“Cinta adalah sebuah rasa yang setiap orang memilikinya. Pernikahan adalah impian, menikah dengan orang yang kita cintai adalah harapan setiap pasangan kekasih. Sayangnya itu tidak terjadi padaku, aku seolah dipermainkan oleh takdir.” (Larisa Maheswari)
***
Adi Chandrawinata adalah pengusaha muda berusia 28 tahun. Memiliki wajah tampan, postur tubuh yang proporsional, rahang kokoh dan memiliki mata tajam seperti elang. Sikapnya dingin tak tersentuh, kasar dan angkuh.
Papanya bernama Arya Winata, berusia 55 tahun. Sedangkan mamanya bernama Airin Pratiwi Winata, berusia 45 tahun. Mereka berdua adalah pasangan suami istri dari kalangan orang biasa. Perusahaan yang Adi pimpin saat ini adalah hasil jerih payahnya sendiri, ia memulai usaha itu dari nol hingga bisa sukses seperti sekarang.
******
Sehari setelah menikah, Risa langsung pindah ke rumah suaminya. Untuk pertama kalinya ia masuk ke dalam rumah mewah bak istana, luasnya bisa tiga kali lipat dari rumahnya yang dulu. Ia disambut dengan ramah oleh keluarga besar suaminya.
“Ayo masuk, Sayang!” ajak ibu mertua Risa dengan lembut.
“Iya, Nyonya!” jawab Risa dengan gagu karena ia tidak tahu harus memanggil wanita itu dengan sebutan apa.
“Jangan panggil Nyonya, Sayang. Tapi Mama, sama seperti Adi.” Ibu Airin tersenyum ramah sambil merangkul menantunya.
‘Masya Allah … dia sangat baik,’ ucap Risa dalam hati.
“Bi, tolong antar dia ke kamar!” pinta Bu Airin pada seorang asisten rumah tangga.
“Baik, Nyonya. Mari, Nona Muda!” seru wanita paruh baya sembari membawa tas milik Risa.
Risa kemudian dibawa ke salah satu kamar yang berada di lantai atas. Saat kakinya melangkah masuk ke ruangan itu, ia melihat kamar yang sangat indah. Bertaburan bunga mawar merah di setiap sudut ruangan, di lantai dan di atas tempat tidur. Itu adalah kamar pengantin tapi bukan untuknya. Seharusnya kamar itu menjadi kamar pengantin Adi dan calon istrinya yang telah pergi entah ke mana.
“Silahkan beristirahat, Nyonya Muda!” ucap seorang wanita paruh baya yang belum Risa ketahui namanya.
“Terima kasih, Buk.” Risa membungkukkan badan sebagai bentuk hormat terhadap pada wanita itu.
“Jangan seperti itu, Nyonya Muda. Saya hanya seorang pelayan di sini,” ucap wanita itu lagi.
“Jadi … saya harus panggil apa?” tanya Risa dengan lembut.
“Bi Ratih,” sahut seseorang dari arah pintu kamar yang terbuka.
Risa dan Bi Ratih menoleh ke arah sumber suara, ternyata itu adalah Ibu Airin, ibu mertua Risa. Wanita itu tersenyum sembari masuk ke dalam kamar.
“Nyonya, saya permisi!” Wanita bernama Bi Ratih segera keluar dari kamar itu.
“Risa … sekarang kamu istirahat, ya. Nanti kalau Adi sudah pulang, kamu tolong siapkan pakaiannya!” pinta Bu Airin.
“Baik, Ma.” Risa masih merasa gugup saat memanggil ibu mertuanya.
“Maafkan kami karena sudah membuat kamu berada dalam posisi sekarang. Dari dulu Mama memang tidak suka sama calon istrinya Adi, tapi Mama tidak bisa berbuat apa-apa. Adi sangat susah dibilangin, dia akan selalu melakukan apapun yang menurutnya benar.” Bu Airin memeluk Risa dengan erat.
“Tidak apa-apa, Ma, aku akan berusaha untuk ikhlas. Mungkin ini memang takdirku,” sahut Risa sambil tersenyum dalam dekapan hangat ibu mertuanya.
“Kamu yang sabar, ya. Buatlah Adi jatuh cinta sama kamu. Mama yakin, dia akan menerima kamu suatu saat nanti," ujar Bu Airin seraya melerai pelukannya.
“Iya, Ma. Aku akan berusaha jadi istri yang baik untuknya.” jawab Risa dengan ragu-ragu. Karena ia sendiri merasa tidak yakin dengan ucapannya.
“Ya sudah. Sekarang kamu rapikan baju-baju kamu, ya. Mama mau ke bawah,” ucap Bu Airin, lalu ia keluar dari kamar putranya.
***
Malam harinya. Waktu sudah menunjuk di angka tujuh malam saat mobil Adi berhenti di depan rumah besar keluarga Winata. Pria itu bergegas masuk rumah dan langsung pergi ke kamarnya.
BRAK!
Suara pintu kamar ditendang dengan kasar sehingga membuat penghuni di dalamnya terperanjat kaget. Adi masuk ke ruangan itu dan menatap seseorang yang duduk di atas kasurnya dengan tajam, seperti menatap musuh yang sangat ia benci.
Risa menelan ludah dengan susah payah sambil meremas ujung sprei. “Kamu sudah pulang? Aku siapkah pakaian,” ucapnya dengan suara bergetar, lalu berdiri dan berjalan menuju walk in closet.
“Kamu nggak punya mata? Sudah lihat orangnya ada di sini masih saja ditanya! Nggak perlu kamu siapin apa-apa, aku bisa sendiri!” tandas Adi dengan ketus serta sorot mata tajam.
“Maafkan aku, aku hanya ingin membantumu.” Risa menghentikan langkahnya, lalu kembali duduk di atas kasur.
“Kamu jangan bermimpi untuk tidur satu ranjang denganku. Sana! Aku mau istirahat.” Adi mendorong tubuh istrinya dengan kasar, lalu melempar satu bantal ke sofa yang ada di kamar itu. “Tidur sana!” perintahnya.
Risa mengangguk patuh lalu berjalan ke arah sofa dan membaringkan tubuhnya yang lelah. Ia melihat ke arah Adi yang terbaring di atas kasur, tapi pria itu masih menggunakan sepatunya.
“Kenapa sepatunya tidak dilepas?” Risa bergumam sembari bangkit dari tidurnya.
Risa berniat membantu Adi melepaskan sepatunya. Tangannya pun terulur untuk melepaskan sepatu yang masih melekat di kaki pria itu. Namun, belum sempat ia menyentuh kakinya, Adi sudah lebih dulu menendang wajahnya yang tertunduk.
“Jangan lancang kamu! Dasar wanita sialan!” bentak Adi dengan sangat keras sehingga membuat Risa kaget mendengarnya.
“Maaf, tapi aku cuma ….” Ucapan Risa langsung dipotong oleh Adi.
“Cuma apa? Cuma mau jadi penjilat? Kamu salah sasaran! Aku nggak mempan sama trik murahan kamu itu!” sergah Adi seraya bangkit dari tidurnya. Ia melepas sepatu dengan kasar lalu masuk ke kamar mandi dengan membanting pintu sangat keras.
Hati Risa sakit mendengar perkataan suaminya, tapi ia berusaha menahan air matanya agar tak menetes. Karena air mata tidak akan mengubah apapun.
“Ya Tuhan, apa salahku? Aku tidak mengetahui apapun sebelumnya, tapi kenapa suamiku mengatakan kalau aku seorang penjilat?” gumam Risa sambil memungut sepatu suaminya yang tergeletak di lantai.
Adi menikahi Risa hanya untuk menjaga nama baik keluarganya. Karena calon istrinya pergi meninggalkan dia tepat di hari pernikahan mereka. Hingga akhirnya Risa yang harus menjadi istri pengganti.
Setelah mereka menikah, Risa juga baru mengetahui bahwa almarhum ayahnya dan orang tua Adi adalah teman baik. Hotel tempat pernikahan mereka dilaksanakan kemarin, tanah itu dulunya adalah milik almarhum ayahnya Risa yang dibeli oleh orang tuanya Adi.
Tak lama kemudian, Adi keluar dari kamar mandi hanya menggunakan handuk putih yang melilit di pinggangnya. Risa menutup wajahnya saat melihat pria itu berjalan ke arahnya.
“Ngapain kamu masih di sini? Cepat keluar! Aku nggak sudi berbagi ruangan sama wanita sialan sepertimu.” Adi lagi-lagi melontarkan kata-kata yang sangat menyakitkan.
“Lalu, aku harus tidur dimana?” tanya Risa dengan polosnya.
“Terserah! Ada banyak kamar di rumah ini, kamu bisa tidur di mana saja asal jangan di kamar ini.” Nada suara Adi sangat ketus saat berbicara dengan istrinya.
Risa tidak ingin membantah dan lebih memilih untuk pergi sesuai dengan permintaan Adi. Lantas ia pun bersiap untuk keluar dari kamar itu. Namun, baru satu langkah berjalan, tiba-tiba seseorang menghentikannya.
“Tunggu!” ucap Adi dengan nada dingin.
“Iya.” Risa menoleh ke arah laki-laki itu.
“Bawa barang-barang kamu keluar dari kamar saya!” kata Adi sembari melempar semua pakaian Risa yang sudah tersusun rapi.
“Tapi … kalau nanti mama kamu melihat ini bagaimana? Aku harus jawab apa?” Risa memberanikan diri untuk bertanya lagi. Karena ia tidak mau membuat ibu mertuanya sampai kecewa.
Adi langsung terdiam, ia tampak seperti memikirkan sesuatu. Lalu pria itu masuk ke ruang ganti tanpa mengucapkan apapun. Sementara Risa masih berdiri mematung di tempatnya, menunggu keputusan si pemilik kamar.
Beberapa menit kemudian, Adi keluar dari kamar ganti dengan mengenakan kaos oblong berwarna hitam dan celana pendek.
“Kamu boleh tidur di kamar ini, tapi tempat kamu di sana!” tunjuk pria itu pada lantai yang hanya beralas karpet.
“Di sana?” tanya Risa memastikan. Tadinya ia pikir Adi kan mengizinkan dia tidur di sofa.
“Iya. Apa itu salah? Aku nggak sudi kamu menyentuh barang-barang milikku. Ini kamu ganti lagi, ada bekas kamu di sini.” Adi menarik sprei yang tadi sempat Risa duduki. Apa segitu buruk istrinya di mata pria itu? Sampai-sampai semua barang yang telah Risa sentuh harus diganti.
“Aku tidak tahu di mana spreinya,” kata Risa dengan wajah tertunduk.
“Dasar nggak berguna! Minggir sana! Biar aku ganti sendiri. Kalau kamu yang ganti sama saja, tetap ada bekas tangan kotormu nanti.” Adi mendorong tubuh Risa dengan kasar sehingga membuat wanita itu tersungkur di lantai.
“Awww,” Risa meringis kesakitan, lututnya terlihat memar karena dorongan Adi yang sangat kuat.
“Gak usah cari perhatian!” tukas Adi seraya menatap istrinya dengan sinis.
“Aku nggak cari perhatian. Ini benar-benar sakit,” sahut Risa sambil meringis menahan rasa sakit pada lututnya, tapi Adi sama sekali tak peduli.
“Ck!” Adi berdecak kesal. “Ini belum seberapa. Tunggu saja, kamu akan tahu rasa sakit yang sebenarnya itu seperti apa!” pekiknya memekakkan telinga Risa.
Risa berusaha bangkit, tapi kakinya terasa nyeri. Ia merasa tidak sanggup untuk berdiri. Akhirnya ia merangkak menuju tempat yang ditunjukkan Adi, kemudian membaringkan tubuhnya di atas karpet dan berusaha untuk memejamkan mata.
Untuk pertama kalinya Risa tidur hanya beralaskan karpet seperti ini. Meskipun hanya tinggal di kontrakan kecil, tapi ia masih bisa tidur di atas kasur.
“Bismillah,” ucap Risa sambil menarik selimut dan menutupi sebagian tubuhnya. Namun, belum sempat ia memejamkan mata, terdengar suara seseorang memanggil namanya.
“Risa …,” panggil seseorang sambil mengetuk pintu kamar.
Mendengar namanya dipanggil, Risa berusaha untuk bangun, tapi kakinya benar-benar tidak bisa digerakkan. Lantas ia pun memberanikan diri meminta bantuan Adi untuk membuka pintu dan melihat siapa yang ada di luar kamar.“Maaf, bisa tolong lihat siapa yang ada di luar. Karena kakiku nggak bisa digerakkan,” ucap Risa dengan suara lemah dan nyaris tak terdengar oleh Adi.“Berani sekali kamu memberi perintah padaku. Memangnya siapa kamu, hah?” bentak Adi sambil menatap Risa dengan tatapan tajam seperti elang yang siap menerkam mangsanya. “Aku minta maaf, tapi jika aku yang membuka pintunya, nanti mereka akan bertanya soal kakiku ini,” ujar Risa sambil menatap ke arah lututnya yang memar.“Apa? Jadi kakinya benar-benar sakit? Apa itu karena tadi aku mendorongnya terlalu kuat?” Adi bergumam pelan, tapi masih bisa mendengar oleh telinga Risa. Pria itu tampak memikirkan sesuatu, kemudian berjalan mendekati Risa dan mencengkram bahu istrinya dengan sangat kuat. “Akh!” Risa menjerit saat kuku
Suasana di meja makan menjadi hening seketika. Mereka bertiga pun melanjutkan sarapan tanpa Bu Airin. Pak Arya juga tidak menghabiskan makanannya, beliau segera menyusul istrinya ke kamar. Di meja makan saat ini hanya tinggal sepasang suami istri yang tampak saling diam satu sama lain. Setelah selesai sarapan, Adi langsung pergi ke kantor. Risa ikut mengantar sampai ke teras depan sambil membawa tas kerja suaminya. Ada rasa aneh yang dirasakan wanita itu saat ini, ia merasa menjadi istri sesungguhnya hanya karena perubahan sikap Adi. Pagi ini sikap Adi memang berbeda dari tadi malam. Pria itu mau menggunakan pakaian yang Risa siapkan, sekarang ia juga mengizinkan istrinya untuk ikut mengantar sampai ke mobil. Hal sekecil itu saja sudah membuat Risa bahagia. Namun, sepertinya itu hanya berlaku di depan kedua orang tuanya.“Sini tas-nya!” pinta Adi dengan nada ketus, ia juga mengambil paksa tas kerjanya yang ada di tangan Risa.“Maaf,” ucap Risa dengan wajah tertunduk. Baru saja mera
“Maaf, Ma, Apa Risa boleh menemui Mama Yulia?” tanya Risa dengan ragu-ragu. Ia takut jika ada perjanjian antara ibu kandung dan ibu mertuanya yang tidak ia ketahui. “Tentu saja boleh, kamu bahkan tidak perlu minta izin untuk bertemu sama dia. Pergilah! Mama akan suruh sopir untuk mengantar kamu ke sana,” kata Ibu Airin sambil mengelus pundak Risa. “Tidak perlu, Ma. Risa bisa naik taksi,” tolak Risa, tapi Ibu Airin tetap memaksa. “Kamu harus pergi sama sopir. Jika tidak, maka Mama tidak akan mengizinkan kamu pergi.” Ibu Airin mencubit gemas pipi menantunya. “Baiklah, Ma. Terima kasih atas semua kebaikan Mama,” ucap Risa dengan senyum tulus. “Tidak perlu berterima kasih, tapi maaf, ya, Mama tidak bisa ikut. Sampaikan salam Mama sama Mama kamu,” ujar Ibu Airin. “Iya, Ma. Nanti Risa sampaikan,” jawab Risa, lalu ia pergi ke kamar untuk mengambil tasnya. Risa pulang ke kontrakannya untuk yang pertama kali setelah ia menikah. Pernikahannya baru berjalan tiga hari. Seharusnya di usi
Setelah puas menumpahkan kesedihannya, Risa segera beranjak dari tempat tidur lalu masuk ke kamar mandi. Lima menit kemudian ia keluar dari kamar mandi dengan wajah yang lebih segar. Risa mencuci muka agar tak terlihat seperti habis menangis, ia tidak ingin terlihat sedih di depan ibunya. Risa keluar kamar lalu pergi ke dapur untuk menemui ibunya, tapi seseorang yang dicarinya tidak ada di sana. “Mama di mana?” gumamnya.“Risa, ada apa?” Bu Yulia tiba-tiba muncul di belakang Risa.“Mama, bikin kaget aja. Risa mau pamit pulang, Ma. Risa mau beres-beres pakaian yang akan dibawa ke apartemen.” Risa mengambil segelas air lalu menenggaknya hingga habis.“Ya sudah, kamu hati-hati. Ingat, jangan mengeluh apapun. Itu demi masa depan kamu. Bersabarlah,” ucap Bu Yulia sambil memeluk putrinya dengan erat.Risa mengangguk seraya mengulas senyum. “Iya, Ma. Risa pulang dulu, ya. Mama harus jaga kesehatan. Kalau ada apa-apa, jangan dipendam sendiri. Risa akan selalu ada untuk Mama,” ujar Risa seray
Risa sedikit terkejut mendengar suara seseorang yang tiba-tiba memanggilnya, lalu ia menoleh ke arah orang itu sambil mengulas senyum. “Mama,” ucapnya.Ibu Airin menghampiri menantunya saat melihat wanita itu tengah sibuk menyajikan makanan ke dalam piring.“Risa, kamu ngapain pagi-pagi sudah ada di dapur?” tanya Ibu Airin. “Risa buatkan ini untuk Mama dan Papa, semoga saja makanan hasil masakan Risa cocok di lidah Mama dan Papa.” Risa menyerahkan piring yang berisi makanan kepada ibu mertuanya. “Wah … sepertinya enak. Ayo kita makan sama-sama! Mama ingin makan sepiring berdua sama kamu,” ujar Ibu Airin dengan semangat. “Papa nggak bisa ikut sarapan karena dia nggak ada di rumah,” lanjutnya.Risa terharu mendengar ajakan ibu mertuanya. Ia sangat bersyukur bisa mendapatkan ibu mertua yang sangat baik seperti Ibu Airin. “Tapi, Ma.” Risa berusaha menolak karena merasa sungkan. Ibu mertuanya itu adalah seorang nyonya besar, ia merasa tidak pantas makan sepiring dengan wanita terhormat
Setelah merapikan semua barang-barang di kamar Risa, Mia melanjutkan pekerjaan di kamarnya sendiri. Ia juga menata baju-bajunya ke dalam lemari. Setelah selesai berbenah, mereka berdua pergi ke dapur untuk melihat apa yang bisa dimasak untuk makan siang.“Nyonya, kulkasnya masih kosong. Kita pesan makanan saja, ya,” kata Mia mengusulkan.“Nggak usah, Mbak. Bagaimana kalau kita beli bahan mentahnya saja? Masih lama juga waktu makan siang. Nanti kalau Pak Adi pulang tidak ada makanan, ‘kan, nggak enak,” ucap Risa. Ia sengaja memanggil Adi dengan sebutan ‘pak’ di depan asisten rumah tangga supaya terdengar lebih sopan.“Baiklah, Nyonya Muda. Saya akan minta Pak Dodi pergi berbelanja ke supermarket,” ujar Mia.“Tidak usah, Mbak. Supermarketnya cuma di bawah, ‘kan? Bar saya saja yang pergi,” pungkas Risa sambil menyambar tas di atas tempat tidur.“Jangan, Nyonya Muda. Anda tidak boleh melakukan apapun, itu perintah Nyonya Besar.” Mia langsung menahan tangan Risa.“Mbak Mia, di sini tidak
Seorang suami yang seharusnya menjaga kehormatan dan harga diri seorang istri di depan laki-laki lain, tetapi Adi justru melakukan hal sebaliknya. Ia sendiri malah membiarkan laki-laki lain menawar istrinya seperti barang dagangan dan dengan mudahnya ia memberikan istrinya pada laki-laki itu.Risa terus menangis di dalam kamar sambil memeluk foto almarhum ayahnya, hanya dengan cara itu yang bisa membuat perasaannya sedikit lebih tenang saat menghadapi masalah. Pada saat mengingat almarhum ayahnya, Risa selalu mencoba untuk tetap bersabar dan menerima kenyataan bahwa ia harus kuat menghadapi semuanya.“Papa, berikan hatimu padaku agar aku bisa belajar bagaimana Papa menghadapi masalah tanpa sedikitpun mengeluh.” Risa mengelus foto almarhum ayahnya, kemudian diletakkannya kembali ke dalam laci meja.Ia beranjak dari tempat tidur lalu masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah selesai mandi, Risa langsung mengerjakan shalat maghrib. Ternyata sudah cukup lama ia mengurung diri
Bola mata Risa membulat sempurna begitu melihat siapa yang sedang bersama Adi di sofa. Wanita yang tak sengaja ditabraknya saat di mal beberapa yang lalu, sekarang ada di apartemen suaminya. Risa menatap Adi untuk menunggu penjelasannya, tetapi laki-laki itu hanya diam seribu bahasa. Ia tidak mengatakan apapun pada Risa atas apa yang diperbuatnya saat ini dan siapa wanita yang sedang bersamanya itu.“Kenapa wanita sialan ini ada di apartemen kamu, Beb?” tanya wanita itu dengan mengarahkan telunjuknya pada Risa. Ia bergelayut manja di lengan Adi.“Kamu kenal sama dia? Bagaimana bisa?” Adi balik bertanya pada wanita itu.“Iya, Beb. Tadi dia yang menabrakku di mal,” ujar wanita itu dengan nada yang dibuat manja. Sebagai sesama perempuan, Risa bahkan merasa malu melihat tingkahnya yang seperti itu.“Kamu pergi keluar? Sama siapa?” teriak Adi dengan emosi sambil menatap Risa dengan tajam.“Maaf, Tuan Muda. Saya yang mengajak Nyonya Mu ….” Mia belum menyelesaikan ucapannya, tetapi Adi sud
“Astaghfirullah … apa yang sudah aku lakukan?” gumam Risa sambil menarik napas panjang.Andre juga kaget melihat Risa yang begitu emosi, ternyata wanita sangat lembut dan penyayang yang ia kenal selama ini juga bisa berkata dengan nada tinggi seperti itu.“Saya tahu kalau cara saya sedikit egois, tapi itu adalah bukti kalau saya mencintai kamu. Saya bisa mendapatkan ribuan gadis yang bersedia menjadi istri saya, tapi yang saya inginkan hanya kamu. Hanya kamu yang akan menjadi ibu dari anak-anak saya,” ujar Andre.Risa menipiskan bibir dan tersenyum tanggung, lalu mengangkat wajahnya yang tadi tertunduk.“Dengarkan saya baik-baik, Tuan Andre Kusuma Yang Terhormat. Saya adalah seorang istri yang sah di mata agama dan hukum yang berlaku di negara ini, saya tidak melarang Anda jatuh cinta sama saya karena itu adalah persoalan hati seseorang. Namun, maaf beribu maaf saya ucapkan. Apapun yang akan Anda lakukan tetap tidak akan merubah apapun, saya tidak akan membalas perasaan Anda!” ucap Ri
Adi keluar dari ruang ganti dengan raut wajah yang masih sama seperti saat sebelum ia masuk ke dalam ruangan tersebut.“Kamu masih ingin aku mengabulkan permintaanmu itu, Sayang? Jangan harap!” ujar Adi dengan nada ketus.Risa menghela napas berat kala melihat suaminya masih tersulut emosi setelah mendengar permintaannya untuk berbicara empat mata dengan Andre.“Please, Sayang! Izinkan aku untuk bertemu dengannya, kamu boleh ikut dan mengawasiku dari jauh. Bagaimana?” tawar Risa mencoba bernegosiasi dengan suaminya.“Sekali tidak, tetap tidak!” tandas Adi tanpa melihat ke arah Risa.Risa tidak putus asa meski telah ditolak berkali-kali, ia harus bisa membujuk suaminya agar mau mengabulkan keinginannya. Jika terus dibiarkan, maka masalah di antara keduanya tidak akan pernah selesai. Akar dari permasalahan di sini adalah dirinya, maka dari itu dialah yang harus turun tangan sendiri.“Ya sudah, kalau kamu bersikukuh seperti itu. Aku mau tidur di kamar sebelah,” ujar Risa sembari melangka
Setelah Bu Soraya pergi dari rumah itu, Ibu Airin membawa Risa ke kamarnya untuk membicarakan apa yang tadi disampaikan oleh Bu Soraya kepadanya.“Sayang, ayo duduk sini!” ajak Ibu Airin sambil menepuk sofa kosong di sebelahnya.“Iya, Ma.” Risa tersenyum sembari mendudukkan dirinya di samping Ibu Airin. “Apa yang ingin Mama jelaskan sama Risa?” tanyanya dengan lembut.“Kamu masih ingat kejadian saat kamu dan Adi pergi untuk menghadiri jamuan makan malam waktu itu? Soal itulah yang akan Mama sampaikan sama kamu,” ujar Ibu Airin.“Makan malam yang diadakan oleh Tuan Andre?” tanya Risa lagi.“Iya, Sayang. Yang waktu itu,” sahut Ibu Airin.“Kenapa memangnya, Ma?” tanya Risa semakin penasaran.“Ternyata, dia mengadakan acara makan malam itu untuk membuat kamu keluar dari rumah ini dan menculik kamu. Nyonya Kusuma sendiri yang bilang seperti itu sama Mama. Andre meminta anak buahnya untuk mengikuti mobil kalian,” jelas Ibu Airin.“Apa, Ma?! Jadi, penyerangan pada malam itu adalah ulahnya Tu
“Nyonya mau bicara apa?” tanya Ibu Airin seraya menatap Bu Soraya dengan lekat.Bu Sora menghela napas panjang seraya memejamkan mata sebelum mengatakan apa yang akan ia sampaikan.“Maaf sebelumnya, Nyonya Airin. Mungkin ini akan sedikit mengejutkan Anda, tapi saya harap Nyonya bisa menerimanya,” ujar Bu Soraya.Perkataannya semakin membuat Ibu Airin penasaran, apa sebenarnya yang ingin disampaikan oleh nyonya Kusuma. Sehingga ia terlihat gugup dan ketakutan seperti itu.“Katakan saja, Nyonya. Apa yang ingin Nyonya katakan sebenarnya? Kenapa Nyonya jadi tegang begitu?” tanya Ibu Airin, ia juga sudah tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.“Putra saya ternyata mencinta menantu Anda, saya juga baru mengetahuinya. Selama ini sudah banyak perempuan yang saya kenalkan sama dia, tapi tidak ada satu pun yang bisa menarik perhatiannya. Mulai dari gadis kaya dan terhormat, sampai gadis biasa sudah pernah saya kenalkan. Namun, hasilnya tetap sama. Andre sama sekali tidak melirik satu pun
“Mau ketemu saya? Siapa, Mbak?” tanya Risa dengan mengerutkan dahi. “Iya, Nyonya Muda. Seorang ibu-ibu sama anak kecil yang waktu itu datang ke rumah sakit,” jawab Mia dengan napas yang masih ngos-ngosan. “Ayo kita lihat siapa orangnya, Sayang!” seru Ibu Airin sembari merangkul pundak Risa. “Iya, Ma.” Risa langsung bergegas masuk ke dalam rumah. Ia sudah bisa menduga siapa orang tersebut. Sementara Ibu Airin penasaran siapa orang yang ingin bertemu dengan menantunya. Siapa ibu-ibu yang dimaksud oleh Mia? “Di mana orangnya, Mia?” tanya ibu Airin saat sampai di ruang keluarga. “Masih di depan, Nyonya Besar. Saya tadi nyariin Nyonya Muda ke kamar, tapi Nyonya Muda nggak ada di sana,” ujar Mia. “Siapa sih, orangnya?” gumam Ibu Airin sembari berjalan menuju pintu depan. Ia tidak pernah terpikir jika orang itu adalah Indri, si gadis kecil yang sudah seperti putri bagi Risa. Sesampainya di teras depan, mereka langsung dikagetkan dengan teriakan anak kecil yang berlari ke arah Risa.
Reyhan kaget melihat Anita tiba-tiba berada di sana, apalagi setelah ia mendengar pertanyaan dokter muda itu. Ia yakin jika Anita sudah mendengar semua pembicaraannya dengan dokter Cyntia. “Dokter Anita, Anda di sini?” tanya Reyhan lalu menghentikan langkahnya saat melihat Anita menghampirinya. “Iya, Pak. Saya kebetulan baru pulang dari rumah Risa, tapi nggak nyangka bisa bertemu Pak Reyhan di sini. Tapi maaf nih, Pak. Bukan maksud saya lancang, apa benar Pak Reyhan dan Dokter Cyntia pacaran?” Anita menatap Reyhan dengan lekat, ada rasa sesak di dadanya saat mengetahui laki-laki yang ia cintai saat ini sudah menjadi kekasih wanita lain. Namun, ia berusaha menutupi rasa kecewanya. “Oh, bagaimana keadaan Risa? Apa kandungannya baik-baik saja?” tanya Reyhan lagi. Ia tidak menanggapi pertanyaan Anita yang terakhir karena ia tidak punya jawaban untuk pertanyaan itu. Saat Reyhan menyebut nama Risa, darah Cyntia seakan mendidih mendengar kekasihnya menanyakan wanita lain. Terlebih lagi,
“Apa yang mau kamu jelasin? Kamu mau mengatakan kalau semua yang kamu lakukan ini karena cinta? Apa itu yang akan kamu katakan sama Mama, Andre?!” erang Bu Soraya dengan raut wajah memerah. “Ma, semua ini tidak seperti yang Mama pikirkan. Aku tidak mungkin mencelakai wanita yang aku cintai,” ujar Andre. “Cinta kamu bilang? Kamu bukan mencintainya, tapi kamu hanya terobsesi! Wanita itu terlalu baik untuk kamu, Andre. Jadi sekarang Mama tahu apa tujuan kamu mengadakan jamuan makan malam waktu itu, ternyata ini rencana kamu? Mama malu mengakui kamu sebagai putra dari keluarga Kusuma. Papa kamu tidak pernah berbuat curang dalam hal apapun, termasuk apa yang baru saja kamu lakukan ini. Kamu sudah mencoreng nama baik keluarga Kusuma, Ndre.” Bu Soraya keluar dari kamar Andre sambil menangis, ia tidak percaya jika putranya sampai senekat itu hanya demi mendapatkan wanita yang katanya begitu ia cintai. Selama ini Andre memang tidak pernah tertarik pada semua wanita yang pernah Bu Soraya ke
Satu bulan sudah berlalu. Selama itu pula Risa tidak diizinkan keluar dari rumah, bahkan untuk pemeriksaan kandungannya pun Adi sudah membuat kamar tidur mereka seperti sebuah klinik. Itu semua ia lakukan demi menjaga keamanan dan keselamatan istri dan calon anaknya.Dokter Reyhan dan Cyntia sudah resmi menjadi sepasang kekasih. Namun, sampai saat ini Risa belum mengetahui hal itu. Anita juga belum tahu soal itu karena Cyntia tidak pernah datang ke rumah sakit. Semua orang di rumah sakit juga tidak ada yang tahu mengenai hubungan anak pemilik rumah sakit itu dengan mantan dokter spesialis anestesi kardiovaskuler sekaligus mantan asisten dokter Reyhan di tim operasi.Reyhan bersedia menjadi kekasih Cyntia demi keselamatan Risa dan bayi yang tengah ia kandung, tetapi Reyhan juga mengajukan syarat kepada wanita itu. Cyntia dilarang menemuinya di rumah sakit, dan syarat itu pun diterima oleh wanita itu.Hari ini adalah jadwal pemeriksaan kandungan Risa. Usia kandungannya sudah memasuki d
Risa keluar dari kamar mandi dan melihat Adi duduk di sofa dengan kedua tangan dijadikan penopang wajahnya. Tatapannya terlihat kosong, bahkan laki-laki itu sampai tidak menyadari jika istrinya sudah keluar dari kamar mandi. Terlihat jelas bahwa saat ini dia sedang banyak masalah. “Kamu mandi dulu sana! Setelah itu kita shalat supaya pikiran kamu lebih tenang,” ujar Risa membuyarkan lamunan Adi. “Kamu sudah selesai, Sayang? Maaf ya, aku jadi melamun. Ya sudah, aku mandi dan ambil air wudhu sebentar.” Adi masuk ke kamar mandi dengan langkah gontai, ada rasa bersalah yang ia rasakan terhadap istrinya. “Ya Allah, apapun masalah yang sedang ia hadapi saat ini, aku mohon permudahkanlah!” ucap Risa penuh harap. Kriet! Suara pintu kamar mandi terbuka, Adi keluar dari sana dengan handuk melilit dari tubuhnya. Wajahnya sudah terlihat lebih segar setelah mandi dan berwudhu. “Sebentar ya, Sayang. Aku ganti baju dulu,” ucap Adi sembari melangkah menuju tempat tidur. Pakaian gantinya sudah d