“Maaf, Ma, Apa Risa boleh menemui Mama Yulia?” tanya Risa dengan ragu-ragu. Ia takut jika ada perjanjian antara ibu kandung dan ibu mertuanya yang tidak ia ketahui.
“Tentu saja boleh, kamu bahkan tidak perlu minta izin untuk bertemu sama dia. Pergilah! Mama akan suruh sopir untuk mengantar kamu ke sana,” kata Ibu Airin sambil mengelus pundak Risa.
“Tidak perlu, Ma. Risa bisa naik taksi,” tolak Risa, tapi Ibu Airin tetap memaksa.
“Kamu harus pergi sama sopir. Jika tidak, maka Mama tidak akan mengizinkan kamu pergi.” Ibu Airin mencubit gemas pipi menantunya.
“Baiklah, Ma. Terima kasih atas semua kebaikan Mama,” ucap Risa dengan senyum tulus.
“Tidak perlu berterima kasih, tapi maaf, ya, Mama tidak bisa ikut. Sampaikan salam Mama sama Mama kamu,” ujar Ibu Airin.
“Iya, Ma. Nanti Risa sampaikan,” jawab Risa, lalu ia pergi ke kamar untuk mengambil tasnya.
Risa pulang ke kontrakannya untuk yang pertama kali setelah ia menikah. Pernikahannya baru berjalan tiga hari. Seharusnya di usia pernikahan seperti itu, sepasang suami istri memupuk hubungan mereka agar lebih kokoh dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Tapi sayangnya Risa hanyalah istri di atas kertas.
Nasibnya tak seberuntung teman-temannya, tapi dia akan selalu berusaha menjalaninya dengan tabah dan akan selalu tersenyum meski ada luka menganga yang disembunyikan.
Mobil yang mengantar Risa telah berhenti di depan Gang Sempit. Kontrakan yang dulu ditempatinya tidak bisa dilalui kendaraan roda empat. Karena itu, Risa meminta sopir untuk berhenti di pinggir jalan.
Risa segera turun dari mobil, lalu meminta sopir untuk mengangkat barang-barang bawaannya yang ada di bagasi. Ibu Airin menitipkan banyak sekali barang untuk besannya, Risa pun tidak bisa menolak.
“Nyonya duluan saja. Biar saya yang bawa barang-barangnya,” ucap pak sopir.
“Tidak apa-apa, Pak. Biar saya bantu,” ujar Risa sambil mengangkat sebuah kardus yang lumayan berat. Ia sendiri tidak tahu apa yang ada di dalam benda tersebut.
Risa berjalan menyusuri lorong yang sedikit gelap. Karena jalan di Gang Sempit memang minim pencahayaan. Apalagi ini masih pagi, sinar matahari belum terik.
Pak Sopir mengikuti langkahnya menuju kontrakan kecil, tak lama kemudian mereka sudah sampai di tempat tujuan. Di sinilah tempat Risa dan ibunya berteduh dari teriknya matahari dan dinginnya guyuran air hujan.
“Assalamualaikum! Mama,” panggil Risa saat sampai di depan kontrakan.
“Wa'alaikum salam,” sahut seseorang dari dalam rumah. Namun, yang menjawab salam Risa bukan suara perempuan, melainkan suara seorang laki-laki.
“Ayah, di mana Mama?” tanya Risa sambil masuk ke dalam rumah untuk mencari keberadaan ibunya.
“Lagi di tempat tetangga. Kamu juga tahu kalau sekarang mama kamu hanya seorang buruh cuci keliling. Kamu yang sudah jadi orang kaya, kenapa tidak kamu bawa saja mama kamu ikut ke rumah mewah itu?” ujar laki-laki berandalan yang berpenampilan sangat berantakan.
Risa hanya diam dan tak ingin menjawab perkataan ayah tirinya. Ia sangat paham apa maksud perkataan pria itu. Sudah pasti laki-laki itu ingin memanfaatkan keluarga suami Risa, agar bisa dijadikan mesin ATM berjalan.
Sama seperti dulu saat Risa dan ibunya masih punya segalanya. Laki-laki itu mempunyai seribu cara untuk membujuk istrinya agar mau menuruti semua keinginannya.
Risa meletakkan barang-barang bawaannya ke dapur lalu membuatkan minuman untuk pak sopir yang biasa dipanggil Mang Karim.
“Silahkan diminum, Pak!” ujar Risa seraya meletakkan segelas minuman di atas meja.
“Terima kasih, Nyonya,” ucap Mang Karim.
“Risa, kamu ada di sini? Kenapa nggak kasih kabar kalau mau ke sini,” ujar seseorang yang baru saja masuk rumah.
“Iya, Ma. Risa kangen sama Mama,” jawab Risa sambil berjalan ke arah ibunya, lalu memeluk erat wanita itu untuk melepaskan rindu dan semua beban pikirannya.
“Sebentar, ya. Mama ke belakang dulu,” kata Bu Yulia sambil melerai pelukan Risa, saat ini di tangannya ada sebuah baskom yang selalu dibawa saat ia pergi mencuci pakaian di rumah tetangga.
“Iya, Ma.” Risa hanya bisa menarik napas panjang melihat sikap dingin ibunya, lalu ia pun mengikuti Bu Yulia ke dapur.
“Risa, bagaimana dengan pernikahanmu sama Adi?” tanya Bu Yulia.
Risa terdiam sejenak, ia tidak menyangka ibunya akan mengajukan pertanyaan seperti itu. Lantas, apa yang harus ia katakan? Apakah ia harus jujur dan menceritakan semuanya? Tentu saja tidak. Risa tidak ingin membuat ibunya sampai kepikiran jika sang ibu sampai mengetahui apa yang dialaminya setelah menikah.
“Baik, Ma.” Hanya jawaban itu yang bisa Risa berikan pada ibunya.
“Kamu harus bertahan dengan keadaan apapun, Risa. Apapun yang terjadi dalam rumah tanggamu nanti, kamu harus tetap menjadi istri Adi Chandra Winata. Cuma itu jalan satu-satunya agar kehidupan kita bisa kembali seperti dulu,” kata Bu Yulia dengan santai.
Risa tersentak kaget mendengar ucapan sang ibu. Hatinya semakin sakit dan hancur setelah mendengar permintaan ibunya. Apa tidak ada sedikitpun rasa bersalah di hati wanita itu setelah ia memaksa putrinya menikah dengan pria asing? Akankah ia merasa iba jika ia mengetahui apa yang dialami putrinya setelah menikah dengan laki-laki pilihannya itu?
“Ma, Mama harus tahu kalau laki-laki itu sama sekali tidak mencintai Risa. Dia bahkan tidak sudi menatap wajah putri Mama ini,” ujar Risa mencoba untuk jujur.
“Cinta itu akan tumbuh seiring dengan waktu yang kalian habiskan bersama. Kuncinya hanya satu, kamu harus sabar.” Bu Yulia menatap Risa sekilas, lalu kembali berkutat dengan pekerjaannya.
Risa menggelengkan kepala, tak percaya dengan semua yang diucapkan oleh wanita yang telah melahirkannya.
“Besok kami akan pindah ke apartemen. Adi sudah mengatakan itu pada kedua orang tuanya tadi pagi,” ujar Risa sambil berjalan ke arah lemari pendingin.
“Baguslah. Kalian harus terbiasa hidup mandiri. Adi laki-laki yang bertanggung jawab,” sahut Bu Yulia.
Risa lagi-lagi menggelengkan kepala sambil menarik napas panjang. Ia hanya berharap semoga apa yang dikatakan ibunya bisa menjadi sebuah kenyataan.
Meskipun yang terjadi adalah sebaliknya, tapi Risa bisa apa? Ibu kandungnya sendiri bahkan sudah terang-terangan meminta kepadanya supaya dia selalu bertahan dengan keadaan apapun.
Risa meninggalkan ibunya di dapur, lalu masuk ke kamar. Ia duduk di atas tempat tidur sambil meraih sebuah bingkai foto di dalam laci meja.
“Pa, apa kabar? Risa rindu sama Papa. Semoga Papa tenang, ya, di sana.” Air mata Risa menetes begitu saja saat menatap potret almarhum ayahnya.
Andai saja sang ayah masih ada. Mungkin kehidupan Risa tidak akan seperti saat ini, tapi semua sudah menjadi kehendak takdir. Risa harus bisa menerima dan menjalaninya dengan ikhlas meski terasa sangat menyakitkan.
Setelah puas menumpahkan kesedihannya, Risa segera beranjak dari tempat tidur lalu masuk ke kamar mandi. Lima menit kemudian ia keluar dari kamar mandi dengan wajah yang lebih segar. Risa mencuci muka agar tak terlihat seperti habis menangis, ia tidak ingin terlihat sedih di depan ibunya. Risa keluar kamar lalu pergi ke dapur untuk menemui ibunya, tapi seseorang yang dicarinya tidak ada di sana. “Mama di mana?” gumamnya.“Risa, ada apa?” Bu Yulia tiba-tiba muncul di belakang Risa.“Mama, bikin kaget aja. Risa mau pamit pulang, Ma. Risa mau beres-beres pakaian yang akan dibawa ke apartemen.” Risa mengambil segelas air lalu menenggaknya hingga habis.“Ya sudah, kamu hati-hati. Ingat, jangan mengeluh apapun. Itu demi masa depan kamu. Bersabarlah,” ucap Bu Yulia sambil memeluk putrinya dengan erat.Risa mengangguk seraya mengulas senyum. “Iya, Ma. Risa pulang dulu, ya. Mama harus jaga kesehatan. Kalau ada apa-apa, jangan dipendam sendiri. Risa akan selalu ada untuk Mama,” ujar Risa seray
Risa sedikit terkejut mendengar suara seseorang yang tiba-tiba memanggilnya, lalu ia menoleh ke arah orang itu sambil mengulas senyum. “Mama,” ucapnya.Ibu Airin menghampiri menantunya saat melihat wanita itu tengah sibuk menyajikan makanan ke dalam piring.“Risa, kamu ngapain pagi-pagi sudah ada di dapur?” tanya Ibu Airin. “Risa buatkan ini untuk Mama dan Papa, semoga saja makanan hasil masakan Risa cocok di lidah Mama dan Papa.” Risa menyerahkan piring yang berisi makanan kepada ibu mertuanya. “Wah … sepertinya enak. Ayo kita makan sama-sama! Mama ingin makan sepiring berdua sama kamu,” ujar Ibu Airin dengan semangat. “Papa nggak bisa ikut sarapan karena dia nggak ada di rumah,” lanjutnya.Risa terharu mendengar ajakan ibu mertuanya. Ia sangat bersyukur bisa mendapatkan ibu mertua yang sangat baik seperti Ibu Airin. “Tapi, Ma.” Risa berusaha menolak karena merasa sungkan. Ibu mertuanya itu adalah seorang nyonya besar, ia merasa tidak pantas makan sepiring dengan wanita terhormat
Setelah merapikan semua barang-barang di kamar Risa, Mia melanjutkan pekerjaan di kamarnya sendiri. Ia juga menata baju-bajunya ke dalam lemari. Setelah selesai berbenah, mereka berdua pergi ke dapur untuk melihat apa yang bisa dimasak untuk makan siang.“Nyonya, kulkasnya masih kosong. Kita pesan makanan saja, ya,” kata Mia mengusulkan.“Nggak usah, Mbak. Bagaimana kalau kita beli bahan mentahnya saja? Masih lama juga waktu makan siang. Nanti kalau Pak Adi pulang tidak ada makanan, ‘kan, nggak enak,” ucap Risa. Ia sengaja memanggil Adi dengan sebutan ‘pak’ di depan asisten rumah tangga supaya terdengar lebih sopan.“Baiklah, Nyonya Muda. Saya akan minta Pak Dodi pergi berbelanja ke supermarket,” ujar Mia.“Tidak usah, Mbak. Supermarketnya cuma di bawah, ‘kan? Bar saya saja yang pergi,” pungkas Risa sambil menyambar tas di atas tempat tidur.“Jangan, Nyonya Muda. Anda tidak boleh melakukan apapun, itu perintah Nyonya Besar.” Mia langsung menahan tangan Risa.“Mbak Mia, di sini tidak
Seorang suami yang seharusnya menjaga kehormatan dan harga diri seorang istri di depan laki-laki lain, tetapi Adi justru melakukan hal sebaliknya. Ia sendiri malah membiarkan laki-laki lain menawar istrinya seperti barang dagangan dan dengan mudahnya ia memberikan istrinya pada laki-laki itu.Risa terus menangis di dalam kamar sambil memeluk foto almarhum ayahnya, hanya dengan cara itu yang bisa membuat perasaannya sedikit lebih tenang saat menghadapi masalah. Pada saat mengingat almarhum ayahnya, Risa selalu mencoba untuk tetap bersabar dan menerima kenyataan bahwa ia harus kuat menghadapi semuanya.“Papa, berikan hatimu padaku agar aku bisa belajar bagaimana Papa menghadapi masalah tanpa sedikitpun mengeluh.” Risa mengelus foto almarhum ayahnya, kemudian diletakkannya kembali ke dalam laci meja.Ia beranjak dari tempat tidur lalu masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah selesai mandi, Risa langsung mengerjakan shalat maghrib. Ternyata sudah cukup lama ia mengurung diri
Bola mata Risa membulat sempurna begitu melihat siapa yang sedang bersama Adi di sofa. Wanita yang tak sengaja ditabraknya saat di mal beberapa yang lalu, sekarang ada di apartemen suaminya. Risa menatap Adi untuk menunggu penjelasannya, tetapi laki-laki itu hanya diam seribu bahasa. Ia tidak mengatakan apapun pada Risa atas apa yang diperbuatnya saat ini dan siapa wanita yang sedang bersamanya itu.“Kenapa wanita sialan ini ada di apartemen kamu, Beb?” tanya wanita itu dengan mengarahkan telunjuknya pada Risa. Ia bergelayut manja di lengan Adi.“Kamu kenal sama dia? Bagaimana bisa?” Adi balik bertanya pada wanita itu.“Iya, Beb. Tadi dia yang menabrakku di mal,” ujar wanita itu dengan nada yang dibuat manja. Sebagai sesama perempuan, Risa bahkan merasa malu melihat tingkahnya yang seperti itu.“Kamu pergi keluar? Sama siapa?” teriak Adi dengan emosi sambil menatap Risa dengan tajam.“Maaf, Tuan Muda. Saya yang mengajak Nyonya Mu ….” Mia belum menyelesaikan ucapannya, tetapi Adi sud
Seminggu telah berlalu, kini usia pernikahan Risa dan Adi sudah memasuki minggu kedua. Tidak ada yang berubah dalam kisah rumah tangga mereka, semua masih sama seperti hari-hari sebelumnya. Mereka berdua memang tinggal satu atap, tetapi dibatasi oleh dinding yang sangat kokoh. Risa bahkan tidak diizinkan menginjak kakinya ke dalam kamar pria itu.Hari ini adalah awal pekan, Adi telah pergi ke kantor pagi-pagi sekali. Risa juga sudah memutuskan untuk kembali mengajar meskipun sebenarnya ia masih diberikan waktu cuti oleh kepala sekolah, tetapi ia merasa bosan dengan hanya berdiam diri di apartemen, makanya ia memutuskan untuk kembali mengajar. Risa juga sudah mengatakan hal itu kepada Adi, meskipun pria itu tidak memberikan tanggapan apapun, tetapi ia juga tidak melarang istrinya. “Mbak Mia, aku berangkat kerja, ya. Mbak nggak apa-apa kalau saya tinggal sendiri?” tanya Risa, ia merasa tidak enak meninggalkan Mia sendirian di apartemen.“Iya, Nyonya Muda, tidak apa-apa. Nyonya berangk
Pelajaran pun dimulai, Risa melakukan tugasnya seperti biasa. Ia bernyanyi dan diikuti oleh anak-anak. Itulah kegiatan para murid sekolah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), mereka belajar sambil bermain. Suasana di dalam kelas ricuh dengan suara nyanyian dan teriakan. Inilah alasan terbesar Risa ingin menjadi tenaga pendidik, ia ikut bahagia saat melihat anak-anak muridnya tertawa lepas seperti tanpa beban. Keceriaan mereka adalah semangat bagi Risa. “Anak-anak Bunda, sekarang istirahat dulu, ya. Bel sudah berbunyi,” ucap Risa. “Baik, Bunda!” sahut anak-anak secara bersamaan. “Sekarang cuci tangan dulu, setelah itu kita makan. Anak-anak Bunda bawa bekal semuanya, ‘kan?” tanya Risa. “Bawa dong, Bunda!” jawab anak-anak, mereka bergantian pergi ke wastafel untuk mencuci tangan. Setelah selesai mencuci tangan mereka pun mulai makan bersama. Semua anak membawa bekal, kecuali satu orang, yaitu Alif. Anak murid laki-laki yang sangat pendiam, tidak banyak bicara dan susah berinteraksi d
Kurang lebih selama dua puluh menit berada di dalam lift yang tak berfungsi, akhirnya Indri dan Risa berhasil dikeluarkan oleh tim keamanan. Risa ditemukan dalam keadaan sudah tidak sadarkan diri, sementara Indri menangis tergugu di samping tubuh gurunya.“Bunda, bangun! Bunda kenapa? Indri takut, Bunda,” ucap Indri. Anak itu terus mengguncang tubuh Risa untuk membangunkannya.Tim keamanan dan Pak Dodi masuk ke dalam lift untuk membawa Risa dan Indri keluar dari sana. Namun, di saat Pak Dodi bersiap akan mengangkat tubuh Risa, tiba-tiba seseorang menghentikannya.“Tunggu!” ucap orang itu. Kemudian ia mengambil alih tubuh Risa, menggendongnya keluar dari lift.“Papa,” panggil Indri seraya berlari ke arah laki-laki yang sedang memangku tubuh Risa.“Hei, Princess Papa. Kamu tidak apa-apa, ‘kan?” tanya orang itu dengan lembut.“Iya, Pa. Indri tidak apa-apa, tapi Bunda Risa pingsan.” Indri menundukkan wajahnya, merasa bersalah atas kejadian yang menimpa gurunya..“Tidak apa-apa, dia akan
“Astaghfirullah … apa yang sudah aku lakukan?” gumam Risa sambil menarik napas panjang.Andre juga kaget melihat Risa yang begitu emosi, ternyata wanita sangat lembut dan penyayang yang ia kenal selama ini juga bisa berkata dengan nada tinggi seperti itu.“Saya tahu kalau cara saya sedikit egois, tapi itu adalah bukti kalau saya mencintai kamu. Saya bisa mendapatkan ribuan gadis yang bersedia menjadi istri saya, tapi yang saya inginkan hanya kamu. Hanya kamu yang akan menjadi ibu dari anak-anak saya,” ujar Andre.Risa menipiskan bibir dan tersenyum tanggung, lalu mengangkat wajahnya yang tadi tertunduk.“Dengarkan saya baik-baik, Tuan Andre Kusuma Yang Terhormat. Saya adalah seorang istri yang sah di mata agama dan hukum yang berlaku di negara ini, saya tidak melarang Anda jatuh cinta sama saya karena itu adalah persoalan hati seseorang. Namun, maaf beribu maaf saya ucapkan. Apapun yang akan Anda lakukan tetap tidak akan merubah apapun, saya tidak akan membalas perasaan Anda!” ucap Ri
Adi keluar dari ruang ganti dengan raut wajah yang masih sama seperti saat sebelum ia masuk ke dalam ruangan tersebut.“Kamu masih ingin aku mengabulkan permintaanmu itu, Sayang? Jangan harap!” ujar Adi dengan nada ketus.Risa menghela napas berat kala melihat suaminya masih tersulut emosi setelah mendengar permintaannya untuk berbicara empat mata dengan Andre.“Please, Sayang! Izinkan aku untuk bertemu dengannya, kamu boleh ikut dan mengawasiku dari jauh. Bagaimana?” tawar Risa mencoba bernegosiasi dengan suaminya.“Sekali tidak, tetap tidak!” tandas Adi tanpa melihat ke arah Risa.Risa tidak putus asa meski telah ditolak berkali-kali, ia harus bisa membujuk suaminya agar mau mengabulkan keinginannya. Jika terus dibiarkan, maka masalah di antara keduanya tidak akan pernah selesai. Akar dari permasalahan di sini adalah dirinya, maka dari itu dialah yang harus turun tangan sendiri.“Ya sudah, kalau kamu bersikukuh seperti itu. Aku mau tidur di kamar sebelah,” ujar Risa sembari melangka
Setelah Bu Soraya pergi dari rumah itu, Ibu Airin membawa Risa ke kamarnya untuk membicarakan apa yang tadi disampaikan oleh Bu Soraya kepadanya.“Sayang, ayo duduk sini!” ajak Ibu Airin sambil menepuk sofa kosong di sebelahnya.“Iya, Ma.” Risa tersenyum sembari mendudukkan dirinya di samping Ibu Airin. “Apa yang ingin Mama jelaskan sama Risa?” tanyanya dengan lembut.“Kamu masih ingat kejadian saat kamu dan Adi pergi untuk menghadiri jamuan makan malam waktu itu? Soal itulah yang akan Mama sampaikan sama kamu,” ujar Ibu Airin.“Makan malam yang diadakan oleh Tuan Andre?” tanya Risa lagi.“Iya, Sayang. Yang waktu itu,” sahut Ibu Airin.“Kenapa memangnya, Ma?” tanya Risa semakin penasaran.“Ternyata, dia mengadakan acara makan malam itu untuk membuat kamu keluar dari rumah ini dan menculik kamu. Nyonya Kusuma sendiri yang bilang seperti itu sama Mama. Andre meminta anak buahnya untuk mengikuti mobil kalian,” jelas Ibu Airin.“Apa, Ma?! Jadi, penyerangan pada malam itu adalah ulahnya Tu
“Nyonya mau bicara apa?” tanya Ibu Airin seraya menatap Bu Soraya dengan lekat.Bu Sora menghela napas panjang seraya memejamkan mata sebelum mengatakan apa yang akan ia sampaikan.“Maaf sebelumnya, Nyonya Airin. Mungkin ini akan sedikit mengejutkan Anda, tapi saya harap Nyonya bisa menerimanya,” ujar Bu Soraya.Perkataannya semakin membuat Ibu Airin penasaran, apa sebenarnya yang ingin disampaikan oleh nyonya Kusuma. Sehingga ia terlihat gugup dan ketakutan seperti itu.“Katakan saja, Nyonya. Apa yang ingin Nyonya katakan sebenarnya? Kenapa Nyonya jadi tegang begitu?” tanya Ibu Airin, ia juga sudah tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.“Putra saya ternyata mencinta menantu Anda, saya juga baru mengetahuinya. Selama ini sudah banyak perempuan yang saya kenalkan sama dia, tapi tidak ada satu pun yang bisa menarik perhatiannya. Mulai dari gadis kaya dan terhormat, sampai gadis biasa sudah pernah saya kenalkan. Namun, hasilnya tetap sama. Andre sama sekali tidak melirik satu pun
“Mau ketemu saya? Siapa, Mbak?” tanya Risa dengan mengerutkan dahi. “Iya, Nyonya Muda. Seorang ibu-ibu sama anak kecil yang waktu itu datang ke rumah sakit,” jawab Mia dengan napas yang masih ngos-ngosan. “Ayo kita lihat siapa orangnya, Sayang!” seru Ibu Airin sembari merangkul pundak Risa. “Iya, Ma.” Risa langsung bergegas masuk ke dalam rumah. Ia sudah bisa menduga siapa orang tersebut. Sementara Ibu Airin penasaran siapa orang yang ingin bertemu dengan menantunya. Siapa ibu-ibu yang dimaksud oleh Mia? “Di mana orangnya, Mia?” tanya ibu Airin saat sampai di ruang keluarga. “Masih di depan, Nyonya Besar. Saya tadi nyariin Nyonya Muda ke kamar, tapi Nyonya Muda nggak ada di sana,” ujar Mia. “Siapa sih, orangnya?” gumam Ibu Airin sembari berjalan menuju pintu depan. Ia tidak pernah terpikir jika orang itu adalah Indri, si gadis kecil yang sudah seperti putri bagi Risa. Sesampainya di teras depan, mereka langsung dikagetkan dengan teriakan anak kecil yang berlari ke arah Risa.
Reyhan kaget melihat Anita tiba-tiba berada di sana, apalagi setelah ia mendengar pertanyaan dokter muda itu. Ia yakin jika Anita sudah mendengar semua pembicaraannya dengan dokter Cyntia. “Dokter Anita, Anda di sini?” tanya Reyhan lalu menghentikan langkahnya saat melihat Anita menghampirinya. “Iya, Pak. Saya kebetulan baru pulang dari rumah Risa, tapi nggak nyangka bisa bertemu Pak Reyhan di sini. Tapi maaf nih, Pak. Bukan maksud saya lancang, apa benar Pak Reyhan dan Dokter Cyntia pacaran?” Anita menatap Reyhan dengan lekat, ada rasa sesak di dadanya saat mengetahui laki-laki yang ia cintai saat ini sudah menjadi kekasih wanita lain. Namun, ia berusaha menutupi rasa kecewanya. “Oh, bagaimana keadaan Risa? Apa kandungannya baik-baik saja?” tanya Reyhan lagi. Ia tidak menanggapi pertanyaan Anita yang terakhir karena ia tidak punya jawaban untuk pertanyaan itu. Saat Reyhan menyebut nama Risa, darah Cyntia seakan mendidih mendengar kekasihnya menanyakan wanita lain. Terlebih lagi,
“Apa yang mau kamu jelasin? Kamu mau mengatakan kalau semua yang kamu lakukan ini karena cinta? Apa itu yang akan kamu katakan sama Mama, Andre?!” erang Bu Soraya dengan raut wajah memerah. “Ma, semua ini tidak seperti yang Mama pikirkan. Aku tidak mungkin mencelakai wanita yang aku cintai,” ujar Andre. “Cinta kamu bilang? Kamu bukan mencintainya, tapi kamu hanya terobsesi! Wanita itu terlalu baik untuk kamu, Andre. Jadi sekarang Mama tahu apa tujuan kamu mengadakan jamuan makan malam waktu itu, ternyata ini rencana kamu? Mama malu mengakui kamu sebagai putra dari keluarga Kusuma. Papa kamu tidak pernah berbuat curang dalam hal apapun, termasuk apa yang baru saja kamu lakukan ini. Kamu sudah mencoreng nama baik keluarga Kusuma, Ndre.” Bu Soraya keluar dari kamar Andre sambil menangis, ia tidak percaya jika putranya sampai senekat itu hanya demi mendapatkan wanita yang katanya begitu ia cintai. Selama ini Andre memang tidak pernah tertarik pada semua wanita yang pernah Bu Soraya ke
Satu bulan sudah berlalu. Selama itu pula Risa tidak diizinkan keluar dari rumah, bahkan untuk pemeriksaan kandungannya pun Adi sudah membuat kamar tidur mereka seperti sebuah klinik. Itu semua ia lakukan demi menjaga keamanan dan keselamatan istri dan calon anaknya.Dokter Reyhan dan Cyntia sudah resmi menjadi sepasang kekasih. Namun, sampai saat ini Risa belum mengetahui hal itu. Anita juga belum tahu soal itu karena Cyntia tidak pernah datang ke rumah sakit. Semua orang di rumah sakit juga tidak ada yang tahu mengenai hubungan anak pemilik rumah sakit itu dengan mantan dokter spesialis anestesi kardiovaskuler sekaligus mantan asisten dokter Reyhan di tim operasi.Reyhan bersedia menjadi kekasih Cyntia demi keselamatan Risa dan bayi yang tengah ia kandung, tetapi Reyhan juga mengajukan syarat kepada wanita itu. Cyntia dilarang menemuinya di rumah sakit, dan syarat itu pun diterima oleh wanita itu.Hari ini adalah jadwal pemeriksaan kandungan Risa. Usia kandungannya sudah memasuki d
Risa keluar dari kamar mandi dan melihat Adi duduk di sofa dengan kedua tangan dijadikan penopang wajahnya. Tatapannya terlihat kosong, bahkan laki-laki itu sampai tidak menyadari jika istrinya sudah keluar dari kamar mandi. Terlihat jelas bahwa saat ini dia sedang banyak masalah. “Kamu mandi dulu sana! Setelah itu kita shalat supaya pikiran kamu lebih tenang,” ujar Risa membuyarkan lamunan Adi. “Kamu sudah selesai, Sayang? Maaf ya, aku jadi melamun. Ya sudah, aku mandi dan ambil air wudhu sebentar.” Adi masuk ke kamar mandi dengan langkah gontai, ada rasa bersalah yang ia rasakan terhadap istrinya. “Ya Allah, apapun masalah yang sedang ia hadapi saat ini, aku mohon permudahkanlah!” ucap Risa penuh harap. Kriet! Suara pintu kamar mandi terbuka, Adi keluar dari sana dengan handuk melilit dari tubuhnya. Wajahnya sudah terlihat lebih segar setelah mandi dan berwudhu. “Sebentar ya, Sayang. Aku ganti baju dulu,” ucap Adi sembari melangkah menuju tempat tidur. Pakaian gantinya sudah d