Mobil William baru saja tiba di mansion, Ia turun dari mobil dan melangkah masuk ke dalam rumah. Ia melirik arlojinya kini sudah pukul sebelas malam. Pasti istrinya kini sudah tertidur. William melangkah masuk ke dalam kamar, saat Wiliam masuk ke dalam kamar ia melihat Marsha sudah tertidur lelap. William melepas dasi dan kemejanya, sebenarnya William ingin langsung mencium Marsha. Tapi William memutuskan untuk membersihkan diri dulu sebelum mencium istrinya. William melangkah masuk ke dalam kamar mandi.Lima belas menit kemudian, William sudah selesai membersihkan diri. Ia melangkah menuju ranjang dan membaringkan tubuhnya di samping Marsha. William menatap Marsha yang tertidur pulas. William sangat tahu, Marsha memang jika sudah tertidur dan ada orang masuk dia tidak akan mungki bangun. William merapihkan rambut Marsha, mengelus dengan lembut pipi Marsha. Meski tubuh Marsha kurus, tapi pipi Marsha sedikit berisi. William mencium mata, hidung dan bibir Marsha. Marsha menggeliat s
Pagi hari Marsha dan William sudah bersiap. Marsha kini tengah membantu William memasang dasi. Seperti biasa, Marsha selalu menyiapkan pakaian yang akan di pakai William untuk ke kantor. Tubuh Willim sudah terbalut jas berwarna navy yang Marsha pilihkan untuknya. Arloji Rolex penyempurna penampilan William. Marsha memang cerdas dalam memilih pakaian untuk suaminya itu. Sedangkan Marsha hari ini memilih mini leather skrit dengan atasan berwarna putih dan di padukan leather jacket. Marsha memoles make up tipis di wajahnya, ia juga membiarkan rambut pirangnya tergerai indah. "William, ayo kita breakfast. Aku sudah lapar." ucap Marsha. "Ya, kita ke bawah sekarang." jawab William sambil memeluk pinggang istrinya. Kemudian mereka berjalan meninggalkan kamar, menuju ruang makan. Semenjak Laura tinggal di mansion mereka, William sudah tidak lagi meminta untuk breakfast di kamar. William dan Marsha pasti selalu breakfast di ruang makan bersama dengan Laura. "Morning." sapa Laura, saat mel
Marsha berjalan keluar dari kelas. Ia baru saja menyelesaikan mata kuliahnya. Marsha melirik arloji, kini sudah pukul dua belas siang. Marsha mengambil ponselnya, ia melihat tidak ada pesan masuk dari William. Sejak perdebatan tadi pagi antara William dan Laura, William tidak mengirimkan pesan pada Marsha. Marsha memang tidak mengerti dengan apa yang di rencanakan William. Tapi setidaknya, Marsha lebih memilih percaya pada William. Ia yakin William melakukan ini demi kebaikan Laura. Meski Marsha juga merasa kasihan pada Raymond. Marsha berharap Raymond bisa melewati ini semua dengan baik. Marsha berdiri di dapan kelas, ia menunggu Karin yang saat ini sedang berbicara dengan dosen. Tidak mungkin Marsha meninggalkan Karin, bisa-bisa sahabatnya itu marah-marah dengannya. "Marsha!" teriak Karin saat ia keluar kelas, ia langsung berlari ke arah Marsha. "Karin aku mendengarnya! telinga ku masih berfungsi dengan baik!" ucap Marsha ketus. Karin tersenyum lebar. "Lebih baik kita makan sek
Kini Frans berada di depan mansion Karin, setelah makan siang. Frans langsung mengantarkan Karin pulang. Awalnya Karin menolak, karena Karin selalu membawa mobil. Tapi seperti biasa, Frans langsung meminta sopirnya mengantarkan mobil Karin. "Frans, lebih baik kau pulang. Jangan masuk ke rumah ku. Ayah ku sangat galak." tukas Karin, ia sengaja menakuti Frans. Frans terkekeh pelan. "Orang tua mu tinggal di Indonesia. Kau disini bersama dengan pelayan. Lalu siapa yang kau maksud memarahi ku Karin?" "CK! bagaimana kau tahu aku tidak tinggal dengan orang tua ku? apa Marsha yang memberitahunya?" seru Karin kesal. "Aku sudah katakan pada mu Karin, aku tahu semua tentang mu. Jadi kau tidak perlu lagi menutupi sesuatu atau bersusah payah membohongi ku. Karena itu semua percuma. Aku sudah menyelidiki tentang diri mu." ujar Frans dengan penuh kemenangan. Ia memang sudah mencari tahu semua tentang Karin, jadi percuma jika Karin berbohong padanya. Ia pasti dengan cepat mengetahuinya. "Kau ini
Marsha baru saja selesai membersihkan diri, ia sudah mengganti pakaiannya dengan gaun tidur berwarna maroon motif brookat. Ia melirik ke jam dinding kini sudah pukul sembilan malam tapi William masih belum juga pulang. Marsha berjalan menuju ranjang, ia duduk di ranjang dengan punggung yang bersandar di kepala ranjang. Marsha mengambil ponselnya di atas nakas, tidak ada pesan masuk satu pun. Biasanya William selalu mengirim pesan jika pulang terlambat, tapi ini tidak. CeklekSuara pintu kamar terbuka, Marsha menoleh ke arah pintu kamar. Senyum diwajah Marsha, ketika melihat William sudah berdiri di depan pintu. Marsha beranjak, dan langsung berjalan ke arah William. "Kenapa kau pulang malam tidak kirim pesan pada ku?" seru Marsha kesal, namun meski ia kesal Marsha tetap membantu William melepaskan dasi dan juga jasnya. William menundukan kepalanya lalu mengecup bibir Marsha. "Maaf, aku terlalu sibuk dan banyak yang harus aku kerjakan." jawab William. Marsha mendengus tak suka. "J
Pagi hari, Marsha dan William sudah bersiap. Hari ini Marsha memang tidak datang ke kampus. Marsha harus ikut dengan William ke perusahaan. Sebenarnya jika boleh memilih Marsha lebih baik tidak ikut. Marsha tidak suka datang ke perusahaan dan membahas bisnis. Bagi Marsha sangat membosankan, tapi Marsha tidak mempunyai pilihan lain. Mau tidak mau, dia harus menuruti suami dan keinginan ayahnya. Marsha menatap cermin, memoles wajahnya dengan make up tipis. Dengan balutan dress formal dan blazer membuat Marsha terlihat anggun dan jauh lebih dewasa. William juga sudah selesai bersiap. Seperti biasa, mereka breakfast di ruang makan. Meski Marsha tahu, kemarin William berdebat dengan Laura. Tapi bukan berarti William menjauh dari Laura. "Morning." sapa Laura saat melihat William dan Marsha melangkah masuk ke ruang makan. "Morning Laura." balas Marsha, ia duduk di samping William. Pelayan menyiapkan beef cheese omelette untuk Marsha dan Laura. Sedangkan William, lebih memilih kopi espres
William menarik tangan Marsha, masuk ke dalam ruang kerjanya. Marsha mendesah pelan, ia tahu ini pasti karena rekan bisnis William yang menjabat tangan dirinya tadi. Marsha tidak mengerti, padahal tadi William bilang harus bersikap profesional. Tapi kenyataannya William yang menarik tangan dirinya meninggalkan ruang meeting. "William, tangan ku bisa putus jika kau mencengkram kuat seperti ini." gerutu Marsha. "Lain kali, kau dilarang berjabat tangan dengan pria lain. Meski itu adalah rekan bisnis mu." tukas William, dingin. Marsha mencebik. "Kenapa kau ini tidak profesional sama sekali William, dia itu rekan bisnis mu. Aku tidak suka kau seperti itu." "Jangan membantah ku Marsha Geovan!" tegas William. Marsha membuang napas kasar. "Jangan berlebihan William! dia juga sudah tahu aku ini seorang wanita yang sudah menikah. Ditambah kau sudah menagatakan padanya aku ini istri mu. Jadi jangan berlebihan!" seru Marsha kesal, selalu saja William seperti ini. Benar-benar membuatnya sakit
Kini keadaan ruang kerja Melvin sangat berantakan. Ia membanting semua barang-barang yang ada di ruang kerjanya. Hingga detik ini, anak buahnya belum bisa menemukan Alice. Bagaimana mungkin hanya menemukan satu wanita saja mereka tidak mampu. Itu yang membuat Melvin semakin marah besar. Melvin yakin, ada seseorang yang membantu Alice. Tidak mungkin jika wanita itu hanya melarikan diri seorang diri dan hingga detik ini anak buahnya masih belum bisa ditemukan. Melvin bersumpah, jika benar Alice membunuh anaknya dia akan membunuh Alice dengan tangannya sendiri. "Maaf tuan, permisi." sapa Harry melangkah masuk ke ruang kerja Melvin. "Ada apa? Kau sudah menemukan wanita itu?" tanya Melvin dingin. "Tuan saya ingin melaporkan sesuatu pada anda." kata Harry, ia menudukan kepalnya. "Cepat katakan apa yang ingin kau katakan!" tukas Melvin. "Tuan. Nona Alice memiliki sepupu yang baru saja pindah ke Kanada. Saya sudah berhasil mendapatkan alamat mereka tinggal. Tapi saat saya datang, mereka
Beberapa bulan kemudian... Tokyo, Japan... "Selena... Miracle... Hati-hati, jangan melempar bola salju seperti itu," seru Marsha memberikan peringatan pada kedua putrinya itu, yang tengah bermain salju. "Sean, jaga kedua adikmu. Jangan sampai mereka terluka," lanjutnya yang sedikit berteriak memperingatkan putra sulungnya itu, yang juga ikut bermain salju dengan Selena dan Miracle. "Sayang, Sean akan menjaga Selena dan Miracle dengan baik. Kau tenang saja," William merengkuh bahu Marsha seraya mengecup kening Marsha. "Lihatlah, Dominic masih tertidur pulas, meski tadi suaramu kencang. Tapi dia tetap tenang," ujarnya yang kini melihat ke arah Dominic yang tengah dalam pelukan Marsha. Marsha mendesah pelan, kemudian dia menatap Dominic yang masih tertidur pulas. Beruntung, putra bungsunya itu, tidak terbangun karena mendengar suaranya yang sedikit kencang memperingati ketiga anaknya. Ya, waktu berjalan begitu cepat. Kini Dominic berusia delapan bulan. William dan Marsha, sengaja men
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi laki-lakinya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak keempat mereka adalah laki-laki. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sesaat William menatap Marsha dengan tatapan yang begitu bahagia. Tidak pernah terpikir dalam hidup mereka, akan kembali merasakan kebahagiaan ini lagi."Dia mirip dengan Sean saat bayi," ucap William di telinga Marsha seraya memberikan banyak kecupan dipipi istrinya itu. "Terima kasih, sayang. Terima kasih telah memberikanku hadiah yang luar biasa."Marsha tersenyum dia terus mengusap lembut kepala bayi laki-lakinya itu. "Aku juga sangat bahagia, William. Melahirkan buah cinta kita adala
Marsha mematut cermin. Tubuhnya kini telah terbalut dress khusus wanita hamil yang membuat Marsha sangat nyaman. Ya, lagi dan lagi Marsha mengalami kenaikan berat badan cukup drastis. Berkali-kali suaminya mengatakan dirinya sangat cantik dan seksi saat hamil, namun Marsha tentu tidak akan percaya. Bagaimana tidak? Setiap kali Marsha menatap ke cermin, dia selalu melihat tubuhnya tampak begitu besar. Beruntung, kali ini adalah kehamilan yang terakhirnya. Memiliki empat anak sudah lebih dari cukup bagi Marsha. Padahal dulu, dia hanya menginginkan dua anak saja. Tapi William tidak akan pernah mau jika hanya dua anak. Bahkan hingga detik ini, William selalu meminta untuk kembali menambah anak. Marsha benar-benar tidak habis pikir dengan keinginan sang suami. "Setelah melahirkan, aku harus berolah raga. Aku tidak ingin gemuk seperti ini terus," gumam Marsha seraya mengusap perut buncitnya. "Sayang, Mommy sangat mencintaimu. Tenang saja, Mommy tidak akan menyalahkanmu karena kau membuat t
Suara teriakan yang keras membuat Laura yang baru saja menata pajangan di rumahnya, langsung terkejut. Dengan cepat Laura mengalihkan pandangannya, menatap ke arah pintu rumahnya. Seketika Laura mengerutkan keningnya, melihat Lea yang baru saja pulang sekolah, dengan raut wajah yang marah melangkah masuk ke dalam rumah. "Ahg! Kenapa mereka itu menyebalkan sekali! Mereka menggangguku!" seru Lea dengan suara keras kala tiba di rumah. "Sayang? Kau kenapa?" Laura mendekat ke arah Lea, dia langsung mengelus lembut pipi putrinya itu. "Tidak baik, gadis cantik masuk ke dalam rumah dengan wajah yang kesal. Sekarang katakan pada Mommy ada apa dan di mana Ken? Kenapa Ken tidak pulang bersama denganmu?" Lea mendengus, dia mencebikan bibirnya. "Ken masih berada di sekolah. Ada khursus yag harus dia ikuti. Mommy, aku rasanya ingin pindah sekolah saja. Aku tidak mau bersekolah di sekolah yang sama dengan Ka Sean. Aku pusing, Mommy!" Laura menautkan alisnya menatap bingung Lea. "Kenapa, sayang?
"Mommy..." Seorang anak perempuan berusia empat tahun berlari menghampiri Karin yang tengah memasak di dapur. Disusul dengan anak laki-laki yang juga berusia empat tahun, ikut berlari menghampiri Karin. Karin yang baru saja selesai masak, dan hendak meletakan makanan di atas meja, dia langsung mengalihkan pandangannya kala ada yang memanggilnya. Seketika senyum di bibir Karin terukir, melihat kedua anaknya tengah menghampirinya. Dengan cepat Karin langsung membuka tangannya dan memberikan pelukan hangat pada kedua anaknya itu. "Kelvin... Charlotte... Kalian sudah pulang?" Karin memberikan banyak kecupan pada kedua anaknya itu. "Ya, Mommy. Kami sudah pulang," jawab Kelvin dan Charlotte bersamaan seraya memeluk erat tubuh Karin. "Bagaimana hari kalian di sekolah? Apa kalian selalu bersama Selena dan Miracle?" tanya Karin sambil mengelus lembut pipi Kelvin dan Charlotte. Kelvin Frans Geovan dan Charlotte Frans Geovan, anak kembar dari Frans dan Karin yang berusia empat tahun ini ben
Lima Tahun Kemudian..."Astaga, Miracle. Hentikan bermain dengan pisau! Nanti kau terluka, Miracle!" Suara Marsha berseru dengan nada yang keras, agar putri kecilnya itu menghentikan bermain dengan pisau. Vanessa Miracle William Geovan, sejak kecil William mengajarkan bela diri pada Miracle, demi melindungi dirinya sendiri. Tentu William melakukan itu semua karena Miracle tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. William selalu waspada jika suatu saat ada yang berusaha mencelakai putrinya. Namun, Miracle sangat berbeda dengan Selena, saudara kembarnya yang berambut pirang, memiliki sifat yang begitu lemah lembut. Sangat sulit bagi William, mengajarkan Selena bela diri, karena berkali-kali Selena akan selalu terluka. Itu kenapa Willliam lebih memilih menjaga Selena dengan banyak pengawal yang mengikuti putrinya itu. "Mom, aku bisa melempar pisau di papan tepat sasaran. Aku hebat, kan, Mom?" Miracle tersenyum bangga, kala pisau yang dia lempar ke papan, tepat sasaran. Kemudian, dia pun
Karin menatap keindahan Canada's sugar beach. Sudah sejak beberapa hari lalu dirinya ingin pergi ke pantai ini. Tapi dia terpaksa menunda karena Frans disibukan dengan pekerjaannya. Dengan kaki telanjang, dan perut yang membuncit Karin melangkah melusuri pantai. Ya, kini kandangan Karin memasuki minggu ke tiga puluh empat. Selama kehamilan ini. Karin dilarang untuk melakukan kegiatan berat. Biasanya Karin menghabiskan waktu bersantai di rumah atau menonton film drama kesukannya. Jika Karin ingin keluar rumah, maka Frans harus ikut dengannya. Sejak hamil, sifat Frans memang begitu overprotective padanya. Dulu Karin berpikir, dia tidak akan pernah tahu bagaiamaa sifat seorang suami yang mengatasi istrinya yang tengah mengandung, tapi ternyata Tuhan begitu baik padanya, hingga memberikan kesempatan untuknya hamil. Kebahagiaan Frans dan Karin bertambah saat Dokter memberitahu dia hamil bayi kembar. Tentu Karin dan Frans begitu bahagia menyambut bayi kembar mereka. "Frans, kenapa kau tid
"Karin, pagi ini aku berangkat lebih awal. Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan menggantikan William. Beberapa hari ke depan, William tidak masuk ke kantor," ucap Frans seraya memakai dasi. Karin yang tengah duduk, dia bangkit berdiri mendekat ke arah Frans, dan langsung mengambil alih Frans yang tengah memakai dasi. "Aku mengerti, William pasti sedang menemani Marsha yang baru melahirkan. Saat ini Marsha benar-benar membutuhkan William berada disisinnya." Karin menepuk pelan dada Frans kala selesai memakaikan dasi suaminya. "Terima kasih sudah mengerti," Frans menarik dagu Karin, mencium dan melumat lembut bibir Karin. "Yasudah aku berangkat sekarang. Malam ini kau tidurlah duluan. Jangan menungguku." "Hati-hati. Kabari aku jika kau sudah di kantor. Jangan lupakan makan siangmu," balas Karin mengingatkan. Frans mengangguk. Kemudian, dia mengecup singkat bibir Karin, lalu melangkah keluar meninggalkan kamar. Karin hendak menemani Frans, namun, Frans memintanya untuk tetap di
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi kembarnya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak kembar mereka adalah perempuan. Hal yang membuat William bertambah bahagia adalah saat sang Dokter mengatakan anak kembar mereka bukanlah kembar identik. Anak perempuan pertama yang lebih dulu lahir memiliki rambut pirang seperti Marsha. Sedangkan anak perempuan kedua yang lahir, memiliki rambut coklat seperti William. Sungguh, William tidak menyangka, bayi kembarnya akan lahir dengan begitu special. Kini Marsha tidak akan lagi iri, karena sekarang, Marsha memiliki satu anak yang begitu mirip dengannya. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sedangkan William d