“Pangeran Angga ....” Berhubung Angga bersikap sangat dingin, Widia akhirnya menyingkap cadar putih topinya, lalu mendongak untuk menatap Angga. Kemudian, dia berkata dengan lembut, “Apa kita bisa bicara secara pribadi? Aku mau bahas masalah perjodohan.”“Aku nggak setuju sama perjodohan itu. Keluarga Lukardi boleh cari orang lain,” ujar Angga. Setelah merapikan lengan bajunya, dia pun berbalik dan berjalan pergi.Tidak setuju? Melihat sikap Angga yang begitu dingin, Dita bahkan menggantikan Widia merasa malu. Kenapa Angga tega menolak wanita secantik ini? Baik itu penampilan, latar belakang keluarga maupun karakter, Widia sangat cocok dengan Angga. Selain itu, Widia juga sepertinya berkepribadian lembut dan bersahabat. Jika Dita tidak sempat meninggalkan Kediaman Putri Agung tepat waktu, hidupnya akan lebih mudah apabila istri sahnya Angga selembut Widia.“Masih nggak mau jalan?” Melihat Dita yang masih terpaku di tempat, Angga pun berkata dengan nada yang agak jengkel, “Kenapa kamu
“Nona Widia.” Begitu melihat Widia, Dita langsung memberi hormat.“Nona Dita nggak perlu terlalu sungkan. Pangeran, ayo kita masuk.” Widia berjalan mendekat, lalu tersenyum tipis. Dia tidak menyangka Angga juga datang ke arena pacuan kuda. Dinilai dari sikap Angga yang dingin di Pasar Timur tadi, dia mengira Angga tidak akan datang.“Pangeran Angga, silakan.” Para putra bangsawan yang mengelilingi Angga mengawalnya masuk ke arena pacuan kuda.Setelah ragu sejenak, Dita melirik ke arah Widia. Dia seharusnya membiarkan Widia berjalan di depan, ‘kan?Widia melirik Dita, lalu tersenyum lembut dan berjalan mengikuti Angga. Widia berperawakan ramping, sedangkan Angga sangat tinggi dan tegap. Dilihat dari belakang, mereka memang serasi.Arena pacuan kuda ini sangat luas. Ada sebuah panggung penonton yang dibangun di balik pagar kayu yang tebal. Panggung itu dikelilingi oleh tirai tebal. Di setiap tirai, tergantung lampu dekoratif yang mewah dan indah.Sudah ada beberapa orang yang duduk di pa
Semua orang di sekitar pun tertawa.“Angga, dari mana kamu temukan gadis unik ini? Jangan-jangan, luka di wajahnya itu bekas gigitanmu?” ujar Jiwan lagi.“Tuan Jiwan, Nona Dita itu putri kedua Keluarga Suyatno,” jawab Widia.Senyuman Jiwan langsung membeku. Dia mengamati Dita, lalu bertanya dengan penasaran, “Gadis yang menarik perhatian Tuan Joko itu? Dia memang lumayan cantik.”“Bukan cuma lumayan cantik. Sekarang, wajahnya cuma lagi terluka. Kalau nggak, nggak ada gadis di ibu kota yang bisa menandingi kecantikannya,” ujar Taraka sambil tersenyum dan mengangkat gelas anggurnya ke arah Angga.Jiwan menatap Dita dengan rasa penasarannya yang makin mendalam. Dia tidak berhenti mengamati Dita dengan tatapan tajam, seolah-olah ingin langsung menelanjanginya.“Angga, ayo jalan! Kita coba tunggangi kudanya,” ucap Taraka sambil berdiri dan melihat ke arah kuda Borana di lapangan.Angga bangkit dan menjawab dengan dingin, “Boleh juga.”Berhubung Angga akan turun ke lapangan, Dita juga ikut b
Kuda itu langsung meringkik, lalu berlari dengan kencang.Dita sangat ketakutan dan buru-buru memejamkan mata. Dia juga tidak berhenti bergerak merapat ke pelukan Angga. Jika kuda ini benar-benar menjatuhkannya, dia pasti akan menarik Angga bersamanya. Jika dia mati, Angga juga harus mati bersamanya. Bukannya Angga mengatakan dirinya adalah wanita peliharaannya? Dia baru hidup enak beberapa hari dan masih belum boleh mati.“Begitu takut, hmm?” tanya Angga dengan nada menggoda. Dia memeluk Dita dengan erat.“Emm, takut,” jawab Dita dengan suara gemetar.“Apa yang kamu takutkan? Kan ada aku!” Angga mencambuk kudanya lagi. Ketika kuda itu melompat tinggi, dia menunduk dan mencium pipi Dita dengan kuat.Wajah Dita yang tadinya dingin karena tertiup angin mulai terasa panas. Pikirannya dipenuhi dengan hal yang tidak senonoh. Ketika berada dalam kereta kuda tadi, dia tidak merasakan guncangan seperti yang Angga katakan. Namun, saat ini, dia benar-benar merasakannya.Ketika kuda melompat, Dit
“Yang Mulia Kaisar dan Permaisuri yang ingin Widia menikahimu. Apa daya kami?” Taraka mengangkat bahu dan menghela napas.Pada saat ini, ada dua penunggang kuda yang melaju mendekat. Kedua orang itu adalah Sigra Darmaji dan Wira.“Apa yang kalian lakukan di sini? Sini, kasih aku coba tunggangi kuda Borana itu dulu.” Sigra menarik tali pengendali kuda dan menatap orang lainnya sambil tersenyum. Dia melirik Dita sejenak sebelum mengalihkan perhatiannya. “Angga, temanilah aku keliling beberapa putaran.”Taraka segera turun dari kuda, lalu menyerahkan tali pengendali kuda pada Sigra.“Tunggu dulu di sini.” Angga memegang pinggang Dita dan menurunkannya dari kuda.Tak lama kemudian, Sigra dan Angga pergi berkuda berdampingan. Dita tidak ingin menghabiskan waktu dengan Taraka, juga takut untuk berbicara dengan Wira. Dia pun mencari alasan dan duduk di samping untuk beristirahat.Setelah menunggang kuda selama itu, pinggang Dita terasa sangat pegal. Dia mengangkat tangannya dan memijat pingga
Ada beberapa ekor kuda tergeletak di kandang. Kaki mereka kejang-kejang, mulut mereka mengeluarkan darah yang bercampur dengan busa, mata mereka terjuling ke atas dan hanya terlihat bagian putihnya.Beberapa tabib hewan berdiri di depan kuda-kuda itu dengan kewalahan.“Bagaimana ini bisa terjadi? Ada apa ini? Mereka sakit, diracuni, atau terluka?” Seorang wanita paruh baya memegang tangan dayangnya dan bertanya dengan cemas, “Ini semua kuda yang akan ikut lomba. Aku sudah habiskan 5.000 tael untuk membelinya. Apa kerja kalian! Kenapa kalian begitu nggak becus!”“Putri Devi, jangan panik dulu. Kami lagi cari penyebabnya!" jelas tabib hewan itu sambil menyeka keringat dingin dari dahinya.“Gawat! Mereka sudah hampir mati!” seru seorang pelayan muda dengan suara tercekat. Kemudian, dia segera mendongak dan menatap Devi.“Cepat cari tabib hewan lain yang bisa mengobati kuda-kuda ini. Sekelompok tabib ini nggak berguna!” Devi menggenggam erat saputangannya dan menatap tabib-tabib hewan itu
Kedua anjing itu digigit ular. Gigitannya berada di tempat tersembunyi sehingga orang-orang tidak menyadarinya. Hal yang sama terjadi pada beberapa kuda ini. Mereka juga digigit ular dan bagian yang tergigit adalah bagian selangkangan mereka. Berhubung ada terlalu banyak wanita berkumpul di sini, tabib-tabib hewan tidak berani memeriksa selangkangan kuda. Dengan adanya pengalaman merawat anjing, Dita pun membuka kaki kuda dan melihatnya. Dugaannya ternyata benar.“Dasar nggak tahu malu! Beraninya kamu ....” Semua gadis tersipu dan memalingkan muka karena tidak berani melihat.“Banyak sekali omong kosong kalian! Kalau pria yang kalian nikahi kelak nggak punya ini, kalian akan nangis!” gumam Dita.Suara Dita begitu kecil sehingga para gadis tidak dapat mendengarnya. Namun, Devi berada di dekatnya dan dapat mendengarnya dengan jelas. Wajahnya langsung memerah. Hanya saja, mengingat Dita benar-benar dapat menemukan alasannya, dia tidak marah.Dita memberi pengobatan pada kuda-kuda itu se
Dita menunduk sambil berjalan menghampiri Angga. Sebelum Dita sempat mengatakan apa-apa, Angga sudah mencubit wajahnya dan bertanya dengan ekspresi kesal, “Kamu guling-guling di tumpukan kotoran kuda?”“Kuda Putri Devi digigit ular. Aku datang untuk bantu mengobati kudanya.” Wajah Dita yang dicubit terasa sakit, tetapi dia tidak berani menyentuh Angga. Dia pun melebarkan matanya dan berbisik, “Pangeran, wajahku sakit.”“Meski sakit, kamu sepertinya juga nggak pernah jera. Aku sudah suruh kamu menunggu di sana, kenapa kamu malah keluyuran?” tegur Angga dengan wajah cemberut.Dita menunduk sambil menggenggam beberapa keping perak di tangannya dengan erat. Dia hanya mendengar Angga mengomel tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dia memang pantas dimarahi. Tadi, dia tidak seharusnya datang ke sini dan merepotkan dirinya.Beberapa keping perak di tangan Dita mungkin hanya berjumlah sekitar empat atau lima tael. Tak seorang pun dari orang-orang ini yang peduli pada uang sesedikit itu. Selain i
“Dasar wanita jalang! Beraninya kamu menampar Ibu!” seru Dian. Kemudian, dia bergegas menghampiri Dita.Dita dengan cepat meraih tangan Dian dan mendorongnya ke depan. Setelah Dian terjatuh, Dita langsung menendangnya. Dia telah melatih setiap gerakan ini dalam pikirannya berkali-kali!“Bu, dia menendangku!” Dian menyilangkan tangannya dan pergi mengadu pada Puspa.Namun, Dian pernah menendang Dita seperti ini sebelumnya. Dian bahkan sengaja menendang dada Dian. Dian berkata bahwa dia memiliki dada yang besar dan terlihat genit. Jadi, dia menghancurkan dadanya.Pada saat itu, Dita berusia 13 tahun dan tubuhnya baru mulai berkembang. Dia pun berguling-guling di lantai karena kesakitan. Seluruh dadanya memar-memar akibat tendangan Dian. Ibu dan anak itu sangat kejam. Mereka menyiksa Dita seperti menyiksa binatang peliharaan.“Dasar anak wanita jalang! Beraninya kamu tendang Dian!” Puspa tiba-tiba menggila dan menerkam ke arah Dita.Melihat hal ini, Santika dan Winda bergegas untuk menghe
Santika melangkah maju, lalu menatap Puspa dan Dian dengan dingin sambil berkata dengan lantang, “Nyonya Puspa, Nona Dian, apa kalian lupa bahwa Nona Dita sudah jadi wanita Pangeran Angga?”“Waktu itu, orang dari Kediaman Suyatno yang secara langsung mengantar Nona Dita naik ke tandu. Kalau kalian berubah pikiran, silakan bersujud dan minta maaf pada Pangeran Angga. Bilang saja kalian menipu Pangeran dan ingin menjemput Nona Dita pulang.”Ekspresi Puspa dan Dian sontak berubah.“Nona, siapa namamu?” Dian melirik Santika dan memaksakan seulas senyum.“Santika.” Santika menjawab dengan lugas.“Nona Santika, Dita sendiri yang mau menjilat Pangeran Angga ....”Sebelum Dian menyelesaikan ucapannya, Santika langsung menyela tanpa ragu.“Aku sudah bilang, Nona Dita itu wanitanya Pangeran Angga. Nyonya Puspa dan Nona Dian nggak punya hak untuk mengatakan apa pun di sini. Kalian seharusnya sudah tahu tentang Tuan Joko yang datang minta orang, ‘kan? Apa kalian ingin berakhir sepertinya?”Wajah P
“Kenapa mereka bisa masuk?” bisik Santika pada Winda.“Mereka langsung mengirimkan undangan. Putri Agung bilang mereka itu keluarga Nona. Jadi, dia langsung mengizinkannya,” jawab Winda.Santika menatap Dita dengan kening berkerut. Kehidupan Dita di Kediaman Suyatno jauh lebih buruk dari pembantu. Namun, orang-orang itu masih berani datang mencarinya?“Apa mereka datang untuk memeras Nona? Kamu kembali saja dulu. Jangan biarkan mereka menyentuh barang apa pun!” perintah Santika dengan wajah dingin.“Aku sudah beri tahu Wisnu sebelum keluar. Dia tahu harus berbuat apa,” jawab Winda.“Ayo kita jalan lebih cepat. Kedua orang itu lebih berengsek dari binatang. Coba saja kalau mereka berani mencuri barangku!” Dita mendesak Santika dan Winda untuk berjalan lebih cepat.Seusai berbicara, Dita mencibir lagi, “Sekarang, mereka nggak bisa mengendalikanku. Nanti, kalian harus lebih waspada. Kalau mereka berani menyentuh barang-barangku, aku akan buat mereka ganti rugi! Jangan harap mereka bisa ke
“Benar.” Dita mengangguk. Dia tidak peduli siapa sebenarnya yang memuji. Yang terpenting adalah, ada yang memuji.“Enak! Nona Dita bersedia mengajarkan cara pembuatannya kepadaku?”Orang yang berbicara adalah Siska Winata. Dia terlihat sangat ceria dan juga merupakan gadis yang sangat cantik.“Tentu saja,” jawab Dita sambil mengangguk.“Nona Dita benar-benar baik. Jangan khawatir, aku nggak akan minta Nona mengajariku secara cuma-cuma.” Siska melepas sebuah gelang emas dari pergelangan tangannya, lalu menarik tangan Dita dan memakaikan gelang itu.“Apa maksudnya ini? Kamu mau menjilatnya?” Gadis yang dari tadi tidak bersuara bernama Nuri Maryadi. Dia menatap Siska dengan kesal. Dinilai dari penampilannya, keadaan keluarga Nuri seharusnya masih kalah dari Siska dan Maya.“Aku nggak bisa menerimanya. Barang ini terlalu berharga.” Dita mengembalikan gelang emas itu, lalu berkata sambil tersenyum, “Kalau kalian mau belajar, aku akan tuliskan resepnya untuk kalian.”“Dengar-dengar, ada dapu
Angga sangat mengagumi keoptimisan Dita. Setelah keluar dari halaman, Darya sudah menunggunya.“Indra sudah memeriksa Kediaman Suyatno. Di sana, memang ada beberapa tanaman herbal. Sepertinya, tanaman-tanaman itu bukan sengaja ditanam dan jumlahnya cuma sedikit. Indra juga menyusuri dinding di mana tanaman itu tumbuh sampai ke rumah sebelah. Dia menemukan beberapa tanaman herbal liar di sana,” bisik Darya sambil mengikuti Angga.“Itu rumah siapa?” tanya Angga.“Rumah Jenderal Wira,” jawab Darya.Angga memperlambat langkahnya, lalu menoleh ke arah Darya. “Kamu yakin itu benar-benar cuma tanaman herbal liar?”“Tanaman herbal di sana juga tumbuh menyusuri dinding dan nggak ada di tempat lain. Selain itu, Indra juga menemukan seekor ular berkepala hitam,” jawab Darya dengan ekspresi serius.“Kenapa bisa ada ular berkepala hitam di ibu kota?” gumam Angga dengan ekspresi dingin.“Menurut Indra, kalau ditemukan seekor ular jenis itu, itu berarti ada sarangnya di sekitar. Acara pacuan kuda aka
“Sudah mendingan?” Angga menopang kepalanya dengan satu tangan dan mencondongkan tubuh ke depan untuk menatap Dita.Dita memiliki kulit yang sangat putih. Dengan matanya yang ditutupi pita sutra merah, dia pun terlihat makin memesona. Dia mengernyitkan, lalu menjawab dengan lembut, “Emm, sudah mendingan.”“Hmm, kamu memang perlu mencerna makan dengan olahraga.” Angga mengelus wajah Dita sambil bertanya dengan pelan, “Bagaimana kalau berkuda?”“Pangeran masih mau keluar berkuda malam-malam begini?” Dita berbaring malas di atas ranjang dan tidak ingin bergerak.“Nggak perlu keluar.” Angga meraih tangan Dita, lalu meletakkannya ke pinggangnya.Wajah Dita langsung memerah. Dia menjawab “nggak mau” dengan malu, tetapi Angga tetap menggendongnya.Di dalam kegelapan malam, entah sudah berapa lama waktu berlalu. Setelah pita sutra merah yang menutupi mata Dita dibasahi keringat, Angga akhirnya baru berhenti.Dita terbaring lemas di tengah tempat tidur kecil, bagaikan seekor ikan tanpa tulang.
“Ayo kita pulang.” Dita menegakkan tubuhnya, lalu berjalan kembali dengan langkah ringan.Santika menatap Dita dengan khawatir dan takut dia merasa sedih. Namun, Dita sama sekali tidak bersedih. Dia malas berurusan dengan orang-orang berstatus tinggi itu. Mereka semua berasal dari kalangan bangsawan, juga bisa berbincang sambil menikmati pemandangan indah. Sementara itu, dia hanya bisa berdiri di samping dengan penuh hormat. Hanya orang bodoh yang akan mengikuti mereka.Setelah kembali ke tempat tinggalnya, Dita segera memerintahkan Santika untuk membawa semua barang yang ditinggalkannya di Taman Bambu, termasuk belalang rumput yang dibuatnya.Sementara itu, Winda menyiapkan makan malam. Dia sangat jago memasak dan Dita sangat puas dengan masakannya. Tanpa disadari, Dita menghabiskan tiga mangkuk nasi. Pada akhirnya, dia berjalan mengelilingi halaman sambil mengusap perutnya yang membuncit.Santika menata ulang ranjang kamar Dita. Angga hanya bisa tidur di atas kain sutra yang dikirim
“Dia benar-benar bilang begitu?” Putri Agung langsung duduk tegak. Setelah ragu sejenak, dia akhirnya mencicipi kue beras kuning itu. Angga sangat jarang makan makanan manis, juga jarang memuji sesuatu enak. Kue beras kuning ini memiliki tekstur yang lembut dan rasa manis kurma merah. Rasanya memang lumayan enak. “Kalian juga cobalah. Kelak, kalian boleh buatkan kue seperti ini untuk Angga.” Setelah manghabiskan sepotong kue beras kuning, Putri Agung menyuruh para dayang dan pengasuh yang melayaninya untuk mencicipi kue tersebut.Aroma kue beras kuning menyerbak di seluruh aula. Semua orang diam-diam terkejut karena Angga memuji kue beras kuning yang sederhana ini.“Dita, kamu memang cukup hebat sampai Angga bisa begitu menyukaimu. Kalau kamu bisa membuatnya bahagia, itu adalah suatu jasa. Pelayan, beri dia hadiah!” Setelah membilas mulutnya, Putri Agung menatap Dita lagi.Seorang dayang senior segera mengeluarkan satu set hiasan kepala mutiara. Mutiara-mutiara itu bahkan lebih bes
Dita menerima surat kepemilikan rumah itu dan membacanya berulang kali. Nama pemilik rumah itu benar-benar adalah Dita Suyatno.“Apa aku bisa langsung tagih sewa sekarang juga?” tanya Dita dengan penuh semangat. Dia akhirnya bisa merasakan sensasi menagih uang sewa, juga menghasilkan uang tanpa perlu melakukan apa pun.“Berdiri. Masih ada beberapa petisi yang mau aku baca. Catat resep itu beserta kegunaan dan dosisnya dengan jelas.” Angga mendorong Dita untuk bangkit, lalu mengusap wajahnya dan berkata, “Aku akan bermalam di sini. Siapkan ranjangnya dengan baik.”“Siap!” Dita tidak berhenti mengangguk hingga kepalanya terasa hampir copot dari lehernya.Jangankan membiarkan Angga bermalam, Dita bahkan bersedia mengubah dirinya menjadi pilar kayu dan menopangnya sepanjang malam dengan senang hati. Ini namanya kekuatan uang!Setelah tiba di halaman, Angga menoleh dan melihat Dita yang tidak berhenti mencium surat kepemilikan rumah dengan kuat. Kemudian, dia baru melangkah keluar dengan su