Marsha menatap wajah Clara yang terlihat beegitu terkejut, "Ma, mama kenapa?" tanya Marsha cemas dan panik. Clara tidak bergeming, bahkan matanya masih terus menatap isi yang tertera di keras tersebut. Mario membiarkan Clara terus menaatp hasil itu. Mario menunggu hingga Clara bertanya padanya. "Kau sudah membaca hasilnya? dan itulah kenyataannya Clara. Jika kau tidak mempercayai ku maka kau bisa bertanya langsung pada menantu mu Wiliam." kata Mario menjelaskan kebenarannya. Beruntung William membantu dirinya. "Ma, mama kenapa hanya diam?" desak Marsha tidak sabar. Sejak tadi ibunya itu tidak menjawabnya. "Apa maksud mu ini?" akhinya Clara bertanya dan menatap Mario. "Kau melihatnya bukan? hasil test itu tertera dengan jelas. Anak Belinda bukanlah anak ku. Kau bisa bertanya pada menantu mu William. Karena dia yang membantu ku. Jika bukan karena William, mungkin aku tidak tahu seperti apa keluarga kita ini." kata Mario menjelaskan semuanya. Marsha tersentak saat Mario menyebutkan
Marsha melompat turun dari mobil, dia langsung belari masuk ke dalam rumah. Langkahnya terhenti ketika ada pelayan yang menundukan kepala menyapa dirinya. "Nyonya," sapa sang pelayan. "Apa suami ku sudah pulang?" tanya Marsha terburu-buru. "Sudah nyonya. Saat ini tuan berada di ruang kerjanya." jawab pelayan itu. Marsha mengangguk, lalu berlari menuju ruang kerja William. Dia ingin segera bertemu dengan suaminya itu. Sudah sejak tadi Marsha tidak sabar bertemu dengan suaminya saat ayahnya mengatakan suaminya itu terlibat dalam test DNA anak dari Belinda. "William," Marsha memanggil dengan cukup keras saat masuk ke ruang kerja William. Marsha tersentak saat melihat Albert berada di ruang kerja William. Melihat Marsha datang, William menggerakan kepalanya memberi kode pada Albert untuk meninggalkannya. Albert menunduk lalu undur diri dari ruang kerja Wiliam. Saat Albert pergi, Marsha langsung berlari ke arah Wiliam. Dia langsung duduk di pangkuan suaminya itu. William membenarkan
Marsha berjalan keluar dari kamar mandi, dengan tubuh yang masih memakai bathdrobe. Marsha melangkah masuk ke dalam walk in closet miliknya. Dia memilih gaun tidur berwarna putih bermotif brokat tipis. Namun, saat Marsha ingin membalikan tubuhnya, dai tersentak saat merasakan tangan yang memeluknya begitu erat. Marsha menoleh dan menggeleng pelan melihat Wiliam memeluk erat dirinya. "Kau mengagatkan ku William!" "Aku menyukai wroma mu," William tidak mendengarkan keluhan Marsha, dia terus mengecupi leher putih Marsha. Wiliam mulai menaikan tangannya dan meremas dada Marsha hingga membuat Marsha mendesah pelan. "William kau benar-benar!" dengus Marsha. "Apa kau tidak ingin memberikan ku hadiah hm? aku sudah membantu mu. Harusnya aku mendaptakn hadiah dari mu." William terus mengecupi leher istrtinya itu. Marsha mengrutakn dahi tidak mnegerti dengan apa yang di katakan William. "Hadiah ap-"Belum selesai Marsha menyelesaikan ucapannya, dia langsung terkesiap ketika William membalik
Sinar matahari pagi bergitu cerah, cahayanya menembus jendela. Kini William terus menatap sosok wanita yang masih tertidur pulas di sampingnya. Tubuh polos Marsha yang masih terbalut oleh selimut, wajah polos Marsha yang tidak memakai make up membuat William tidak henti memandangi istrinya. William harus mengakui istrinya ternayata sangat cerdas. Bahkan tadi malam, tanpa diminta Marsha sudah melakukan yang William inginkan. William masih terus menatap Marsha yang tertidur di dalam pelukannya. Objek pemandangan pagi ini terlalu indah bagi William untuk tidak di lihat. Wajah istrinya memang begitu cantik, bulu mata yang lentik, hidung yang mancung dan mungil, bibir yang tipis membuat rasanya William tidak pernah bosan menatap istrinya yang cantik itu. Bahkan tadi malam mereka bercinta hingga hampir pagi hari. William mengulum senyumannya, dia membiarkan istrinya masih tertidur. Dia tahu, istrinya itu sudah sangat kelelahan akibat ulahnya selalu meminta lagi dan lagi. William mengelus
Mobil Bugatti Veyron milik William memasuki halaman parkir kampus Marsha. Ada rasa senang di hati Marsha karena William mengantarkannya dan juga rasa kesal karena pasti banyak wanita yang menatap suaminya itu saat mengantarkan masuk ke dalam kampus. "Kau ingin aku temani masuk?" tanya William pada Marsha. "Eh? lebih baik tidak usah," tolak Marsha, dia tidak ingin suaminya itu menjadi pusat perhatian para wanita. "Kau yakin?" "Hemm.." Marsha terdiam, berpikir sejenak. Sebenarnya dia ingin sekali di antar William masuk ke dalam. "Yasudah antar aku ke dalam," kata Marsha dengan yakin. Willi mengulum senyumannya, "Allright miss..." Kemudian William dan Marsha turun dari mobil. Marsha memeluk lengan William melangkah masuk ke dalam kampus. Marsha menatap sekelilingnya, benar saja beberapa wanita di kampus tidak berhenti menatap William. Marsha semakin memeluk erat suaminya, beruntung sejak Marsha mengenal William suaminya itu bukan pria yang sering bermain-main mengganti wanita.Saat
Marsha berlari keluar kelas, dia melirik arloji kini sudah pukul sebelas siang. Tadi dia sudah mendapatkan pesan dari William, jika suaminya itu menunggunya di kafe terdekat dengan kampus. Tidak hanya sendiri, Marsha juga menarik Karin untuk ikut dengannya. Alasannya karena Frans juga bersama dengan William. Kali ini Karin hanya pasrah dan menurut pada Marsha. Karin tidak lagi memberontak sejak perkataan Marsha yang mengatakan setiap orang memiliki batas kesabaran. Marsha dan Karin berjalan cepat keluar dari kampus menuju kafe tempat dimana William dan Frans menunggu. Marsha mengulum senyumannya, mengingat ini pertama kali William menunggunya di kampus. Biasanya William mengatar Marsha cukup hanya sampai lobby kampus. Hari ini William memang benar-benar sangat manis. Saat Marsha dan Karin sudah tibaa di kafe, mereka sudah melihat William dan Frans duduk di sudut sebelah kanan. Marsha kembali menarik tangan Karin agar wanita itu mempercepat langkahnya. "Maaf aku menunggu mu lama," u
Marsha menatap makanan yang tersedia di atas meja. Dia tersenyum senang, akhirnya dia bisa makan masakan kesukaannya. Sudah sejak lama dia menginginkan ini, karena memang biasanya makanan Indonesia tersedia jika dia berada di rumah keluarganya. Clara ibunya dan pelayan yang dia bawa dari Indonesia selalu memasak makanan Indonesia. Jika di sini, Marsha lebih sering memakan western food atau italian food sesuai permintaan William. Tidak hanya Marsha, Karin juga terus menatap makanan yang tersedia di atas meja. Dia merasakan seperti pulang ke negaranya. Sudah lama sekali Karin tidak kembali ke Indonesia. Itu yang membuat orang tuanya geram atas dirinya. "Marsha, aku seperti berada di rumah." bisik Karin di telinga Marsha. Marsha tersenyum, "Aku juga demikian. Lebih baik kita duduk." Karin mengangguk singkat, dia duduk di samping Frans. Sedangkan Marsha duduk di samping Wiliam yang berada di tengah. Laura memilih duduk di samping Marsha, memang Laura belum terbiasa. Tapi saat ini Laur
William dan Raymond saling beradu pandang. Mereka saling melempar tatapan tajam satu sama lain. Setelah makan, William memang membawa Raymond ke ruang kerja. Raymond melangkah mendekat ke arah William, dia duduk tepat di hadapan William. Rarymond menyilangkan kakinya, jemarinya mengetuk pelan meja di hadapannya itu. "Kau mengajak ku ke sini hanya untuk berbicara tentang Marsha yang mengundang ku datang?" Raymond lebih dulu mengeluarkan kata-kata. Karena sejak tadi William dan dirinya hanya saling melempar tatapan tajam. William tersenyum tipis, "Aku tidak ingin membahas itu, kalau aku menginginkan sudah sejak tadi aku dengan mudahnya mengusir mu. Sayangnya aku masih berbaik hati dan membiarkan mu makan bersama dengan keluarga ku." Raymond menggeleng pelan dan menyunggingkan senyuman meledek. "Aku yakin kau tidak akan berani karena aku di undang oleh istri mu sendiri. Kau tidak ingin bertengkar dengan istri mu bukan? dan aku harap kau tidak lagi cemburu pada ku. Karena memang aku da
Beberapa bulan kemudian... Tokyo, Japan... "Selena... Miracle... Hati-hati, jangan melempar bola salju seperti itu," seru Marsha memberikan peringatan pada kedua putrinya itu, yang tengah bermain salju. "Sean, jaga kedua adikmu. Jangan sampai mereka terluka," lanjutnya yang sedikit berteriak memperingatkan putra sulungnya itu, yang juga ikut bermain salju dengan Selena dan Miracle. "Sayang, Sean akan menjaga Selena dan Miracle dengan baik. Kau tenang saja," William merengkuh bahu Marsha seraya mengecup kening Marsha. "Lihatlah, Dominic masih tertidur pulas, meski tadi suaramu kencang. Tapi dia tetap tenang," ujarnya yang kini melihat ke arah Dominic yang tengah dalam pelukan Marsha. Marsha mendesah pelan, kemudian dia menatap Dominic yang masih tertidur pulas. Beruntung, putra bungsunya itu, tidak terbangun karena mendengar suaranya yang sedikit kencang memperingati ketiga anaknya. Ya, waktu berjalan begitu cepat. Kini Dominic berusia delapan bulan. William dan Marsha, sengaja men
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi laki-lakinya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak keempat mereka adalah laki-laki. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sesaat William menatap Marsha dengan tatapan yang begitu bahagia. Tidak pernah terpikir dalam hidup mereka, akan kembali merasakan kebahagiaan ini lagi."Dia mirip dengan Sean saat bayi," ucap William di telinga Marsha seraya memberikan banyak kecupan dipipi istrinya itu. "Terima kasih, sayang. Terima kasih telah memberikanku hadiah yang luar biasa."Marsha tersenyum dia terus mengusap lembut kepala bayi laki-lakinya itu. "Aku juga sangat bahagia, William. Melahirkan buah cinta kita adala
Marsha mematut cermin. Tubuhnya kini telah terbalut dress khusus wanita hamil yang membuat Marsha sangat nyaman. Ya, lagi dan lagi Marsha mengalami kenaikan berat badan cukup drastis. Berkali-kali suaminya mengatakan dirinya sangat cantik dan seksi saat hamil, namun Marsha tentu tidak akan percaya. Bagaimana tidak? Setiap kali Marsha menatap ke cermin, dia selalu melihat tubuhnya tampak begitu besar. Beruntung, kali ini adalah kehamilan yang terakhirnya. Memiliki empat anak sudah lebih dari cukup bagi Marsha. Padahal dulu, dia hanya menginginkan dua anak saja. Tapi William tidak akan pernah mau jika hanya dua anak. Bahkan hingga detik ini, William selalu meminta untuk kembali menambah anak. Marsha benar-benar tidak habis pikir dengan keinginan sang suami. "Setelah melahirkan, aku harus berolah raga. Aku tidak ingin gemuk seperti ini terus," gumam Marsha seraya mengusap perut buncitnya. "Sayang, Mommy sangat mencintaimu. Tenang saja, Mommy tidak akan menyalahkanmu karena kau membuat t
Suara teriakan yang keras membuat Laura yang baru saja menata pajangan di rumahnya, langsung terkejut. Dengan cepat Laura mengalihkan pandangannya, menatap ke arah pintu rumahnya. Seketika Laura mengerutkan keningnya, melihat Lea yang baru saja pulang sekolah, dengan raut wajah yang marah melangkah masuk ke dalam rumah. "Ahg! Kenapa mereka itu menyebalkan sekali! Mereka menggangguku!" seru Lea dengan suara keras kala tiba di rumah. "Sayang? Kau kenapa?" Laura mendekat ke arah Lea, dia langsung mengelus lembut pipi putrinya itu. "Tidak baik, gadis cantik masuk ke dalam rumah dengan wajah yang kesal. Sekarang katakan pada Mommy ada apa dan di mana Ken? Kenapa Ken tidak pulang bersama denganmu?" Lea mendengus, dia mencebikan bibirnya. "Ken masih berada di sekolah. Ada khursus yag harus dia ikuti. Mommy, aku rasanya ingin pindah sekolah saja. Aku tidak mau bersekolah di sekolah yang sama dengan Ka Sean. Aku pusing, Mommy!" Laura menautkan alisnya menatap bingung Lea. "Kenapa, sayang?
"Mommy..." Seorang anak perempuan berusia empat tahun berlari menghampiri Karin yang tengah memasak di dapur. Disusul dengan anak laki-laki yang juga berusia empat tahun, ikut berlari menghampiri Karin. Karin yang baru saja selesai masak, dan hendak meletakan makanan di atas meja, dia langsung mengalihkan pandangannya kala ada yang memanggilnya. Seketika senyum di bibir Karin terukir, melihat kedua anaknya tengah menghampirinya. Dengan cepat Karin langsung membuka tangannya dan memberikan pelukan hangat pada kedua anaknya itu. "Kelvin... Charlotte... Kalian sudah pulang?" Karin memberikan banyak kecupan pada kedua anaknya itu. "Ya, Mommy. Kami sudah pulang," jawab Kelvin dan Charlotte bersamaan seraya memeluk erat tubuh Karin. "Bagaimana hari kalian di sekolah? Apa kalian selalu bersama Selena dan Miracle?" tanya Karin sambil mengelus lembut pipi Kelvin dan Charlotte. Kelvin Frans Geovan dan Charlotte Frans Geovan, anak kembar dari Frans dan Karin yang berusia empat tahun ini ben
Lima Tahun Kemudian..."Astaga, Miracle. Hentikan bermain dengan pisau! Nanti kau terluka, Miracle!" Suara Marsha berseru dengan nada yang keras, agar putri kecilnya itu menghentikan bermain dengan pisau. Vanessa Miracle William Geovan, sejak kecil William mengajarkan bela diri pada Miracle, demi melindungi dirinya sendiri. Tentu William melakukan itu semua karena Miracle tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. William selalu waspada jika suatu saat ada yang berusaha mencelakai putrinya. Namun, Miracle sangat berbeda dengan Selena, saudara kembarnya yang berambut pirang, memiliki sifat yang begitu lemah lembut. Sangat sulit bagi William, mengajarkan Selena bela diri, karena berkali-kali Selena akan selalu terluka. Itu kenapa Willliam lebih memilih menjaga Selena dengan banyak pengawal yang mengikuti putrinya itu. "Mom, aku bisa melempar pisau di papan tepat sasaran. Aku hebat, kan, Mom?" Miracle tersenyum bangga, kala pisau yang dia lempar ke papan, tepat sasaran. Kemudian, dia pun
Karin menatap keindahan Canada's sugar beach. Sudah sejak beberapa hari lalu dirinya ingin pergi ke pantai ini. Tapi dia terpaksa menunda karena Frans disibukan dengan pekerjaannya. Dengan kaki telanjang, dan perut yang membuncit Karin melangkah melusuri pantai. Ya, kini kandangan Karin memasuki minggu ke tiga puluh empat. Selama kehamilan ini. Karin dilarang untuk melakukan kegiatan berat. Biasanya Karin menghabiskan waktu bersantai di rumah atau menonton film drama kesukannya. Jika Karin ingin keluar rumah, maka Frans harus ikut dengannya. Sejak hamil, sifat Frans memang begitu overprotective padanya. Dulu Karin berpikir, dia tidak akan pernah tahu bagaiamaa sifat seorang suami yang mengatasi istrinya yang tengah mengandung, tapi ternyata Tuhan begitu baik padanya, hingga memberikan kesempatan untuknya hamil. Kebahagiaan Frans dan Karin bertambah saat Dokter memberitahu dia hamil bayi kembar. Tentu Karin dan Frans begitu bahagia menyambut bayi kembar mereka. "Frans, kenapa kau tid
"Karin, pagi ini aku berangkat lebih awal. Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan menggantikan William. Beberapa hari ke depan, William tidak masuk ke kantor," ucap Frans seraya memakai dasi. Karin yang tengah duduk, dia bangkit berdiri mendekat ke arah Frans, dan langsung mengambil alih Frans yang tengah memakai dasi. "Aku mengerti, William pasti sedang menemani Marsha yang baru melahirkan. Saat ini Marsha benar-benar membutuhkan William berada disisinnya." Karin menepuk pelan dada Frans kala selesai memakaikan dasi suaminya. "Terima kasih sudah mengerti," Frans menarik dagu Karin, mencium dan melumat lembut bibir Karin. "Yasudah aku berangkat sekarang. Malam ini kau tidurlah duluan. Jangan menungguku." "Hati-hati. Kabari aku jika kau sudah di kantor. Jangan lupakan makan siangmu," balas Karin mengingatkan. Frans mengangguk. Kemudian, dia mengecup singkat bibir Karin, lalu melangkah keluar meninggalkan kamar. Karin hendak menemani Frans, namun, Frans memintanya untuk tetap di
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi kembarnya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak kembar mereka adalah perempuan. Hal yang membuat William bertambah bahagia adalah saat sang Dokter mengatakan anak kembar mereka bukanlah kembar identik. Anak perempuan pertama yang lebih dulu lahir memiliki rambut pirang seperti Marsha. Sedangkan anak perempuan kedua yang lahir, memiliki rambut coklat seperti William. Sungguh, William tidak menyangka, bayi kembarnya akan lahir dengan begitu special. Kini Marsha tidak akan lagi iri, karena sekarang, Marsha memiliki satu anak yang begitu mirip dengannya. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sedangkan William d