Rossie dan Kris berjalan beriringan, keduanya saling melemparkan senyuman. Kedua tangan mereka penuh dengan paper bag. Mereka baru saja selesai berbelanja beberapa bralette model terbaru. Di usianya yang sudah setengah abad, Kris juga sangat menyukai bralette.Mereka berhenti di sebuah cafe untuk beristirahat sejenak."Mommy mau minum apa?" Rossie menawarkan, sambil membalikkan buku menu di tangannya."Matcha latte aja 'lah," jawab Kris sambil meregangkan otot kakinya.Rossie memanggil salah satu waitress dan memesan dua matcha latte."Ros, tiga hari lagi Mommy sama Granny balik ke Korea," ujar Kris memusatkan perhatian pada Rossie."Yah cepet banget Mom, baru juga kita mulai happy-happy," protes Rossie. "Mom, gimana kalau kita liburan ke Malibu sebelum Mommy dan Granny kembali ke Korea?""Malibu? That's great idea." Kris mengembangkan senyuman, terlihat antusias dengan ide dari Rossie. "Kapan sebaiknya kita berangkat?"."Hari ini," ucap Rossie tanpa keraguan."Deal. Mommy hubungi Cha
Mendengar kalimat tersebut, sontak Chan meraih wajah Rossie dan menjatuhkan kecupan di kening sang kekasih. “Mandilah.”“Kita mau kemana?” tanya Rossie heran. “Jalan-jalan.”Mengernyitkan dahinya tidak paham. Pasalnya Chan pernah berkata harus menyelesaikan pekerjaan sebelum liburan panjang bersama Rossie. “Kau sudah menyelesaikan pekerjaanmu?”“Belum. Kita hanya berjalan-jalan di sekitar sini aja sambil mencari sarapan. Bagaimana?” Chan memberikan tawaran yang sulit ditolak oleh Rossie. “Baiklah.” Dengan senyuman semringah, Rossie bangkit dari baringnya dan mengayunkan kaki turun dari ranjang. Melihat Rossie yang sangat bersemangat, Chan melengkungkan bibirnya dan berdiri. Ia lantas berjalan keluar kamar Rossie dan masuk ke ruangan kerjanya. Salah satu tangan masuk ke dalam saku, sementara tangan yang lain melihat bingkai yang tertata manis di rak buku. Ada banyak potret yang menampilkan kebersamaan Rossie dan Chan sebelumnya. Hingga satu potret mereka tertangkap oleh netra pria l
Chan tersenyum tipis ketika memori masa lalu itu menguar begitu saja di dalam benak. Lantas melihat potret lainnya di bingkai yang berbeda dan kembali teringat kenangan bersama Rossie. Ia kembali tersenyum dengan tatapan teduh. Diam-diam Chan mencuri lihat ke arah Rossie, Kris, dan Granny yang tengah asyik bercengkrama. Topik yang mereka bicarakan hanya seputar fashion yang sedang trend, tetapi entah mengapa terdengar begitu sangat mengasyikkan. Ia membalikkan bagian daging yang sudah berubah kecoklatan. Brisket memang bagian yang paling cocok untuk barbeque.Rossie berjalan mendekati Chan, kali ini sikapnya sudah terlihat lebih santai dan biasa saja. Ciuman yang sempat mereka lakukan tidak berarti apapun. Mereka hanya terbawa suasana senja yang romantis. Just it!Apalagi setelah mendengar permintaan maaf yang sempat disampaikan oleh Chan tempo hari. Semakin meyakinkan, bahwa Chan tidak mempunyai rasa apapun untuknya."Apa ada yang sudah matang?" tanya Rossie sambil menatap daging be
Rossie menyangga kepalanya dengan kedua tangan. Ia memasang rungu dengan baik sebab Chan sedang bercerita. Netra Rossie enggan berpindah dari pria itu. Mereka sedang duduk di salah satu restoran Italia dan memilih duduk di depan sembari menikmati terpaan mentari pagi. Dua cangkir vanilla latte dan cornetto. Jenis makanan dan minuman yang biasa disantap oleh orang Italia sebelum mengawali hari. Sekilas cornetto mirip dengan croissant. Namun keduanya memiliki langkah pembuatan yang cukup berbeda. Cornetto memiliki tekstur yang lebih lembut dibandingkan golongan pastry lainnya. Aroma gurih yang berpadu dengan wangi vanilla menjadikan pasangan yang pas. Seperti pagi ini, awal hari yang sempurna dengan Chan yang tengah berceletuk panjang lebar. Sementara Chan bercerita dengan antusias, sembari menyatukan potongan memori masa lalu tentang bagaimana Rossie selalu menyebutnya dengan sebutan Dobby. Tubuh segar Chan muncul dari permukaan kolam. Perlahan tangannya menyugar rambut yang menutupi
Dada Rossie kembang kempis. Kedua netranya masih menatap lekat wajah Edric yang sama sekali tidak menampilkan rasa berdosa. Pria itu merogoh ponsel yang tertaut di dalam saku celana. Jemarinya terlihat menekan tombol angka."Bereskan mayat ini. Sekarang!" ucap Edric sambil mematikan panggilan.Edric membunuh manusia layaknya membunuh seekor lalat kecil. Sungguh, pria macam apa yang sedang berhubungan dengan Rossie? Sekali lagi, Rossie diperlihatkan bahwa Edric memang bukanlah seorang manusia. Ia sudah tidak memiliki hati nurani. Psikopat!Tubuh Edric membungkuk, jari telunjuknya mengangkat dagu Rossie. Sehingga membuat wajah mereka saling beradu tatap. Salah satu sudut bibir Edric tertarik ke atas. Sungguh, tampilan wajah iblis benar-benar tergambar jelas. Brewok tipis yang mengelilingi bibir, menambah kesan garang dan menyeramkan.Tubuh sintal Rossie masih gemetar. Sementara beberapa anak buah Edric dengan tampilan busana hitam-hitam sedang berjalan mendekat. Edric meluruskan tubuh.
Mentari yang tadinya berdiri gagah di langit, kini sudah mulai tenggelam dan menampilkan cahaya orange yang sangat cantik. Rossie sedang duduk di depan rumah sambil melihat Dobby bermain. Anjing kecil itu melompat ketika akan menangkap piring karet yang dilemparkan oleh Rossie. Sesekali wanita berambut blonde yang dibiarkan terurai itu tersenyum lebar. Ia menunggu kedatangan Chan dan ingin mengadukan keluh kesahnya. Entah mengapa keberadaan Clara membuat Rossie tidak tenang. Ia ingin meminta Chan untuk mengganti maid untuk mengurus rumah mereka. Cukup lama Rossie berada di pelataran rumah dan menunggu kedatangan Chan. Pria berlesung pipi itu bilang jika hari ini akan terbang ke California dengan menggunakan pesawat jet pribadi alih-alih helikopternya. Mobil warna hitam yang baru saja memasuki pelataran rumah, membuat Rossie mendongakkan kepala dan langsung berdiri. Kaus crop tee warna hitam dipadukan dengan short pants warna senada melekuk apik tubuh rampingnya. “Kau menungguku di
Rossie naik ke lantai dua, melewati tangga besi yang melingkar. Tidak terlalu lebar, hanya cukup untuk satu orang saja untuk melewatinya. Sementara itu Chan membuntut di belakang. Kedua tangan mereka masih tertaut satu sama lain. Di kamar Juliet terpasang tempat tidur single bed dengan warna sprei yang putih bersih. Terpasang sedikit serong, dengan dua jendela kecil di sampingnya. Dan tentu, Rossie menemukan balkon yang melegenda itu, balkonnya tidak terlalu luas, tapi tempat ini bisa disebut sebagai icon-nya house of Juliet.“Jadi di sini, Romeo menemui Juliet secara diam-diam,” celetuk Chan. “Iya benar. Chan, bukankah itu sangat romantis,” ujar Rossie dengan wajah yang berseri. “Romantis, tapi aku tidak perlu melakukan hal itu,” terang Chan kemudian. “Kenapa?”“Ya karena kedua orang tua kita tidak bermusuhan. Aku bisa datang kapan saja melalui pintu utama, alih-alih bersembunyi dan menaiki tangga ke balkon kamarmu.”Rossie menghela napas panjang. Chan benar, semua ucapannya masu
Rossie menyikut perut Chan uang sedari tadi asal bicara. Wajah wanita itu tersipu malu tentu saja. "Kau jangan asal bicara," ujar Rossie dengan suara teramat lirih. "Aku tidak asal bicara. Aku serius ingin menikahimu," tutur Chan penuh percaya diri. Sekretaris Juliet yang berada di ruangan itu tertawa bersama. Melihat gairah cinta pasangan muda mencetak lengkungan lebar di wajah mereka. Cinta memang ajaib, bisa menciptakan sesuatu yang berbeda. Eleanor mengajak Rossie bergabung, membaca beberapa surat yang sudah diambilnya dari rumah Juliet. Ada beberapa surat yang tertulis dengan rapi, tak jarang juga Rossie melihat surat yang tulisannya sulit terbaca, karena tinta luntur bercampur air mata. Ya, surat itu biasanya ditulis oleh mereka yang sedang patah hati, mengalami cinta yang bertepuk sebelah tangan, cinta yang tak direstui, atau dikhianati oleh pujaan hatinya. Di awal surat mereka mengawali dengan kalimat “Dear Juliet, you are the only one who can understand how I f
"Kenapa kau tidak merasakan betapa besarnya cintaku untukmu? Aku sangat mencintaimu, sangat, sangat, sangat dan tidak bisa diukur lagi. Bahkan seisi dunia tidak bisa menakar rasa cintaku. Aku mencintaimu, sangat." Serentetan kalimat yang diucapkan oleh Chan baru saja membuat jantung Rossie berdebar dengan sangat kencang. Sentuhan jemarinya yang perlahan menelusup ke dalam balik gaun tidur, membuat kedua mata Rossie memejam perlahan. Lembut bibir Chan pun ikut menyentuh bibirnya. Pelan dan menuntut. Dingin dan basah. Dengan intens, Chan memberikan kecupan penuh hisapan. Rossie mulai larut dalam permainan lidah suaminya yang selalu ahli. Meraih tengkuk pria itu ke posisi yang lebih nyaman. Beberapa saat kemudian napas keduanya terengah. Chan menghentikan ciumannya dan terkejut ketika ketahuan sedang mengatur napas sebab kelelahan. Mereka terkekeh. Memajukan kepala di salah satu telinga Rossie dan berbisik sangat lirih. "Rossie, kau sangat seksi malam ini. Bisakah kita melakukannya
"Ketika sang takdir sering mempertemukan kita, apa yang akan terjadi selanjutnya?""Stop!" titah Rossie, membuat Chan menghentikkan laju mobilnya.Lobby apartment Rossie masih jauh berada di depan, sekitar 80 meter. Kedua manik mata Rossie menelisik ke depan, melihat Edric yang sedang berdiri di depan lobby sambil berbicara pada ponselnya."Aku turun sini aja, thanks ya." Rossie bersiap untuk membuka pintu mobil Chan, tetapi tangannya dicekal oleh lengan kukuh pria itu. Chan menatap lekat-lekat Rossie, sangat dekat bahkan ia bisa melihat pantulan dirinya di mata Rossie.Chan merasa tidak salah, wanita yang sempat ia temui beberapa hari yang lalu adalah Rossie. "Who are you?" Bibir Chan bergumam perlahan. Membuat Rossie tersentak.Chan dan Rossie sesaat saling melempar tatap. Hening. Sampai pada akhirnya Rossie melepaskan cekalan tangan Chan dan berkata, "I'am Rossie, Rossie."Rossie membuka pintu mobil Chan dan segera turun. Ia berjalan perlahan menghampiri Edric yang masih belum sada
Dua tahun yang lalu …."Tutup kedua matamu dan rasakan kehadiranku, karena kau tidak butuh sebuah tatapan untuk mengenaliku."Chan meregangkan otot leher, menggerakkannya ke kanan dan ke kiri. Tubuhnya terasa sedikit pegal. Alih-alih untuk berolahraga, untuk sekedar tidur cukup waktu saja, sudah bagus untuknya. Setiap malam ia begadang untuk mempelajari beberapa dokumen penting Saint Hills Hospital. Kalau saja tidak teringat amanah sang Ayah, mungkin ia sudah meminta manager lain untuk menanganinya. Yah, ia harus bertanggung jawab dengan keputusan yang ia pilih.Kaki jenjang Chan menapaki lantai yang merupakan perpaduan dari kayu dan marmer. Rumah dengan interior desain yang disesuaikan dengan seleranya itu, terlihat sangat elegant. Di beberapa sudut ruangan terdapat perabotan yang terkesan classy. Sementara untuk warna ruangannya, ia lebih memilih warna krem dominan.Dibukanya gorden emboss velvet warna hijau, kemudian membuka pintu kaca yang menghubungkannya ke balkon kamar. Chan me
Suara raungan mobil sport menyeruak di dalam gedung yang sudah di desain untuk balapan itu. Kelima laju mobil itu saling salip dan mendahului. Rossie tersenyum tipis ketika mobil warna biru tua menyalipnya. "Well, let's see," ucap Rossie sambil menginjak gas dalam dan menambah kecepatan. Kemahiran Rossie dalam mengemudi memang tidak bisa diragukan. Hobi barunya melakukan balapan bersama rekan sesama modelnya membuat rasa lelah menguar begitu saja. Garis akhir semakin terlihat di depan, Rossie menaikkan salah satu sudut bibir. Ia merasa kemenangan semakin dekat. Namun, mobil centil warna hot pink mendahuluinya dan menjadi pemenang balapan kali ini. "Ash, sial," kesal Rossie. "Yippi!" Catherine memekik bahagia. Wanita itu keluar dari mobil disusul Jennie, Lisa, dan Jiso keluar dari mobil masing-masing. "Congratulation, Cath!" pekik Rossie sambil keluar dari mobilnya. "Okay, girls. Karena aku memang hari ini, so … party malam ini aku yang traktir!" Begitulah cara mereka merayakan
DOORRR!!!"Clara…" Kedua mata Rossie membulat sempurna ketika darah segar mengucur dari dada kiri pria itu. Pistol revolver yang masih mengepulkan asap terjulur tepat di sisi Rossie. Hal itu sontak membuat Rossie mengarahkan pandangan kepada si penembak. "Am-Amber?" ucap Catherine dengan kedua tangan yang menutup sebagian wajah. Ia mengintip dari sela-sela jemarinya yang merenggang. Rahang Amber bergetar, diikuti tangannya yang masih menodongkan pistol. Tanpa pikir panjang, Amber mengeluarkan senjata yang berada di balik bajunya. Kedua lutut Amber melemas, kemudian membuat tubuhnya terjatuh. Rossie yang masih tidak percaya dengan apa yang terjadi melihat Amber dan Clara secara bergantian. Tangan Amber memegang dada kirinya yang terus mengucurkan darah. Rossie yang sedari tadi bergeming, tiba-tiba merobek bagian bawah gaunnya dan berlari menuju kepada Amber. Ia menyumpalkan robekan tersebut pada luka tembak yang menganga. "Amber." Menekan dengan kuat dada kiri Edric agar darahnya
Melihat raut wajah Rossie yang ketakutan, Clara berusaha memberikan usapan lembut pada wajah wanita itu. Ia menyelipkan beberapa helai rambut di belakang telinga Rossie. "Kenapa kau takut? Bukankah harusnya kau senang karena sudah mengingat cinta Tuan Edric yang sebesar cinta kepada ibunya?”Keheningan menyelimuti keduanya. Rossie tidak mengucapkan sepatah kata pun. Begitu pula dengan Clara yang tiba-tiba ikut bergeming. Pandangannya tertuju kepada Rossie, tetapi kosong. Memori lama dalam benak Clara kembali berputar. Memainkan adegan masa lampaunya bersama sang ibu. "Edric...Mommy akan bekerja. Kamu cepatlah istirahat dan naik ke loteng." titah Carissa sembari memasangkan kaitan teratas gaun seksinya. "Tapi, Mom. Aku masih ingin main," tolak Edric kecil yang masih asyik bermain dengan mobil-mobilannya. Dengan tatapan tajam yang mengintimidasi, Carissa segera menghampiri Edric. Dipegangnya rahang Edric dengan cengkeraman yang kuat. "Edric! Listen to me! Jangan membangkang, kamu
"Rossie?" Amber mengucapkan nama itu kembali. Wanita yang sempat dikhianati oleh Amber itu, ternyata justru diam-diam membantu dirinya. Dilebarkannya langkah kaki Amber menuju ke mobil. Berulang kali ia mencoba menghubungi Rossie namun tidak tersambung.Amber merasa menjadi manusia yang tidak tahu rasa terima kasih. Selama ini, Rossie selalu membantunya. Mulai dari masuk ke dunia modelling, hingga membantu biaya operasi sang ibu. "Rossie, tolong angkat. Sungguh aku minta maaf," gumam Amber terus mencoba menghubungi Rossie. Teringat perkataan terakhirnya kepada Edric membuat Amber langsung menginjak rem mobil dan menepi. "Shittt!" Amber menyugar rambut ketika menyadari kebodohannya. Secara tidak langsung, ia membukakan pintu penderitaan untuk Rossie. "Apa yang sudah aku lakukan? Amber! Kau sungguh bodoh!" kata Amber yang sekarang mencoba mengetikkan nomor Catherine. Tidak cukup lama ia menunggu. Nada sambung berganti pada suara Catherine. Kali ini bukan suara ramah seorang kawan
Tetesan darah mengalir perlahan dari salah satu pelipis, dengan mata yang menutup sebagian karena lebam. Tatapan tanpa ketakutan terpancar jelas pada sepasang iris gelap milik Chan. Ia bisa melihat dengan jelas rupa Clara, tangan kanan ibu dari pria yang selama ini sudah menghisap kebahagiaan Rossie. Mengepal kuat dan ingin sekali memberikan hantaman. Sayang, kedua tangannya terikat kuat oleh tali temali. Clara menaikkan salah satu sudut bibirnya, "Kau telah membunuh Tuanku. Seharusnya kau tidak pernah muncul di hubungan mereka." Sambil menahan rasa perih di sudut bibirnya yang terluka, Chan terkekeh. "Membunuh? Edric mati karena ulahnya sendiri. Gelak tawa Clara menggema di ruangan kosong yang hanya ada satu kursi yang ditempati oleh Chan. "Kalau begitu, kau juga harus mati. Karena tidak ada yang bisa memiliki Rossie selain Tuan Edric.!" "Aku tidak bermaksud untuk memiliki Rossie. Aku hanya ingin membahagiakannya. Karena aku sangat mencintainya!" ungkap Chan dengan lugas. Mend
Amber melajukan mobil dengan kecepatan rata-rata. Kurang lebih 30 menit, ia tiba di sebuah rumah sakit terdekat di Beverly Hills. Langkah kaki Amber lebar dan menuju lantai tiga, tempat di mana sang ibu dirawat. Ibunya harus segera melakukan operasi karena penyakit yang diderita. Itulah sebabnya Amber berusaha keras untuk mengumpulkan uang. "Permisi, saya mau melakukan pembayaran untuk pasien atas nama Summer Delacour," ucapnya pada salah satu petugas administrasi. "Baik ditunggu sebentar." Petugas itu terlihat mencari nama pasien di layar monitor dengan tangan yang sesekali menjetik pada mouse, "atas nama Summer Delacour?" tanyanya memastikan. "Yes, my mom." Amber menjawab tegas. "Atas nama Summer Delacour sudah dilakukan pembayaran dua hari yang lalu," jelas petugas tersebut yang kontan membuat Amber teeperanjat. Ia hanya hidup bersama sang ibu. Tidak ada saudara yang peduli atau bahkan rela membayar biaya rumah sakit dengan nominal besar. "Tidak mungkin. Pasti anda salah, sia