Marsha tersenyum bahagia, saat William menuruti keinginannya untuk menjenguk Karin. Sudah sejak kemarin Marsha ingin menjenguk Karin. William mendorong kursi roda Marsha memasuki ruang rawat Karin. Marsha manatap Frans dan kedua orang tua Karin berada di dalam. Marsha melirik ke arah suaminya, William menunjukan wajah dingin dan tidak bersahabat ketika melihat orang tua Karin. Marsha tahu, ini psti karena kejadian dirinya pingsan setelah mengetahui kabar tentang Karin. Tapi bagaimana pun, kedua orang tua Karin sangat baik. Marsha sangat menghormati kedua orang tua Karin. "Paman... Bibi..." sapa Marsha saat melihat Almira dan Randy. Randy tersenyum, "Kau di sini Marsha? bagaimana kabar mu?" "Aku baik paman, lama tidak bertemu paman tetap masih terlihat sangat tampan." balas Marsha dengan senyuman di wajahnya. "Kau juga tumbuh menjadi wanita yang sangat cantik Marsha," puji Randy dengan tatapan hangat ke arah Marsha. "Marsha, kau di sini? apa keadaan mu sudah lebih baik?" tanya Fra
"Aku merindukan mu Karin," kata Marsha lirih. Namun seketika Marsha tersentak, saat merasakan jemari Karin yang berada di genggaman tangannya mulai bergerak. Dengan cepat Marsha menatap wajah Karin."Karin? karin kau mendengar ku? kau pasti mendengar ku Karin? buka mata mu Karin?" suara Marsha berseru. Air matanya terus berlinang membasahi pipinya. Marsha menatap Karin penuh harap.Almira terkejut mendengar Marsha berteriak memanggil nama Karin. Dengan cepat Almira melangkah mendekat ke arah Marsha. "Marsha ada apa?" Almira menatap Marsha yang terus berteriak memanggil nama Karin."Karin.. Karin tadi menggerakan tangannya bibi.." Marsha terus menatap Karin, dia berharap Karin bisa membuka matanya. "Marsha, itu mungkin hanya perasaan mu saja sayang." balas Almira dengan suara parau. Tidak hanya Marsha yang berharap, tapi dirinya juga berharap putrinya itu bisa sadar dan kembali sehat seperti sebelumnya. Hingga kemudian, perlahan Karin mulai membuka matanya. Karin menatap ruangan put
Hari ini dokter sudah mengizinkan Marsha untuk pulang. Tentu saja Marsha sangat bahagia mendengar dirinya sudah bisa pulang ke rumah. Rasanya Marsha ingin segera tidur di kamarnya. Sudah sejak beberapa hari lalu Marsha meminta untuk pulang. Karena memang Marsha sudah merasa jauh lebih baik. Hanya saja dokter belum memberikan izin dan William masih ingin Marsha di rawat agar dokter bisa memeriksa keadaan dirinya. Marsha duduk di ranjang dengan punggung yang bersandar di kepala ranjang. Tangan Marsha tengah memegang cheese cake dan red velvet cake. Baru saja perawat melepas infus di tangan Marsha, dengan cepat Marsha langsung meminta pelayan mengambilkan cake untuknya. Rasa mual Marsha busa terobati jika Marsha makan makanan manis seperti cake dan ice ceam. Sebenarnya Marsha ingin makan makanan pedas, tapi Wiliam tidak mengizinkannya. Alasannya karena suaminya itu takut Marsha sakit perut. Padahal, Marsha sudah terbiasa dengan masakan pedas sejak kecil. "Nyonya, saya sudah selesai mer
Laura menatap Chef Andine yang tengah menata makanan di atas meja. Hari ini Laura tahu Marsha sudah di perbolehkan pulang. Laura sengaja tidak menjemput karena menyiapkan beberapa menu makanan Indonesia untuk Marsha. Tidak hanya masakan Indonesia, tapi hidangan asal Italy dan French juga Laura siapkan untuk William dan Raymond. Karena memang Laura tahu, William tidak menyukai makanan Indonesia yang terkenal pedas itu. Hanya beberapa menu masakan Indonesia yang disukai William. Sedangkan Raymond, Laura sudah mengetahui jika Raymond menyukai French cuisine."Nona Laura, apa nona ada ingin memesan tambahan menu? jika ada saya akan menyiapkannya." tanya Andine yang baru saja selesai menghidangkan makanan di atas meja."Tidak, aku rasa ini sudah cukup." jawab Laura. "Baiklah, kalau begitu saya permisi." Andine menunduk, lalu undur diri dari hadapan Laura. Tanpa Laura sadari, Raymond sudah berdiri di depan pintu dan terus menatap dirinya. Raymond tersenyum melihat tubuh Laura kini mulai t
Raymond melangkah masuk ke dalam ruang kerja William, dia langsung duduk di hadapan William dengan menyilangkan kakinya. Kini William dan Raymond saling melemparkan tatapan tajam satu sama lain.Raymond mengambil botol wine di atas meja dan menuangkan ke gelas sloki di hadapannya, "Apa yang aku ingin bicarakan pada ku?""Besok kau bertemu dengan orang tua ku bukan? apa yang membuat mu yakin orang tua ku menerima mu?" William mengambil gelas sloki yang sudah terisi wine dan mulai menyesapnya. Raymond menyandarkan punggungnya dikursi dan menatap lekat William yang duduk di hadapannya. "Aku rasa aku bisa menangani ini semua. Aku memiliki kepercayaan diri yang cukup tinggi. Kau tidak perlu cemas." "Kalau begitu aku akan melihat mu besok," William tersenyum sinis. "Dan kau juga belum membuat adik ku menyukai mu bukan?" "Memangnya kau bisa tahu apa yang ada di hati adik mu?" balas Raymond tak mau kalah. William menggerakan gelas sloki berirama, pandangannya tetap menatap lekat Raymond.
Pagi itu, cuaca begitu cerah. Kini Laura tengah menatap ke cermin. Laura memoles make up tipis di wajahnya. Dengan balutan dress berwarna tosca membuat Laura terlihat sangat cantik. Kandungan Laura kini sudah memasuki enam belas minggu. Perut Laura sudah terlihat membuncit. Bahkan berat badan Laura sudah bertambah beberapa kilogram. Tapi Laura tidak perduli dengan beratnya yang bertambah. Bagi Laura kesehatan bayi yang ada di kandungannya jauh lebih penting.Laura mengatur napasnya, berusaha menenangkan dirinya. Hari ini dia akan bertemu dengan kedua orang tuanya. Setidaknya dia akan berusaha, meyakinkan kedua orang tuanya jika Raymond adalah pria yang tepat dihidupnya. Suara dering ponsel terdengar, Laura mengambil ponselnya yang berada di atas meja rias. Senyum di bibir Laura terukir saat dirinya menatap ke layar da tertera nama Raymond mengirimkan pesan. Dengan cepat Laura langsung membuka pesan dari Raymond.*Aku sudah di depan rumah, kau bisa keluar sekarang - Raymond*Laura kem
Laura dan Raymond turun dari mobil. Ini pertama kalinya Raymond mendatangi rumah keluarga Laura. Dulu saat Raymond ingin menemui kedua orang tua Laura, dengan tegas Lukas menolaknya. Kini Raymond menggenggam tangan Laura masuk ke dalam rumah. Para penjaga langsung memberikan jalan ketika melihat Laura datang. Laura terlihat begitu gugup, dia melirik ke arah Raymond yang terlihat begitu tenang. Sangat berbeda dengan dirinya. Raymond semakin menggenggam erat tangan Laura, ketika merasakan tangan Laura dingin dan sedikit gemetar. "Aku di samping mu Laura, jangan takut." kata Raymond dengan suara pelan. Dia tahu wanita di sampingnya ini sangat cemas. Luara berusaha mengatur napasnya, jujur saja saat ini dia memang sangat takut. "Aku sudah lama tidak pulang. Aku juga lama tidak melihat kedua orang tua ku." Raymond mengalihkan pandangannya, lalu menatap lekat Laura. "Kita akan menghadapi ini bersama." Laura mengangguk pelan, kemudian mereka melanjutkan lagi langkahnya masuk ke dalam ru
"Sama seperti Raymond, aku juga pernah mengalami kegagalan. Meski saat itu tidak mengakibatkan kerugian besar di perusahaan. Tapi bagi ku, itu sungguh memalukan. Dan aku tidak pernah mengulangi itu. Aku belajar dari apa yang telah aku lakukan di masa lalu. Dan aku tidak akan pernah mungkin melakukan kesalahan itu untuk kedua kalinya." lanjut William dengan tegas.Seketika, semua orang terdiam saat William mengatakan hal ini. Terutama Laura dan Marsha, wajah mereka begitu terkejut saat William melakukan pembelaan. Marsha menatap suaminya tidak percaya. Begitu pun dengan Laura, rasanya Laura tidak percaya dengan apa yang dia baru saja dengar ini. Bagaimana mungkin William yang terkenal arrogant dan dingin mau membela Raymond.Lukas menatap putranya yang kini melangkah mendekat ke arahnya. Kemudian Willam duduk di hadapan Lukas dan Marsha juga duduk tepat di samping suaminya. "Kenapa kau begitu yakin pada pria ini William?" Lukas bertanya terdengar begitu dingin. Tatapannya menatap leka
Beberapa bulan kemudian... Tokyo, Japan... "Selena... Miracle... Hati-hati, jangan melempar bola salju seperti itu," seru Marsha memberikan peringatan pada kedua putrinya itu, yang tengah bermain salju. "Sean, jaga kedua adikmu. Jangan sampai mereka terluka," lanjutnya yang sedikit berteriak memperingatkan putra sulungnya itu, yang juga ikut bermain salju dengan Selena dan Miracle. "Sayang, Sean akan menjaga Selena dan Miracle dengan baik. Kau tenang saja," William merengkuh bahu Marsha seraya mengecup kening Marsha. "Lihatlah, Dominic masih tertidur pulas, meski tadi suaramu kencang. Tapi dia tetap tenang," ujarnya yang kini melihat ke arah Dominic yang tengah dalam pelukan Marsha. Marsha mendesah pelan, kemudian dia menatap Dominic yang masih tertidur pulas. Beruntung, putra bungsunya itu, tidak terbangun karena mendengar suaranya yang sedikit kencang memperingati ketiga anaknya. Ya, waktu berjalan begitu cepat. Kini Dominic berusia delapan bulan. William dan Marsha, sengaja men
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi laki-lakinya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak keempat mereka adalah laki-laki. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sesaat William menatap Marsha dengan tatapan yang begitu bahagia. Tidak pernah terpikir dalam hidup mereka, akan kembali merasakan kebahagiaan ini lagi."Dia mirip dengan Sean saat bayi," ucap William di telinga Marsha seraya memberikan banyak kecupan dipipi istrinya itu. "Terima kasih, sayang. Terima kasih telah memberikanku hadiah yang luar biasa."Marsha tersenyum dia terus mengusap lembut kepala bayi laki-lakinya itu. "Aku juga sangat bahagia, William. Melahirkan buah cinta kita adala
Marsha mematut cermin. Tubuhnya kini telah terbalut dress khusus wanita hamil yang membuat Marsha sangat nyaman. Ya, lagi dan lagi Marsha mengalami kenaikan berat badan cukup drastis. Berkali-kali suaminya mengatakan dirinya sangat cantik dan seksi saat hamil, namun Marsha tentu tidak akan percaya. Bagaimana tidak? Setiap kali Marsha menatap ke cermin, dia selalu melihat tubuhnya tampak begitu besar. Beruntung, kali ini adalah kehamilan yang terakhirnya. Memiliki empat anak sudah lebih dari cukup bagi Marsha. Padahal dulu, dia hanya menginginkan dua anak saja. Tapi William tidak akan pernah mau jika hanya dua anak. Bahkan hingga detik ini, William selalu meminta untuk kembali menambah anak. Marsha benar-benar tidak habis pikir dengan keinginan sang suami. "Setelah melahirkan, aku harus berolah raga. Aku tidak ingin gemuk seperti ini terus," gumam Marsha seraya mengusap perut buncitnya. "Sayang, Mommy sangat mencintaimu. Tenang saja, Mommy tidak akan menyalahkanmu karena kau membuat t
Suara teriakan yang keras membuat Laura yang baru saja menata pajangan di rumahnya, langsung terkejut. Dengan cepat Laura mengalihkan pandangannya, menatap ke arah pintu rumahnya. Seketika Laura mengerutkan keningnya, melihat Lea yang baru saja pulang sekolah, dengan raut wajah yang marah melangkah masuk ke dalam rumah. "Ahg! Kenapa mereka itu menyebalkan sekali! Mereka menggangguku!" seru Lea dengan suara keras kala tiba di rumah. "Sayang? Kau kenapa?" Laura mendekat ke arah Lea, dia langsung mengelus lembut pipi putrinya itu. "Tidak baik, gadis cantik masuk ke dalam rumah dengan wajah yang kesal. Sekarang katakan pada Mommy ada apa dan di mana Ken? Kenapa Ken tidak pulang bersama denganmu?" Lea mendengus, dia mencebikan bibirnya. "Ken masih berada di sekolah. Ada khursus yag harus dia ikuti. Mommy, aku rasanya ingin pindah sekolah saja. Aku tidak mau bersekolah di sekolah yang sama dengan Ka Sean. Aku pusing, Mommy!" Laura menautkan alisnya menatap bingung Lea. "Kenapa, sayang?
"Mommy..." Seorang anak perempuan berusia empat tahun berlari menghampiri Karin yang tengah memasak di dapur. Disusul dengan anak laki-laki yang juga berusia empat tahun, ikut berlari menghampiri Karin. Karin yang baru saja selesai masak, dan hendak meletakan makanan di atas meja, dia langsung mengalihkan pandangannya kala ada yang memanggilnya. Seketika senyum di bibir Karin terukir, melihat kedua anaknya tengah menghampirinya. Dengan cepat Karin langsung membuka tangannya dan memberikan pelukan hangat pada kedua anaknya itu. "Kelvin... Charlotte... Kalian sudah pulang?" Karin memberikan banyak kecupan pada kedua anaknya itu. "Ya, Mommy. Kami sudah pulang," jawab Kelvin dan Charlotte bersamaan seraya memeluk erat tubuh Karin. "Bagaimana hari kalian di sekolah? Apa kalian selalu bersama Selena dan Miracle?" tanya Karin sambil mengelus lembut pipi Kelvin dan Charlotte. Kelvin Frans Geovan dan Charlotte Frans Geovan, anak kembar dari Frans dan Karin yang berusia empat tahun ini ben
Lima Tahun Kemudian..."Astaga, Miracle. Hentikan bermain dengan pisau! Nanti kau terluka, Miracle!" Suara Marsha berseru dengan nada yang keras, agar putri kecilnya itu menghentikan bermain dengan pisau. Vanessa Miracle William Geovan, sejak kecil William mengajarkan bela diri pada Miracle, demi melindungi dirinya sendiri. Tentu William melakukan itu semua karena Miracle tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. William selalu waspada jika suatu saat ada yang berusaha mencelakai putrinya. Namun, Miracle sangat berbeda dengan Selena, saudara kembarnya yang berambut pirang, memiliki sifat yang begitu lemah lembut. Sangat sulit bagi William, mengajarkan Selena bela diri, karena berkali-kali Selena akan selalu terluka. Itu kenapa Willliam lebih memilih menjaga Selena dengan banyak pengawal yang mengikuti putrinya itu. "Mom, aku bisa melempar pisau di papan tepat sasaran. Aku hebat, kan, Mom?" Miracle tersenyum bangga, kala pisau yang dia lempar ke papan, tepat sasaran. Kemudian, dia pun
Karin menatap keindahan Canada's sugar beach. Sudah sejak beberapa hari lalu dirinya ingin pergi ke pantai ini. Tapi dia terpaksa menunda karena Frans disibukan dengan pekerjaannya. Dengan kaki telanjang, dan perut yang membuncit Karin melangkah melusuri pantai. Ya, kini kandangan Karin memasuki minggu ke tiga puluh empat. Selama kehamilan ini. Karin dilarang untuk melakukan kegiatan berat. Biasanya Karin menghabiskan waktu bersantai di rumah atau menonton film drama kesukannya. Jika Karin ingin keluar rumah, maka Frans harus ikut dengannya. Sejak hamil, sifat Frans memang begitu overprotective padanya. Dulu Karin berpikir, dia tidak akan pernah tahu bagaiamaa sifat seorang suami yang mengatasi istrinya yang tengah mengandung, tapi ternyata Tuhan begitu baik padanya, hingga memberikan kesempatan untuknya hamil. Kebahagiaan Frans dan Karin bertambah saat Dokter memberitahu dia hamil bayi kembar. Tentu Karin dan Frans begitu bahagia menyambut bayi kembar mereka. "Frans, kenapa kau tid
"Karin, pagi ini aku berangkat lebih awal. Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan menggantikan William. Beberapa hari ke depan, William tidak masuk ke kantor," ucap Frans seraya memakai dasi. Karin yang tengah duduk, dia bangkit berdiri mendekat ke arah Frans, dan langsung mengambil alih Frans yang tengah memakai dasi. "Aku mengerti, William pasti sedang menemani Marsha yang baru melahirkan. Saat ini Marsha benar-benar membutuhkan William berada disisinnya." Karin menepuk pelan dada Frans kala selesai memakaikan dasi suaminya. "Terima kasih sudah mengerti," Frans menarik dagu Karin, mencium dan melumat lembut bibir Karin. "Yasudah aku berangkat sekarang. Malam ini kau tidurlah duluan. Jangan menungguku." "Hati-hati. Kabari aku jika kau sudah di kantor. Jangan lupakan makan siangmu," balas Karin mengingatkan. Frans mengangguk. Kemudian, dia mengecup singkat bibir Karin, lalu melangkah keluar meninggalkan kamar. Karin hendak menemani Frans, namun, Frans memintanya untuk tetap di
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi kembarnya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak kembar mereka adalah perempuan. Hal yang membuat William bertambah bahagia adalah saat sang Dokter mengatakan anak kembar mereka bukanlah kembar identik. Anak perempuan pertama yang lebih dulu lahir memiliki rambut pirang seperti Marsha. Sedangkan anak perempuan kedua yang lahir, memiliki rambut coklat seperti William. Sungguh, William tidak menyangka, bayi kembarnya akan lahir dengan begitu special. Kini Marsha tidak akan lagi iri, karena sekarang, Marsha memiliki satu anak yang begitu mirip dengannya. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sedangkan William d