"Kak Wendy ...." Gadis itu agak kewalahan."Kenapa lihat aku? Kamu tahu prosedur verifikasi aset, 'kan? Kalau sampai ada masalah, memasukkan orang yang nggak jelas seperti ini, kamu bisa tanggung jawab?""Aku ... tahu prosedurnya secara garis besar karena pernah dijelaskan waktu latihan. Kalau proses verifikasinya nggak masalah, tanggung jawabnya bukan di tanganku ....""Huh, baru kerja beberapa hari saja sudah lumayan pintar. Tapi, ada satu hal yang harus kuingatkan padamu. Kerja di bidang ini harus punya insting. Kamu harus tahu siapa pelanggan kita, siapa yang mampu beli, siapa yang nggak. Kalau nggak, kamu cuma buang-buang waktu.Gadis itu mengatupkan bibirnya, "Terima kasih, Kak Wendy. Tapi, aku baru mulai bekerja dan belum pernah membuat satu pun transaksi. Saat ini aku masih dalam tahap belajar, jadi aku harus banyak mencoba dan nggak boleh takut buang waktu."Selesai bicara, dia menoleh ke Nadine. "Kak, sesuai prosedur, kami akan memverifikasi kartu ini. Kalau semuanya lancar,
Jadi, tidak peduli bagaimanapun Cathy menjelaskannya, Nadine telah bertekad untuk membeli property di sana. Saking girangnya, Cathy hampir saja tidak bisa menahan diri. "Kalau begitu ... cara pembayarannya?""Lunasi semuanya."Cathy terkejut.Jeremy juga tidak menyangka putrinya benar-benar serius mau membeli vila, bahkan telah mempersiapkan dananya. Dia hendak mengatakan sesuatu, tapi sebelum sempat berkata apa pun, Irene telah duluan mencubit pinggangnya."Apa pun yang mau dilakukan Nadine, kamu jangan ikut campur."Jeremy terpaksa menahan diri.Cathy menerima kartu kredit lain yang diberikan Nadine, lalu menyiapkan serangkaian dokumen kontrak dengan terburu-buru. Setelah semuanya selesai, dia kembali memastikan, "Bu, Anda sudah benar-benar yakin? Kalau nggak ada masalah, aku akan langsung memproses pembayaran."Nadine mengangguk santai, "Silakan."Seolah-olah sedang bermimpi, Cathy mengikuti prosedur dengan teliti. Setelah melihat Nadine menandatangani kontrak pembelian rumah dan ko
Pinjaman riba? Sepuluh miliar .... Jeremy sekalipun tidak bisa mengumpulkan uang sebanyak itu setelah bekerja seumur hidup tanpa menghamburkan uang.Nadine berujar dengan agak malu, "Aku menyimpan uang selama ini."Irene akhirnya bersuara, "Dari mana kamu dapat uang?"Tatapan Irene bahkan terlihat tajam. Nadine mengembuskan napas. Sepertinya ibunya mendengar rumor yang ada di luar sana."Ibu, semua uang ini kudapat dengan cara yang halal. Aku bekerja keras untuk menghasilkannya. Aku nggak melakukan sesuatu yang bersalah."Nadine tidak berbohong. Saat itu, Reagan berkonflik dengan keluarganya demi bersama Nadine. Oberon membekukan semua kartu bank Reagan untuk membuatnya pulang, juga berpesan kepada Rebecca untuk tidak membantu Reagan.Di masa-masa sulit itu, keduanya menyewa kamar yang sangat sempit untuk ditempati bersama. Meskipun demikian, hati mereka justru dipenuhi cinta dan kehangatan.Reagan ingin memulai bisnis baru dan butuh dana, jadi Nadine bekerja untuk membantunya mengumpu
"Aku pesan dulu. Ibumu suka bunga wisteria, aku harus beli kayu juga untuk menanamnya. Kita tanam bunga hydrangea juga supaya Ridwan iri."Ridwan adalah rekan kerja Jeremy. Mereka mengajari mata pelajaran yang berbeda, tetapi hubungan mereka sangat baik karena sama-sama suka menanam bunga.Bertahun-tahun lalu, Ridwan telah pindah dari Kompleks Pengajar SMA Cendekia. Karena tinggal di lantai satu, dia menanam banyak bunga di halaman.Namun, karena halamannya kurang luas, Ridwan hanya bisa menanam bunga hydrangea yang kecil. Bunga hydrangea tentu harus besar supaya indah.Jeremy langsung mengambil ponselnya dan memesan banyak barang. Tiba-tiba, dia bertanya, "Lalu, gimana dengan rumah ini?""Biarkan saja," jawab Nadine."Kamu yakin?" Banyak guru yang menjual rumah mereka setelah pindah. Karena lokasinya bagus dan dekat dengan SMA Cendekia, banyak yang ingin membelinya. Kebanyakan adalah orang tua yang datang dari luar kota untuk menemani anak mereka sekolah. Tentunya, harganya lumayan ma
Chyntia tersenyum sambil maju. Dia merangkul lengan Herman dan berucap, "Kebetulan sekali, Irene. Kita malah bertemu di sini."Irene menyapa dengan tersenyum, "Kak Chyntia.""Ngapain kalian kemari? Kalian mau beli rumah ya?""Bukan." Mereka sudah membelinya kemarin."Oh." Chyntia mengamati mereka. Senyumannya makin lebar. "Kami datang untuk lihat apartemen, Red Pearl yang sangat terkenal. Kudengar sulit sekali beli apartemen di sini. Banyak yang mengantre dan kasih sedikit uang, tapi masih nggak bisa dapat.""Untungnya, Cecil punya koneksi. Dia kenal konsultan di sini, jadi bantu kami. Kami baru saja tanda tangan kontrak."Chyntia tampak sangat bangga. Saat melihat Irene kaget, kegembiraannya pun memuncak. Iri, 'kan? Sayangnya, kalian tidak punya apa-apa.Irene memang terkejut, tetapi terkejut karena kakaknya akan pindah rumah lagi. Bukankah mereka baru pindah tiga tahun yang lalu? Kenapa sekarang pindah lagi?"Yang sebelumnya terlalu kecil. Selain itu, lingkungan dan fasilitasnya juga
Irene tersenyum canggung. Jika dia bisa menghasilkan uang sebanyak itu, mana mungkin mereka mengandalkan Nadine untuk membeli vila?Nadine bisa melihat bahwa Irene mulai kehilangan kesabarannya. Dia berinisiatif berucap, "Paman, Bibi, aku dan Ibu masih punya urusan. Kami pamit dulu ya.""Tunggu dong. Mana ada orang yang sibuk di tahun baru. Nadine, bukannya aku mau mengataimu. Tapi, kamu nggak muda lagi. Kamu nggak melanjutkan pendidikan, nggak kerja, nggak punya pacar. Mana ada gadis seumuranmu yang masih mengandalkan orang tua?"Chyntia masih ingat masalah sebelumnya. Dia tidak akan melewatkan kesempatan ini. "Contoh saja kakakmu. Sekarang dia mendirikan perusahaan di ibu kota. Masa depannya tak terbatas.""Cecil memang nggak punya kemampuan apa-apa, tapi dia berhasil masuk perusahaan tenaga listrik dengan mengandalkan kemampuannya sendiri. Pekerjaannya ini tetap.""Kadang aku benar-benar merasa cemas pada keluarga Jeremy. Mereka susah payah membesarkan anak, tapi anaknya malah begin
Usai berbicara, Cathy menyerahkan dokumen di tangannya. Nadine memeriksanya, lalu menyerahkan salinan yang dipegangnya kepada Cathy.Cathy mengembuskan napas. "Maaf sekali ya. Ini pertama kalinya aku jual vila. Banyak prosedur yang nggak familier bagiku. Jadi buang-buang waktumu ....""Nggak apa-apa."Chyntia bisa memahami setiap patah kata yang mereka lontarkan. Namun, setelah digabungkan, dia malah kebingungan."Tadi ... kamu bilang itu kontrak apa?" tanya Chyntia sambil menunjuk dokumen di tangan Cathy."Kontrak pembelian rumah.""Punya siapa?""Punya Kak Nadine. Dia beli rumah."Tubuh Chyntia terhuyung. Dia hampir jatuh. "Dia? Nadine? Dia beli rumah dari kalian?""Ya dong." Cathy merasa agak bingung. Siapa wanita ini? Kenapa menanyakan hal bodoh seperti ini?"Gimana mungkin?" Chyntia terbelalak. "Apartemen nomor berapa yang dia beli? 19 atau 20? Tipe apa? Berapa luasnya?""Bu, sepertinya kamu salah paham. Yang dibeli Kak Nadine adalah vila, bukan apartemen."Apa? Chyntia berteriak
"Eee .... Apa boleh tunggu sampai besok? Aku pasti menyelesaikan prosedur pembelian besok," ucap Chyntia.Ekspresi sales tampak agak dingin. "Ya sudah, kita lihat gimana besok. Tapi, kalau tiba-tiba ada yang beli, aku cuma bisa minta maaf pada kalian.""Kalau begitu, aku coba telepon keluargaku dulu ya?" Chyntia menggertakkan giginya."Ya, silakan."Chyntia keluar dari ruang VIP, lalu mencari tempat untuk bertelepon. Sebelum menelepon, dia tidak lupa melirik Irene dan Nadine untuk memastikan mereka tidak bisa mendengar obrolannya."Halo, Ayah, ini aku. Hari ini aku ke Red Pearl untuk bantu kalian lihat rumah baru. Ya, gedung baru yang sangat terkenal itu!""Aku dan Herman sudah lihat. Lingkungannya bagus sekali. Banyak orang yang mengincarnya. Apa kalian bisa kemari untuk tanda tangan kontrak dulu? Supaya lebih terjamin ...."Chyntia telah memperhitungkan semuanya. Rumahnya yang sekarang juga bagus, tetapi tidak bisa dibandingkan dengan Red Pearl.Kebetulan sekali, orang tuanya ingin p
Jeremy berucap, "Ngapain kamu tanya-tanya? Lagian, Nadine pasti nggak tahu urusan pribadi dia. Untuk apa tanya Nadine? Nanti tanya langsung ke Arnold saja."Irene malah mengangguk setuju. "Ya, nanti kalau ada kesempatan, aku tanya langsung ke dia.""Kamu ini ... malah anggap serius omonganku." Jeremy cukup terkejut.Irene memutar bola matanya. "Nad, ada gula batu nggak?""Ada, aku ambilkan." Nadine segera berdiri dan berjalan ke dapur.Melihat putrinya pergi, Irene baru berbicara pada Jeremy, "Nadine tinggal sendirian dan Arnold tetangganya. Mereka tetangga dan punya hubungan baik. Masa aku nggak boleh tanya?""Benar juga, istriku selalu berpikir dengan menyeluruh. Hehe ...."Irene memelotot. "Jangan mendekat. Nanti Nadine lihat gimana?""Ehem!" Jeremy langsung duduk tegak. "Ya sudah."Kamar sudah beres, bahkan Nadine mengganti ranjang baru untuk orang tuanya. Seprai dan selimut juga baru. Setelah dicuci bersih dan dikeringkan, semuanya baru dipasang."Kalian tidur siang saja dulu. Nan
Jeremy segera mengangguk. "Ya, ya, nanti kita ngobrol lagi."Arnold mengangguk ringan, lalu pergi. Setelah masuk, Nadine langsung meletakkan koper. Irene dan Jeremy mulai mengamati tempat tinggal putri mereka.Dua kamar tidur, satu ruang tamu. Tidak terlalu besar, juga tidak terlalu kecil.Meskipun tata letak dan kondisi bangunan terlihat agak tua, dekorasi interiornya cukup bagus. Sofa, lemari, dan peralatan rumah tangga semuanya baru.Beberapa kerusakan yang tidak bisa diperbaiki ditutupi dengan pernak-pernik. Ada yang ditutupi, ada yang disembunyikan sehingga terlihat cukup rapi. Sekilas, ini tampak seperti apartemen kecil yang elegan dan hangat.Awalnya, ketika mereka melihat lorong tangga yang kotor dan berantakan, mereka sudah tidak menaruh harapan terhadap tempat tinggal putri mereka.Namun, setelah masuk, mereka baru menyadari bahwa pemikiran mereka sudah salah. Irene justru sangat puas.Bukan hanya karena Nadine berhasil mendekorasi rumah ini dengan begitu indah, tetapi juga k
Arnold segera menebak identitas mereka berdasarkan usia dan penampilan mereka. Sambil tersenyum, dia mendekat dan menyapa, "Selamat pagi, Paman, Bibi. Namaku Arnold, tetangga Nadine."Nadine segera bereaksi dan segera memperkenalkan mereka, "Ayah, Ibu, ini Profesor Arnold yang meminjamkan laboratorium kepadaku."Jeremy terkejut. "Ternyata profesor yang masih sangat muda, hebat sekali."Irene juga terkejut. Namun, dia segera bereaksi dan tersenyum. "Terima kasih atas perhatianmu kepada putri kami selama ini.""Sama-sama. Panggil saja namaku langsung," ucap Arnold."Eee ...." Jeremy menyadari sesuatu yang dipegang oleh Arnold. Itu adalah sebuah benda dengan sampul kertas cokelat, seperti buku, tetapi bukan buku.Arnold menjelaskan, "Ini adalah buku catatan kalender yang kupinjam dari Profesor Santo di Departemen Fisika Universitas Quar."Khawatir Jeremy tidak mengerti, Arnold menjelaskan lebih lanjut, "Buku catatan kalender adalah tradisi di Departemen Fisika Universitas Quar. Setiap pro
"Bukannya kamu lagi sibuk dengan makalahmu? Kalau kami datang, apa kamu nggak merasa terganggu?""Nggak, makalahku sudah selesai dan sudah dikumpulkan. Sekarang lagi nggak ada kerjaan.""Tapi, sekarang lagi musim panas, peringatan suhu tinggi di seluruh negeri. Apa nggak bahaya kalau keluar untuk liburan sekarang?"Irene sudah tidak tahan mendengar percakapan itu. Dia langsung menyela, "Jangan dengarkan omongan ayahmu. Di wajahnya jelas-jelas tertulis dia ingin sekali pergi."Jeremy berdeham. "Aku 'kan nggak bilang nggak mau pergi."Nadine tertawa. "Ya sudah, sekarang aku pesan tiket kereta cepat untuk kalian."Setelah menutup telepon, Nadine langsung buka aplikasi tiket dan pesan dua tiket bisnis.....Jeremy dan Irene terkejut saat menerima informasi tiket yang dikirimkan putrinya. Ternyata tiketnya untuk besok! Mereka langsung mulai berkemas."Anak ini ada-ada saja. Cuma beberapa jam perjalanan, tapi sampai pesan tiket bisnis. Ini namanya buang-buang uang ...." Jeremy mengomel sambi
Karen yang begitu galak tidak mungkin menerima kerugian seperti itu. Hari itu juga, dia langsung pergi ke kantor agen properti itu, menuntut agar agen muda itu keluar.Namun, penanggung jawab memberitahukan bahwa agen itu sudah mengundurkan diri tiga hari yang lalu.Karena tidak punya cara lain, Karen datang ke kantor dan membuat keributan setiap hari, bahkan mengajak kerabat dan teman-temannya membawa spanduk di luar. Dengar-dengar, kejadian ini sangat heboh.Manajer tidak bisa berbuat apa-apa, jadi akhirnya memberi tahu Karen alamat tempat tinggal Devin. Karen mengikuti petunjuk itu dan datang ke rumahnya.Namun, Devin sama sekali tidak merasa bersalah dan berkata dengan percaya diri, "Ngapain kamu ribut? Lagian, rumahmu sudah kubeli. Uangnya sudah kubayar dan sekarang namaku yang tertera di sertifikat kepemilikan. Ribut juga nggak ada gunanya."Karen duduk di depan pintu rumahnya dan menangis kencang, menggunakan semua trik yang dia kuasai.Devin juga orang yang keras kepala. Ketika
Nadine lantas mengangkat ujung terusannya dan lebih berhati-hati kali ini.Orang-orang tidak menganggap serius insiden kecil tadi. Perhatian mereka lebih terfokus pada Nadine terluka atau tidak.Calvin langsung mengulurkan tangannya. "Nadine, kupinjamkan tanganku. Ada ototnya lho! Aku jamin kamu nggak akan jatuh."Hanya Olive yang memandang pinggang Nadine, seolah-olah ingin menembusnya dengan tatapannya.Saat makan, Wilfred memperhatikan bahwa Olive hanya makan sedikit. Dia khawatir Olive merasa tidak enak badan, jadi bertanya, "Kenapa hari ini makan sedikit sekali? Maagmu kambuh lagi?"Olive sering melewatkan waktu makan dan Wilfred sudah terbiasa mengingatkannya."Makanan hari ini nggak pedas atau berminyak kok. Bagus untuk pencernaan. Nah, ini makanan favoritmu ....""Bisa diam nggak sih?" Olive mendorong tangan Wilfred. "Aku cuma nggak mau makan saja. Kenapa kamu cerewet sekali? Apa aku nggak boleh memutuskan sendiri mau makan atau nggak?"Tangan Wilfred yang sedang mengambil maka
"Duduklah. Jangan terlalu sungkan, aku nggak terbiasa," ucap Arnold.Nadine pun tertawa dan akhirnya duduk.Arnold berkata, "Aku suka masakanmu, traktiranmu ini adalah ucapan terima kasih terbaik."Setelah itu, Arnold mengangkat mangkuk sup dan membenturkannya dengan ringan ke mangkuk Nadine.Kemudian, Arnold mengambil sepotong sayap ayam yang digoreng hingga keemasan. Kulitnya renyah dengan tepi yang sedikit terbakar dan bagian dalamnya yang berair. Perpaduan ini begitu seimbang dan rasanya sangat kaya."Di luar sana, belum tentu ada sayap ayam seenak ini."Nadine tertawa karena merasa lucu. "Kalau begitu, kamu habiskan saja semua sayap ayamnya."Arnold mengangkat alis dan senyumannya semakin lebar. "Bukan masalah."Makan siang selesai. Sekarang sudah pukul 2 siang. Mereka sama-sama membereskan dapur dan keluar.Arnold akan pergi ke laboratorium, sementara Nadine pergi ke perpustakaan. Karena sejalan, mereka pun berangkat bersama.Sesampainya di persimpangan jalan, Arnold berbelok ke
Nadine tertawa sambil bercanda, "Jangan, jangan. Masa tamu disuruh kerja?""Tamu bilang dia sangat senang bisa membantu."Berkat bantuan Arnold, pekerjaan menjadi lebih cepat selesai.Setelah semua beres, Nadine mengangkat ikan kakap dari air jahe daun bawang, lalu meletakkannya di piring dan mengeringkannya dengan tisu dapur. Kemudian, dia mengoleskan minyak goreng di permukaannya untuk mengunci kesegaran.Pekerjaan Arnold sudah beres Dia hanya bisa berdiri di samping dan menonton. "Perlu bantuan?""Bisa tolong ambilkan kukusan di atas sana?""Oke."Arnold bertubuh tinggi, jadi bisa meraihnya dengan mudah. Hanya saja, kukusan digantung agak tinggi tepat di atas kepala Nadine. Artinya, jika Arnold ingin mengambilnya, dia harus berdiri di belakang Nadine.Begitu Arnold menjulurkan tangan, dia merasa dirinya seperti memeluk Nadine. Untungnya, prosesnya sangat cepat sehingga tidak ada rasa canggung meskipun jarak mereka sangat dekat."Kemarikan kukusannya." Nadine mengulurkan tangannya.A
Nadine yang sekarang sangat tenang, tidak seperti saat baru-baru putus. Dulu dia sering teringat pada Reagan dan mudah terbawa emosi olehnya.Waktu adalah obat yang ampuh. Luka yang dalam sekalipun bisa sembuh. Kini, Nadine sudah melepaskan semuanya.Seiring berjalannya waktu, rasa sakit yang disebabkan oleh Reagan pun perlahan-lahan memudar hingga akhirnya terlupakan."Ada urusan apa?" tanya Nadine."Apa kita bisa ngobrol di tempat lain?""Aku rasa nggak ada yang perlu dibicarakan di antara kita.""Nad ....""Apa yang kubilang salah?"Reagan merasa agak frustrasi. Dia melirik Arnold. Orang-orang yang peka pasti tahu mereka harus menjauh untuk sekarang. Namun, Arnold tetap diam di tempatnya tanpa peduli dengan tatapan Reagan yang memberinya isyarat.Mengingat Reagan yang selalu berbuat nekat, Nadine sama sekali tidak berani berduaan dengannya."Kalau nggak ada yang penting, kami pergi dulu," ucap Nadine menatap Arnold. Arnold mengangguk ringan."Kalian berdua? Lalu gimana denganku?" Wa