Marsha mengulas senyuman hangat di wajahnya. "Kalau begitu, aku selalu mendoakan mu mendapatkan wanita yang terbaik di hidup mu. Kau tampan, baik dan juga hebat. Aku yakin banyak wanita yang mengejar mu Melvin. Aku menunggu undangan pernikahan mu.""Ya, aku berharap itu akan segera terjadi di hidup ku Marsha," balas Melvin.William yang baru saja tiba di kafe tempat Marsha berada, dia menatap Melvin dan Marha tengah mengobrol. Rahangnya mengetat, Tatapannya menjam pada Melvin yang terlihat jelas mentap istrinya. William langsung berjalan menuju tempat duduk Marsha dan Melvin."Apa yang kau lakukan di sini?" tanya William dingin, tatapannya menatap tajam Melvin. Marsha beranjak dari tempat duduknya, dia langsung memeluk lengan suaminya, Marsha tahu kini suaminya itu tengah menahan amarah. "William, jangan seperti itu. Melvin hanya berpamitan dia akan meninggalkan Kanada." Melvin tersenyum miring, "Tenanglah William Geovan, aku tidak akan merebut istri mu dari sisi mu. Kau tidak perlu
Sinar matahari pagi menembus jendela kamar. Marsha kini tengah menatap ke cermin. Memoles wajah dengan make up tipis. Tadi pagi, Wiliam sudah lebih dulu berangkat ke kantor. Sejak tadi malam William tidak juga berbicara dengannya. Saat Marsha berusaha mengajaknya berbicara, William memilih untuk diam dan langsung tidur. Hingga di pagi hari, Wiliam berangkat ke kantor tanpa meninggalkan note yang biasa William lakukan jika lebih dulu berangkat.Marsha mengambil tas dan ponsel di atas meja rias, lalu dia berjalan meninggalkan kamar menuju ruang makan. Sesekali Marsha melirik layar ponsel tapi tidak ada satu pun pesan dari William. Padahal Marsha tadi malam juga sudah meminta maaf padanya. "Morning Marsha," sapa Laura saat melihat Marsha melangkah masuk ke dalam ruang makan."Morning," balas Marsha, dia duduk tepat di hadapan Laura. Kemudian pelayan mengantarkan tenderloin steak dan tomato juice untuknya. "Marsha, apa kau sakit?" tanya Laura yang sejak tadi melihat wajah Marsah terliha
William menatap Dimitry yang tengah membahas pembangunan apartemen. Selain itu Mr. Kim juga ikut berada di sana. Pagi ini William di sibukan dengan memulihkan nama baik akibat pemberitaan media. Meski William sudah mempercayakan Albert untuk mengatasi semuanya, tapi William tetap ingin mengklarifikasi sendiri pemberitaan yang membuat sahamnya menurun. Sudah sejak tadi malam, William memang memilih untuk mendiamkan Marsha. Tentu dia sangat kecewa pada istrinya yang tidak mendengarkan perkataannya. Selain itu, masalah perusahaan yang datang membuat Wiliam memilih untuk mendiamkan istrinya itu. Dia takut, jika nanti akan bertengkar dengan istrinya. "Tuan William, saya rasa kita butuh untuk membangun supermarket besar. Nantinya, apartemen yang kita bangun ini untuk orang-orang menengah atas. Kita harus melengkapinya dengan fasilitas mewah. Saya juga ingin melengkapi dengan golf di sana." kata Dimtry yang memberikan saran pada William.William menyandarkan punggungnya di kursi, dengan kak
William menatap Marsha yang masih memejamkan mata. William sudah meminta dokter memindahkan istrinya di ruang ICU VVIP. Kondisi istrinya masih belum sadarkan diri. Bahkan William tidak mampu melihat istrinya terluka. Kepala yang di perban, membuat William terus menyalahkan dirinya. Dia merasa gagal melindungi istrinya itu. William duduk di tepi ranjang, dia terus menatap istrinya yang masih memejamkan mata. Dia sungguh menyesal tadi malam dia mendiamkan Marsha. Kini tangan William mengelus dengan lembut perut Marsha. Matanya mulai memanas, air mata keluar dari sudut matanya. Dia sangat tersiksa melihat keadaan istrinya saat ini.William mengecup kening istrinya, dia mengelus dengan lembut pipi Marsha. Wajah istrinya kini terlihat begitu pucat. "Sayang, bangunlah. Aku tidak bisa melihat mu seperti ini." "Cepatlah bangun sayang. Kau harus kuat demi anak kita." William terus mengelus dengan lembut pipi Marsha. Dia menatap penuh harap agar istrinya bisa membuka matanya. "Terima kasih Ma
Laura turun dari mobil, dia melangkah masuk ke dalam rumah sakit. Mendengar Marsha kecelakaan, Laura langsung datang ke rumah sakit. Sebenarnya Veronica juga datang ke rumah sakit saat Albert memberitahu. Tapi, karena pemberitaan di media yang mengatakan William pencucian uang dan membuat saham perusahaan jatuh, mendengar itu kesehatan Lukas langsung menurun. Laura ingin sekali menjenguk ayahnya, tapi dia tidak ingin kesehatan ayahnya semakin memburuk jika dia datang. Terlebih Laura tahu kedua orang tuanya masih belum memaafkannya. Laura berjalan masuk ke ruang rawat Marsha, dia menatap William terus menjaga Marsha. Laura tersenyum hangat, melihat kakaknya terlihat jelas begitu mencintai Marsha. Laura melangkah mendekat. "Kakak," panggil Laura pelan. William mengalihkan pandangannya, dia menatap Laura yang kini sudah berada di hadapannya. "Apa kau sudah melihat keadaan papa?" "Belum ka," Laura menggelengkan kepalanya. "Aku mendengar dari Albert kalau kondisi papa menurun. Terakhir
Archie menyandarkan punggungnya di kursi, memejamkan mata lelah. Banyak sekali yang harus dia tangani. Mulai dari masalah ibunya, perusaahan hingga adiknya yang sedang di cari oleh William. Dia sendiri masih tidak tahu harus seperti apa, jika saja ibunya tidak memohon untuk melindungi Agatha. Dia tidak akan mungkin melakukan ini. Bahkan saham perusahaannya telah di kuasai William lima belas persen. Suara ketukan pintu membuat Arhie membuka matanya dan langsung mengalihkan pandangannya ke arah pintu. Dengan cepat Archie meminta untuk masuk. Dia sudah tahu itu pasti assistantnya. "Tuan Archie," sapa Travis assisntanya saat melangkah masuk ke dalam ruang kerja Archie."Ada apa lagi?" tanya Archie dingin. "Tuan saya ingin memberitahu, anak buah William Geovan terus mengejar Nona Agatha. Tidak mungkin kita selamanya melindungi Nona Agatha tuan, karena mereka hampir sepenuhnya mendapatkan bukti keterlibatan Nona Agatha." ujar Travis cemas. Archie membuang napas kasar, "Aku sudah tahu in
Agatha meremas rambutnya, kini pikirannya sangat kacau. Dia tidak tau lagi harus melakukan apa. Bahkan dia tidak yakin Archie bisa membantunya. Terdengar suara ketukan pintu, dengan cepat Agatha langsung meminta untuk masuk. "Nona Agatha," sapa Marinka assistatntnya saat masuk ke dalam kamar."Kau masih juga muncul setelah memberikan informasi yang salah!" seru Agatha menatap tajam Marinka yang berdiri di hadapnnya. Marinka menunduk, "Maaf nona, sungguh informasi yang saya dapatkan sudah benar. Ada dua pria yang menyukai Nona Marsha. Melvin Stefano dan Jacob Stefano. tapi Jacob Stefano memang tidak ada di Kanada. Hanya Melvin Stefano yang menetap tinggal di sini." Agatha membuang napas kasar, "Tapi Melvin menolak membantu ku! bahkan aku sempat menawarkan bekerja sama dia tidak mau! jika dia menyukai Marsha harusnya dia menerima! dia bisa mendapatkan Marsha dan aku mendapatkan William! kenapa pria sialan itu menolak ku!" "Nona, tapi saya membaca data Melvin Stefano dia tidak memili
Agatha memakai kaca mata hitam dan topi untuk menutupi wajahnya. Marinka assistant Agatha dan beberapa pengawal pribadi yang menjaga Agatha mengikutinya dari belakang. Agatha melangkah memasuki private airport milik keluarganya. Kali ini Agatha sangat bersyukur ibunya sangat cerdas memilih seorang suami. Jordan Moen, termasuk salah satu pengusaha hebat asal Singapore. "Marinka, apa Archie tahu aku malam ini akan pergi ke Sydney?" tanya Agatha tanpa menoleh ke arah Marinka yang berada di belakangnya. "Nona saya rasa Tuan Archie sudah mengetahuinya. Karena memang akses private jet harus di ketahui oleh Tuan Archie nona." jawab Marinka. "Tapi, saya rasa Tuan Archie mengetahui ini terlambat. karena saya sudah mengatur semuanya dengan baik." Agatha tersenyum puas, "Great, saudara kembar ku itu terlalu bodoh. Aku tahu dia sepertinya memiliki rasa suka pada Marsha. Dia selalu membela wanita itu dari pada aku saudara kandungnya sendiri. Harusnya jika dia menyukai Marsha, dia bekerja sama d
Beberapa bulan kemudian... Tokyo, Japan... "Selena... Miracle... Hati-hati, jangan melempar bola salju seperti itu," seru Marsha memberikan peringatan pada kedua putrinya itu, yang tengah bermain salju. "Sean, jaga kedua adikmu. Jangan sampai mereka terluka," lanjutnya yang sedikit berteriak memperingatkan putra sulungnya itu, yang juga ikut bermain salju dengan Selena dan Miracle. "Sayang, Sean akan menjaga Selena dan Miracle dengan baik. Kau tenang saja," William merengkuh bahu Marsha seraya mengecup kening Marsha. "Lihatlah, Dominic masih tertidur pulas, meski tadi suaramu kencang. Tapi dia tetap tenang," ujarnya yang kini melihat ke arah Dominic yang tengah dalam pelukan Marsha. Marsha mendesah pelan, kemudian dia menatap Dominic yang masih tertidur pulas. Beruntung, putra bungsunya itu, tidak terbangun karena mendengar suaranya yang sedikit kencang memperingati ketiga anaknya. Ya, waktu berjalan begitu cepat. Kini Dominic berusia delapan bulan. William dan Marsha, sengaja men
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi laki-lakinya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak keempat mereka adalah laki-laki. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sesaat William menatap Marsha dengan tatapan yang begitu bahagia. Tidak pernah terpikir dalam hidup mereka, akan kembali merasakan kebahagiaan ini lagi."Dia mirip dengan Sean saat bayi," ucap William di telinga Marsha seraya memberikan banyak kecupan dipipi istrinya itu. "Terima kasih, sayang. Terima kasih telah memberikanku hadiah yang luar biasa."Marsha tersenyum dia terus mengusap lembut kepala bayi laki-lakinya itu. "Aku juga sangat bahagia, William. Melahirkan buah cinta kita adala
Marsha mematut cermin. Tubuhnya kini telah terbalut dress khusus wanita hamil yang membuat Marsha sangat nyaman. Ya, lagi dan lagi Marsha mengalami kenaikan berat badan cukup drastis. Berkali-kali suaminya mengatakan dirinya sangat cantik dan seksi saat hamil, namun Marsha tentu tidak akan percaya. Bagaimana tidak? Setiap kali Marsha menatap ke cermin, dia selalu melihat tubuhnya tampak begitu besar. Beruntung, kali ini adalah kehamilan yang terakhirnya. Memiliki empat anak sudah lebih dari cukup bagi Marsha. Padahal dulu, dia hanya menginginkan dua anak saja. Tapi William tidak akan pernah mau jika hanya dua anak. Bahkan hingga detik ini, William selalu meminta untuk kembali menambah anak. Marsha benar-benar tidak habis pikir dengan keinginan sang suami. "Setelah melahirkan, aku harus berolah raga. Aku tidak ingin gemuk seperti ini terus," gumam Marsha seraya mengusap perut buncitnya. "Sayang, Mommy sangat mencintaimu. Tenang saja, Mommy tidak akan menyalahkanmu karena kau membuat t
Suara teriakan yang keras membuat Laura yang baru saja menata pajangan di rumahnya, langsung terkejut. Dengan cepat Laura mengalihkan pandangannya, menatap ke arah pintu rumahnya. Seketika Laura mengerutkan keningnya, melihat Lea yang baru saja pulang sekolah, dengan raut wajah yang marah melangkah masuk ke dalam rumah. "Ahg! Kenapa mereka itu menyebalkan sekali! Mereka menggangguku!" seru Lea dengan suara keras kala tiba di rumah. "Sayang? Kau kenapa?" Laura mendekat ke arah Lea, dia langsung mengelus lembut pipi putrinya itu. "Tidak baik, gadis cantik masuk ke dalam rumah dengan wajah yang kesal. Sekarang katakan pada Mommy ada apa dan di mana Ken? Kenapa Ken tidak pulang bersama denganmu?" Lea mendengus, dia mencebikan bibirnya. "Ken masih berada di sekolah. Ada khursus yag harus dia ikuti. Mommy, aku rasanya ingin pindah sekolah saja. Aku tidak mau bersekolah di sekolah yang sama dengan Ka Sean. Aku pusing, Mommy!" Laura menautkan alisnya menatap bingung Lea. "Kenapa, sayang?
"Mommy..." Seorang anak perempuan berusia empat tahun berlari menghampiri Karin yang tengah memasak di dapur. Disusul dengan anak laki-laki yang juga berusia empat tahun, ikut berlari menghampiri Karin. Karin yang baru saja selesai masak, dan hendak meletakan makanan di atas meja, dia langsung mengalihkan pandangannya kala ada yang memanggilnya. Seketika senyum di bibir Karin terukir, melihat kedua anaknya tengah menghampirinya. Dengan cepat Karin langsung membuka tangannya dan memberikan pelukan hangat pada kedua anaknya itu. "Kelvin... Charlotte... Kalian sudah pulang?" Karin memberikan banyak kecupan pada kedua anaknya itu. "Ya, Mommy. Kami sudah pulang," jawab Kelvin dan Charlotte bersamaan seraya memeluk erat tubuh Karin. "Bagaimana hari kalian di sekolah? Apa kalian selalu bersama Selena dan Miracle?" tanya Karin sambil mengelus lembut pipi Kelvin dan Charlotte. Kelvin Frans Geovan dan Charlotte Frans Geovan, anak kembar dari Frans dan Karin yang berusia empat tahun ini ben
Lima Tahun Kemudian..."Astaga, Miracle. Hentikan bermain dengan pisau! Nanti kau terluka, Miracle!" Suara Marsha berseru dengan nada yang keras, agar putri kecilnya itu menghentikan bermain dengan pisau. Vanessa Miracle William Geovan, sejak kecil William mengajarkan bela diri pada Miracle, demi melindungi dirinya sendiri. Tentu William melakukan itu semua karena Miracle tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. William selalu waspada jika suatu saat ada yang berusaha mencelakai putrinya. Namun, Miracle sangat berbeda dengan Selena, saudara kembarnya yang berambut pirang, memiliki sifat yang begitu lemah lembut. Sangat sulit bagi William, mengajarkan Selena bela diri, karena berkali-kali Selena akan selalu terluka. Itu kenapa Willliam lebih memilih menjaga Selena dengan banyak pengawal yang mengikuti putrinya itu. "Mom, aku bisa melempar pisau di papan tepat sasaran. Aku hebat, kan, Mom?" Miracle tersenyum bangga, kala pisau yang dia lempar ke papan, tepat sasaran. Kemudian, dia pun
Karin menatap keindahan Canada's sugar beach. Sudah sejak beberapa hari lalu dirinya ingin pergi ke pantai ini. Tapi dia terpaksa menunda karena Frans disibukan dengan pekerjaannya. Dengan kaki telanjang, dan perut yang membuncit Karin melangkah melusuri pantai. Ya, kini kandangan Karin memasuki minggu ke tiga puluh empat. Selama kehamilan ini. Karin dilarang untuk melakukan kegiatan berat. Biasanya Karin menghabiskan waktu bersantai di rumah atau menonton film drama kesukannya. Jika Karin ingin keluar rumah, maka Frans harus ikut dengannya. Sejak hamil, sifat Frans memang begitu overprotective padanya. Dulu Karin berpikir, dia tidak akan pernah tahu bagaiamaa sifat seorang suami yang mengatasi istrinya yang tengah mengandung, tapi ternyata Tuhan begitu baik padanya, hingga memberikan kesempatan untuknya hamil. Kebahagiaan Frans dan Karin bertambah saat Dokter memberitahu dia hamil bayi kembar. Tentu Karin dan Frans begitu bahagia menyambut bayi kembar mereka. "Frans, kenapa kau tid
"Karin, pagi ini aku berangkat lebih awal. Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan menggantikan William. Beberapa hari ke depan, William tidak masuk ke kantor," ucap Frans seraya memakai dasi. Karin yang tengah duduk, dia bangkit berdiri mendekat ke arah Frans, dan langsung mengambil alih Frans yang tengah memakai dasi. "Aku mengerti, William pasti sedang menemani Marsha yang baru melahirkan. Saat ini Marsha benar-benar membutuhkan William berada disisinnya." Karin menepuk pelan dada Frans kala selesai memakaikan dasi suaminya. "Terima kasih sudah mengerti," Frans menarik dagu Karin, mencium dan melumat lembut bibir Karin. "Yasudah aku berangkat sekarang. Malam ini kau tidurlah duluan. Jangan menungguku." "Hati-hati. Kabari aku jika kau sudah di kantor. Jangan lupakan makan siangmu," balas Karin mengingatkan. Frans mengangguk. Kemudian, dia mengecup singkat bibir Karin, lalu melangkah keluar meninggalkan kamar. Karin hendak menemani Frans, namun, Frans memintanya untuk tetap di
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi kembarnya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak kembar mereka adalah perempuan. Hal yang membuat William bertambah bahagia adalah saat sang Dokter mengatakan anak kembar mereka bukanlah kembar identik. Anak perempuan pertama yang lebih dulu lahir memiliki rambut pirang seperti Marsha. Sedangkan anak perempuan kedua yang lahir, memiliki rambut coklat seperti William. Sungguh, William tidak menyangka, bayi kembarnya akan lahir dengan begitu special. Kini Marsha tidak akan lagi iri, karena sekarang, Marsha memiliki satu anak yang begitu mirip dengannya. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sedangkan William d