Mikha berkata dengan suara pelan, "Yang namanya Nella ini ... nggak sederhana.""Kenapa begitu?" tanya Nadine penasaran."Setelah pengumuman penerimaan mahasiswa pascasarjana keluar, aku langsung bergabung di grup mahasiswa baru. Di sana, nama yang paling banyak dibicarakan adalah dia, Nella ...."Dia adalah lulusan unggulan kampus ini. Meskipun IPK-nya tidak mencapai standar untuk diterima langsung di program pascasarjana, dia diterima secara khusus oleh fakultas karena selama kuliah sarjana, dia berhasil menerbitkan enam makalah di jurnal SCI.Dijuluki sebagai "gadis genius" dan "bintang baru akademik"."Jadi, dia yang sangat terkenal itu," komentar Mikha sambil mengamati dari jauh.Di antara kelompok lima mahasiswa baru itu, seorang pria, Kaeso, membuka percakapan sambil tersenyum lebar. "Oh, jadi Anda adalah Profesor Freya yang terkenal itu! Sungguh suatu kehormatan bertemu dengan Anda."Meskipun kata-katanya terdengar sopan, nada bicaranya menunjukkan kesan sebaliknya.Mikha menge
Ucapan itu tidak hanya menghina Kaeso, tetapi juga menyeret Diana dan murid-murid lainnya."Jadi kamu ini yang disebut mahasiswa pascasarjana tua, ya?" Diana akhirnya melirik Nadine dengan ekspresi menghina dan menyunggingkan senyum sinis. "Mulutmu memang tajam, tapi apakah kemampuanmu juga sebanding?"Kaeso menimpali, "Benar! Mahasiswa normal mana yang hampir umur 30 baru bisa masuk pascasarjana? Kalau bukan otaknya bermasalah, berarti memang nggak berbakat. Sekarang standar untuk dunia akademik sudah serendah ini?"Mendengar ucapannya, ekspresi Nadine tidak berubah. "Apakah otakku bermasalah atau nggak, itu bukan urusanmu. Tapi kamu jelas ... sakit."Darius yang diam sedari tadi, tiba-tiba ikut bicara, "Dan sakitnya seperti rabies ... menggigit siapa saja."Setelah itu, dia menatap langsung ke arah Diana yang memimpin kelompok tersebut. "Kalau aku jadi pemiliknya, anjing seperti ini yang nggak bisa diatur, sebaiknya cepat dibunuh. Jangan sampai suatu hari menggigit tuannya sendiri."
Setelah upacara pembukaan selesai, kehidupan Nadine sebagai mahasiswa pascasarjana pun resmi dimulai. Jadwal kuliah sangat padat. Dari pukul sembilan pagi hingga tengah hari, hampir tidak ada jeda.Pada hari pertama, Mikha nyaris terlambat masuk kelas. Dia datang dengan santai, mengenakan sandal berlubang dan celana pendek. Nadine tertegun sejenak sebelum mengingatkannya, "Mikha, kamu lupa ganti sepatu, ya?""Ah?" Mikha melirik ke bawah dan melihat sandal berlubangnya. "Nggak, memang ini. Kenapa?""Kamu ... pakai sandal ke kelas?""Iya, memangnya kenapa? Di tempatku, semua orang pakai sandal jepit dan celana pendek waktu musim panas. Aku bahkan sudah berusaha tampil lebih rapi dengan beli sandal berlubang ini."Darius melirik sekilas dan bertanya, "Rapi?"Mikha membalas dengan cepat, "Kenapa nggak rapi?!"Darius menatapnya sebentar sebelum menyerah. "Oke, terserah kamu saja."Mikha mendengus kecil. "Kamu nggak ngerti."Darius hanya menghela napas. Dia benar-benar tidak mengerti.Setela
Seorang pria tinggi dan tampan berdiri di depan Nadine dengan buket mawar kuning di tangannya. Namun, ekspresi Nadine terlihat tidak senang sama sekali.Dari kejauhan, Nella menyipitkan mata dan berdecak pelan. "Cantik memang punya keuntungan, ya. Baru beberapa hari masuk kuliah sudah ada yang ngejar?"Nella melirik Jinny di sebelahnya, lalu berkata dengan nada provokatif, "Omong-omong, kamu juga nggak kalah cantik, Jinny. Kok nggak ada yang ngasih bunga ke kamu?"Jinny tersenyum kecil, sama sekali tidak terpancing. "Hal beginian bisa dibandingkan?""Hmph! Sok kalem banget. Aku nggak percaya kalau kamu nggak iri!"Senyum Jinny tetap terjaga, tenang, dan tidak berubah. Nella mendengus, lalu berkata dengan nada dingin, "Terlalu berpura-pura malah jadi kelihatan munafik." Setelah itu, dia beranjak pergi dengan langkah lebar.Senyuman di wajah Jinny perlahan memudar.Tidak jauh dari sana, terlihat dua orang pria yang berdiri bersamaEden berkata, "Semua yang aku jelaskan tadi, sudah paham?
Setelah bergabung dengan Mikha dan Darius, Nadine menuju restoran kecil yang terkenal di media sosial bersama mereka.Saat makan siang, pengunjung tidak terlalu ramai, tetapi mereka tetap harus menunggu dua meja sebelum akhirnya mendapatkan tempat duduk.Sepanjang jalan, Mikha tampak berusaha menahan rasa penasaran. Namun, saat mereka menunggu makanan datang, dia akhirnya tidak bisa menahan diri lagi dan bertanya, "Kak Nadine, kamu kenal pria tampan yang ngasih bunga tadi itu, ya? Mawar kuningnya bagus banget, seleranya lumayan."Nadine mengangguk ringan, menjawab dengan tenang, "Iya, kenal. Dia mantan pacarku.""Hah?"Mikha tidak menyangka mendengar jawaban itu. Dia langsung terdiam dan tidak berani melanjutkan pertanyaan lebih jauh. Sebaliknya, Darius hanya melirik Nadine sebentar tanpa berkata apa-apa.Setelah selesai makan, mereka bertiga pergi ke kantor Freya. Berhubung tidak ada kelas pada sore hari, Freya berencana membawa mereka masuk ke laboratorium.Mikha langsung berseru, "S
Anak pertama meneruskan usaha keluarga, anak kedua menjadi pengacara andal, dan anak ketiga fokus pada penelitian ilmiah."Kamu tadi sore ke tempat Arnold, ada kejadian apa?" tanya Yenny sambil mengerutkan kening, menekankan tiap kata."Ada yang aneh darinya," jawabnya."Aneh gimana?" tanya Adelio penasaran."Waktu aku antar makanan tadi, dia tiba-tiba minta dua porsi! Dua porsi, kamu tahu, 'kan?!"Eh ....Adelio tidak mengerti. "Dua porsi, terus kenapa?""Instingku bilang, anak kita ini mungkin sudah punya pacar!"Kalau tidak, mana mungkin dia minta dua porsi?Adelio awalnya mengira ini berita besar yang mengejutkan, tapi ternyata hanya soal tambahan satu porsi makanan. "Cuma minta tambahan satu porsi makan, kenapa harus heboh? Siapa tahu dia mau makan untuk dua kali, atau mungkin dia bawakan untuk temannya. Kamu ini mikir kejauhan."Sambil bicara, Adelio menuangkan teh ke cangkirnya, menghirup aromanya, lalu mencicipi perlahan. Sikap santainya sangat kontras dengan kegelisahan Yenny.
Mendengar jawaban itu, Yenny tidak bisa menahan diri untuk berkomentar, "Lingkungan di gedung ini benar-benar parah! Sampah berserakan di mana-mana, kotor dan bau. Nggak ada yang bersihkan, ya? Lihat dindingnya, sudah seperti tembok hitam. Pegangannya penuh debu, pasti nggak pernah dilap ...."Nadine melirik jam, menyadari bahwa jika dia terus di sini, dia akan terlambat ke kampus. Melihat bahwa Yenny baik-baik saja, dia tidak ingin mendengar lebih banyak komentar lagi dan memilih untuk langsung pergi.Melihat punggung gadis itu menjauh, Yenny sempat tertegun sejenak, lalu tanpa sadar mengerucutkan bibirnya. Rasa diabaikan itu semakin jelas terasa.Dia mendongak melihat tangga yang masih harus dia lalui. Masih ada beberapa lantai lagi, semuanya dengan kondisi seperti ini ....Yenny menarik napas panjang, menggigit bibirnya, dan melanjutkan mendaki tangga dengan sepatu hak tinggi dengan enggan.Sambil mendaki, dia terus menggerutu, "Tinggal di apartemen luas yang bagus itu nyaman, kenap
"Pak Arnold, selamat malam," sapa Nadine."Kenapa pulangnya malam sekali?" tanya Arnold."Aku tadi habis dari perpustakaan," jawab Nadine sambil berjalan bersama Arnold menuju lantai tujuh."Ngomong-ngomong, kotak makan itu sudah aku cuci bersih. Tunggu sebentar, ya ...."Nadine masuk ke apartemennya dan segera kembali dengan kotak makan di tangannya. Arnold menerimanya sambil tersenyum. Tiba-tiba dia bertanya, "Belakangan ini, Bu Freya lagi bawa kalian untuk kerja di proyek penelitian, ya?""Iya, tapi progresnya agak ....""Aku sempat diskusi sama dia. Pendekatannya ada sedikit masalah. Tapi kamu tahu kan sifatnya? Kalau belum sampai tahap terakhir untuk membuktikan, dia nggak akan mundur."Nadine mengangguk dan menyadari hal yang sama. Dia bahkan sudah menyarankan Freya untuk mempertimbangkan ulang, tapi Freya berpendapat tanpa data yang cukup, mengganti arah penelitian hanya akan menyia-nyiakan usaha bertahun-tahun."Sabtu ini ada waktu? Kita bisa makan bersama dan diskusi bagaimana
Baik judul ataupun variasi lagunya, Stendy sama sekali tidak bisa fokus. Cahaya redup di dalam aula konser bisa menjadi penyamaran yang terbaik, sehingga dia bisa menatap Nadine dengan tatapan yang lembut serta penuh perasaan dan tanpa perlu takut ketahuan.Stendy secara refleks menatap tangan Nadine yang putih. Dia berkali-kali ingin menggenggam tangan Nadine dengan erat, lalu tidak pernah melepaskannya lagi. Namun, setelah memberontak dengan pikirannya, pada akhirnya tetap logikanya yang menang. Dia mengingatkan dirinya untuk bertahan sampai melewati malam ini dan jangan gegabah agar tidak menakuti Nadine.Dua jam mungkin adalah siksaan dan ujian kesabaran bagi sebagian orang, tetapi itu adalah pesta untuk memanjakan indra yang langka bagi Nadine. Bahkan setelah konser sudah selesai, dia tetap masih tenggelam dalam suasananya."Apa kamu menyadari sesuatu dari lagu Croatian Rhapsody? Ternyata dia masukkan unsur musik rok juga, romantis dan energik. Terutama di bagian tengah lagunya, s
"Uhuk uhuk ...." Nadine langsung tersedak. Mereka sedang makan sambil mendengar cerita yang seru, tetapi topiknya malah tiba-tiba dialihkan ke dirinya. Pokoknya perasaannya tidak enak."Kami bukan sepasang kekasih, tapi makan malam ini bisa dibilang gratis untuk Tuan Stendy karena ...."Setelah mengatakan itu, Nadine tersenyum dan menatap pemilik restoran. "Aku yang traktir."Setelah tertegun sejenak, pemilik restoran itu menatap Stendy dengan tatapan seolah-olah berkata anak ini akhirnya kena batunya dan pantas menerimanya.Begitu selesai makan, Nadine langsung pergi membayar tagihan makanannya.Pemilik restoran itu menarik Stendy ke samping dan berbisik, "Kawan, kamu boleh terus begini. Ayo berusaha, segera dapatkan gadis itu. Kalau lain kali kamu masih nggak dapat gratisan lagi, jangan salahkan aku meremehkanmu."Stendy pun menghela napas. "Kamu pikir aku nggak mau?""Wah, akhirnya ada gadis di dunia ini yang bisa membuatmu kelabakan. Sungguh langka. Baiklah, biar teman lamamu ini y
Stendy menyahut, "Aku pikir-pikir dulu, nanti baru kita putuskan setelah ketemu.""Oke." Nadine mengakhiri panggilan, lalu langsung memakai jaket bulu tebal dan sepatu bot musim dingin, juga mengambil tas. Dia keluar dalam waktu kurang dari tiga menit!Cuaca tidak sedingin sebelumnya lagi, tetapi matahari masih tidak muncul.Begitu turun, Nadine langsung melihat Stendy berdiri di ujung gang, bersandar santai di samping mobil Maybach edisi terbatas. Pria yang memakai mantel hitam itu pun memutar-mutar kunci mobilnya.Begitu melihat Nadine, tubuh Stendy langsung tegak. Nadine tersenyum dan berjalan mendekat. Wajah Stendy yang tadi terlihat agak dingin langsung berubah cerah, bibirnya tersenyum.Begitu masuk mobil, Stendy menyerahkan sekantong sarapan, "Nih, susu kedelai dan roti, makan selagi masih hangat."Nadine menaikkan alisnya. "Pak Stendy bukan cuma jadi sopir, tapi juga beliin aku sarapan? Ini layanan bintang lima sih. Aku nggak berani menikmatinya."Stendy terkekeh-kekeh. "Kenapa
"Nad, sejak pertama kali kita ketemu di kafe, aku ....""Eh? Pak Arnold, Nadine, kok berdiri di sana? Nggak naik?" Tetangga mereka yang tinggal di lantai bawah, datang dengan membawa banyak kantong belanjaan. Begitu melihat mereka, dia langsung menyapa dengan ramah."Dingin banget ya hari ini, aku hampir beku .... Tapi karena diskon, aku tetap keluar malam-malam begini!"Supermarket besar di dekat sana memang sering mengadakan diskon besar setelah pukul 9 malam. Sebagai orang yang pintar mengatur uang, wanita ini sering keluar malam untuk belanja hemat.Situasi sekarang jelas tidak cocok untuk melanjutkan obrolan mereka. Arnold terpaksa menelan kembali semua yang ingin dia ucapkan tadi."Ayo, kita sama-sama naik!" ajak wanita itu.Nadine melangkah maju, langsung mengambil salah satu kantong belanjaan dari tangan wanita itu. "Biar kubantu ...."Namun, Arnold langsung mengambil alih kantong belanjaan itu dari tangan Nadine. Dengan cepat, dia berjalan di depan mereka. "Biar aku saja."Wan
Nadine tersenyum mencela dirinya sendiri.Arnold tiba-tiba terdiam, napasnya tercekat. Entah kenapa, senyuman kecil di ujung bibir gadis itu membuat hatinya terasa panik. Seolah-olah dia baru saja melewatkan sesuatu yang sangat penting.Mereka meninggalkan pabrik saat senja hari. Satpam yang berjaga sudah berganti. Paman ramah penuh canda tawa tadi sudah pulang, digantikan oleh seorang pemuda yang tampak pemalu.Setelah menerima kunci dari mereka, pemuda itu meletakkannya, lalu membukakan pintu gerbang untuk mereka.Langit belum sepenuhnya gelap. Cahaya senja menyelimuti cakrawala dalam warna kelabu suram. Di sepanjang jalan, cabang-cabang pohon yang gundul menambah kesan sepi.Nadine dan Arnold berjalan berdampingan tanpa berbicara. Keheningan mengisi jarak di antara mereka. Arnold sempat membuka mulut, tetapi tidak tahu harus mulai dari mana.Dia bisa merasakan perubahan suasana hati Nadine, tetapi tidak tahu penyebabnya. Jadi, yang bisa dia lakukan hanyalah diam dan berhati-hati aga
Diskusi akademik antara keduanya akhirnya mencapai akhir. Kelly tidak bisa menahan diri untuk menghela napas panjang."Lain kali jangan ajak aku ke acara akademik kayak gini lagi ya. Buat capek saja ...." Kelly bergumam pelan, lalu mengangkat tangan memberi isyarat kepada pramusaji untuk menyajikan makanan.Seperti yang sudah diduga, semuanya adalah makanan favorit Nadine!Selesai makan, Kelly awalnya ingin jalan-jalan sebentar. Namun, baru saja keluar dari restoran, dia langsung menerima telepon kerja. "Iya, iya! Tunggu sehari lagi bisa mati ya?"Meskipun mengomel, dia tetap buru-buru pergi ke kantor setelah menutup telepon. Sebelum pergi, dia tidak lupa berpesan, "Kak Arnold, hari ini ulang tahun Nadine, kamu temani dia ya! Pokoknya turuti semua yang dia mau!""Oke." Setelah melihat Kelly pergi, Arnold tersenyum menatap Nadine. "Mau ke mana?""Benaran bisa ke mana saja?" Mata Nadine berbinar.Arnold berpikir sebentar. "Selama masih dalam batas kemampuanku.""Kalau begitu, boleh nggak
"Ayo, biar aku pakaikan untukmu." Kelly memasangkan gelang itu ke pergelangan tangan Nadine yang ramping. Gelang itu membuat kulit putih Nadine terlihat semakin bersinar. "Aku tahu model dan warna ini cocok banget sama kamu!"Nadine menunduk melihatnya, semakin dilihat semakin suka.Kelly tiba-tiba bertanya, "Kamu kira ini udah selesai?""Hm?" Nadine mengangkat kepala dengan bingung. Masih ada acara lain?Kelly tersenyum tanpa menjawab, lalu mengangguk kecil ke arah pramusaji. Detik berikutnya, lagu ulang tahun mulai mengalun di dalam ruang privat.Diiringi musik yang lembut, Arnold mendorong masuk sebuah kue dan berjalan ke arah mereka. Di atas krim putih dan merah muda, berdiri boneka fondan yang sangat cantik.Matanya besar, ekspresinya penuh percaya diri dan ceria. Jelas, itu versi kartun dari Nadine sendiri. Di sekelilingnya pun dihiasi mutiara merah muda. Sederhana, tetapi sangat indah."Pak Arnold?" Nadine tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.Arnold menatapnya, bibirnya meny
Irene berkata, "Sayang, selamat ulang tahun! Sebenarnya, aku dan ayahmu mau datang ke Kota Juanin dua hari lebih awal untuk merayakan ulang tahunmu.""Tapi, penerbit mendadak kasih tahu Seven Days akan dicetak ulang dan mereka mengirim 3 kotak penuh halaman depan untuk kutandatangani. Jadi, setelah berdiskusi dengan ayahmu, kami memutuskan untuk menunda kunjungan dan akan datang lain kali."Irene juga merasa tidak berdaya. Buku barunya laris manis dan sudah cetakan ketiga. Sekarang di ruang kerjanya, masih ada ribuan halaman depan yang menunggu tanda tangannya. Kadang, punya buku yang laris juga menjadi tantangan tersendiri.Nadine mengedipkan matanya dengan penuh pengertian. "Ibuku terkenal! Wajar dong kalau sibuk!"Nada dan ekspresi bangganya membuat Irene tertawa."Duh, kamu nggak tahu! Sekarang ibumu benar-benar terkenal! Beberapa waktu lalu, ada seorang penggemar fanatik berhasil mendapat nomor telepon ibumu.""Begitu menelepon, dia langsung bilang ingin mendapat buku dengan tanda
Di tengah musim dingin yang menusuk, kompleks apartemen tua mulai sepi setelah pukul 9 malam. Lampu jalan di sekitar sering mati. Karena khawatir akan keselamatannya, Arnold selalu turun menunggunya setiap kali ada waktu.Meskipun waktu kepulangan Nadine tidak selalu sama, biasanya hanya selisih 20 atau 30 menit. Namun, malam ini dia terlambat hingga 2 jam, bahkan turun dari mobil Stendy. Arnold menebak, pasti ada sesuatu yang terjadi di jalan.Angin malam bertiup, membawa hawa dingin yang menusuk. Melihat ujung hidung Nadine yang merah karena kedinginan, Arnold berkata, "Ayo masuk, di luar terlalu dingin. Kita bicara di dalam saja."Nadine mengangguk, meniup telapak tangannya yang dingin, lalu berbalik untuk mengucapkan selamat tinggal kepada Stendy.Di bawah sorot lampu malam, dua sosok berjalan berdampingan, langkah mereka pun seirama. Lampu di tangga menyala satu per satu, samar-samar terdengar percakapan ringan.Stendy tetap berdiri di tempatnya, menatap ke arah mereka pergi. Dala