Jantung Merry semakin berdebar keras saat keduanya mulai membuka topeng mereka.Oliver, yang paham dengan situasi itu, langsung memeluk Merry, seolah memberikan efek tenang pada wanita itu.Merry merasakan kehangatan tubuh Oliver, dan itu membuatnya sedikit merasa lega di tengah ketegangan yang menyelimuti mereka.Mata Merry memperhatikan dengan tegang ketika kedua pria itu akhirnya mengungkapkan wajah mereka.Namun, apa yang dia lihat membuatnya terkejut. Kedua orang di balik topeng-topeng itu adalah suaminya sendiri—Damian, dan bodyguard setianya—Tuan Sameer. Air matanya seketika tumpah begitu menyadari identitas mereka.Merry menatap Damian dengan mata penuh kekecewaan dan kesedihan. Dia tidak pernah membayangkan bahwa suaminya akan terlibat dalam rencana jahat seperti ini.Sedangkan Tuan Sameer, sosok yang selama ini dianggapnya sebagai pelindung, kini menjadi bagian dari segala kejahatan yang terjadi.Perasaan campur aduk memenuhi pikiran Merry. Kekecewaan, rasa sakit, dan juga r
Hari-hari berlalu dengan penuh ketakutan bagi Merry di dalam mansion. Setiap kali Damian mencoba menyentuhnya atau mendekatinya, Merry menolak dengan berbagai alasan yang beralasan, menciptakan jarak antara mereka. Tetapi seiring berjalannya waktu, ketegangan di antara mereka semakin memuncak.Suatu hari, ketika Damian mencoba memeluk Merry di ruang tamu, Merry menarik diri dengan cepat. "Damian, aku tidak ingin kita berpelukan sekarang. Aku masih belum siap," ujarnya dengan suara yang gemetar.Damian menatapnya dengan ekspresi yang penuh dengan frustrasi. "Merry, sudah cukup! Aku tidak bisa terus menerima penolakanmu. Apa yang salah dengan kita? Apakah kamu tidak mencintaiku lagi?" katanya dengan suara yang meninggi.Merry menelan ludah, mencoba untuk menenangkan Damian. "Tidak, Damian, itu bukan itu... Aku hanya butuh waktu," ucapnya dengan suara yang lemah.Tetapi Damian tidak bisa menerima penjelasan Merry. Dengan penuh kemarahan, dia menghambur keluar dari ruangan, meninggalka
Merry duduk di lantai dengan Dave, putranya yang masih balita, bermain dengan mainan-mainannya. Seorang maid baik hati berdiri di dekat mereka, tersenyum melihat interaksi antara ibu dan anak tersebut. Suara tawa ceria Dave memecah keheningan di ruangan tersebut, menciptakan suasana yang hangat dan menyenangkan.Namun, suasana itu tiba-tiba terganggu ketika Merry mendengar suara Damian yang berbicara dengan serius di ruang sebelah. Suara-suara itu terdengar misterius dan menyeramkan, membuat Merry merasa cemas.Dia mencoba untuk tetap fokus pada permainannya dengan Dave, tetapi tatapan gelap Damian yang sesekali terarah padanya membuatnya merasa tidak nyaman. Meskipun begitu, dia berusaha untuk terlihat seolah-olah tidak ada yang terjadi, memasang senyum palsu di wajahnya.Tak lama kemudian, Damian menghampiri mereka dengan langkah mantap. "Merry, Dave, Maureen," sapa Damian dengan suara yang tenang, tetapi terdengar sedikit tegang.Merry menoleh ke arah Damian dengan ekspresi yan
Di dalam mobil yang bergerak tenang, Oliver duduk di kursi pengemudi sementara Merry duduk di sebelahnya. Meskipun hati Merry masih terbebani oleh kekhawatiran akan keadaan ayahnya, kehadiran Oliver di sampingnya memberikan sedikit kelegaan.Oliver menatap Merry dengan ekspresi yang penuh perhatian. "Merry, aku tahu situasinya sedang sulit bagi kita semua, tetapi kita akan menemukan cara untuk menghadapinya bersama-sama," ujarnya dengan suara yang lembut.Mata Merry terdiam sejenak, terpesona oleh kehangatan dalam suara Oliver. Entah bagaimana, kehadiran Oliver selalu mampu membuatnya merasa lebih tenang dan terjaga di saat-saat sulit seperti ini.Merry tersenyum lembut. "Terima kasih, Oliver. Aku benar-benar beruntung memiliki seseorang sepertimu di sampingku," ucapnya dengan suara yang penuh dengan rasa terima kasih.Oliver tersenyum balas, matanya yang penuh dengan kelembutan memandang Merry. "Kamu juga sangat istimewa bagiku, Merry. Aku akan selalu berada di sini untukmu, apa p
Merry melangkah perlahan menuju rumahnya, hatinya berdebar-debar. Namun, saat dia tiba di ambang pintu, dia terkejut melihat Damian sudah menunggunya dengan ekspresi cemas yang tak biasa. Tanpa berkata apa pun, Damian segera memeluknya erat, membuat Merry merasa terkejut dengan sikap suaminya yang biasanya tegas dan dingin."Merry, apa yang terjadi? Aku begitu khawatir tentangmu," desah Damian dengan suara gemetar.Merry merasa terpana oleh kehangatan pelukan Damian. Namun, dia juga merasa bersalah karena telah membuat suaminya khawatir. "Maafkan aku, Damian. Aku hanya pergi sebentar untuk menyelesaikan urusan pekerjaan," ujarnya dengan ragu.Namun, Damian tidak mendengarkan penjelasannya. Sebaliknya, dia hanya mendekap Merry erat dan mulai menciuminya dengan penuh gairah. Merry merasa bingung dengan perubahan tiba-tiba dalam perilaku suaminya. Namun, sebelum dia bisa bertanya lebih lanjut, Damian sudah mengajaknya ke dalam kamar.Mereka melewati ruang tamu yang ramai dengan oran
Mendung masih menyelimuti awan hitam yang rintiknya masih deras membasahi tanah pemakaman. Merry tampak cantik dengan pakaian serba hitam yang ia lengkapi dengan kacamata hitam.Semua mata tertuju padanya. Ia menaburkan bunga di atas pemakaman sang Ayah dengan penuh kasih. Diikuti oleh Damian, pria itu melakukan hal yang sama. Meraih keranjang penuh bunga warna-warni dan menaburkannya. Tiba saatnya giliran Oliver.Namun, sebelum Oliver bisa melangkah maju, Damian mendekatinya dengan wajah yang keras. "Kamu tidak punya hak untuk menaburkan bunga di sini," ujarnya dengan nada tajam.Merry mendengar pernyataan Damian dan segera membalas, "Tidak, Damian. Siapa pun yang hadir di pemakaman ini, bahkan jika mereka tidak mengenal Ayahku, berhak menghormatinya dengan menaburkan bunga."Namun, Damian tetap keras kepala. "Tidak ada hubungan antara kalian berdua. Dia tidak punya hak di sini!" serunya semakin keras.Kata-kata Damian menimbulkan gemuruh di antara kerumunan yang hadir. Beberapa or
Merry menatap cermin dengan wajah tegang. Rambut panjang cokelatnya telah digantikan oleh potongan rambut pendek yang stylish, sementara warna cat rambutnya telah berubah menjadi pirang. Dengan busana yang lebih mencolok dan make-up yang dramatis, dia hampir tak dikenali.Dia menelan ludah, menarik napas dalam-dalam, dan mengumpulkan keberanian untuk melangkah ke bar tempat Damian sering menghabiskan waktu. Ketika dia melangkah masuk, pandangan semua orang langsung tertuju padanya. Namun, dia tak gentar. Ini adalah bagian dari rencananya.Damian duduk sendirian di sudut bar, dikelilingi oleh sekelompok wanita yang tampak bersemangat. Mata Merry menyapu ruangan, mencari posisi terbaik untuk mendekati suaminya tanpa terlalu mencolok.Setelah menemukan sudut yang tepat, Merry mendekati Damian dengan langkah percaya diri. "Permisi," sapanya dengan suara yang lembut namun tegas.Damian menoleh dan matanya melebar kaget saat melihat wanita cantik yang berdiri di hadapannya. "Oh, maaf,
Merry menatap Eric dengan mata yang memancarkan ketidakpercayaan. "Apa yang kamu katakan?" desisnya, suaranya penuh dengan ketegangan.Eric menelan ludah, mencoba untuk menjelaskan. "Merry, aku tahu ini sulit untuk dipercaya, tapi Damian... dia memiliki kekuatan yang lebih besar dari yang kita pikirkan. Dia... dia terlibat dalam kematian ayahmu," ucapnya dengan suara terbata-bata.Merry menggelengkan kepala, tidak percaya pada apa yang ia dengar. "Tidak mungkin. Damian adalah suamiku. Dia tidak akan melakukan hal seperti itu," protesnya keras.Eric mengangguk tegas. "Merry, aku juga tidak percaya pada awalnya. Tapi bukti-bukti yang aku temukan tidak bisa dipungkiri. Damian memiliki motif untuk membunuh ayahmu," jelasnya, mencoba meyakinkan Merry.Mata Merry berkaca-kaca, ia merasa seperti dunia ini tiba-tiba runtuh di sekelilingnya. "Tapi... Veronica?" tanyanya, mencoba mencerna semua informasi yang diberikan Eric.Eric menghela napas. "Veronica adalah salah satu pengikut setia
Beberapa hari telah berlalu sejak pemakaman Oliver. Kediaman Merry menjadi sunyi dan hening, hanya menyisakan kenangan yang menghantui setiap sudut rumah. Merry duduk di dekat jendela, tatapannya kosong menatap ke arah luar. Dia belum bisa sepenuhnya menerima kenyataan bahwa Oliver telah pergi selamanya. Setiap hari terasa seperti mimpi buruk yang tidak pernah berakhir.Damian kembali datang. Dia tampak kusut dan lelah, matanya menunjukkan rasa bersalah yang mendalam. Setiap hari, dia datang ke rumah Merry, berharap bisa mendapatkan pengampunan. Tetapi Merry selalu diam, menolak untuk berbicara dengannya.Hari itu tidak berbeda. Damian mengetuk pintu dan masuk tanpa menunggu jawaban. Dia menemukan Merry di tempat yang sama seperti kemarin, duduk di dekat jendela dengan tatapan kosong."Merry," kata Damian dengan suara serak, "tolong dengarkan aku. Aku tahu aku telah melakukan kesalahan besar. Aku benar-benar menyesal."Merry tidak mengalihkan pandangannya dari jendela. Diamnya te
Damian berjalan gontai keluar dari kamar rumah sakit tempat Nyonya Lady Eleanor terbaring kaku. Pakaian lusuhnya berlumuran darah kering, bekas dari tindakannya yang keji terhadap Oliver. Langkahnya terasa berat, seolah setiap langkah menariknya lebih dalam ke dalam pusaran kegelapan dan keputusasaan. Dengan pikiran kacau, dia tahu bahwa satu-satunya orang yang bisa memberinya jawaban atau bahkan sedikit pengertian adalah Merry.Damian menyalakan mesin mobilnya dan mengemudi tanpa tujuan yang jelas, hanya mengikuti insting yang membawanya ke rumah sakit tempat Oliver dirawat. Sesampainya di sana, dia melihat kerumunan orang berkumpul di depan ruang ICU. Di tengah kerumunan itu, Damian melihat Merry, yang sedang menangis histeris, bahunya bergetar hebat.Hati Damian mencelos. Meski dalam keadaan mabuk dan penuh kebencian, pemandangan Merry yang berduka membuatnya merasakan tusukan rasa bersalah yang mendalam. Dengan langkah limbung, dia mendekati Merry, mencoba menyusun kata-kata
Senja mulai turun ketika Damian berkendara tanpa tujuan di jalanan kota. Kepalanya berat akibat terlalu banyak minum alkohol, dan pikirannya dipenuhi oleh kebencian dan kepahitan. Dalam keadaan mabuk, Damian tidak bisa berhenti memikirkan kekalahan dan penghinaan yang dia rasakan sejak mengetahui bahwa dia hanya anak angkat Sebastian Herrington. Semua itu diperparah oleh rasa dendamnya terhadap Oliver, yang menurutnya telah merebut segalanya, termasuk Merry.Dengan kemarahan yang membara di dalam dadanya, Damian menggenggam belati yang disembunyikannya di dalam jaket. Di dalam benaknya, dia merasa hanya ada satu cara untuk menyelesaikan semua ini: menghabisi Oliver.Secara kebetulan, ketika dia berbelok ke sebuah jalan sepi, Damian melihat sosok yang sangat dikenalnya. Oliver sedang berdiri di tepi jalan, tampaknya sedang menunggu seseorang. Hati Damian semakin gelap, dan dia memutuskan inilah saatnya untuk menyelesaikan semuanya.Damian menghentikan mobilnya dengan kasar, menyeba
Di dalam ruangan yang mewah namun terasa sesak oleh ketegangan, Damian berdiri dengan amarah yang membara di matanya. Berhadapan dengan ibunya, Lady Eleanor, dia tidak bisa menahan kemarahan yang telah membara dalam dirinya sejak mengetahui kebenaran yang menghancurkan dunianya."Bagaimana mungkin, Ibu?" suara Damian menggema di seluruh ruangan, penuh dengan kemarahan dan kekecewaan. "Selama ini aku percaya bahwa aku adalah pewaris sah dari segala harta dan kekuasaan Sebastian Herrington. Kenyataannya, aku hanyalah anak angkat?"Lady Eleanor, meskipun terlihat tenang di luar, sebenarnya merasakan beban berat di dalam hatinya. Dia tahu hari ini akan datang, tapi tidak pernah membayangkan seberapa keras dampaknya bagi Damian. Dia menatap putranya yang marah dengan mata yang penuh dengan campuran kasih sayang dan rasa bersalah."Damian, dengarkan aku," kata Lady Eleanor dengan suara tenang namun tegas. "Keputusan untuk mengadopsimu adalah keputusan yang kami buat dengan cinta. Sebast
Dengan tekad yang kuat untuk melindungi Merry dari segala ancaman yang mungkin datang, Oliver semakin mempersiapkan dirinya untuk masa depan bersama Merry. Dia ingin memberikan Merry kehidupan yang tenang dan aman, tanpa rasa cemas yang menghantui.Maka, Oliver mengajukan sebuah rencana yang mengejutkan kepada Merry. Dia ingin Merry bertemu dengan Elena, mantan simpanannya, untuk menyelesaikan segala macam hubungan yang masih tersisa di antara mereka. Meskipun awalnya terkejut dan takut, Merry akhirnya setuju setelah dipastikan oleh Oliver bahwa ia akan selalu berada di sampingnya, bersama dengan para pengawal yang siap mengawasi dari jarak yang jauh.Ketika hari pertemuan tiba, suasana di sekitar Merry terasa tegang dan penuh ketegangan. Dia mencari-cari Elena dengan hati yang berdebar-debar, terus memeriksa sekelilingnya dengan pandangan waspada.Tiba-tiba, Merry melihat sosok Elena yang berdiri di ujung jalan, menunggunya dengan senyuman yang dingin dan penuh arti. Hatinya berdeg
Merry memandang sekitar ruangan yang luas dan mewah dengan sedikit rasa cemas. Tempat yang tertera di alamat itu terasa sunyi dan aneh. Suasana yang seharusnya ramai dengan aktivitas pemotretan, kini hanya diisi dengan hening yang menakutkan. Dengan gaun indah yang menghiasi tubuhnya, ia melangkah masuk dengan hati-hati, tali gaunnya menggantung di lehernya dengan anggun.Di tengah ruangan, seorang pria duduk dengan punggungnya menghadap ke arah Merry. Tubuhnya terbungkus dalam jas hitam yang elegan, memberinya aura misterius yang mengintimidasi. Merry merasakan detak jantungnya semakin cepat, dan ia menahan nafasnya saat pria itu mulai memutar kursi.Ketika kursi itu berputar, Merry menahan teriakan terkejutnya. Tidak disangka-sangka, pria itu adalah Damian, mantan suaminya sendiri. Mata Damian terlihat dingin dan penuh dengan kejahatan, membuat Merry merasa takut."D-Damian?" desis Merry, mencoba mengatasi kebingungannya.Damian tersenyum sinis, menatap Merry dengan pandangan t
Keesokan harinya, Oliver—masih dengan identitas sebagai Adam—melangkah memasuki ruang rapat besar di lantai tertinggi gedung perusahaan. Ruangan itu dipenuhi para pemegang saham, eksekutif, dan pengacara. Atmosfer terasa tegang, semua mata tertuju pada meja di depan di mana Damian duduk dengan penuh percaya diri.Oliver mengambil tempat duduk di sisi belakang ruangan, memastikan tidak ada yang memperhatikannya terlalu dekat. Saat semua orang sudah berkumpul, Damian berdiri dan membuka pertemuan."Selamat pagi, semua. Terima kasih sudah datang ke pertemuan pemegang saham hari ini. Seperti yang kalian tahu, kita di sini untuk membahas penjualan sebagian besar saham perusahaan ini."Merry, yang duduk di samping Oliver, merasa jantungnya berdegup kencang. Ini adalah momen yang telah mereka persiapkan dengan hati-hati. Oliver menatap Damian dengan mata tajam, bersiap untuk konfrontasi.Damian melanjutkan, "Sebastian Herrington, ayah saya, telah meninggalkan perusahaan ini dalam kondisi ya
Keesokan harinya, di kedai roti milik Merry, suasana terasa lebih tegang dari biasanya. Merry tak bisa berhenti memikirkan kejadian di taman bunga kemarin. Ketika pintu kedai berdering menandakan seorang pelanggan masuk, Merry mengangkat wajahnya dan melihat Adam, atau Oliver, berdiri di sana dengan tatapan serius."Adam... atau Oliver," kata Merry dengan suara pelan, mencoba menyesuaikan diri dengan kenyataan baru.Oliver mendekat dengan langkah mantap. "Panggil aku Adam di sini, Merry. Untuk sekarang, kita harus menjaga rahasia ini."Merry mengernyit, rasa penasaran jelas terlihat di wajahnya. "Tapi kenapa? Jika kau adalah Oliver, semua orang berhak tahu. Ini adalah kebenaran yang telah lama kita cari."Oliver duduk di salah satu kursi, menatap Merry dengan intens. "Merry, tolong dengarkan aku. Ada alasan mengapa aku meminta ini. Aku ingin menyelesaikan masalah keluargaku dengan caraku sendiri. Mengungkap identitasku sekarang hanya akan menambah kerumitan."Merry menatapnya den
Merry merasa semakin penasaran dengan jawaban Adam. Tatapannya memandang Adam dengan intens, mencari petunjuk dalam ekspresi wajahnya. Namun, Adam tetap misterius."Aku mengerti, Adam. Tapi, aku merasa ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku," ujar Merry dengan hati-hati.Adam mengangguk, tetapi senyumnya tetap terukir di bibirnya. "Mungkin suatu hari nanti, Merry. Sekarang, yang penting adalah kita menikmati waktu bersama."Meskipun tidak sepenuhnya puas dengan jawaban itu, Merry memilih untuk menuruti permintaan Adam. Setidaknya untuk saat ini.Mereka melanjutkan obrolan mereka dengan topik yang lebih ringan, berbagi cerita tentang kehidupan mereka masing-masing.Tak terasa waktu berlalu dengan cepat. Suasana kedai roti terasa hangat dan nyaman, diiringi aroma kopi yang menyegarkan dan tawa pelanggan yang riang.Merry bahkan melupakan sejenak segala permasalahan yang mengganggu pikirannya, terpesona dengan kehadiran Adam yang membuatnya merasa tenang.Namun, saat Adam menyebutkan