak laki-laki yang juga berusia empat tahun, ikut berlari menghampiri Karin. Karin yang baru saja selesai masak, dan hendak meletakan makanan di atas meja, dia langsung mengalihkan pandangannya kala ada yang memanggilnya. Seketika senyum di bibir Karin terukir, melihat kedua anaknya tengah menghampirinya. Dengan cepat Karin langsung membuka tangannya dan memberikan pelukan hangat pada kedua anaknya itu. "Kelvin... Charlotte... Kalian sudah pulang?" Karin memberikan banyak kecupan pada kedua anaknya itu. "Ya, Mommy. Kami sudah pulang," jawab Kelvin dan Charlotte bersamaan seraya memeluk erat tubuh Karin. "Bagaimana hari kalian di sekolah? Apa kalian selalu bersama Selena dan Miracle?" tanya Karin sambil mengelus lembut pipi Kelvin dan Charlotte. Kelvin Frans Geovan dan Charlotte Frans Geovan, anak kembar dari Frans dan Karin yang berusia empat tahun ini ben
Lima Tahun Kemudian..."Astaga, Miracle. Hentikan bermain dengan pisau! Nanti kau terluka, Miracle!" Suara Marsha berseru dengan nada yang keras, agar putri kecilnya itu menghentikan bermain dengan pisau. Vanessa Miracle William Geovan, sejak kecil William mengajarkan bela diri pada Miracle, demi melindungi dirinya sendiri. Tentu William melakukan itu semua karena Miracle tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. William selalu waspada jika suatu saat ada yang berusaha mencelakai putrinya. Namun, Miracle sangat berbeda dengan Selena, saudara kembarnya yang berambut pirang, memiliki sifat yang begitu lemah lembut. Sangat sulit bagi William, mengajarkan Selena bela diri, karena berkali-kali Selena akan selalu terluka. Itu kenapa Willliam lebih memilih menjaga Selena dengan banyak pengawal yang mengikuti putrinya itu. "Mom, aku bisa melempar pisau di papan tepat sasaran. Aku hebat, kan, Mom?" Miracle tersenyum bangga, kala pisau yang dia lempar ke papan, tepat sasaran. Kemudian, dia pun
Karin menatap keindahan Canada's sugar beach. Sudah sejak beberapa hari lalu dirinya ingin pergi ke pantai ini. Tapi dia terpaksa menunda karena Frans disibukan dengan pekerjaannya. Dengan kaki telanjang, dan perut yang membuncit Karin melangkah melusuri pantai. Ya, kini kandangan Karin memasuki minggu ke tiga puluh empat. Selama kehamilan ini. Karin dilarang untuk melakukan kegiatan berat. Biasanya Karin menghabiskan waktu bersantai di rumah atau menonton film drama kesukannya. Jika Karin ingin keluar rumah, maka Frans harus ikut dengannya. Sejak hamil, sifat Frans memang begitu overprotective padanya. Dulu Karin berpikir, dia tidak akan pernah tahu bagaiamaa sifat seorang suami yang mengatasi istrinya yang tengah mengandung, tapi ternyata Tuhan begitu baik padanya, hingga memberikan kesempatan untuknya hamil. Kebahagiaan Frans dan Karin bertambah saat Dokter memberitahu dia hamil bayi kembar. Tentu Karin dan Frans begitu bahagia menyambut bayi kembar mereka. "Frans, kenapa kau tid
"Karin, pagi ini aku berangkat lebih awal. Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan menggantikan William. Beberapa hari ke depan, William tidak masuk ke kantor," ucap Frans seraya memakai dasi. Karin yang tengah duduk, dia bangkit berdiri mendekat ke arah Frans, dan langsung mengambil alih Frans yang tengah memakai dasi. "Aku mengerti, William pasti sedang menemani Marsha yang baru melahirkan. Saat ini Marsha benar-benar membutuhkan William berada disisinnya." Karin menepuk pelan dada Frans kala selesai memakaikan dasi suaminya. "Terima kasih sudah mengerti," Frans menarik dagu Karin, mencium dan melumat lembut bibir Karin. "Yasudah aku berangkat sekarang. Malam ini kau tidurlah duluan. Jangan menungguku." "Hati-hati. Kabari aku jika kau sudah di kantor. Jangan lupakan makan siangmu," balas Karin mengingatkan. Frans mengangguk. Kemudian, dia mengecup singkat bibir Karin, lalu melangkah keluar meninggalkan kamar. Karin hendak menemani Frans, namun, Frans memintanya untuk tetap di
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi kembarnya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak kembar mereka adalah perempuan. Hal yang membuat William bertambah bahagia adalah saat sang Dokter mengatakan anak kembar mereka bukanlah kembar identik. Anak perempuan pertama yang lebih dulu lahir memiliki rambut pirang seperti Marsha. Sedangkan anak perempuan kedua yang lahir, memiliki rambut coklat seperti William. Sungguh, William tidak menyangka, bayi kembarnya akan lahir dengan begitu special. Kini Marsha tidak akan lagi iri, karena sekarang, Marsha memiliki satu anak yang begitu mirip dengannya. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sedangkan William d