“Pangeran sudah menyelamatkanku dari neraka. Aku nggak akan minta uang lagi pada Pangeran. Lagian, aku pernah pinjam 30 tael dari Pangeran, tapi Pangeran nggak kasih.” Dita menoleh ke arah Angga dan berkata dengan serius, “Aku sudah bilang aku bisa hasilkan uang. Pangeran sendiri yang nggak percaya.”Angga pun tidak dapat berkata-kata. Dia telah membeli kedai teh itu dan berencana untuk membawa Dita ke sana malam ini, tetapi Widia malah tiba-tiba muncul. Dia tidak ingin orang luar tahu bahwa itu adalah milik Dita karena khawatir wanita-wanita itu akan diam-diam menimbulkan masalah bagi Dita.Kereta kuda sudah tiba di gerbang dan menunggu Angga serta Dita untuk masuk.“Pakaianku kotor. Aku nggak mau kotori kereta kuda ini.” Dita berdiri di depan kereta dan berujar dengan lembut, “Aku bisa pulang dengan jalan kaki.”“Mau jalan kaki atau kabur?” tanya Angga dengan tidak senang.Setelah berbicara dengan Sigra dan kembali ke tempat semula, Angga langsung mendengar perdebatan Wira dan Ciara.
“Baik.” Ekspresi Indra langsung menjadi serius. Dia segera menangkupkan tangannya untuk memberi hormat dan menjawab, “Aku akan kembali ke sana untuk memeriksanya sekarang juga.”“Putri Devi sudah linglung. Kediaman mereka seharusnya berhenti memelihara kuda. Suruh saja mereka jalan kaki,” ucap Angga dengan nada dingin.“Ini ....” Indra ragu sejenak, lalu bertanya, “Pangeran melakukan ini demi Nona Dita?”“Kalau nggak? Memangnya demi kamu?” cibir Angga.“Sebaiknya kamu kasih Nona Dita lebih banyak uang. Dengan begitu, dia akan lebih bahagia.” Indra tertawa lagi, matanya yang mirip dengan mata rubah terlihat berbinar.“Pergi kerjakan tugasmu.” Angga mendorong Indra, lalu memberi perintah, “Kalian semua juga. Memangnya kalian buta? Cepat ikuti dia!”Kemudian, terdengar suara langkah kaki yang menjauh di kegelapan malam.Indra mengipasi dirinya sendiri dan menghela napas. “Ternyata hati Pangeran benar-benar sudah tergerak.”“Meski yang kupelihara itu kucing atau anjing, aku tetap akan mera
Haih! Dita hanya menyayangkan kedai tehnya. Lokasinya sempurna dan pencahayaannya bagus. Kenapa kedai teh itu malah jadi milik Angga? Sekarang, dia juga merasa malu untuk meminta kedai itu dari Angga. Andaikan dia lebih sabar dan tidak menuduh Angga. Mungkin, kedai itu sudah menjadi miliknya sekarang. Dita sungguh menyesal. Dia merasa, terkadang harga diri itu tidak boleh terlalu dianggap serius. Dita menyesali tindakannya untuk beberapa saat. Tiba-tiba, ada sebuah sosok menjulang tinggi yang berada di atasnya. Dia dengan malas memalingkan wajahnya yang memerah karena panas sambil berbisik, “Kak Santika, apa orang itu sudah kembali?”“Siapa?” Angga berjongkok, lalu mencelupkan tangannya ke kolam dan memercikkan air ke arah Dita. Ternyata begini sikap gadis kecil ini di belakangnya.“Pangeran.” Dita menenangkan dirinya, lalu buru-buru melipat uang kertas itu dan menaruhnya di bawah pakaian bersihnya. Setelah itu, dia baru berbalik untuk menatap Angga.“Bukakan pakaianku,” perintah A
Dita langsung gugup. Irma sudah dicambuk karena dirinya, apa Putri Agung ingin menipunya tinggal di sana, lalu membunuhnya?“Jangan takut. Putri Agung nggak pernah menyentuh siapa pun yang disukai Pangeran,” hibur Santika.“Apa kita harus pindah?” Dita bertanya dengan agak ragu, “Bagaimana kalau kita tunggu sampai Pangeran kembali dan tanyakan dulu pendapatnya?”“Nona Dita pada akhirnya tetap harus pindah.” Kasim senior itu mendesak di luar pintu, “Putri Agung mau meningkatkan statusmu. Ini merupakan hal yang sangat baik.”Apa Putri Agung mau mengangkat Dita menjadi selir?Dita merasa ragu untuk sejenak, lalu berdiri dan mengemasi barang-barangnya. Tunjangan bulanan seorang selir lebih tinggi. Dia tidak akan menolak tawaran apa pun untuk mendapatkan lebih banyak uang.Namun, Dita tidak tahu harus menyimpan perhiasan-perhiasan ini di mana. Bagaimana jika ada orang yang mencuri perhiasannya di tempat tinggal baru? Namun, jika disimpan di tempat tinggal Angga, bagaimana jika dia berubah p
Suasana di tempat ini sangat sepi. Winda dan Wisnu juga mencari sesuatu untuk dilakukan, lalu mulai bekerja dengan tenang di samping. Winda memetik sayuran, sedangkan Wisnu mencuci piring. Ketika Dita selesai berlatih menulis, hari telah siang. Pada saat yang sama, Winda sudah menyiapkan makan siang untuknya.“Tempat ini ada dapur kecil?” tanya Dita dengan girang. Dia langsung mencicipi masakan Winda.“Putri Agung bilang Nona Dita suka makan. Jadi, dia membuat pengecualian dan membuka dapur kecil untuk Nona di sini,” jawab Winda sambil membungkuk dengan hormat.Apakah ini termasuk contoh seseorang mencintai segala sesuatu yang penting bagi orang yang dicintainya? Berhubung Angga menyukai Dita, makanya Putri Agung juga memperlakukannya dengan baik?“Putri Agung memang tegas, tapi juga baik hati,” ujar Santika dengan suara rendah.Dita menggigit ujung kuasnya, lalu berpikir beberapa saat sebelum bertanya, “Kalau begitu, aku seharusnya bersujud padanya untuk mengungkapkan rasa terima kas
“Singkirkan itu.” Angga memiringkan kepalanya, lalu mencengkeram pergelangan tangan Dita yang ramping.Kemudian, Dita langsung menunduk dan memasukkan kue beras kuning itu ke mulutnya. Dia mengunyah kue itu dengan santai, lalu menelannya. Enak sekali! Setelah itu, dia tersenyum puas.Angga menatap Dita sejenak, lalu mengangkat tangannya dan mencubit mulutnya. “Bernyali sekali kamu! Kamu itu cuma seorang gundik, tapi berani membicarakan aku di belakang?”“Pangeran, aku nggak pernah mempelajari aturan-aturan seperti itu dari kecil. Pangeran kan murah hati, jangan permasalahkan hal ini denganku, ya. Waktu aku bersikap galak sama Pangeran di arena pacuan kuda, Pangeran juga nggak mempermasalahkannya.” Dita meletakkan mangkuk kecil tersebut di atas meja, lalu menuangkan segelas air untuk Angga.Dita sudah menyadari bahwa Angga hanya minum teh dari teko di ruang bacanya dan tidak menyentuh teh lainnya. Lagi pula, Dita juga tidak memiliki daun teh di sini. Jadi, dia menuangkan air putih untuk
Dita menerima surat kepemilikan rumah itu dan membacanya berulang kali. Nama pemilik rumah itu benar-benar adalah Dita Suyatno.“Apa aku bisa langsung tagih sewa sekarang juga?” tanya Dita dengan penuh semangat. Dia akhirnya bisa merasakan sensasi menagih uang sewa, juga menghasilkan uang tanpa perlu melakukan apa pun.“Berdiri. Masih ada beberapa petisi yang mau aku baca. Catat resep itu beserta kegunaan dan dosisnya dengan jelas.” Angga mendorong Dita untuk bangkit, lalu mengusap wajahnya dan berkata, “Aku akan bermalam di sini. Siapkan ranjangnya dengan baik.”“Siap!” Dita tidak berhenti mengangguk hingga kepalanya terasa hampir copot dari lehernya.Jangankan membiarkan Angga bermalam, Dita bahkan bersedia mengubah dirinya menjadi pilar kayu dan menopangnya sepanjang malam dengan senang hati. Ini namanya kekuatan uang!Setelah tiba di halaman, Angga menoleh dan melihat Dita yang tidak berhenti mencium surat kepemilikan rumah dengan kuat. Kemudian, dia baru melangkah keluar dengan su
“Dia benar-benar bilang begitu?” Putri Agung langsung duduk tegak. Setelah ragu sejenak, dia akhirnya mencicipi kue beras kuning itu. Angga sangat jarang makan makanan manis, juga jarang memuji sesuatu enak. Kue beras kuning ini memiliki tekstur yang lembut dan rasa manis kurma merah. Rasanya memang lumayan enak. “Kalian juga cobalah. Kelak, kalian boleh buatkan kue seperti ini untuk Angga.” Setelah manghabiskan sepotong kue beras kuning, Putri Agung menyuruh para dayang dan pengasuh yang melayaninya untuk mencicipi kue tersebut.Aroma kue beras kuning menyerbak di seluruh aula. Semua orang diam-diam terkejut karena Angga memuji kue beras kuning yang sederhana ini.“Dita, kamu memang cukup hebat sampai Angga bisa begitu menyukaimu. Kalau kamu bisa membuatnya bahagia, itu adalah suatu jasa. Pelayan, beri dia hadiah!” Setelah membilas mulutnya, Putri Agung menatap Dita lagi.Seorang dayang senior segera mengeluarkan satu set hiasan kepala mutiara. Mutiara-mutiara itu bahkan lebih bes
“Dasar wanita jalang! Beraninya kamu menampar Ibu!” seru Dian. Kemudian, dia bergegas menghampiri Dita.Dita dengan cepat meraih tangan Dian dan mendorongnya ke depan. Setelah Dian terjatuh, Dita langsung menendangnya. Dia telah melatih setiap gerakan ini dalam pikirannya berkali-kali!“Bu, dia menendangku!” Dian menyilangkan tangannya dan pergi mengadu pada Puspa.Namun, Dian pernah menendang Dita seperti ini sebelumnya. Dian bahkan sengaja menendang dada Dian. Dian berkata bahwa dia memiliki dada yang besar dan terlihat genit. Jadi, dia menghancurkan dadanya.Pada saat itu, Dita berusia 13 tahun dan tubuhnya baru mulai berkembang. Dia pun berguling-guling di lantai karena kesakitan. Seluruh dadanya memar-memar akibat tendangan Dian. Ibu dan anak itu sangat kejam. Mereka menyiksa Dita seperti menyiksa binatang peliharaan.“Dasar anak wanita jalang! Beraninya kamu tendang Dian!” Puspa tiba-tiba menggila dan menerkam ke arah Dita.Melihat hal ini, Santika dan Winda bergegas untuk menghe
Santika melangkah maju, lalu menatap Puspa dan Dian dengan dingin sambil berkata dengan lantang, “Nyonya Puspa, Nona Dian, apa kalian lupa bahwa Nona Dita sudah jadi wanita Pangeran Angga?”“Waktu itu, orang dari Kediaman Suyatno yang secara langsung mengantar Nona Dita naik ke tandu. Kalau kalian berubah pikiran, silakan bersujud dan minta maaf pada Pangeran Angga. Bilang saja kalian menipu Pangeran dan ingin menjemput Nona Dita pulang.”Ekspresi Puspa dan Dian sontak berubah.“Nona, siapa namamu?” Dian melirik Santika dan memaksakan seulas senyum.“Santika.” Santika menjawab dengan lugas.“Nona Santika, Dita sendiri yang mau menjilat Pangeran Angga ....”Sebelum Dian menyelesaikan ucapannya, Santika langsung menyela tanpa ragu.“Aku sudah bilang, Nona Dita itu wanitanya Pangeran Angga. Nyonya Puspa dan Nona Dian nggak punya hak untuk mengatakan apa pun di sini. Kalian seharusnya sudah tahu tentang Tuan Joko yang datang minta orang, ‘kan? Apa kalian ingin berakhir sepertinya?”Wajah P
“Kenapa mereka bisa masuk?” bisik Santika pada Winda.“Mereka langsung mengirimkan undangan. Putri Agung bilang mereka itu keluarga Nona. Jadi, dia langsung mengizinkannya,” jawab Winda.Santika menatap Dita dengan kening berkerut. Kehidupan Dita di Kediaman Suyatno jauh lebih buruk dari pembantu. Namun, orang-orang itu masih berani datang mencarinya?“Apa mereka datang untuk memeras Nona? Kamu kembali saja dulu. Jangan biarkan mereka menyentuh barang apa pun!” perintah Santika dengan wajah dingin.“Aku sudah beri tahu Wisnu sebelum keluar. Dia tahu harus berbuat apa,” jawab Winda.“Ayo kita jalan lebih cepat. Kedua orang itu lebih berengsek dari binatang. Coba saja kalau mereka berani mencuri barangku!” Dita mendesak Santika dan Winda untuk berjalan lebih cepat.Seusai berbicara, Dita mencibir lagi, “Sekarang, mereka nggak bisa mengendalikanku. Nanti, kalian harus lebih waspada. Kalau mereka berani menyentuh barang-barangku, aku akan buat mereka ganti rugi! Jangan harap mereka bisa ke
“Benar.” Dita mengangguk. Dia tidak peduli siapa sebenarnya yang memuji. Yang terpenting adalah, ada yang memuji.“Enak! Nona Dita bersedia mengajarkan cara pembuatannya kepadaku?”Orang yang berbicara adalah Siska Winata. Dia terlihat sangat ceria dan juga merupakan gadis yang sangat cantik.“Tentu saja,” jawab Dita sambil mengangguk.“Nona Dita benar-benar baik. Jangan khawatir, aku nggak akan minta Nona mengajariku secara cuma-cuma.” Siska melepas sebuah gelang emas dari pergelangan tangannya, lalu menarik tangan Dita dan memakaikan gelang itu.“Apa maksudnya ini? Kamu mau menjilatnya?” Gadis yang dari tadi tidak bersuara bernama Nuri Maryadi. Dia menatap Siska dengan kesal. Dinilai dari penampilannya, keadaan keluarga Nuri seharusnya masih kalah dari Siska dan Maya.“Aku nggak bisa menerimanya. Barang ini terlalu berharga.” Dita mengembalikan gelang emas itu, lalu berkata sambil tersenyum, “Kalau kalian mau belajar, aku akan tuliskan resepnya untuk kalian.”“Dengar-dengar, ada dapu
Angga sangat mengagumi keoptimisan Dita. Setelah keluar dari halaman, Darya sudah menunggunya.“Indra sudah memeriksa Kediaman Suyatno. Di sana, memang ada beberapa tanaman herbal. Sepertinya, tanaman-tanaman itu bukan sengaja ditanam dan jumlahnya cuma sedikit. Indra juga menyusuri dinding di mana tanaman itu tumbuh sampai ke rumah sebelah. Dia menemukan beberapa tanaman herbal liar di sana,” bisik Darya sambil mengikuti Angga.“Itu rumah siapa?” tanya Angga.“Rumah Jenderal Wira,” jawab Darya.Angga memperlambat langkahnya, lalu menoleh ke arah Darya. “Kamu yakin itu benar-benar cuma tanaman herbal liar?”“Tanaman herbal di sana juga tumbuh menyusuri dinding dan nggak ada di tempat lain. Selain itu, Indra juga menemukan seekor ular berkepala hitam,” jawab Darya dengan ekspresi serius.“Kenapa bisa ada ular berkepala hitam di ibu kota?” gumam Angga dengan ekspresi dingin.“Menurut Indra, kalau ditemukan seekor ular jenis itu, itu berarti ada sarangnya di sekitar. Acara pacuan kuda aka
“Sudah mendingan?” Angga menopang kepalanya dengan satu tangan dan mencondongkan tubuh ke depan untuk menatap Dita.Dita memiliki kulit yang sangat putih. Dengan matanya yang ditutupi pita sutra merah, dia pun terlihat makin memesona. Dia mengernyitkan, lalu menjawab dengan lembut, “Emm, sudah mendingan.”“Hmm, kamu memang perlu mencerna makan dengan olahraga.” Angga mengelus wajah Dita sambil bertanya dengan pelan, “Bagaimana kalau berkuda?”“Pangeran masih mau keluar berkuda malam-malam begini?” Dita berbaring malas di atas ranjang dan tidak ingin bergerak.“Nggak perlu keluar.” Angga meraih tangan Dita, lalu meletakkannya ke pinggangnya.Wajah Dita langsung memerah. Dia menjawab “nggak mau” dengan malu, tetapi Angga tetap menggendongnya.Di dalam kegelapan malam, entah sudah berapa lama waktu berlalu. Setelah pita sutra merah yang menutupi mata Dita dibasahi keringat, Angga akhirnya baru berhenti.Dita terbaring lemas di tengah tempat tidur kecil, bagaikan seekor ikan tanpa tulang.
“Ayo kita pulang.” Dita menegakkan tubuhnya, lalu berjalan kembali dengan langkah ringan.Santika menatap Dita dengan khawatir dan takut dia merasa sedih. Namun, Dita sama sekali tidak bersedih. Dia malas berurusan dengan orang-orang berstatus tinggi itu. Mereka semua berasal dari kalangan bangsawan, juga bisa berbincang sambil menikmati pemandangan indah. Sementara itu, dia hanya bisa berdiri di samping dengan penuh hormat. Hanya orang bodoh yang akan mengikuti mereka.Setelah kembali ke tempat tinggalnya, Dita segera memerintahkan Santika untuk membawa semua barang yang ditinggalkannya di Taman Bambu, termasuk belalang rumput yang dibuatnya.Sementara itu, Winda menyiapkan makan malam. Dia sangat jago memasak dan Dita sangat puas dengan masakannya. Tanpa disadari, Dita menghabiskan tiga mangkuk nasi. Pada akhirnya, dia berjalan mengelilingi halaman sambil mengusap perutnya yang membuncit.Santika menata ulang ranjang kamar Dita. Angga hanya bisa tidur di atas kain sutra yang dikirim
“Dia benar-benar bilang begitu?” Putri Agung langsung duduk tegak. Setelah ragu sejenak, dia akhirnya mencicipi kue beras kuning itu. Angga sangat jarang makan makanan manis, juga jarang memuji sesuatu enak. Kue beras kuning ini memiliki tekstur yang lembut dan rasa manis kurma merah. Rasanya memang lumayan enak. “Kalian juga cobalah. Kelak, kalian boleh buatkan kue seperti ini untuk Angga.” Setelah manghabiskan sepotong kue beras kuning, Putri Agung menyuruh para dayang dan pengasuh yang melayaninya untuk mencicipi kue tersebut.Aroma kue beras kuning menyerbak di seluruh aula. Semua orang diam-diam terkejut karena Angga memuji kue beras kuning yang sederhana ini.“Dita, kamu memang cukup hebat sampai Angga bisa begitu menyukaimu. Kalau kamu bisa membuatnya bahagia, itu adalah suatu jasa. Pelayan, beri dia hadiah!” Setelah membilas mulutnya, Putri Agung menatap Dita lagi.Seorang dayang senior segera mengeluarkan satu set hiasan kepala mutiara. Mutiara-mutiara itu bahkan lebih bes
Dita menerima surat kepemilikan rumah itu dan membacanya berulang kali. Nama pemilik rumah itu benar-benar adalah Dita Suyatno.“Apa aku bisa langsung tagih sewa sekarang juga?” tanya Dita dengan penuh semangat. Dia akhirnya bisa merasakan sensasi menagih uang sewa, juga menghasilkan uang tanpa perlu melakukan apa pun.“Berdiri. Masih ada beberapa petisi yang mau aku baca. Catat resep itu beserta kegunaan dan dosisnya dengan jelas.” Angga mendorong Dita untuk bangkit, lalu mengusap wajahnya dan berkata, “Aku akan bermalam di sini. Siapkan ranjangnya dengan baik.”“Siap!” Dita tidak berhenti mengangguk hingga kepalanya terasa hampir copot dari lehernya.Jangankan membiarkan Angga bermalam, Dita bahkan bersedia mengubah dirinya menjadi pilar kayu dan menopangnya sepanjang malam dengan senang hati. Ini namanya kekuatan uang!Setelah tiba di halaman, Angga menoleh dan melihat Dita yang tidak berhenti mencium surat kepemilikan rumah dengan kuat. Kemudian, dia baru melangkah keluar dengan su