Marsha berlari keluar kelas, dia melirik arloji kini sudah pukul sebelas siang. Tadi dia sudah mendapatkan pesan dari William, jika suaminya itu menunggunya di kafe terdekat dengan kampus. Tidak hanya sendiri, Marsha juga menarik Karin untuk ikut dengannya. Alasannya karena Frans juga bersama dengan William. Kali ini Karin hanya pasrah dan menurut pada Marsha. Karin tidak lagi memberontak sejak perkataan Marsha yang mengatakan setiap orang memiliki batas kesabaran. Marsha dan Karin berjalan cepat keluar dari kampus menuju kafe tempat dimana William dan Frans menunggu. Marsha mengulum senyumannya, mengingat ini pertama kali William menunggunya di kampus. Biasanya William mengatar Marsha cukup hanya sampai lobby kampus. Hari ini William memang benar-benar sangat manis. Saat Marsha dan Karin sudah tibaa di kafe, mereka sudah melihat William dan Frans duduk di sudut sebelah kanan. Marsha kembali menarik tangan Karin agar wanita itu mempercepat langkahnya. "Maaf aku menunggu mu lama," u
Marsha menatap makanan yang tersedia di atas meja. Dia tersenyum senang, akhirnya dia bisa makan masakan kesukaannya. Sudah sejak lama dia menginginkan ini, karena memang biasanya makanan Indonesia tersedia jika dia berada di rumah keluarganya. Clara ibunya dan pelayan yang dia bawa dari Indonesia selalu memasak makanan Indonesia. Jika di sini, Marsha lebih sering memakan western food atau italian food sesuai permintaan William. Tidak hanya Marsha, Karin juga terus menatap makanan yang tersedia di atas meja. Dia merasakan seperti pulang ke negaranya. Sudah lama sekali Karin tidak kembali ke Indonesia. Itu yang membuat orang tuanya geram atas dirinya. "Marsha, aku seperti berada di rumah." bisik Karin di telinga Marsha. Marsha tersenyum, "Aku juga demikian. Lebih baik kita duduk." Karin mengangguk singkat, dia duduk di samping Frans. Sedangkan Marsha duduk di samping Wiliam yang berada di tengah. Laura memilih duduk di samping Marsha, memang Laura belum terbiasa. Tapi saat ini Laur
William dan Raymond saling beradu pandang. Mereka saling melempar tatapan tajam satu sama lain. Setelah makan, William memang membawa Raymond ke ruang kerja. Raymond melangkah mendekat ke arah William, dia duduk tepat di hadapan William. Rarymond menyilangkan kakinya, jemarinya mengetuk pelan meja di hadapannya itu. "Kau mengajak ku ke sini hanya untuk berbicara tentang Marsha yang mengundang ku datang?" Raymond lebih dulu mengeluarkan kata-kata. Karena sejak tadi William dan dirinya hanya saling melempar tatapan tajam. William tersenyum tipis, "Aku tidak ingin membahas itu, kalau aku menginginkan sudah sejak tadi aku dengan mudahnya mengusir mu. Sayangnya aku masih berbaik hati dan membiarkan mu makan bersama dengan keluarga ku." Raymond menggeleng pelan dan menyunggingkan senyuman meledek. "Aku yakin kau tidak akan berani karena aku di undang oleh istri mu sendiri. Kau tidak ingin bertengkar dengan istri mu bukan? dan aku harap kau tidak lagi cemburu pada ku. Karena memang aku da
Laura duduk di taman bersama dengan Karin. Mereka berdua melihat bunga yang tumbuh sangat indah. Cuaca yang begitu cerah membuat mereka memilih untuk duduk di taman. Angin berhembus begitu menyejukan. "Taman ini sangat indah dan sejuk Laura, harusnya aku membuat taman seperti ini di mansion ku." kata Karin yang terus memandangi bunga-bunga yang tumbuh sangat indah. "Marsha memang menyukai keindahan taman, dia selalu meminta pelayan untuk menjaga dan merawat bunga-bunga ini dengan baik. Saat aku pindah ke sini. aku juga kagum dengan taman ini. Ternyata Marsha begitu menyukai keindanhan taman." ujar Laura, dia juga menatap bunga-bunga yang tumbuh dengan indah. "Aku sudah menduganya, sejak dulu Marsha itu sangat menyukai bunga." balas karin."Hmm. Laura, apa Marsha saat ini bersama dengan William? atau dia bersama dengan Chef Andine?" tanya Karin, sejak tadi dia tidak melihat Marsha menyusul ke taman."Aku tidak tahu, mungkin masih bersama dengan Chef Andine. Aku melihat Marsha, Seper
Sepanjang perjalanan, suasan hening. Karin menatap luar jendela. Frans tetap fokus menyetir dengan kecepatan sedang. Lebih tepatnya, Frans tidak ingin terburu-buru mengantarkan Karin. Itu yang membuat Frans melajukan mobilnya pelan. Dia masih ingin melihat Karin yang dengan wajah yang begitu menggemaskan. "Apa kau ingin makan lagi?" Frans lebih dulu membuka suara, dia berusaha memulai percakapan dengan Karin. "Tidak, aku masih kenyang." jawab Karin singkat tanpa menoleh ke arah Frans, dia masih menatap ke luar jendela. "Tadi kau yang sengaja memberikan aku makanan pedas bukan? apa kau senang melihat wajah ku memerah dan harus bolak balik masuk kamar mandi?" Frans bertanya tentang kejadian tadi siang, dia sengaja menyindir sekaligus menggoda Karin. Karin berusaha untuk tenang, pandangannya tetap menoleh ke arah jendela. "Aku tidak mengerjai mu. Lagi pula makanan itu sama sekali tidak pedas. Kau saja yang berlebihan Frans. Aku saja makan itu biasa saja." Frans menggeleng pelan dan
William memeriksa tumpukan dokumen yang diberikan oleh Albert. Sebelum menandatangani setiap dokumen William selalu memeriksanya dengan teliti. Meski dia tahu Albert sudah memeriksanya dengan baik, tapi bagi William dia harus tetap memeriksa dokumen yang diberikan oleh Albert ini. William menyandarkan punggungnya sebentar, dia memejamkan matanya lelah. Terdengar suara ketukan pintu, William membuang napas kasar. Dia paling tidak suka jika dirinya sedang sedikit bersantai harus diganggu seperti ini. "Kau ini kenapa sejak tadi aku mengetuk pintu dan kau tidak langsung meminta ku untuk masuk?" suara Frans berseru menerobos masuk. Frans tidak memperdulikan tatapan tajam William. Bahkan William juga tidak mengatakan Frans untuk masuk tapi dia tetap tidak perduli. Terpenting bagi Frans, dia sudah mengetuk pintu. "Ada apa kau ke sini?" tukas William dingin. Frans berdecak kesal, "Apa begini cara mu menyambut sepupu mu sendiri William?" "Cepat katakan jangan membuang waktu ku Frans! masi
Pagi itu hujan begitu deras. Marsha yang masih tertidur lelap terlebih hujan turun membuat Marsha enggan membuka matanya. Marsha bisa merasakan suara deras hujan. Beruntung, tidak ada kilatan petir. Jika saja Marsha mendengar suara petir, sudah pasti dia melompat dari ranjang dan segera bersembunyi.Terdengar bunyi alarm yang cukup keras, Marsha mengumpat dalam hati. Dia mulai membuka matanya, mematikan alarm di ponsel. Lalu melirik jam dinding kini sudah pukul sembilan pagi. Hari ini Marsha tidak memiliki jadwal kuliah, itu kenapa dia lebih bersantai. Marsha beranjak dari ranjang, dia mengikat asal rambutnya dan berjalan menuju kamar mandi. Namun langkah Marsha terhenti ketika mendengar ponsel berdering, Marsha membalikan tubuhnya mengambil ponsel di atas nakas. Dia menatap ke layar nomor tidak di kenal. Marsha mengerutkan keningnya, menatap nomor yang tidak di kenal itu. Akhirnya Marsha memilih untuk menerima panggilan itu, dia mengusap layar ponsel itu sebelum kemudian menempelkan
Archie melompat turun dari mobil, dia melangkah cepat masuk ke dalam rumah. Dia sudah tidak sabar untuk bertemu dengan ibu dan adiknya itu. Para pelayan yang menyapa dirinya, dia abaikan. Bahkan Archie memasang wajah datar dan tidak merespon apa pun."Ma.." suara Archie memanggil cukup keras saat masuk ke dalam rumah. Dia sudah melihat ibu dan adiknya tengah membicarakan sesuatu. Archie melangkah mendekat ke arah Belinda dan Agatha. "Ada apa Archie?" tanya Belinda saat melihat putranya itu sudah berdiri di hadapannya. "Apa yang mama rencanakan? kenapa mama menipu keluarga Mario Nicholas? sebenarnya apa tujuan mu?" Archie menatap lekat Belinda. Belinda beranjak dari tempat duduknya, dia membalas tatapan putranya itu. "Jangan ikut campur urusan mama Archie!" tukas Belinda dingin. "Bagaimana aku bisa diam ketika kalian membuat kekacauan? apa kau tahu William Geovan membeli saham perusahaan kita sepuluh persen. Tidak menutup kemungkinan William memiliki rencana mengakusisi perusahaan
Beberapa bulan kemudian... Tokyo, Japan... "Selena... Miracle... Hati-hati, jangan melempar bola salju seperti itu," seru Marsha memberikan peringatan pada kedua putrinya itu, yang tengah bermain salju. "Sean, jaga kedua adikmu. Jangan sampai mereka terluka," lanjutnya yang sedikit berteriak memperingatkan putra sulungnya itu, yang juga ikut bermain salju dengan Selena dan Miracle. "Sayang, Sean akan menjaga Selena dan Miracle dengan baik. Kau tenang saja," William merengkuh bahu Marsha seraya mengecup kening Marsha. "Lihatlah, Dominic masih tertidur pulas, meski tadi suaramu kencang. Tapi dia tetap tenang," ujarnya yang kini melihat ke arah Dominic yang tengah dalam pelukan Marsha. Marsha mendesah pelan, kemudian dia menatap Dominic yang masih tertidur pulas. Beruntung, putra bungsunya itu, tidak terbangun karena mendengar suaranya yang sedikit kencang memperingati ketiga anaknya. Ya, waktu berjalan begitu cepat. Kini Dominic berusia delapan bulan. William dan Marsha, sengaja men
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi laki-lakinya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak keempat mereka adalah laki-laki. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sesaat William menatap Marsha dengan tatapan yang begitu bahagia. Tidak pernah terpikir dalam hidup mereka, akan kembali merasakan kebahagiaan ini lagi."Dia mirip dengan Sean saat bayi," ucap William di telinga Marsha seraya memberikan banyak kecupan dipipi istrinya itu. "Terima kasih, sayang. Terima kasih telah memberikanku hadiah yang luar biasa."Marsha tersenyum dia terus mengusap lembut kepala bayi laki-lakinya itu. "Aku juga sangat bahagia, William. Melahirkan buah cinta kita adala
Marsha mematut cermin. Tubuhnya kini telah terbalut dress khusus wanita hamil yang membuat Marsha sangat nyaman. Ya, lagi dan lagi Marsha mengalami kenaikan berat badan cukup drastis. Berkali-kali suaminya mengatakan dirinya sangat cantik dan seksi saat hamil, namun Marsha tentu tidak akan percaya. Bagaimana tidak? Setiap kali Marsha menatap ke cermin, dia selalu melihat tubuhnya tampak begitu besar. Beruntung, kali ini adalah kehamilan yang terakhirnya. Memiliki empat anak sudah lebih dari cukup bagi Marsha. Padahal dulu, dia hanya menginginkan dua anak saja. Tapi William tidak akan pernah mau jika hanya dua anak. Bahkan hingga detik ini, William selalu meminta untuk kembali menambah anak. Marsha benar-benar tidak habis pikir dengan keinginan sang suami. "Setelah melahirkan, aku harus berolah raga. Aku tidak ingin gemuk seperti ini terus," gumam Marsha seraya mengusap perut buncitnya. "Sayang, Mommy sangat mencintaimu. Tenang saja, Mommy tidak akan menyalahkanmu karena kau membuat t
Suara teriakan yang keras membuat Laura yang baru saja menata pajangan di rumahnya, langsung terkejut. Dengan cepat Laura mengalihkan pandangannya, menatap ke arah pintu rumahnya. Seketika Laura mengerutkan keningnya, melihat Lea yang baru saja pulang sekolah, dengan raut wajah yang marah melangkah masuk ke dalam rumah. "Ahg! Kenapa mereka itu menyebalkan sekali! Mereka menggangguku!" seru Lea dengan suara keras kala tiba di rumah. "Sayang? Kau kenapa?" Laura mendekat ke arah Lea, dia langsung mengelus lembut pipi putrinya itu. "Tidak baik, gadis cantik masuk ke dalam rumah dengan wajah yang kesal. Sekarang katakan pada Mommy ada apa dan di mana Ken? Kenapa Ken tidak pulang bersama denganmu?" Lea mendengus, dia mencebikan bibirnya. "Ken masih berada di sekolah. Ada khursus yag harus dia ikuti. Mommy, aku rasanya ingin pindah sekolah saja. Aku tidak mau bersekolah di sekolah yang sama dengan Ka Sean. Aku pusing, Mommy!" Laura menautkan alisnya menatap bingung Lea. "Kenapa, sayang?
"Mommy..." Seorang anak perempuan berusia empat tahun berlari menghampiri Karin yang tengah memasak di dapur. Disusul dengan anak laki-laki yang juga berusia empat tahun, ikut berlari menghampiri Karin. Karin yang baru saja selesai masak, dan hendak meletakan makanan di atas meja, dia langsung mengalihkan pandangannya kala ada yang memanggilnya. Seketika senyum di bibir Karin terukir, melihat kedua anaknya tengah menghampirinya. Dengan cepat Karin langsung membuka tangannya dan memberikan pelukan hangat pada kedua anaknya itu. "Kelvin... Charlotte... Kalian sudah pulang?" Karin memberikan banyak kecupan pada kedua anaknya itu. "Ya, Mommy. Kami sudah pulang," jawab Kelvin dan Charlotte bersamaan seraya memeluk erat tubuh Karin. "Bagaimana hari kalian di sekolah? Apa kalian selalu bersama Selena dan Miracle?" tanya Karin sambil mengelus lembut pipi Kelvin dan Charlotte. Kelvin Frans Geovan dan Charlotte Frans Geovan, anak kembar dari Frans dan Karin yang berusia empat tahun ini ben
Lima Tahun Kemudian..."Astaga, Miracle. Hentikan bermain dengan pisau! Nanti kau terluka, Miracle!" Suara Marsha berseru dengan nada yang keras, agar putri kecilnya itu menghentikan bermain dengan pisau. Vanessa Miracle William Geovan, sejak kecil William mengajarkan bela diri pada Miracle, demi melindungi dirinya sendiri. Tentu William melakukan itu semua karena Miracle tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. William selalu waspada jika suatu saat ada yang berusaha mencelakai putrinya. Namun, Miracle sangat berbeda dengan Selena, saudara kembarnya yang berambut pirang, memiliki sifat yang begitu lemah lembut. Sangat sulit bagi William, mengajarkan Selena bela diri, karena berkali-kali Selena akan selalu terluka. Itu kenapa Willliam lebih memilih menjaga Selena dengan banyak pengawal yang mengikuti putrinya itu. "Mom, aku bisa melempar pisau di papan tepat sasaran. Aku hebat, kan, Mom?" Miracle tersenyum bangga, kala pisau yang dia lempar ke papan, tepat sasaran. Kemudian, dia pun
Karin menatap keindahan Canada's sugar beach. Sudah sejak beberapa hari lalu dirinya ingin pergi ke pantai ini. Tapi dia terpaksa menunda karena Frans disibukan dengan pekerjaannya. Dengan kaki telanjang, dan perut yang membuncit Karin melangkah melusuri pantai. Ya, kini kandangan Karin memasuki minggu ke tiga puluh empat. Selama kehamilan ini. Karin dilarang untuk melakukan kegiatan berat. Biasanya Karin menghabiskan waktu bersantai di rumah atau menonton film drama kesukannya. Jika Karin ingin keluar rumah, maka Frans harus ikut dengannya. Sejak hamil, sifat Frans memang begitu overprotective padanya. Dulu Karin berpikir, dia tidak akan pernah tahu bagaiamaa sifat seorang suami yang mengatasi istrinya yang tengah mengandung, tapi ternyata Tuhan begitu baik padanya, hingga memberikan kesempatan untuknya hamil. Kebahagiaan Frans dan Karin bertambah saat Dokter memberitahu dia hamil bayi kembar. Tentu Karin dan Frans begitu bahagia menyambut bayi kembar mereka. "Frans, kenapa kau tid
"Karin, pagi ini aku berangkat lebih awal. Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan menggantikan William. Beberapa hari ke depan, William tidak masuk ke kantor," ucap Frans seraya memakai dasi. Karin yang tengah duduk, dia bangkit berdiri mendekat ke arah Frans, dan langsung mengambil alih Frans yang tengah memakai dasi. "Aku mengerti, William pasti sedang menemani Marsha yang baru melahirkan. Saat ini Marsha benar-benar membutuhkan William berada disisinnya." Karin menepuk pelan dada Frans kala selesai memakaikan dasi suaminya. "Terima kasih sudah mengerti," Frans menarik dagu Karin, mencium dan melumat lembut bibir Karin. "Yasudah aku berangkat sekarang. Malam ini kau tidurlah duluan. Jangan menungguku." "Hati-hati. Kabari aku jika kau sudah di kantor. Jangan lupakan makan siangmu," balas Karin mengingatkan. Frans mengangguk. Kemudian, dia mengecup singkat bibir Karin, lalu melangkah keluar meninggalkan kamar. Karin hendak menemani Frans, namun, Frans memintanya untuk tetap di
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi kembarnya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak kembar mereka adalah perempuan. Hal yang membuat William bertambah bahagia adalah saat sang Dokter mengatakan anak kembar mereka bukanlah kembar identik. Anak perempuan pertama yang lebih dulu lahir memiliki rambut pirang seperti Marsha. Sedangkan anak perempuan kedua yang lahir, memiliki rambut coklat seperti William. Sungguh, William tidak menyangka, bayi kembarnya akan lahir dengan begitu special. Kini Marsha tidak akan lagi iri, karena sekarang, Marsha memiliki satu anak yang begitu mirip dengannya. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sedangkan William d