William tersenyum sinis mendengar perkataan Raymond. "Kau menggantikan posisi adikmu? Bukannya aku sudah mengatakan, kalau aku tidak memiliki sifat baik? Kau pikir aku akan menerima permintaan maaf jika kau yang melakukan itu? Aku hanya ingin adikmu yang dipermalukan. Sama seperti adikmu mempermalukan adikku. Jika aku berada dalam posisimu, aku tidak akan bertanggung jawab. Aku selalu mengajarkan adikku, untuk menerima akibat dari segala yang telah dia lakukan."Raymond terdiam, dia tidak mampu lagi berkata-kata. Kali ini, perkataan William sukses membuat dirinya bungkam. "William..." tegur Marsha pelan. Dia langsung menyentuh lengan suaminya. "Lebih baik sekarang kau ganti pakaianmu." Marsha sengaja melakukan ini. Dia ingin menghentikan perdebatan ini. "Laura, kau bawa Raymond ke kamar tamu. Nanti aku akan meminta Luna untuk menyiapkan makanan untuk kalian," ujar Marsha. "Kau juga Frans, bawa Karin masuk. Lebih baik kalian istirahat. Nanti Luna juga akan membawakan makan untuk kali
Keesokan hari, Marsha sudah terbiasa untuk bangun lebih awal. Dia tidak ingin ketika bangun tidur, suaminya sudah tidak berada di sampingnya. Biasanya di malam hari, Marsha selalu bertanya suaminya itu memiliki meeting pagi atau tidak. Karena jika William memiliki meeting dipagi hari, William akan berangkat jauh lebih awal. Kini Marsha tengah memilih pakaian yang akan dipakai William. Pilihannya jatuh pada jas berwarna navy dan dasi yang senada dengan warna jas. Tidak lama kemudian, William melangkah masuk ke dalam walkn in closet. Dia mendapati istrinya sudah menyiapkan pakaiannya untuknya. Dia langsung mengganti pakaiannya dengan pakaian yang telah disiapkan istrinya itu. Ketika William tengah memakai kemeja, Marsha langsung mendekat. Dia membantu William mengkancingkan kemeja dan juga memasangkan dasi suaminya."Hari ini kau kemana?" William memberikan kecupan di kening istrinya. "Aku sedikit pulang terlambat malam ini. Kau tidurlah lebih awal." "Apa hari ini kau banyak perkerj
Marsha mengetuk pelan dagunya dengan telunjuknya. Dia menatap masakannya yang baru saja diajarkan oleh Andine. Hari ini, Marsha sengaja belajar memasak membuat Italian Food. Menu yang Marsha pilih adalah Lobster Ravioli. Ada rasa takut dirinya, dia takut masakannya ini gagal dan tidak enak. Dulu, Marsha sering membantu Clara ketika ibunya itu memasak. Tapi sejak menikah dengan William, Marsha memang selalu menggunakan pelayan. Ini semua karena suaminya begitu memanjakan dirinya. "Marsha, kenapa kau hanya melihat masakanmu?" tanya Laura bingung. Pasalnya sejak tadi Marsha hanya menatap masakannya. Marsha mendesah pelan, dia menyeret kursi lalu duduk di hadapan Laura. "Apa menurutmu William akan menyukai masakanku?"Raut wajah Marsha menunjukan, jika dia takut William tidak menyukai masakannya. Laura mengulum senyumannya, dia langsung mengambil sendok dan langsung mencoba masakan yang dibuat oleh Marsha. Saat Lobster Ravioli buatan Marsha, masuk ke dalam mulutnya, dia menganggukkan ke
Marsha duduk di sofa empuk kamarnya, dia melirik jam dinding kini sudah pukul tujuh malam. Sebelumnya, Marsha sudah mengatakan pada William agar pulang lebih awal. Marsha sudah tidak sabar untuk bertanya pada suaminya itu. Marsha mengambil ponsel dan langsung menghubungi William. Namun, ketika Marsha menghubungi William, satu, dua, hingga lima kali tetap tidak ada jawaban. Marsha mendengus kesal, padahal dia sudah mengirimkan pesan meminta suaminya untuk pulang lebih awal. CeklekPintu terbuka. Marsha mengalihkan pandangannya ke arah pintu. Senyum di bibirnya terukir ketika melihat William sudah berdiri di ambang pintu. Dengan cepat Marsha beranjak berdiri, dia langsung berlari ke arah suaminya itu. William terkejut, melihat Marsha berlari ke arahnya. Ketika Marsha menghamburkan tubuhnya ke pelukan William, dengan sigap William langsung menangkap tubuh Marsha."Marsha! Kenapa kau berlari! Kau sedang hamil!" Suara William terdengar begitu dingin dan penuh peringatan. Terdengar gerama
"Sayang? Ada yang menguhubungiku?" William berjalan keluar dari kamar mandi dengan tubuh yang masih dililit oleh handuk. "Kau periksa saja ponselmu!" ucap Marsha ketus. William mengerutkan keningnya, dia menatap bingung melihat wajah kesal istrinya. Kemudian, dia melangkah mendekat lalu mengambil ponselnya. Dia melihat ke layar nomor tidak di kenal menghubunginya. William meletakan kembali ponselnya ke tempat semula, lalu menatap lekat manik mata istrinya. "Nomor tidak dikenal menghubungiku. Biarakan saja, nanti aku akan meminta Albert untuk mencari tahu nomor itu," jawab William dengan nada seolah tidak perduli dengan nomor yang menghubunginya itu. William berjalan menuju walkn in closet, dia langsung mengganti pakaiannya dengan celana training panjang dan kaos berwarna putih. Setelah selesai mengganti pakain, dia kembali melangkah ke arah Marsha yang masih duduk di sofa."Lebih baik kita turun sekarang. Aku sudah tidak sabar mencoba masakan istriku." William mengulurkan tangannya
Suara dering ponsel terdengar, membuat Marsha yang tengah tertidur lelap harus membuka matanya. Marsha menggeliat, dia mengerjap beberapa kali. Dia melirik ke samping suaminya sudah tidak ada di sampingnya. Marsha mendengus kesal, namun dering ponsel miliknya terus berdering. Marsha menyambar ponselnya, dia melihat ke layar tertera nama Karin. Dia menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan sebelum kemudian, meletakan ke telinganya. "Ya?" Marsha menjawab dengan suara serak khas baru bangun tidur, saat panggilan terhubung."Marsha, kau sudah bangun?" tanya Karin sari seberang line. "Jika aku belum bangun, aku tidak bisa menjawab teleponmu Karin Wiratmaja! Katakan padaku, ada apa menghubungiku sepagi ini?"Karin terkekeh dari balik teleponnya. "Aku hanya ingin mengatakan, setelah hari kelulusan kita nanti aku akan kembali ke Indonesia untuk sementara."Marsha tersentak, mendengar ucapan Karin. "Kau kembali ke Indonesia? Maksudmu kau tidak jadi bekerja di perusahaan Frans?" "Kau t
Raymond melangkah masuk ke dalam ruang makan. Pikirannya masih tidak bisa berpikir jernih. Dia masih mengingat permintaan Willam. Namun, apa pun yang William inginkan dia tidak akan pernah mundur sedikit pun. Dia akan pernah menyerah dengan segala tantangan yang diberikan William."Raymond?" sapa Dahlia ketika melihat Raymond duduk di kursi meja makan. Dahlia menatap wajah putranya yang terlihat begitu banyak masalah. "Ya? jawab Raymond datar. Dia mengambil kopi di hadapannya lalu menyesapnya. "Ada apa sayang?" tanya Dahlia yang tatapannya tidak lepas menatap wajah putranya. "Tidak apa-apa," Raymond meletakan gelas cangkir ke tempat semula. "Kau tidak membohongi kami Raymond. Apa ini karena Laura?" sambung Reviano yang sejak tadi terus menatap Raymond. "Aku sedang tidak ingin membahasnya. Biarkan semuanya aku selesaikan. Nanti kalian akan tahu." Raymond kembali menjawab nada datar. Dia tidak ingin melibatkan kedua orang tuanya dalam masalah ini. Lebih baik baginya, untuk menyeles
Mobil William mulai memasuki halaman parkir mansionnya, Dia melirik arloji kini sudah pukul enam sore. Dia sengaja pulang lebih awal, hari ini dia melimpahkan semua pekerjaannya pada Albert. Wiliam melangkah masuk ke dalam mansion, para pelayan dan penjaga yang melihat William, mereka menundukan kepala mereka. Sedangkan William hanya membalas dengan anggukan singkat. Lalu dia kembali melanjutkan langkahnya. Saat William masuk ke dalam kamar, dia mendapati istrinya tertidur di sofa dengan televisi yang masih menyala. William menggelengkan kepalanya melihat istrinya sudah tertidur pulas. Dia melangkah mendekat ke arah Marsha lalu duduk tepat di samping Marsha. Dia menatap wajah polos Marsha yang terlihat begitu menggemaskan. Pipi istrinya yang semakin hari, selalu semakin berisi. William mengelus lembut pipi Marsha, memberikan kecupan diseluruh wajah istrinya itu. Mata indah milik istrinya yang masih terpejam, bulu mata lentik, hidung mancung dan bibir mungil berwarna pink alami. Memb
Beberapa bulan kemudian... Tokyo, Japan... "Selena... Miracle... Hati-hati, jangan melempar bola salju seperti itu," seru Marsha memberikan peringatan pada kedua putrinya itu, yang tengah bermain salju. "Sean, jaga kedua adikmu. Jangan sampai mereka terluka," lanjutnya yang sedikit berteriak memperingatkan putra sulungnya itu, yang juga ikut bermain salju dengan Selena dan Miracle. "Sayang, Sean akan menjaga Selena dan Miracle dengan baik. Kau tenang saja," William merengkuh bahu Marsha seraya mengecup kening Marsha. "Lihatlah, Dominic masih tertidur pulas, meski tadi suaramu kencang. Tapi dia tetap tenang," ujarnya yang kini melihat ke arah Dominic yang tengah dalam pelukan Marsha. Marsha mendesah pelan, kemudian dia menatap Dominic yang masih tertidur pulas. Beruntung, putra bungsunya itu, tidak terbangun karena mendengar suaranya yang sedikit kencang memperingati ketiga anaknya. Ya, waktu berjalan begitu cepat. Kini Dominic berusia delapan bulan. William dan Marsha, sengaja men
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi laki-lakinya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak keempat mereka adalah laki-laki. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sesaat William menatap Marsha dengan tatapan yang begitu bahagia. Tidak pernah terpikir dalam hidup mereka, akan kembali merasakan kebahagiaan ini lagi."Dia mirip dengan Sean saat bayi," ucap William di telinga Marsha seraya memberikan banyak kecupan dipipi istrinya itu. "Terima kasih, sayang. Terima kasih telah memberikanku hadiah yang luar biasa."Marsha tersenyum dia terus mengusap lembut kepala bayi laki-lakinya itu. "Aku juga sangat bahagia, William. Melahirkan buah cinta kita adala
Marsha mematut cermin. Tubuhnya kini telah terbalut dress khusus wanita hamil yang membuat Marsha sangat nyaman. Ya, lagi dan lagi Marsha mengalami kenaikan berat badan cukup drastis. Berkali-kali suaminya mengatakan dirinya sangat cantik dan seksi saat hamil, namun Marsha tentu tidak akan percaya. Bagaimana tidak? Setiap kali Marsha menatap ke cermin, dia selalu melihat tubuhnya tampak begitu besar. Beruntung, kali ini adalah kehamilan yang terakhirnya. Memiliki empat anak sudah lebih dari cukup bagi Marsha. Padahal dulu, dia hanya menginginkan dua anak saja. Tapi William tidak akan pernah mau jika hanya dua anak. Bahkan hingga detik ini, William selalu meminta untuk kembali menambah anak. Marsha benar-benar tidak habis pikir dengan keinginan sang suami. "Setelah melahirkan, aku harus berolah raga. Aku tidak ingin gemuk seperti ini terus," gumam Marsha seraya mengusap perut buncitnya. "Sayang, Mommy sangat mencintaimu. Tenang saja, Mommy tidak akan menyalahkanmu karena kau membuat t
Suara teriakan yang keras membuat Laura yang baru saja menata pajangan di rumahnya, langsung terkejut. Dengan cepat Laura mengalihkan pandangannya, menatap ke arah pintu rumahnya. Seketika Laura mengerutkan keningnya, melihat Lea yang baru saja pulang sekolah, dengan raut wajah yang marah melangkah masuk ke dalam rumah. "Ahg! Kenapa mereka itu menyebalkan sekali! Mereka menggangguku!" seru Lea dengan suara keras kala tiba di rumah. "Sayang? Kau kenapa?" Laura mendekat ke arah Lea, dia langsung mengelus lembut pipi putrinya itu. "Tidak baik, gadis cantik masuk ke dalam rumah dengan wajah yang kesal. Sekarang katakan pada Mommy ada apa dan di mana Ken? Kenapa Ken tidak pulang bersama denganmu?" Lea mendengus, dia mencebikan bibirnya. "Ken masih berada di sekolah. Ada khursus yag harus dia ikuti. Mommy, aku rasanya ingin pindah sekolah saja. Aku tidak mau bersekolah di sekolah yang sama dengan Ka Sean. Aku pusing, Mommy!" Laura menautkan alisnya menatap bingung Lea. "Kenapa, sayang?
"Mommy..." Seorang anak perempuan berusia empat tahun berlari menghampiri Karin yang tengah memasak di dapur. Disusul dengan anak laki-laki yang juga berusia empat tahun, ikut berlari menghampiri Karin. Karin yang baru saja selesai masak, dan hendak meletakan makanan di atas meja, dia langsung mengalihkan pandangannya kala ada yang memanggilnya. Seketika senyum di bibir Karin terukir, melihat kedua anaknya tengah menghampirinya. Dengan cepat Karin langsung membuka tangannya dan memberikan pelukan hangat pada kedua anaknya itu. "Kelvin... Charlotte... Kalian sudah pulang?" Karin memberikan banyak kecupan pada kedua anaknya itu. "Ya, Mommy. Kami sudah pulang," jawab Kelvin dan Charlotte bersamaan seraya memeluk erat tubuh Karin. "Bagaimana hari kalian di sekolah? Apa kalian selalu bersama Selena dan Miracle?" tanya Karin sambil mengelus lembut pipi Kelvin dan Charlotte. Kelvin Frans Geovan dan Charlotte Frans Geovan, anak kembar dari Frans dan Karin yang berusia empat tahun ini ben
Lima Tahun Kemudian..."Astaga, Miracle. Hentikan bermain dengan pisau! Nanti kau terluka, Miracle!" Suara Marsha berseru dengan nada yang keras, agar putri kecilnya itu menghentikan bermain dengan pisau. Vanessa Miracle William Geovan, sejak kecil William mengajarkan bela diri pada Miracle, demi melindungi dirinya sendiri. Tentu William melakukan itu semua karena Miracle tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. William selalu waspada jika suatu saat ada yang berusaha mencelakai putrinya. Namun, Miracle sangat berbeda dengan Selena, saudara kembarnya yang berambut pirang, memiliki sifat yang begitu lemah lembut. Sangat sulit bagi William, mengajarkan Selena bela diri, karena berkali-kali Selena akan selalu terluka. Itu kenapa Willliam lebih memilih menjaga Selena dengan banyak pengawal yang mengikuti putrinya itu. "Mom, aku bisa melempar pisau di papan tepat sasaran. Aku hebat, kan, Mom?" Miracle tersenyum bangga, kala pisau yang dia lempar ke papan, tepat sasaran. Kemudian, dia pun
Karin menatap keindahan Canada's sugar beach. Sudah sejak beberapa hari lalu dirinya ingin pergi ke pantai ini. Tapi dia terpaksa menunda karena Frans disibukan dengan pekerjaannya. Dengan kaki telanjang, dan perut yang membuncit Karin melangkah melusuri pantai. Ya, kini kandangan Karin memasuki minggu ke tiga puluh empat. Selama kehamilan ini. Karin dilarang untuk melakukan kegiatan berat. Biasanya Karin menghabiskan waktu bersantai di rumah atau menonton film drama kesukannya. Jika Karin ingin keluar rumah, maka Frans harus ikut dengannya. Sejak hamil, sifat Frans memang begitu overprotective padanya. Dulu Karin berpikir, dia tidak akan pernah tahu bagaiamaa sifat seorang suami yang mengatasi istrinya yang tengah mengandung, tapi ternyata Tuhan begitu baik padanya, hingga memberikan kesempatan untuknya hamil. Kebahagiaan Frans dan Karin bertambah saat Dokter memberitahu dia hamil bayi kembar. Tentu Karin dan Frans begitu bahagia menyambut bayi kembar mereka. "Frans, kenapa kau tid
"Karin, pagi ini aku berangkat lebih awal. Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan menggantikan William. Beberapa hari ke depan, William tidak masuk ke kantor," ucap Frans seraya memakai dasi. Karin yang tengah duduk, dia bangkit berdiri mendekat ke arah Frans, dan langsung mengambil alih Frans yang tengah memakai dasi. "Aku mengerti, William pasti sedang menemani Marsha yang baru melahirkan. Saat ini Marsha benar-benar membutuhkan William berada disisinnya." Karin menepuk pelan dada Frans kala selesai memakaikan dasi suaminya. "Terima kasih sudah mengerti," Frans menarik dagu Karin, mencium dan melumat lembut bibir Karin. "Yasudah aku berangkat sekarang. Malam ini kau tidurlah duluan. Jangan menungguku." "Hati-hati. Kabari aku jika kau sudah di kantor. Jangan lupakan makan siangmu," balas Karin mengingatkan. Frans mengangguk. Kemudian, dia mengecup singkat bibir Karin, lalu melangkah keluar meninggalkan kamar. Karin hendak menemani Frans, namun, Frans memintanya untuk tetap di
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi kembarnya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak kembar mereka adalah perempuan. Hal yang membuat William bertambah bahagia adalah saat sang Dokter mengatakan anak kembar mereka bukanlah kembar identik. Anak perempuan pertama yang lebih dulu lahir memiliki rambut pirang seperti Marsha. Sedangkan anak perempuan kedua yang lahir, memiliki rambut coklat seperti William. Sungguh, William tidak menyangka, bayi kembarnya akan lahir dengan begitu special. Kini Marsha tidak akan lagi iri, karena sekarang, Marsha memiliki satu anak yang begitu mirip dengannya. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sedangkan William d