Anak pertama meneruskan usaha keluarga, anak kedua menjadi pengacara andal, dan anak ketiga fokus pada penelitian ilmiah."Kamu tadi sore ke tempat Arnold, ada kejadian apa?" tanya Yenny sambil mengerutkan kening, menekankan tiap kata."Ada yang aneh darinya," jawabnya."Aneh gimana?" tanya Adelio penasaran."Waktu aku antar makanan tadi, dia tiba-tiba minta dua porsi! Dua porsi, kamu tahu, 'kan?!"Eh ....Adelio tidak mengerti. "Dua porsi, terus kenapa?""Instingku bilang, anak kita ini mungkin sudah punya pacar!"Kalau tidak, mana mungkin dia minta dua porsi?Adelio awalnya mengira ini berita besar yang mengejutkan, tapi ternyata hanya soal tambahan satu porsi makanan. "Cuma minta tambahan satu porsi makan, kenapa harus heboh? Siapa tahu dia mau makan untuk dua kali, atau mungkin dia bawakan untuk temannya. Kamu ini mikir kejauhan."Sambil bicara, Adelio menuangkan teh ke cangkirnya, menghirup aromanya, lalu mencicipi perlahan. Sikap santainya sangat kontras dengan kegelisahan Yenny.
Mendengar jawaban itu, Yenny tidak bisa menahan diri untuk berkomentar, "Lingkungan di gedung ini benar-benar parah! Sampah berserakan di mana-mana, kotor dan bau. Nggak ada yang bersihkan, ya? Lihat dindingnya, sudah seperti tembok hitam. Pegangannya penuh debu, pasti nggak pernah dilap ...."Nadine melirik jam, menyadari bahwa jika dia terus di sini, dia akan terlambat ke kampus. Melihat bahwa Yenny baik-baik saja, dia tidak ingin mendengar lebih banyak komentar lagi dan memilih untuk langsung pergi.Melihat punggung gadis itu menjauh, Yenny sempat tertegun sejenak, lalu tanpa sadar mengerucutkan bibirnya. Rasa diabaikan itu semakin jelas terasa.Dia mendongak melihat tangga yang masih harus dia lalui. Masih ada beberapa lantai lagi, semuanya dengan kondisi seperti ini ....Yenny menarik napas panjang, menggigit bibirnya, dan melanjutkan mendaki tangga dengan sepatu hak tinggi dengan enggan.Sambil mendaki, dia terus menggerutu, "Tinggal di apartemen luas yang bagus itu nyaman, kenap
"Pak Arnold, selamat malam," sapa Nadine."Kenapa pulangnya malam sekali?" tanya Arnold."Aku tadi habis dari perpustakaan," jawab Nadine sambil berjalan bersama Arnold menuju lantai tujuh."Ngomong-ngomong, kotak makan itu sudah aku cuci bersih. Tunggu sebentar, ya ...."Nadine masuk ke apartemennya dan segera kembali dengan kotak makan di tangannya. Arnold menerimanya sambil tersenyum. Tiba-tiba dia bertanya, "Belakangan ini, Bu Freya lagi bawa kalian untuk kerja di proyek penelitian, ya?""Iya, tapi progresnya agak ....""Aku sempat diskusi sama dia. Pendekatannya ada sedikit masalah. Tapi kamu tahu kan sifatnya? Kalau belum sampai tahap terakhir untuk membuktikan, dia nggak akan mundur."Nadine mengangguk dan menyadari hal yang sama. Dia bahkan sudah menyarankan Freya untuk mempertimbangkan ulang, tapi Freya berpendapat tanpa data yang cukup, mengganti arah penelitian hanya akan menyia-nyiakan usaha bertahun-tahun."Sabtu ini ada waktu? Kita bisa makan bersama dan diskusi bagaimana
"Akhirnya selesai juga!" seru Mikha sambil menutup laptopnya dan menghela napas panjang lega. Di sampingnya, sudah ada tumpukan kaleng minuman kosong.Darius menatap kaleng-kaleng itu sejenak sebelum berkata, "Ayo, aku traktir makan."Nadine dan Mikha tidak sungkan untuk menerima tawarannya. Mereka tahu bahwa kerja sama di antara mereka akan berlangsung lama, jadi akan ada banyak kesempatan untuk saling mentraktir di masa depan.Di restoran mewahLampu gantung kristal memancarkan kilauan yang memukau dan alunan piano yang lembut memenuhi ruangan."Apakah kalian sudah reservasi?" tanya seorang pelayan."Saya sudah reservasi kemarin," jawab Darius, sambil menunjukkan informasi reservasi di ponselnya. Pelayan itu segera mengantar mereka ke meja yang telah disiapkan.Bagi Nadine, tempat ini tidak terlalu asing. Dia tahu bahwa restoran ini memiliki reputasi terbaik di kelasnya, tetapi harga menunya juga termasuk yang tertinggi.Sementara itu, Mikha duduk dengan penasaran. Dia melihat ke sek
Setelah hampir selesai makan, Darius bangkit untuk pergi membayar tagihan. Namun, ketika mereka bersiap untuk meninggalkan restoran, mereka bertemu dengan Kaeso, Nella, Jinny, dan Marvin yang baru masuk.Clarine tidak terlihat bersama mereka, tetapi itu tidak mengherankan. Restoran semewah ini bukanlah tempat yang biasa dia kunjungi."Eh, eh, eh, bukannya ini tiga murid terakhir Bu Freya?" Kaeso langsung menyapa dengan nada mengejek. Senyum di wajahnya tampak ramah, tetapi nadanya penuh sindiran.Nadine, Mikha, dan Darius tidak menggubrisnya.Senyum Kaeso sempat kaku sejenak, tetapi dia tetap melanjutkan, "Kebetulan sekali ya, kita ketemu lagi. Eh, mana Bu Freya? Oh, aku tahu, pasti beliau nggak rela bayar mahal buat traktir kalian di restoran sebagus ini, 'kan? Nggak kayak kita. Hari ini semua biaya ditanggung sama Bu Diana."Dia melanjutkan dengan nada sombong, "Kamu tahu kan, kelompok kita dapat prioritas dari fakultas. Tahun ini sebagian besar dana penelitian diberikan ke kelompok
Kaeso panik. "Kamu ... kamu ngapain?! Percaya nggak kalau aku bisa laporin kamu atas pelanggaran privasi?!"Mikha menanggapi dengan santai, "Ini tempat umum dan aku cuma ngumpulin bukti secara sah. Silakan laporin aku, aku kan cuma rakyat jelata yang rajin, makasih.""Kamu ... kalian ...." Kaeso sampai terengah-engah.Nella yang melihat Mikha benar-benar merekam dengan ponselnya, mengerutkan kening. "Kaeso, kamu itu kenapa sih? Ada penyakit?"Kaeso melongo. "Hah?""Kalau nggak tahu, jangan asal ngomong. Tadi itu kita semua bayar sendiri-sendiri, apa yang mau kamu klaim? Sudah, jangan bikin drama di sini. Cepat makan, selesai langsung balik ke kampus!"Meskipun merasa kesal, Kaeso akhirnya pergi. Namun, dia tidak lupa melotot penuh kebencian ke arah Nadine dan kawan-kawan sebelum melangkah menjauh.Hanya Marvin yang tetap diam di tempat. Bayar sendiri-sendiri ...."Maaf, aku baru ingat ada urusan. Aku balik duluan. Kalian makan aja." Marvin mengucapkannya dengan terburu-buru, lalu melar
Mobil berhenti di ujung gang. Nadine turun, menyusul Darius dan Mikha yang sudah lebih dulu keluar. Nadine melangkah menuju bangunan apartemennya.Cahaya bulan bagaikan aliran air yang lembut, dengan bintang-bintang yang tersebar jarang di langit malam. Angin membawa hawa dari musim panas sehingga membuat suasana sama sekali tidak terasa sejuk.Tiba-tiba, langkahnya terhenti.Di depan apartemen, berdiri seorang pria dengan tangan dimasukkan ke dalam saku dan bersandar santai di bawah pohon. Begitu melihat Nadine, dia langsung berdiri tegak.Senyum kecil terlukis di wajahnya. "Kaget lihat aku di sini?" tanyanya. Stendy berjalan mendekat.Nadine tertegun beberapa detik. "Sedikit.""Sudah mulai terbiasa dengan jadwal kuliahmu?""Sudah.""Jadwalnya padat, ya?"Pertanyaannya langsung mengenai titik kelemahan Nadine. Bukan hanya padat, jadwalnya hampir tidak memberinya ruang untuk bernapas!Stendy mengangkat bahu santai. "Dari ekspresimu, aku sudah tahu jawabannya.""Wajahku sejelas itu?" Na
Begitu ucapan itu dilontarkan, Nadine langsung menyesal. Namun, nasi sudah menjadi bubur.Stendy menyahut, "Kamu dong." Benar, dia tertarik pada Nadine.Nadine mendongak memandang langit-langit.Stendy menyunggingkan bibirnya. "Jangan pura-pura, aku tahu kamu mendengarnya.""Apa yang kamu bilang? Nggak dengar, ehem! Lain kali jangan bilang begitu lagi."Stendy tidak bisa menahan tawa melihatnya berpura-pura bodoh. "Kamu nggak akan bisa terus menghindar.""Eh." Nadine menyela, "Aku lupa bawa tisu, kamu ada nggak?""Ada.""Minta satu, terima kasih."Stendy tersenyum nakal. "Sekarang kamu sudah bisa dengar?"Nadine mematung. Dia benar, Stendy mencarinya memang karena ada urusan. Namun, dia baru membahasnya setelah teh sudah hampir habis."Pak Mario sedang mengerjakan proyek, tapi sudah terhambat dua bulan tanpa kemajuan apa pun. Dia ingin minta pendapatmu, ini semua datanya." Sambil berbicara, Stendy menyerahkan sebuah USB.Nadine meraihnya, tetapi Stendy tidak segera melepaskannya, jadi
Baik judul ataupun variasi lagunya, Stendy sama sekali tidak bisa fokus. Cahaya redup di dalam aula konser bisa menjadi penyamaran yang terbaik, sehingga dia bisa menatap Nadine dengan tatapan yang lembut serta penuh perasaan dan tanpa perlu takut ketahuan.Stendy secara refleks menatap tangan Nadine yang putih. Dia berkali-kali ingin menggenggam tangan Nadine dengan erat, lalu tidak pernah melepaskannya lagi. Namun, setelah memberontak dengan pikirannya, pada akhirnya tetap logikanya yang menang. Dia mengingatkan dirinya untuk bertahan sampai melewati malam ini dan jangan gegabah agar tidak menakuti Nadine.Dua jam mungkin adalah siksaan dan ujian kesabaran bagi sebagian orang, tetapi itu adalah pesta untuk memanjakan indra yang langka bagi Nadine. Bahkan setelah konser sudah selesai, dia tetap masih tenggelam dalam suasananya."Apa kamu menyadari sesuatu dari lagu Croatian Rhapsody? Ternyata dia masukkan unsur musik rok juga, romantis dan energik. Terutama di bagian tengah lagunya, s
"Uhuk uhuk ...." Nadine langsung tersedak. Mereka sedang makan sambil mendengar cerita yang seru, tetapi topiknya malah tiba-tiba dialihkan ke dirinya. Pokoknya perasaannya tidak enak."Kami bukan sepasang kekasih, tapi makan malam ini bisa dibilang gratis untuk Tuan Stendy karena ...."Setelah mengatakan itu, Nadine tersenyum dan menatap pemilik restoran. "Aku yang traktir."Setelah tertegun sejenak, pemilik restoran itu menatap Stendy dengan tatapan seolah-olah berkata anak ini akhirnya kena batunya dan pantas menerimanya.Begitu selesai makan, Nadine langsung pergi membayar tagihan makanannya.Pemilik restoran itu menarik Stendy ke samping dan berbisik, "Kawan, kamu boleh terus begini. Ayo berusaha, segera dapatkan gadis itu. Kalau lain kali kamu masih nggak dapat gratisan lagi, jangan salahkan aku meremehkanmu."Stendy pun menghela napas. "Kamu pikir aku nggak mau?""Wah, akhirnya ada gadis di dunia ini yang bisa membuatmu kelabakan. Sungguh langka. Baiklah, biar teman lamamu ini y
Stendy menyahut, "Aku pikir-pikir dulu, nanti baru kita putuskan setelah ketemu.""Oke." Nadine mengakhiri panggilan, lalu langsung memakai jaket bulu tebal dan sepatu bot musim dingin, juga mengambil tas. Dia keluar dalam waktu kurang dari tiga menit!Cuaca tidak sedingin sebelumnya lagi, tetapi matahari masih tidak muncul.Begitu turun, Nadine langsung melihat Stendy berdiri di ujung gang, bersandar santai di samping mobil Maybach edisi terbatas. Pria yang memakai mantel hitam itu pun memutar-mutar kunci mobilnya.Begitu melihat Nadine, tubuh Stendy langsung tegak. Nadine tersenyum dan berjalan mendekat. Wajah Stendy yang tadi terlihat agak dingin langsung berubah cerah, bibirnya tersenyum.Begitu masuk mobil, Stendy menyerahkan sekantong sarapan, "Nih, susu kedelai dan roti, makan selagi masih hangat."Nadine menaikkan alisnya. "Pak Stendy bukan cuma jadi sopir, tapi juga beliin aku sarapan? Ini layanan bintang lima sih. Aku nggak berani menikmatinya."Stendy terkekeh-kekeh. "Kenapa
"Nad, sejak pertama kali kita ketemu di kafe, aku ....""Eh? Pak Arnold, Nadine, kok berdiri di sana? Nggak naik?" Tetangga mereka yang tinggal di lantai bawah, datang dengan membawa banyak kantong belanjaan. Begitu melihat mereka, dia langsung menyapa dengan ramah."Dingin banget ya hari ini, aku hampir beku .... Tapi karena diskon, aku tetap keluar malam-malam begini!"Supermarket besar di dekat sana memang sering mengadakan diskon besar setelah pukul 9 malam. Sebagai orang yang pintar mengatur uang, wanita ini sering keluar malam untuk belanja hemat.Situasi sekarang jelas tidak cocok untuk melanjutkan obrolan mereka. Arnold terpaksa menelan kembali semua yang ingin dia ucapkan tadi."Ayo, kita sama-sama naik!" ajak wanita itu.Nadine melangkah maju, langsung mengambil salah satu kantong belanjaan dari tangan wanita itu. "Biar kubantu ...."Namun, Arnold langsung mengambil alih kantong belanjaan itu dari tangan Nadine. Dengan cepat, dia berjalan di depan mereka. "Biar aku saja."Wan
Nadine tersenyum mencela dirinya sendiri.Arnold tiba-tiba terdiam, napasnya tercekat. Entah kenapa, senyuman kecil di ujung bibir gadis itu membuat hatinya terasa panik. Seolah-olah dia baru saja melewatkan sesuatu yang sangat penting.Mereka meninggalkan pabrik saat senja hari. Satpam yang berjaga sudah berganti. Paman ramah penuh canda tawa tadi sudah pulang, digantikan oleh seorang pemuda yang tampak pemalu.Setelah menerima kunci dari mereka, pemuda itu meletakkannya, lalu membukakan pintu gerbang untuk mereka.Langit belum sepenuhnya gelap. Cahaya senja menyelimuti cakrawala dalam warna kelabu suram. Di sepanjang jalan, cabang-cabang pohon yang gundul menambah kesan sepi.Nadine dan Arnold berjalan berdampingan tanpa berbicara. Keheningan mengisi jarak di antara mereka. Arnold sempat membuka mulut, tetapi tidak tahu harus mulai dari mana.Dia bisa merasakan perubahan suasana hati Nadine, tetapi tidak tahu penyebabnya. Jadi, yang bisa dia lakukan hanyalah diam dan berhati-hati aga
Diskusi akademik antara keduanya akhirnya mencapai akhir. Kelly tidak bisa menahan diri untuk menghela napas panjang."Lain kali jangan ajak aku ke acara akademik kayak gini lagi ya. Buat capek saja ...." Kelly bergumam pelan, lalu mengangkat tangan memberi isyarat kepada pramusaji untuk menyajikan makanan.Seperti yang sudah diduga, semuanya adalah makanan favorit Nadine!Selesai makan, Kelly awalnya ingin jalan-jalan sebentar. Namun, baru saja keluar dari restoran, dia langsung menerima telepon kerja. "Iya, iya! Tunggu sehari lagi bisa mati ya?"Meskipun mengomel, dia tetap buru-buru pergi ke kantor setelah menutup telepon. Sebelum pergi, dia tidak lupa berpesan, "Kak Arnold, hari ini ulang tahun Nadine, kamu temani dia ya! Pokoknya turuti semua yang dia mau!""Oke." Setelah melihat Kelly pergi, Arnold tersenyum menatap Nadine. "Mau ke mana?""Benaran bisa ke mana saja?" Mata Nadine berbinar.Arnold berpikir sebentar. "Selama masih dalam batas kemampuanku.""Kalau begitu, boleh nggak
"Ayo, biar aku pakaikan untukmu." Kelly memasangkan gelang itu ke pergelangan tangan Nadine yang ramping. Gelang itu membuat kulit putih Nadine terlihat semakin bersinar. "Aku tahu model dan warna ini cocok banget sama kamu!"Nadine menunduk melihatnya, semakin dilihat semakin suka.Kelly tiba-tiba bertanya, "Kamu kira ini udah selesai?""Hm?" Nadine mengangkat kepala dengan bingung. Masih ada acara lain?Kelly tersenyum tanpa menjawab, lalu mengangguk kecil ke arah pramusaji. Detik berikutnya, lagu ulang tahun mulai mengalun di dalam ruang privat.Diiringi musik yang lembut, Arnold mendorong masuk sebuah kue dan berjalan ke arah mereka. Di atas krim putih dan merah muda, berdiri boneka fondan yang sangat cantik.Matanya besar, ekspresinya penuh percaya diri dan ceria. Jelas, itu versi kartun dari Nadine sendiri. Di sekelilingnya pun dihiasi mutiara merah muda. Sederhana, tetapi sangat indah."Pak Arnold?" Nadine tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.Arnold menatapnya, bibirnya meny
Irene berkata, "Sayang, selamat ulang tahun! Sebenarnya, aku dan ayahmu mau datang ke Kota Juanin dua hari lebih awal untuk merayakan ulang tahunmu.""Tapi, penerbit mendadak kasih tahu Seven Days akan dicetak ulang dan mereka mengirim 3 kotak penuh halaman depan untuk kutandatangani. Jadi, setelah berdiskusi dengan ayahmu, kami memutuskan untuk menunda kunjungan dan akan datang lain kali."Irene juga merasa tidak berdaya. Buku barunya laris manis dan sudah cetakan ketiga. Sekarang di ruang kerjanya, masih ada ribuan halaman depan yang menunggu tanda tangannya. Kadang, punya buku yang laris juga menjadi tantangan tersendiri.Nadine mengedipkan matanya dengan penuh pengertian. "Ibuku terkenal! Wajar dong kalau sibuk!"Nada dan ekspresi bangganya membuat Irene tertawa."Duh, kamu nggak tahu! Sekarang ibumu benar-benar terkenal! Beberapa waktu lalu, ada seorang penggemar fanatik berhasil mendapat nomor telepon ibumu.""Begitu menelepon, dia langsung bilang ingin mendapat buku dengan tanda
Di tengah musim dingin yang menusuk, kompleks apartemen tua mulai sepi setelah pukul 9 malam. Lampu jalan di sekitar sering mati. Karena khawatir akan keselamatannya, Arnold selalu turun menunggunya setiap kali ada waktu.Meskipun waktu kepulangan Nadine tidak selalu sama, biasanya hanya selisih 20 atau 30 menit. Namun, malam ini dia terlambat hingga 2 jam, bahkan turun dari mobil Stendy. Arnold menebak, pasti ada sesuatu yang terjadi di jalan.Angin malam bertiup, membawa hawa dingin yang menusuk. Melihat ujung hidung Nadine yang merah karena kedinginan, Arnold berkata, "Ayo masuk, di luar terlalu dingin. Kita bicara di dalam saja."Nadine mengangguk, meniup telapak tangannya yang dingin, lalu berbalik untuk mengucapkan selamat tinggal kepada Stendy.Di bawah sorot lampu malam, dua sosok berjalan berdampingan, langkah mereka pun seirama. Lampu di tangga menyala satu per satu, samar-samar terdengar percakapan ringan.Stendy tetap berdiri di tempatnya, menatap ke arah mereka pergi. Dala