"Duduklah. Jangan terlalu sungkan, aku nggak terbiasa," ucap Arnold.Nadine pun tertawa dan akhirnya duduk.Arnold berkata, "Aku suka masakanmu, traktiranmu ini adalah ucapan terima kasih terbaik."Setelah itu, Arnold mengangkat mangkuk sup dan membenturkannya dengan ringan ke mangkuk Nadine.Kemudian, Arnold mengambil sepotong sayap ayam yang digoreng hingga keemasan. Kulitnya renyah dengan tepi yang sedikit terbakar dan bagian dalamnya yang berair. Perpaduan ini begitu seimbang dan rasanya sangat kaya."Di luar sana, belum tentu ada sayap ayam seenak ini."Nadine tertawa karena merasa lucu. "Kalau begitu, kamu habiskan saja semua sayap ayamnya."Arnold mengangkat alis dan senyumannya semakin lebar. "Bukan masalah."Makan siang selesai. Sekarang sudah pukul 2 siang. Mereka sama-sama membereskan dapur dan keluar.Arnold akan pergi ke laboratorium, sementara Nadine pergi ke perpustakaan. Karena sejalan, mereka pun berangkat bersama.Sesampainya di persimpangan jalan, Arnold berbelok ke
Nadine lantas mengangkat ujung terusannya dan lebih berhati-hati kali ini.Orang-orang tidak menganggap serius insiden kecil tadi. Perhatian mereka lebih terfokus pada Nadine terluka atau tidak.Calvin langsung mengulurkan tangannya. "Nadine, kupinjamkan tanganku. Ada ototnya lho! Aku jamin kamu nggak akan jatuh."Hanya Olive yang memandang pinggang Nadine, seolah-olah ingin menembusnya dengan tatapannya.Saat makan, Wilfred memperhatikan bahwa Olive hanya makan sedikit. Dia khawatir Olive merasa tidak enak badan, jadi bertanya, "Kenapa hari ini makan sedikit sekali? Maagmu kambuh lagi?"Olive sering melewatkan waktu makan dan Wilfred sudah terbiasa mengingatkannya."Makanan hari ini nggak pedas atau berminyak kok. Bagus untuk pencernaan. Nah, ini makanan favoritmu ....""Bisa diam nggak sih?" Olive mendorong tangan Wilfred. "Aku cuma nggak mau makan saja. Kenapa kamu cerewet sekali? Apa aku nggak boleh memutuskan sendiri mau makan atau nggak?"Tangan Wilfred yang sedang mengambil maka
Karen yang begitu galak tidak mungkin menerima kerugian seperti itu. Hari itu juga, dia langsung pergi ke kantor agen properti itu, menuntut agar agen muda itu keluar.Namun, penanggung jawab memberitahukan bahwa agen itu sudah mengundurkan diri tiga hari yang lalu.Karena tidak punya cara lain, Karen datang ke kantor dan membuat keributan setiap hari, bahkan mengajak kerabat dan teman-temannya membawa spanduk di luar. Dengar-dengar, kejadian ini sangat heboh.Manajer tidak bisa berbuat apa-apa, jadi akhirnya memberi tahu Karen alamat tempat tinggal Devin. Karen mengikuti petunjuk itu dan datang ke rumahnya.Namun, Devin sama sekali tidak merasa bersalah dan berkata dengan percaya diri, "Ngapain kamu ribut? Lagian, rumahmu sudah kubeli. Uangnya sudah kubayar dan sekarang namaku yang tertera di sertifikat kepemilikan. Ribut juga nggak ada gunanya."Karen duduk di depan pintu rumahnya dan menangis kencang, menggunakan semua trik yang dia kuasai.Devin juga orang yang keras kepala. Ketika
"Bukannya kamu lagi sibuk dengan makalahmu? Kalau kami datang, apa kamu nggak merasa terganggu?""Nggak, makalahku sudah selesai dan sudah dikumpulkan. Sekarang lagi nggak ada kerjaan.""Tapi, sekarang lagi musim panas, peringatan suhu tinggi di seluruh negeri. Apa nggak bahaya kalau keluar untuk liburan sekarang?"Irene sudah tidak tahan mendengar percakapan itu. Dia langsung menyela, "Jangan dengarkan omongan ayahmu. Di wajahnya jelas-jelas tertulis dia ingin sekali pergi."Jeremy berdeham. "Aku 'kan nggak bilang nggak mau pergi."Nadine tertawa. "Ya sudah, sekarang aku pesan tiket kereta cepat untuk kalian."Setelah menutup telepon, Nadine langsung buka aplikasi tiket dan pesan dua tiket bisnis.....Jeremy dan Irene terkejut saat menerima informasi tiket yang dikirimkan putrinya. Ternyata tiketnya untuk besok! Mereka langsung mulai berkemas."Anak ini ada-ada saja. Cuma beberapa jam perjalanan, tapi sampai pesan tiket bisnis. Ini namanya buang-buang uang ...." Jeremy mengomel sambi
Arnold segera menebak identitas mereka berdasarkan usia dan penampilan mereka. Sambil tersenyum, dia mendekat dan menyapa, "Selamat pagi, Paman, Bibi. Namaku Arnold, tetangga Nadine."Nadine segera bereaksi dan segera memperkenalkan mereka, "Ayah, Ibu, ini Profesor Arnold yang meminjamkan laboratorium kepadaku."Jeremy terkejut. "Ternyata profesor yang masih sangat muda, hebat sekali."Irene juga terkejut. Namun, dia segera bereaksi dan tersenyum. "Terima kasih atas perhatianmu kepada putri kami selama ini.""Sama-sama. Panggil saja namaku langsung," ucap Arnold."Eee ...." Jeremy menyadari sesuatu yang dipegang oleh Arnold. Itu adalah sebuah benda dengan sampul kertas cokelat, seperti buku, tetapi bukan buku.Arnold menjelaskan, "Ini adalah buku catatan kalender yang kupinjam dari Profesor Santo di Departemen Fisika Universitas Quar."Khawatir Jeremy tidak mengerti, Arnold menjelaskan lebih lanjut, "Buku catatan kalender adalah tradisi di Departemen Fisika Universitas Quar. Setiap pro
Jeremy segera mengangguk. "Ya, ya, nanti kita ngobrol lagi."Arnold mengangguk ringan, lalu pergi. Setelah masuk, Nadine langsung meletakkan koper. Irene dan Jeremy mulai mengamati tempat tinggal putri mereka.Dua kamar tidur, satu ruang tamu. Tidak terlalu besar, juga tidak terlalu kecil.Meskipun tata letak dan kondisi bangunan terlihat agak tua, dekorasi interiornya cukup bagus. Sofa, lemari, dan peralatan rumah tangga semuanya baru.Beberapa kerusakan yang tidak bisa diperbaiki ditutupi dengan pernak-pernik. Ada yang ditutupi, ada yang disembunyikan sehingga terlihat cukup rapi. Sekilas, ini tampak seperti apartemen kecil yang elegan dan hangat.Awalnya, ketika mereka melihat lorong tangga yang kotor dan berantakan, mereka sudah tidak menaruh harapan terhadap tempat tinggal putri mereka.Namun, setelah masuk, mereka baru menyadari bahwa pemikiran mereka sudah salah. Irene justru sangat puas.Bukan hanya karena Nadine berhasil mendekorasi rumah ini dengan begitu indah, tetapi juga k
Jeremy berucap, "Ngapain kamu tanya-tanya? Lagian, Nadine pasti nggak tahu urusan pribadi dia. Untuk apa tanya Nadine? Nanti tanya langsung ke Arnold saja."Irene malah mengangguk setuju. "Ya, nanti kalau ada kesempatan, aku tanya langsung ke dia.""Kamu ini ... malah anggap serius omonganku." Jeremy cukup terkejut.Irene memutar bola matanya. "Nad, ada gula batu nggak?""Ada, aku ambilkan." Nadine segera berdiri dan berjalan ke dapur.Melihat putrinya pergi, Irene baru berbicara pada Jeremy, "Nadine tinggal sendirian dan Arnold tetangganya. Mereka tetangga dan punya hubungan baik. Masa aku nggak boleh tanya?""Benar juga, istriku selalu berpikir dengan menyeluruh. Hehe ...."Irene memelotot. "Jangan mendekat. Nanti Nadine lihat gimana?""Ehem!" Jeremy langsung duduk tegak. "Ya sudah."Kamar sudah beres, bahkan Nadine mengganti ranjang baru untuk orang tuanya. Seprai dan selimut juga baru. Setelah dicuci bersih dan dikeringkan, semuanya baru dipasang."Kalian tidur siang saja dulu. Nan
"Sayang, kamu baik sekali ....""Jangan ganggu, cepat tidur.""Oh ...."Mereka istirahat lebih awal untuk memulihkan tenaga. Keesokan hari, Nadine membawa mereka jalan-jalan ke situs bersejarah.Hari ini langit sangat cerah. Karena mereka berangkat lebih awal, cuaca pun masih belum terlalu panas.Jeremy berdiri di atas, memandang ke bawah, melihat pemandangan gunung yang luar biasa dan megah.Namun, Irene malah termangu."Ada apa, Ibu?" Nadine melihat ibunya sedang menatap ke suatu tempat dengan tatapan kosong, seperti orang yang melamun.Irene bertanya, "Apa itu North 8?""Ya.""Tempat itu juga disebut observatorium. Itu menara tertinggi. Di sana ada prasasti, 'kan?""Hm, hm." Nadine mengangguk dengan antusias. "Ibu, kali ini kamu melakukan riset sebelum jalan-jalan?"Irene adalah orang yang sangat santai. Biasanya dia tidak pernah membuat persiapan apa-apa dan selalu menikmati pemandangan di mana pun dia berada. Namun, kali ini dia membuat persiapan? Wajar jika Nadine terkejut.Irene
Baik judul ataupun variasi lagunya, Stendy sama sekali tidak bisa fokus. Cahaya redup di dalam aula konser bisa menjadi penyamaran yang terbaik, sehingga dia bisa menatap Nadine dengan tatapan yang lembut serta penuh perasaan dan tanpa perlu takut ketahuan.Stendy secara refleks menatap tangan Nadine yang putih. Dia berkali-kali ingin menggenggam tangan Nadine dengan erat, lalu tidak pernah melepaskannya lagi. Namun, setelah memberontak dengan pikirannya, pada akhirnya tetap logikanya yang menang. Dia mengingatkan dirinya untuk bertahan sampai melewati malam ini dan jangan gegabah agar tidak menakuti Nadine.Dua jam mungkin adalah siksaan dan ujian kesabaran bagi sebagian orang, tetapi itu adalah pesta untuk memanjakan indra yang langka bagi Nadine. Bahkan setelah konser sudah selesai, dia tetap masih tenggelam dalam suasananya."Apa kamu menyadari sesuatu dari lagu Croatian Rhapsody? Ternyata dia masukkan unsur musik rok juga, romantis dan energik. Terutama di bagian tengah lagunya, s
"Uhuk uhuk ...." Nadine langsung tersedak. Mereka sedang makan sambil mendengar cerita yang seru, tetapi topiknya malah tiba-tiba dialihkan ke dirinya. Pokoknya perasaannya tidak enak."Kami bukan sepasang kekasih, tapi makan malam ini bisa dibilang gratis untuk Tuan Stendy karena ...."Setelah mengatakan itu, Nadine tersenyum dan menatap pemilik restoran. "Aku yang traktir."Setelah tertegun sejenak, pemilik restoran itu menatap Stendy dengan tatapan seolah-olah berkata anak ini akhirnya kena batunya dan pantas menerimanya.Begitu selesai makan, Nadine langsung pergi membayar tagihan makanannya.Pemilik restoran itu menarik Stendy ke samping dan berbisik, "Kawan, kamu boleh terus begini. Ayo berusaha, segera dapatkan gadis itu. Kalau lain kali kamu masih nggak dapat gratisan lagi, jangan salahkan aku meremehkanmu."Stendy pun menghela napas. "Kamu pikir aku nggak mau?""Wah, akhirnya ada gadis di dunia ini yang bisa membuatmu kelabakan. Sungguh langka. Baiklah, biar teman lamamu ini y
Stendy menyahut, "Aku pikir-pikir dulu, nanti baru kita putuskan setelah ketemu.""Oke." Nadine mengakhiri panggilan, lalu langsung memakai jaket bulu tebal dan sepatu bot musim dingin, juga mengambil tas. Dia keluar dalam waktu kurang dari tiga menit!Cuaca tidak sedingin sebelumnya lagi, tetapi matahari masih tidak muncul.Begitu turun, Nadine langsung melihat Stendy berdiri di ujung gang, bersandar santai di samping mobil Maybach edisi terbatas. Pria yang memakai mantel hitam itu pun memutar-mutar kunci mobilnya.Begitu melihat Nadine, tubuh Stendy langsung tegak. Nadine tersenyum dan berjalan mendekat. Wajah Stendy yang tadi terlihat agak dingin langsung berubah cerah, bibirnya tersenyum.Begitu masuk mobil, Stendy menyerahkan sekantong sarapan, "Nih, susu kedelai dan roti, makan selagi masih hangat."Nadine menaikkan alisnya. "Pak Stendy bukan cuma jadi sopir, tapi juga beliin aku sarapan? Ini layanan bintang lima sih. Aku nggak berani menikmatinya."Stendy terkekeh-kekeh. "Kenapa
"Nad, sejak pertama kali kita ketemu di kafe, aku ....""Eh? Pak Arnold, Nadine, kok berdiri di sana? Nggak naik?" Tetangga mereka yang tinggal di lantai bawah, datang dengan membawa banyak kantong belanjaan. Begitu melihat mereka, dia langsung menyapa dengan ramah."Dingin banget ya hari ini, aku hampir beku .... Tapi karena diskon, aku tetap keluar malam-malam begini!"Supermarket besar di dekat sana memang sering mengadakan diskon besar setelah pukul 9 malam. Sebagai orang yang pintar mengatur uang, wanita ini sering keluar malam untuk belanja hemat.Situasi sekarang jelas tidak cocok untuk melanjutkan obrolan mereka. Arnold terpaksa menelan kembali semua yang ingin dia ucapkan tadi."Ayo, kita sama-sama naik!" ajak wanita itu.Nadine melangkah maju, langsung mengambil salah satu kantong belanjaan dari tangan wanita itu. "Biar kubantu ...."Namun, Arnold langsung mengambil alih kantong belanjaan itu dari tangan Nadine. Dengan cepat, dia berjalan di depan mereka. "Biar aku saja."Wan
Nadine tersenyum mencela dirinya sendiri.Arnold tiba-tiba terdiam, napasnya tercekat. Entah kenapa, senyuman kecil di ujung bibir gadis itu membuat hatinya terasa panik. Seolah-olah dia baru saja melewatkan sesuatu yang sangat penting.Mereka meninggalkan pabrik saat senja hari. Satpam yang berjaga sudah berganti. Paman ramah penuh canda tawa tadi sudah pulang, digantikan oleh seorang pemuda yang tampak pemalu.Setelah menerima kunci dari mereka, pemuda itu meletakkannya, lalu membukakan pintu gerbang untuk mereka.Langit belum sepenuhnya gelap. Cahaya senja menyelimuti cakrawala dalam warna kelabu suram. Di sepanjang jalan, cabang-cabang pohon yang gundul menambah kesan sepi.Nadine dan Arnold berjalan berdampingan tanpa berbicara. Keheningan mengisi jarak di antara mereka. Arnold sempat membuka mulut, tetapi tidak tahu harus mulai dari mana.Dia bisa merasakan perubahan suasana hati Nadine, tetapi tidak tahu penyebabnya. Jadi, yang bisa dia lakukan hanyalah diam dan berhati-hati aga
Diskusi akademik antara keduanya akhirnya mencapai akhir. Kelly tidak bisa menahan diri untuk menghela napas panjang."Lain kali jangan ajak aku ke acara akademik kayak gini lagi ya. Buat capek saja ...." Kelly bergumam pelan, lalu mengangkat tangan memberi isyarat kepada pramusaji untuk menyajikan makanan.Seperti yang sudah diduga, semuanya adalah makanan favorit Nadine!Selesai makan, Kelly awalnya ingin jalan-jalan sebentar. Namun, baru saja keluar dari restoran, dia langsung menerima telepon kerja. "Iya, iya! Tunggu sehari lagi bisa mati ya?"Meskipun mengomel, dia tetap buru-buru pergi ke kantor setelah menutup telepon. Sebelum pergi, dia tidak lupa berpesan, "Kak Arnold, hari ini ulang tahun Nadine, kamu temani dia ya! Pokoknya turuti semua yang dia mau!""Oke." Setelah melihat Kelly pergi, Arnold tersenyum menatap Nadine. "Mau ke mana?""Benaran bisa ke mana saja?" Mata Nadine berbinar.Arnold berpikir sebentar. "Selama masih dalam batas kemampuanku.""Kalau begitu, boleh nggak
"Ayo, biar aku pakaikan untukmu." Kelly memasangkan gelang itu ke pergelangan tangan Nadine yang ramping. Gelang itu membuat kulit putih Nadine terlihat semakin bersinar. "Aku tahu model dan warna ini cocok banget sama kamu!"Nadine menunduk melihatnya, semakin dilihat semakin suka.Kelly tiba-tiba bertanya, "Kamu kira ini udah selesai?""Hm?" Nadine mengangkat kepala dengan bingung. Masih ada acara lain?Kelly tersenyum tanpa menjawab, lalu mengangguk kecil ke arah pramusaji. Detik berikutnya, lagu ulang tahun mulai mengalun di dalam ruang privat.Diiringi musik yang lembut, Arnold mendorong masuk sebuah kue dan berjalan ke arah mereka. Di atas krim putih dan merah muda, berdiri boneka fondan yang sangat cantik.Matanya besar, ekspresinya penuh percaya diri dan ceria. Jelas, itu versi kartun dari Nadine sendiri. Di sekelilingnya pun dihiasi mutiara merah muda. Sederhana, tetapi sangat indah."Pak Arnold?" Nadine tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.Arnold menatapnya, bibirnya meny
Irene berkata, "Sayang, selamat ulang tahun! Sebenarnya, aku dan ayahmu mau datang ke Kota Juanin dua hari lebih awal untuk merayakan ulang tahunmu.""Tapi, penerbit mendadak kasih tahu Seven Days akan dicetak ulang dan mereka mengirim 3 kotak penuh halaman depan untuk kutandatangani. Jadi, setelah berdiskusi dengan ayahmu, kami memutuskan untuk menunda kunjungan dan akan datang lain kali."Irene juga merasa tidak berdaya. Buku barunya laris manis dan sudah cetakan ketiga. Sekarang di ruang kerjanya, masih ada ribuan halaman depan yang menunggu tanda tangannya. Kadang, punya buku yang laris juga menjadi tantangan tersendiri.Nadine mengedipkan matanya dengan penuh pengertian. "Ibuku terkenal! Wajar dong kalau sibuk!"Nada dan ekspresi bangganya membuat Irene tertawa."Duh, kamu nggak tahu! Sekarang ibumu benar-benar terkenal! Beberapa waktu lalu, ada seorang penggemar fanatik berhasil mendapat nomor telepon ibumu.""Begitu menelepon, dia langsung bilang ingin mendapat buku dengan tanda
Di tengah musim dingin yang menusuk, kompleks apartemen tua mulai sepi setelah pukul 9 malam. Lampu jalan di sekitar sering mati. Karena khawatir akan keselamatannya, Arnold selalu turun menunggunya setiap kali ada waktu.Meskipun waktu kepulangan Nadine tidak selalu sama, biasanya hanya selisih 20 atau 30 menit. Namun, malam ini dia terlambat hingga 2 jam, bahkan turun dari mobil Stendy. Arnold menebak, pasti ada sesuatu yang terjadi di jalan.Angin malam bertiup, membawa hawa dingin yang menusuk. Melihat ujung hidung Nadine yang merah karena kedinginan, Arnold berkata, "Ayo masuk, di luar terlalu dingin. Kita bicara di dalam saja."Nadine mengangguk, meniup telapak tangannya yang dingin, lalu berbalik untuk mengucapkan selamat tinggal kepada Stendy.Di bawah sorot lampu malam, dua sosok berjalan berdampingan, langkah mereka pun seirama. Lampu di tangga menyala satu per satu, samar-samar terdengar percakapan ringan.Stendy tetap berdiri di tempatnya, menatap ke arah mereka pergi. Dala