William menyandarkan punggungnya di sofa, memejamkan mata lelah. Kini dia berada di ruangan yang dia sewa khusus di samping ruang rawat Marsha. Setelah tadi menemui Frans, William memilih untuk menenangkan diri. Terlalu banyak masalah yang datang, dia ingin sedikit beristirahat. Sejak Marsha masuk rumah sakit, William memang kurang beristirahat. Saat William tengah beristirahat sebentar, terdengar suara ketukan pintu. William kembali membuka matanya, bahkan dia baru beristirahat sebentar saja tetap tidak bisa. William mengalihkan pandangannya, dia menoleh ke arah pintu dan langsung menginterupsi untuk masuk. "Willliam, apa papa mengganggu mu?" suara Mario berseru saat masuk ke dalam. William sedikit terkejut melihat mertuanya datang. "Tidak pa, silahkan masuk." Mario melangkah mendekat ke arah Wiliam dan duduk di samping menantunya itu. "Maaf mengganggu mu, ada hal yang ingin papa katakan pada mu." "Tidak pa, lain kali jika aku di sini tidak perlu mengetuk pintu." jawab William.
Perlahan Marsha mulai membuka matanya, dia menatap Laura tengah tertidur pulas di sofa. Jujur saja Marsha kasihan pada keluarganya yang terus menjaganya. Siang tadi Clara dan Mario sudah datang, tapi Marsha tidak membiarkan kedua orang tuanya menginap. Marsha meminta Clara dan Mario untuk pulang dan kembali keesokan hari. Sebenarnya Marsha juga sudah meminta Laura untuk pulang, terlebih Laura sedang hamil. Tapi Laura tidak pernah mendengarkan Marsha. Beruntung, William menyiapkan dokter kandungan yang selalu memeriksa Marsha bersamaan dengan Luara. Paling tidak, Marsha jauh lebih tenang. Saat Marsha ingin kembali memejamkan mata, dia merasa ada orang yang membuka pintu. Marsha menoleh ke arah pintu, pandangannya kini jatuh pada sosok wanita yang melangkah masuk ke dalam ruangannya."Bibi Almira? bibi di sini?" Marsha mengerutkan dahinya saat menatap ibu dari Karin berada di rumah sakit. Marsha melupakan satu hal, keluarga Karin dari Indonesia memang datang ke Kanada untuk mengunjungi
William menatap Marsha yang masih tidak sadarkan diri. Dokter baru saja memeriksa keadaan istrinya itu. Beruntung tidak terjadi masalah besar pada Marsha. Hanya Marsha tidak boleh memikirkan hal berat. William duduk di tepi ranjang, menatap mata Marsha yang masih sembab. William mengelus pipi Marsha, merapihkan rambut istrinya. Ini yang sejak dulu William takutkan Marsha akan terpukul setelah mengetahui kabar Karin. William menyentuh tangan istrinya, mengecup punggung tangan Marsha. "Aku memiliki alasan sendiri tidak mengatakannya. Ini semua demi diri mu dan anak kita." bisik William. Tangan kanan William mengelus dengan lembut perut istrinya yang masih rata. Perlahan Marsha mulai membuka matanya, dia menatap sekelilingnya. Lalu pandangannya menoleh ke arah sosok pria yang berada di sampingnya. Saat melihat William, dengan cepat Marsha menarik tangannya dan menjauhkan diri dari William. "Marsha, dengarkan penjelasan ku. Aku memiliki alasan kenapa menyembunyikan ini." William semaki
Frans melangkah masuk ke dalam ruang Karin. Dia harus segera berbicara pada Almira. Setidaknya Frans masih bersyukur William masih mentoleransi tindakan Almira. Jika saja terjadi sesuatu yang buruk pada Marsha, Frans yakin William akan memberikan pelajaran untuk Almira. Dan sebelum itu terjadi Frans harus mencegah itu. Karena bagaimana pun Almira adalah ibu dari wanita yang dia cintai. Frans menatap Almira dan Randy tengah duduk di sofa, dia langsung melangkah mendekat ke arah orang tuan Karin. "Paman, bibi... maaf mengganggu kalian." Frans menyapa Almira dan Randy yang kini berada di hadapannya. Almira mendesah pelan, dia menatap lekat Frans. "Ada apa? apa kau datang untuk memberikan peringatan pada ku?" "Maaf, apa kita bisa bicara di luar bibi?" pinta Frans dengan suara tenang. Randy mengerutkan dahinya, "Ada apa ini Frans?" "Kau ingin memberitahu ku tentang jangan mengatakan apapun pada Marsha? tapi kenyataannya aku sudah memberitahunya. Aku menyayangi Marsha, kau salah jika
Marsha memuntahkan semua isi perutnya. Tubuhnya lemas, kepalanya mulai memberat. William terus menemani Marsha, dia memijit pelan leher istrinya. Tidak biasanya Marsha muntah seperti ini. Semenjak hamil, Marsha sangat jarang muntah. Tapi pagi ini, Marsha tidak sanggup makan apa pun. Ketika melihat makanan, Marsha selalu mual. Namun, William tetap memaksa istrinya untuk makan atau minum juice meski hanya sedikit. William membantu Marsha untuk duduk di ranjang, William mengambilkan avocado juice yang dibuatkan oleh pelayan. Setidaknya Marsha masih bisa meminum juice, paling tidak ada nutrisi yang masuk ke tubuh istrinya itu. "Nanti kau harus tetap makan," William duduk di tepi ranjang, dia mengelus kepala istrinya. Marsha mendesah pelan, "Aku tidak ingin William. Melihat makanan membuat ku mual." "Kau harus tetap makan Marsha, anak kita butuh makan." tukas William. "Ya, tapi nanti. Aku masih belum ingin makan sekarang." Marsha terpaksa mengalah. Karena memang ini semua demi bayi ya
Marsha tersenyum bahagia, saat William menuruti keinginannya untuk menjenguk Karin. Sudah sejak kemarin Marsha ingin menjenguk Karin. William mendorong kursi roda Marsha memasuki ruang rawat Karin. Marsha manatap Frans dan kedua orang tua Karin berada di dalam. Marsha melirik ke arah suaminya, William menunjukan wajah dingin dan tidak bersahabat ketika melihat orang tua Karin. Marsha tahu, ini psti karena kejadian dirinya pingsan setelah mengetahui kabar tentang Karin. Tapi bagaimana pun, kedua orang tua Karin sangat baik. Marsha sangat menghormati kedua orang tua Karin. "Paman... Bibi..." sapa Marsha saat melihat Almira dan Randy. Randy tersenyum, "Kau di sini Marsha? bagaimana kabar mu?" "Aku baik paman, lama tidak bertemu paman tetap masih terlihat sangat tampan." balas Marsha dengan senyuman di wajahnya. "Kau juga tumbuh menjadi wanita yang sangat cantik Marsha," puji Randy dengan tatapan hangat ke arah Marsha. "Marsha, kau di sini? apa keadaan mu sudah lebih baik?" tanya Fra
"Aku merindukan mu Karin," kata Marsha lirih. Namun seketika Marsha tersentak, saat merasakan jemari Karin yang berada di genggaman tangannya mulai bergerak. Dengan cepat Marsha menatap wajah Karin."Karin? karin kau mendengar ku? kau pasti mendengar ku Karin? buka mata mu Karin?" suara Marsha berseru. Air matanya terus berlinang membasahi pipinya. Marsha menatap Karin penuh harap.Almira terkejut mendengar Marsha berteriak memanggil nama Karin. Dengan cepat Almira melangkah mendekat ke arah Marsha. "Marsha ada apa?" Almira menatap Marsha yang terus berteriak memanggil nama Karin."Karin.. Karin tadi menggerakan tangannya bibi.." Marsha terus menatap Karin, dia berharap Karin bisa membuka matanya. "Marsha, itu mungkin hanya perasaan mu saja sayang." balas Almira dengan suara parau. Tidak hanya Marsha yang berharap, tapi dirinya juga berharap putrinya itu bisa sadar dan kembali sehat seperti sebelumnya. Hingga kemudian, perlahan Karin mulai membuka matanya. Karin menatap ruangan put
Hari ini dokter sudah mengizinkan Marsha untuk pulang. Tentu saja Marsha sangat bahagia mendengar dirinya sudah bisa pulang ke rumah. Rasanya Marsha ingin segera tidur di kamarnya. Sudah sejak beberapa hari lalu Marsha meminta untuk pulang. Karena memang Marsha sudah merasa jauh lebih baik. Hanya saja dokter belum memberikan izin dan William masih ingin Marsha di rawat agar dokter bisa memeriksa keadaan dirinya. Marsha duduk di ranjang dengan punggung yang bersandar di kepala ranjang. Tangan Marsha tengah memegang cheese cake dan red velvet cake. Baru saja perawat melepas infus di tangan Marsha, dengan cepat Marsha langsung meminta pelayan mengambilkan cake untuknya. Rasa mual Marsha busa terobati jika Marsha makan makanan manis seperti cake dan ice ceam. Sebenarnya Marsha ingin makan makanan pedas, tapi Wiliam tidak mengizinkannya. Alasannya karena suaminya itu takut Marsha sakit perut. Padahal, Marsha sudah terbiasa dengan masakan pedas sejak kecil. "Nyonya, saya sudah selesai mer
Beberapa bulan kemudian... Tokyo, Japan... "Selena... Miracle... Hati-hati, jangan melempar bola salju seperti itu," seru Marsha memberikan peringatan pada kedua putrinya itu, yang tengah bermain salju. "Sean, jaga kedua adikmu. Jangan sampai mereka terluka," lanjutnya yang sedikit berteriak memperingatkan putra sulungnya itu, yang juga ikut bermain salju dengan Selena dan Miracle. "Sayang, Sean akan menjaga Selena dan Miracle dengan baik. Kau tenang saja," William merengkuh bahu Marsha seraya mengecup kening Marsha. "Lihatlah, Dominic masih tertidur pulas, meski tadi suaramu kencang. Tapi dia tetap tenang," ujarnya yang kini melihat ke arah Dominic yang tengah dalam pelukan Marsha. Marsha mendesah pelan, kemudian dia menatap Dominic yang masih tertidur pulas. Beruntung, putra bungsunya itu, tidak terbangun karena mendengar suaranya yang sedikit kencang memperingati ketiga anaknya. Ya, waktu berjalan begitu cepat. Kini Dominic berusia delapan bulan. William dan Marsha, sengaja men
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi laki-lakinya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak keempat mereka adalah laki-laki. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sesaat William menatap Marsha dengan tatapan yang begitu bahagia. Tidak pernah terpikir dalam hidup mereka, akan kembali merasakan kebahagiaan ini lagi."Dia mirip dengan Sean saat bayi," ucap William di telinga Marsha seraya memberikan banyak kecupan dipipi istrinya itu. "Terima kasih, sayang. Terima kasih telah memberikanku hadiah yang luar biasa."Marsha tersenyum dia terus mengusap lembut kepala bayi laki-lakinya itu. "Aku juga sangat bahagia, William. Melahirkan buah cinta kita adala
Marsha mematut cermin. Tubuhnya kini telah terbalut dress khusus wanita hamil yang membuat Marsha sangat nyaman. Ya, lagi dan lagi Marsha mengalami kenaikan berat badan cukup drastis. Berkali-kali suaminya mengatakan dirinya sangat cantik dan seksi saat hamil, namun Marsha tentu tidak akan percaya. Bagaimana tidak? Setiap kali Marsha menatap ke cermin, dia selalu melihat tubuhnya tampak begitu besar. Beruntung, kali ini adalah kehamilan yang terakhirnya. Memiliki empat anak sudah lebih dari cukup bagi Marsha. Padahal dulu, dia hanya menginginkan dua anak saja. Tapi William tidak akan pernah mau jika hanya dua anak. Bahkan hingga detik ini, William selalu meminta untuk kembali menambah anak. Marsha benar-benar tidak habis pikir dengan keinginan sang suami. "Setelah melahirkan, aku harus berolah raga. Aku tidak ingin gemuk seperti ini terus," gumam Marsha seraya mengusap perut buncitnya. "Sayang, Mommy sangat mencintaimu. Tenang saja, Mommy tidak akan menyalahkanmu karena kau membuat t
Suara teriakan yang keras membuat Laura yang baru saja menata pajangan di rumahnya, langsung terkejut. Dengan cepat Laura mengalihkan pandangannya, menatap ke arah pintu rumahnya. Seketika Laura mengerutkan keningnya, melihat Lea yang baru saja pulang sekolah, dengan raut wajah yang marah melangkah masuk ke dalam rumah. "Ahg! Kenapa mereka itu menyebalkan sekali! Mereka menggangguku!" seru Lea dengan suara keras kala tiba di rumah. "Sayang? Kau kenapa?" Laura mendekat ke arah Lea, dia langsung mengelus lembut pipi putrinya itu. "Tidak baik, gadis cantik masuk ke dalam rumah dengan wajah yang kesal. Sekarang katakan pada Mommy ada apa dan di mana Ken? Kenapa Ken tidak pulang bersama denganmu?" Lea mendengus, dia mencebikan bibirnya. "Ken masih berada di sekolah. Ada khursus yag harus dia ikuti. Mommy, aku rasanya ingin pindah sekolah saja. Aku tidak mau bersekolah di sekolah yang sama dengan Ka Sean. Aku pusing, Mommy!" Laura menautkan alisnya menatap bingung Lea. "Kenapa, sayang?
"Mommy..." Seorang anak perempuan berusia empat tahun berlari menghampiri Karin yang tengah memasak di dapur. Disusul dengan anak laki-laki yang juga berusia empat tahun, ikut berlari menghampiri Karin. Karin yang baru saja selesai masak, dan hendak meletakan makanan di atas meja, dia langsung mengalihkan pandangannya kala ada yang memanggilnya. Seketika senyum di bibir Karin terukir, melihat kedua anaknya tengah menghampirinya. Dengan cepat Karin langsung membuka tangannya dan memberikan pelukan hangat pada kedua anaknya itu. "Kelvin... Charlotte... Kalian sudah pulang?" Karin memberikan banyak kecupan pada kedua anaknya itu. "Ya, Mommy. Kami sudah pulang," jawab Kelvin dan Charlotte bersamaan seraya memeluk erat tubuh Karin. "Bagaimana hari kalian di sekolah? Apa kalian selalu bersama Selena dan Miracle?" tanya Karin sambil mengelus lembut pipi Kelvin dan Charlotte. Kelvin Frans Geovan dan Charlotte Frans Geovan, anak kembar dari Frans dan Karin yang berusia empat tahun ini ben
Lima Tahun Kemudian..."Astaga, Miracle. Hentikan bermain dengan pisau! Nanti kau terluka, Miracle!" Suara Marsha berseru dengan nada yang keras, agar putri kecilnya itu menghentikan bermain dengan pisau. Vanessa Miracle William Geovan, sejak kecil William mengajarkan bela diri pada Miracle, demi melindungi dirinya sendiri. Tentu William melakukan itu semua karena Miracle tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. William selalu waspada jika suatu saat ada yang berusaha mencelakai putrinya. Namun, Miracle sangat berbeda dengan Selena, saudara kembarnya yang berambut pirang, memiliki sifat yang begitu lemah lembut. Sangat sulit bagi William, mengajarkan Selena bela diri, karena berkali-kali Selena akan selalu terluka. Itu kenapa Willliam lebih memilih menjaga Selena dengan banyak pengawal yang mengikuti putrinya itu. "Mom, aku bisa melempar pisau di papan tepat sasaran. Aku hebat, kan, Mom?" Miracle tersenyum bangga, kala pisau yang dia lempar ke papan, tepat sasaran. Kemudian, dia pun
Karin menatap keindahan Canada's sugar beach. Sudah sejak beberapa hari lalu dirinya ingin pergi ke pantai ini. Tapi dia terpaksa menunda karena Frans disibukan dengan pekerjaannya. Dengan kaki telanjang, dan perut yang membuncit Karin melangkah melusuri pantai. Ya, kini kandangan Karin memasuki minggu ke tiga puluh empat. Selama kehamilan ini. Karin dilarang untuk melakukan kegiatan berat. Biasanya Karin menghabiskan waktu bersantai di rumah atau menonton film drama kesukannya. Jika Karin ingin keluar rumah, maka Frans harus ikut dengannya. Sejak hamil, sifat Frans memang begitu overprotective padanya. Dulu Karin berpikir, dia tidak akan pernah tahu bagaiamaa sifat seorang suami yang mengatasi istrinya yang tengah mengandung, tapi ternyata Tuhan begitu baik padanya, hingga memberikan kesempatan untuknya hamil. Kebahagiaan Frans dan Karin bertambah saat Dokter memberitahu dia hamil bayi kembar. Tentu Karin dan Frans begitu bahagia menyambut bayi kembar mereka. "Frans, kenapa kau tid
"Karin, pagi ini aku berangkat lebih awal. Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan menggantikan William. Beberapa hari ke depan, William tidak masuk ke kantor," ucap Frans seraya memakai dasi. Karin yang tengah duduk, dia bangkit berdiri mendekat ke arah Frans, dan langsung mengambil alih Frans yang tengah memakai dasi. "Aku mengerti, William pasti sedang menemani Marsha yang baru melahirkan. Saat ini Marsha benar-benar membutuhkan William berada disisinnya." Karin menepuk pelan dada Frans kala selesai memakaikan dasi suaminya. "Terima kasih sudah mengerti," Frans menarik dagu Karin, mencium dan melumat lembut bibir Karin. "Yasudah aku berangkat sekarang. Malam ini kau tidurlah duluan. Jangan menungguku." "Hati-hati. Kabari aku jika kau sudah di kantor. Jangan lupakan makan siangmu," balas Karin mengingatkan. Frans mengangguk. Kemudian, dia mengecup singkat bibir Karin, lalu melangkah keluar meninggalkan kamar. Karin hendak menemani Frans, namun, Frans memintanya untuk tetap di
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi kembarnya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak kembar mereka adalah perempuan. Hal yang membuat William bertambah bahagia adalah saat sang Dokter mengatakan anak kembar mereka bukanlah kembar identik. Anak perempuan pertama yang lebih dulu lahir memiliki rambut pirang seperti Marsha. Sedangkan anak perempuan kedua yang lahir, memiliki rambut coklat seperti William. Sungguh, William tidak menyangka, bayi kembarnya akan lahir dengan begitu special. Kini Marsha tidak akan lagi iri, karena sekarang, Marsha memiliki satu anak yang begitu mirip dengannya. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sedangkan William d